Take me Back - 7
Nadya terbangun dan mendapati dirinya berada di kamar Samuel. Yah, ia mengingat pertengkarannya dengan Bram tadi malam hingga ia mengungsi ke kamar anaknya. Ia juga mengingat dengan jelas bibirnya mengucapkan kata pisah. Rasanya teramat sakit mengucapkan kata itu. Tapi bagaimana pun ia harus bisa mengambil keputusan. Salah satu diantara mereka harus ada yang bahagia. Kalau dirinya sudah pasti akan merasakan sakit jika perpisahan itu benar-benar terjadi, mungkin Bram akan merasakan hal yang berbeda.
Nadya sedang tidak semangat membuat sarapan. Wanita mana yang masih bahagia bila rumah tangganya tidak memiliki harapan lagi?
Ia akan membeli sarapan di luar saja nanti sambil mengantar Samuel sekolah. Sementara untuk Bram? Terserah pria itu mau sarapan dimana.
Dari arah dapur terdengar suara-suara panci. Bau makanan menguar tatkala Nadya berjalan ke arah sana. Nadya jelas terkejut menemukan Bram sedang memindahkan omelet ke piring. Pria itu, dengan kaos putih polos dan celana olahraga coklat, tampak serius membuat sarapan.
Bram membuat sarapan?
Yang benar saja??
Sejak mereka pindah ke rumah kecil mereka itu, belum sekalipun Bram membuat sarapan. Atau makanan apa pun di dapur tersebut. Baru pagi ini.
''Kamu bangunin Samuel! Aku udah buat sarapan." Ia melirik sekilas ke arah Nadya yang berdiri di pintu dapur kemudian Bram menata piring-piring diatas meja, memeriksa rice cooker kemudian melakukan kesibukan lain di dapur itu.
Nadya masih belum pulih dari rasa terkejutnya. Wanita tersebut bahkan hanya diam saja, menatap suaminya menyendokkan nasi kedalam mangkok.
Menyadari Nadya tak kunjung bergerak, Bram menaikkan pandangannya lagi lalu bertanya, "Samuel udah bangun?"
Nadya menggeleng. Ia berbalik, berniat membangunkan Samuel. Bram yang tiba-tiba membuatkan sarapan membuatnya bingung.
***
"Halo," Nadya menjawab panggilan Bram. Sepanjang sarapan pagi tadi, Nadya mengabaikan Bram. Tidak mau berbicara dengan pria itu, jika bukan karena Samuel yang bertanya ini itu sepanjang sarapan Nadya pasti akan terus membisu. Dan sekarang Bram tiba-tiba menelepon, apakah ini keanehan pria itu yang lain.
"Halo, kalian lagi apa?"
Nadya mengernyit, sejenak menjauhkan telepon dari telinganya dan melirik kontak yang sedang meneleponnya. Ragu bahwa itu benar-benar Bram. Sejak kapan Bram mau menelepon hanya untuk bertanya mereka lagi apa. Apalagi semalam mereka baru bertengkar.
Meskipun begitu, Nadya menjawab. "Samuel lagi ngerjain PR, aku lagi ngajarin dia." Nady menunduk ke Samuel yang duduk di karpet, ia melihat apakah anaknya itu menulis angka 4 dengan benar.
"Kebetulan aku lewat dari tukang jual martabak kesukaanmu! Mau kubelikan?"
Oke, sejak kapan Bram peduli dengan makanan kesukaan Nadya. Dan darimana pria itu tahu martabak kesukaannya? Semakin lama Bram semakin aneh.
"Hhhmm, nggak usah Bram! Aku udah kenyang." Nadya kurang yakin dengan apa yang terjadi disini sekarang.
"Oh, gitu?"
Ini telinga Nadya yang salah atau bagaimana, ia mendengar nada kecewa dalam suara Bram.
"Coba tanya si abang, mau nggak?"
Bram sampai beberapa menit kemudian dengan sekotak martabak. Ketika Nadya menyakan apakah Samuel mau martabak, dia menjawab mau dengan semangat dan Bram jelas mendengar teriakan putranya itu. Nadya mengambil piring dan memindahkan isinya. Samuel tampak lahap memakan martabak tersebut.
"Enak, Bang?" Bram menyodorkan air putih pada anaknya itu. Samuel mengangguk dengan mulut yang terisi penuh. Ketiganya duduk diruang tamu. Peralatan sekolah Samuel yang tadinya berserakkan sudah dirapikan, anak itu telah selesai mengerjakan PR nya.
Nadya jadi menyesal mengatakan dia sudah kenyang. Pemandangan martabak yang menggugah selera itu membuatnya ingin mencicipinya juga, tapi malu pada Bram. Dia tadi menolak, apa yang dipikirkan pria itu jika ia memakannya.
"Mama nggak mau?" Samuel menatap ibunya, anak itu memberikan satu potong dengan tangannya yang mungik. "Enak lho, Ma." rayunya.
Nadya menatap potongan martabak tersebut penuh minat, lalu memandang sekilas pada Bram yang berwajah datar, kemudian menggeleng. "Mama udah kenyang, Bang."
"Yaudah," Samuel langsung memasukkan martabak yang ada ditangannya ke dalam mulut hingga mulutnya penuh.
"Sedikit-sedikit makannya, nanti keselek bang!" Bram mengingatkan. Tapi namanya juga anak-anak, susah dibilangin. Samuel terbatuk karena mulut kepenuhan. Martabak yang tadinya berada di dalam mulut kini teronggok di lantai. Dan karena lasak, tidak bisa diam, kaki Samuel malah menginjaknya.
"Apa Papa bilang," Bram menarik putranya itu. Membersihkan lantai dan kaki Samuel dengan tisu basah yang ada diatas meja.
"Jorok," rengek Samuel.
"Udah papah bersihkan."
"Masih jorok," anak itu menatap jijik pada telapak kakinya. Padahal sudah tak ada noda martabak yang diinjaknya tadi.
"Mau kemana, Bang?" Nadya melihat putranya berjalan menjauh.
"Kamar mandi." Anak itu belum tenang kalau kakinya belum dibasuh dengan air.
Sepeninggal Samuel tinggalah kedua orangtuanya dalam kebisuan. Nadya meletakkan pandangannya pada furnitur-furnitur yang ada di dekat situ, seolah benda-benda mati itu adalah pemandangan yang paling menarik.
Sementara Bram?
Pria itu menatap lekat wajah istrinya yang berada disampingnya. Mereka duduk di sofa, bersebelahan. Tapi seolah jarak mereka bermil-mil jauhnya. Bram mengulurkan tangan ke atas meja untuk mengambil sepotong martabak. Tak lama tangan itu berada didepan wajah Nadya. ''Aku tau kamu pengen," katanya. "Satu potong aja."
"Aku udah bilang aku kenyang," Nadya masih enggan menatap suaminya. Masih marah pada pria itu. Kenapa tiba-tiba dia sekarang menjadi baik? Biasanya dia tidak pernah memperhatikan Nadya. Apa karena Nadya meminta pisah. Seharusnya kan Bram senang bisa terbebas darinya, bisa bebas bersama dengan wanita yang dicintainya. Bukan malah sok perhatian seperti sekarang ini.
"Jangan kekanakan, Nadya! Makan."
"Kamu kok maksa, sih?" Akhirnya Nadya menoleh. Pandangan mereka bertemu dan saling mengunci.
"Aku suapin?"
Tidak.
Nadya dengan cepat mengambil martabak tersebut dan memakannya.
''Kenapa nggak mau disuapin?"
Nadya mulai bergidik dengan perubahan Bram yang tiba-tiba ini. Dalam hayalan terliarnya sekalipun, Nadya tidak pernah membayangkan Bram menyuapinya. Itu sangat tidak Bram sekali.
Untuk pertanyaannya, Bram tidak mendapat jawaban.
Keheningan yang ada membuat suasana canggung, untung saja Samuel segera kembali. Anak itu mencari-cari sisa martabak. "Lho, martabaknya abis?"
"Mama yang makan, Bang," Bram menjawab. Nadya hanya memakan satu potong yang diberikan Bram tadi. Kebetulan itu adalah potongan terakhir. Tapi nada bicara Bram seolah Nadya lah yang menghabiskan sebagian besar martabak tersebut.
"Katanya Mama nggak mau," Samuel mengejek sambil tersenyum lebar.
"Kapan-kapan kita beli lagi ya bang." Bram mengacak rambut putranya dengan sayang.
****
Sudah hampir satu minggu Nadya mengabaikan Bram. Tidak mau bicara dengan laki-laki itu jika bukan hal yang perlu. Nadya secara tidak langsung mempersiapkan dirinya untuk menjauh dari Bram. Jika mereka bercerai, mereka tidak mungkin bisa sering-sering berbicara satu sama lain lagi.
Bram tidak pernah membahas perihal perpisahan. Lelaki tersebut menganggap kata-kata Nadya itu tidak pernah ada. Tapi akhir-akhir ini sikap Bram benar-benar berbeda pada Nadya. Dia tidak lagi sedingin biasanya. Dan mulai perhatian. Menanyakan Nadya lagi apa, sudah makan atau belum, menawarkan diri mengantar Samuel ke sekolah--meskipun sebenarnya itu tidak perlu karena Nadya senang mengantar putranya itu, Bram juga sudah mau membantunya melakukan pekerjaan rumah. Sekarang bukan Nadya lagi yang membuat sarapan, Bram mengambil alih pekerjaan itu. Dan luar biasanya masakan Bram lumayan enak. Pria itu pun pintar, selalu mengganti menu sarapannya. Katanya supaya Samuel tidak bosan. Nadya tidak tahu apakah dia harus takut atau bahagia dengan perubahan Bram ini.
Dan saat malam tiba seperti ini, jika Samuel sudah tidur, Bram akan langsung masuk ke kamar. Mengikuti Nadya yang berada disana. Padahal biasanya pria itu masih bekerja sebentar di ruang kerjanya.
Bram pulang kerja jadi lebih cepat, tidak pernah lagi lembur. Apalagi pulang sampai larut malam.
Nadya menarik selimut sampai ke dagunya lalu berbalik memunggungi Bram. Matanya hampir terlelap ketika Bram bersuara. "Nadya?"
"Hhhmm," ia hanya bergumam, terlalu malas menanggapi pria itu.
"Kamu udah ngantuk?" Nada suara Bram pelan. Bram mendekat, hampir menempelkan dadanya ke punggung Nadya.
"Hhhmm," lagi-lagi Nadya hanya bergumam. Ia merasakan tangan Bram mulai merambat ke tubuhnya. Kalau sudah seperti ini Nadya tahu apa yang diinginkan suaminya itu. Ia membalikkan badan, pemandangan di depannya sama seperti pemandangan di malam-malam sebelumnya. Tepatnya malam setelah pertengkaran mereka. Wajah Bram yang sedang bergairah. Tapi Nadya tidak peduli. Sekian lama ia pasrah Bram menyentuhnya tanpa cinta, sesekali ingin rasanya ia menyiksa pria itu. "Jangan malam ini, Bram!"
"Jadi malam apa? Sudah berapa hari kamu menolak kusentuh," Bram tampak gusar. "Ayolah, Nadya."
"Aku capek Bram."
"Kamu capek ngapain?" Bram hampir hilang kesabaran. "Pagi aku yang membuat sarapan, siang kusuruh sekretarisku memesankan makanan untukmu dan samuel jadi kamu nggak perlu masak, malam juga lebih sering aku yang masak. Tolong bilang kamu capek karena apa?" Bram menatap tajam istrinya seraya menekan gairahnya yang nyaris tak tertahankan. Sudah hampir seminggu dia berpuasa.
Melihat istrinya tidak mendebat, Bram mencoba peruntungannya kembali. Baru saja tangannya bergerak namun Nadya menghentikannya. "Aku nggak bisa, Bram."
"Kamu sengaja menyiksaku, kan?" Bisik pria itu.
Nadya hampir menyerah menyaksikan bagaimana tersiksanya Bram sekarang. Tapi sekuat tenaga ia menekan rasa itu. Belum saatnya ia menyerah.
Bram bangkit dan beranjak, turun dari tempat tidur. Pria itu memakai jaket dan membuka laci nakas, mencari-cari kunci motornya.
"Kamu mau kemana?" Nadya pun terduduk, tidak percaya dengan emosi tiba-tiba Bram. Beberapa malam terakhir Nadya memang menolak keinginan pria itu, tapi Bram tidak seperti ini.
Bram mengabaikan pertanyaan Nadya. Membuka pintu, ia keluar dari kamar. Nadya ingin sekali mengejar, tapi itu akan terlihat mengecewakan ditengah-tengah usahanya mengabaikan Bram. Akhirnya yang bisa Nadya lakukan hanya menunggu dan berdoa. Berdoa supaya Bram tidak melakukan hal-hal bodoh di luar sana. Bukan tidak mungkin kan lelaki itu mencari hiburan di tempat lain karena istrinya tidak mau memenuhi kebutuhannya?
Nadya menenggelamkan kepalanya ke selimut dang mengerang. Sekarang bagaimana?
Sudah jam setengah dua belas. Kemana pria itu selarut ini?
Beberapa menit berbaring, Nadya tidak tahan lagi. Ia keluar dari kamar, lalu apa?
Dia ingin mencari Bram?
Kemana ia harus mencari?
Nadya jadi khawatir. Bram pergi tidak naik mobil, pria itu naik motor. Motor besar yang sangat jarang dikendarai laki-laki itu. Bram sedang emosi, kalau terjadi sesuatu padanya bagaimana?
Tidak lama kemudian terdengar bunyi motor. Nadya mengenal suara itu, itu suara motor Bram. Nadya legah bukan main suaminya akhirnya pulang.
Bram ternyata pergi ke supermarket 24 jam yang ada di simpang komplek. Pria itu mengeluarkan minuman kalengnya dan bungkusan kacang garuda. Pria itu tahu kalau Nadya sedang menatapnya, namun ia megabaikannya. Duduk di ruang tamu, Bram menghidupkan tv dan mencari siaran yang menayangkan bola.
"Dari mana?" Nadya sedikit mendekat.
''Supermarket depan."
"Beli apa?"
"Itu," Bram menunjukkan dengan kepalanya barang-barang yang dibelinya tadi.
"Kamu marah?"
"Menurutmu?" Bram membuka jaketnya, menyampirkannya di lengan sofa. Pria itu membuka kaleng minumannya namun belum meminumnya.
"Kamu marah hanya karena aku menolak----"
"Kamu nggak tau seberapa penting itu untukku. Aku ini pria normal, Nadya! Aku suamimu, sudah seharusnya kamu memberikan itu padaku." Bram meneguk minumannya. "Sudah lah, aku nggak mau bertengkar lagi. Akhir-akhir ini kamu jadi aneh kalau sedang marah."
"Kamu yang aneh," ketus Nadya. "Tiba-tiba berubah. Sok perhatian," cibir Nadya. "Kenapa? Karena aku minta pisah, iya?" Nadya tidak tahu darimana ia mendapat keberanian menanyakan itu. Melihat rahang Bram yang mengeras, Nadya sadar ia telah salah berbicara.
Wanita itu pikir Bram akan membentaknya, apalagi melihat tatapan matanya yang begitu tajam. Tapi Nadya dikejutkan dengan perkataan pria itu yang tak bernada tinggi sedikit pun. ''Masuklah ke kamar! Aku serius tidak ingin bertengkar, Nadya."
Nadya menurut. Ia kembali ke kamar. Tidak apa-apa, setidaknya Bram tidak pergi kemana pun.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro