Take me Back - 4
Kaum pria sering mencemooh kaum perempuan yang terkadang berlebihan dalam memperlakukan tubuhnya untuk mendapatkan sesuatu yang disebut kecantikan.
Tersiksa menahan selera, saat memikirkan efek makanan bagi tubuhnya. Olahraga yang sangat keras supaya tidak gemuk. Ngabisin duit buat membeli make up yang harganya bisa diluat nalar pemikiran. Yang lebih 'wow' lagi, ngedit-ngedit foto biar kelihatan cantik. Takut keluar, nanti kena matahari, takut kulitnya hitam. Dan bla bla bla...
Tahu tidak, semua itu dilakukan kaum hawa, sebagian besarnya dilakukan tak lain tak bukan adalah untuk menarik perhatian kalian para kaum Adam.
Yang sudah menikah, melakukannya untuk menghindari kasus-kasus suami yang kecantol dengan wanita idaman lain. Yah memang, kalau si suami pada dasarnya sudah bejat susah juga mengatasinya. Tapi tak ada salahnya juga kan kalau para istri-istri menjaga suaminya.
Terus yang masih pacaran. Tidak beda jauh sama perempuan yang sudah menikah. Mereka juga melakukannya untuk menarik perhatian sang kekasih. Apalagi maraknya perempuan-perempuan perusak hubungan orang diluar sana. Yang menikah saja bisa cerai, konon yang masih pacaran. Apalagi yang pacaran rasa-rasa teman gitu.
Dan yang berikutnya adalah yang tidak menikah, tapi tidak pacaran juga. Alias jomlo. Yang ini biasanya yang paling aktif melakukan hal-hal diatas sana. Pergi nonton bareng teman, selfie bentar. Pergi makan, selfie lagi. Bahkan seblum tidur juga sering selfie-selfie yang kemudian di posting ke sosmed sambil melampirkam caption-coption ala-ala orang kesepian gitu.
Tapi, biarkan lah kaum pria menjadi makhluk yang tidak peka selamanya.
Nadya terburu-buru memakai bedaknya, karena Bram dan Samuel sudah menunggunya. Samuel tampak bersemangat dengan kegiatan mereka hari ini, pasalnya anak itu akan pergi ke kolam renang umum yang sudah dijanjikan Bram. Bram sendiri duduk santi dengan ponsel ditangan, pria itu sedang membalas beberapa email kantor.
"Mama lama," rengek Samuel begitu Nadya selesai dengan riasan naturalnya. Walau pun hanya ke kolam renang, tapi Nadya tetap menghabiskan waktunya beberapa menit untuk memperhatikan penampilannya. Apalagi jika ia berjalan disamping Bram, ia tak ingin terlihat tidak pantas bersanding dengan suaminya itu.
Tidak ada yang menyangkal ketampanan pria itu. Nadya yakin, bahkan dengan status duda beranak satu, seorang Bram tidak sulit mendapatkan wanita cantik untuk menemaninya. Sudah terbukti dengan Renita. Nadya resah harus mengingat wanita yang masih mencintai suaminya itu, bahkan sampai sekarang, disaat Bram sudah menikah dan memiliki anak wanita itu tidak segan-segan memperlihatkan ketertarikannya pada Bram.
Bram tidak membahas perihal yang terjadi di kantor Bram kemarin, Nadya pun tak mau bertanya. Bram sudah jauh dari kata dewasa, dia pria yang sudah memiliki istri dan anak, Nadya percaya Bram tidak akan melakukan hal-hal yang dapat merusak rumah tangganya. Ia akan berusaha semampu yang ia bisa untuk menjadi istri yang baik, apa pun itu akan Nadya lakukan agar keluarga kecilnya tetap utuh.
"Mama udah selesai kok bang," Nadya tersenyum pada Samuel.
''Udah bisa berangkat?" Bram memasukkan ponselnya kedalam saku celana seraya berdiri dari sofa. Ia memandang Nadya dengan bola matanya yang hitam. Nadya balas menatap, berharap dalam hati kalau suaminya itu akan memuji sedikit penampilannya, penampilan yang masih diusahakannya ditengah-tengah kesibukannya mengurus rumah, memasak, mengurus Samuel dan tentu saja juga mengurus seluruh keperluan Bram. Namun harapan tinggallah harapan ketika Bram hanya berbalik dan berjalan keluar rumah sambil berkata, "ayo, bang!"
Samuel berlari mengejar Bram, anak itu langsung menggandeng tangan Ayahnya tanpa menyadari suasana tak enak diantara kedua orang tuanya.
Nadya hanya mampu tersenyum kecut. Sejenak menunduk untuk meredakan sesak didadanya. Sampai kapan harus seperti ini? Sampai kapan ia sanggup diperlakukan seperti orang yang tidak diinginkan. Nadya memandang punggung Bram, punggung yang dibalut kemeja coklat muda, kemeja itu ia yang menggosok, dirinya yang menyiapkan untuk dikenakan oleh Bram. Dalam hayalannya, Nadya melihat kemeja itu kasihan padanya.
****
Nadya tidak ikut berenang. Selain dia tak bisa berenang, ia juga agak ngeri melihat banyaknya orang berada dalam satu kolam. Ia bergidik membayangkan sekotor apa air itu sekarang. Ia duduk di kursi panjang yang disediakan di pinggir kolam, sambil memandang anak dan suaminya didalam kolam.
"Kok berenang, mbak?" tanya seseorang disebelahnya. Nadya menoleh, ternyata wanita berusia sekitar akhir tiga puluhan. Sebelumnya Nadya tidak terlalu memperhatikan teman disampingnya, karena terlalu serius melihat Bram dan samuel di dalam kolam. Wanita itu juga tidak berenang seperti dirinya.
"Nggak bisa berenang, mbak," jawabnya seadanya sambil memberi senyum.
"Sama kita," katanya. "Anak saya lagi berenang disana," seru wanita itu sambil menunjuk ke arah anak bercelana kuning, hendak lompat ke dalam kolam. Nadya menaksir usia anak itu setidaknya 9 tahun. "Mbak datang sama anak juga?" tampaknya wanita itu suka mengobrol.
Nadya mengangguk. "Sama suami juga", kata Nadya, berusaha tidak terlalu menunjukkan keengganannya mengobrol. Dia memang tipe wanita yang tak banyak bicara, kepribadiannya terkesan pendiam.
"Oh, ya?" wanita disebelahnya tampak tertarik. "Anak mbak yang mana?"
"Yang celana biru garis-garis."
"Masih kecil ya."
"Iya."
"Yang pegang-pegang anak mbak itu, siapa?" Bran sedang mengajari Samuel berenang dengan memegang badan putranya itu agar tidak tenggelam. "Suami mbak, ya?"
"Iya."
"Ya ampun, ganteng banget mbak!! Badannya tinggi, ototnya ya ampun. Eh, maaf---" wanita itu tak sadar berbicara terlalu antusias untuk membicarakan suami orang lain. Apalagi yang punya suami adalah lawannya berbicara. "Saya nggak bermaksud apa-apa mbak," tutur wanita itu tidak enak.
Nadya tersenyum. "Nggak papa, mbak." Nadya tidak menyalahkan wanita disebelahnya terpesona pada Bram. Tidak ubahnya dengan dirinya. Mencintai pria itu, walaupun tahu pria itu sudah punya kekasih. Bahkan menggunakan kekuasaan Ayahnya untuk mendapatkan pria itu. Hanya saja, akhir-akhir ini Nadya kerap mempertanyakan keputusannya menikahi Bram beberapa tahun yang lalu. Karena nyatanya sampai sekarang pria itu masih cuek dan dingin padanya. Bahkan sudah ada Samuel diantara mereka, Bram masih bersikap sama.
"Suami mbak baik ya! Mau nemanin anak gini. Kalau suami saya mana mau dia. Alasannya banyak banget! Yang sibuklah, ada janjilah, banyak banget alasannya," curhat teman sebelahnya. "Pantesan anak mbak ganteng gitu, wong bapaknya aja ganteng banget."
Nadya meringis kecil. Kurang suka cara wanita itu memuji suaminya, apalagi dengan sorot menggebu-gebu diwajahnya. Kalau suaminya tahu istrinya memuji suami orang sampai seperti itu, suaminya apa tidak marah. Akhirnya Nadya hanya bisa tersenyum, tidak tahu mau mengatakan apa pada wanita itu. Meski tak banyak membalas obrolan teman di sebelahnya, tapi wanita itu masih terus bicara. Nadya sudah hampir pamit ingin pindah saja dari sana, tapi anak wanita itu datang dan mengajak pulang. Ia bersyukur akhirnya wanita itu pergi. Nadya bukan benci pada wanita itu, ia hanya tidak suka pada mulut wanita itu yang suka sekali bergosip. Bahkan kejelekan suaminya yang tak pantas diceritakan pada orang lain pun di beberkan wanita itu semuanya.
Melirik ke arah kolam, Nadya mencari-cari keberadaan anak dan suaminya. Ternyata Samuel dan Bram sudah naik dan sedang berjalan ke arahnya. Bram berjalan di belakang putranya, seolah menjaga anak itu. Dan memang itulah yang ia lakukan. Lantai yang berair pasti licin, dan Bram takut anaknya itu jatuh. Tingginya yang menjulang sangat jauh dengan Samuel yang masih balita. Sepanjang Bram berjalan, banyak sekali mata-mata yang meliriknya. Tak terkecuali wanita-wanita yang sudah menikah. Dada bidang pria itu yang basah dan kecoklatan terlihat sangat seksi terpapar sinar matahari, ditambah wajah yang tampan, bagaimana Nadya tidak kelimpungan menjaga pria itu.
"Seru lho, Ma." lapor Samuel. "Abang bisa berenang."
"Oh, ya?" Nadya mengambil handuk dari dalam tas yang dibawanya tadi lalu melap badan anaknya itu sedangkan sang anak masih terus bercerita tentang keseruannya berenang.
"Huum," Samuel mengangguk. "tanya Papa aja! Iya kn, Pa?"
"Hhhmm!"
Bram menyisir rambutnya yang basah dengan jari. Nadya memberikan handuk padanya. "Udah mau pulang?" tanya Nadya padanya.
"Udah mau pulang, bang?" Bram malah bertanya pada Samuel.
"Kok malah nanya dia? Yah kalau dia mana mau pulang!"
Bram mengabaikan protesan Nadya. "Abang udah bosan, belum?"
"Belum, Pa," seru Samuel girang. "Abang mau mandi lagi, tapi di tempat yang dalam Pa."
"Istirahat bentar bang," kata pria itu.
Nadya menghela napas. Tidak punya kuasa untuk membantah Bram. Yang bisa dilakukannya sekarang adalah berdoa agar anaknya tidak masuk angin karena terlalu lama bermain air.
****
Nadya menutup pelan pintu kamar putranya dengan pelan. Anak itu sudah tidur setelah makan dan minum susu tadi. Nadya bersyukur Samuel tidak masuk angin sehabis berjam-jam berenang tadi. Ia mengetatkan tali jubah tidurnya. Dibalik jubah itu ia hanya mengenakan gaun tidur tipis yang transparan. Malam ini malam minggu, malam biasa Bram meminta berhubungan intim.
Dengan sedikit rasa kikuk, Nadya berjalan memasuki kamar. Bram sudah disana, lebih tepatnya berbaring diatas tempat tidur, selimut menutupi setengah badannya. Pria itu tidak mengenakan atasan sehingga dadanya terlihat. Ia sedang mengganti-ganti siaran di televisi, tangannya diletakkan dibawah kepala. Sikap santai Bram tidak berlaku pada Nadya.
Entahlah. Nadya masih saja malu-malu bila saat hendak bermesraan dengan Bram. Padahal sudah bertahun-tahun mereka menikah. Dan sudah ada Samuel.
Nadya pergi ke kamar mandi hanya untuk menyembunyikan kegugupannya. Setelah beberapa menit menenangkan diri di dalam sana, Nadya keluar. Ia menemukan Bram tidak lagi menonton, televisi sudah mati, dan mata pria itu sudah terpejam. Nadya menggigit bibir bawahnya, apakah ia terlalu lama di kamar mandi hingga membuat Bram bosan menunggu.
Nadya membuka jubah tidurnya. Naik keatas ranjang, ia menaikkan selemut untuk menutupi tubuhnya. Nadya tidur memunggungi Bram. Setelah mematikan lampu tidur, ia memutuskan untuk memajamkan mata. Mungkin saja Bram kelelahan seharian ini mengajari Samuel berenang, makanya tidak meminta melakukan itu. Baru beberapa menit Nadya memejamkan mata, ia belum tidur, dirasakannya tangan Bram menyentuh pinggulnya, hingga turun ke perut.
Nadya tersenyum, Bram juga belum tidur ternyata.
Bram menciumi tengkuknya. Menyibak rambut wanita itu agar bisa lebih leluasa mencium kulit yang putih dan lembut itu. Nadya merasakan desiran ketika Bram menurunkan selimut yang menutupi tubuhnya, berikutnya menaikkan gaun tidurnya sampai ke dada. Tangan Bram masih mengelus-elus perutnya, tapi rasanya Nadya akan meledak oleh rasa nikmat.
Bram membalikkan tubuh Nadya. Matanya menatap wanita itu, bibirnya menyunggingkan senyuman. Bukan senyuman manis yang biasa diberikan pria pada wanita yang dicintainya. Ini bukan senyuman seperti itu. Senyuman Bram lebih seperti senyuman binatang buas yang menemukan mangsanya. Nadya bisa melihat gairah di mata pria itu, wajahnya pun sudah memerah. Dasar laki-laki.
"Kau ingin melupakan tanggung jawabmu," ujar pria itu dengan suara serak. Dengan jarak sedekat ini Nadya dapat melihat jakunnya yang bergerak naik-turun.
"Kupikir kau---," Nadya menelan ludah. "Lagipula, apakah tanggung jawabku hanya seputar selangkangan." Nadya berbisik.
Bram menindih tubuh wanita itu. "Bukan," katanya, seraya membawa kedua tangan Nadya keatas kepala wanita itu dengan satu tangan seolah dirinya tak ingin disentuh. "Memang bukan hanya itu," tambahnya. Tangannya yang lain bergerak kebawah punggung Nadya dan melepas kaitan bra wanita itu. "Tapi kau tidak bisa mengikat seorang pria tanpa memberikan hal yang paling ia inginkan."
"Kau sangat menginginkan seks?" Nadya menahan napas tatkala tangan Bram menelusup kedalam celana dalamnya.
"Tentu saja," Bram berbicara dengan pelan sekaligus kasar. "Aku pria normal."
Detik berikutnya Nadya tidak lagi bisa berpikir normal. Ia hanyut dibawa arus gairah dan rasa nikmat cumbuan Bram pada setiap lapisan kulitnya. Disetiap hunjaman Bram, Nadya hanya terengah dan melenguh. Erangan nikmatnya terdengar keluar dari bibir mungilnya. Nadya terbang ke lapisan tertinggi saat mendapat puncak kenikmatannya. Begitu pun dengan Bram. Geraman dan hentakannya yang bertambah kuat menandakan ujung penantian pria itu sudah dekat. Nadya memeluk punggung Bram ketika suaminya itu orgasme.
Untuk beberapa menit mereka tetap seperti itu, masih meresapi kenikmatan yang baru saja mereka terima. Kemudian Bram berguling dari tubuh Nadya. Dengan masih telanjang, pria itu pergi ke kamar mandi. Nadya yang kelelahan, tak sanggup untuk bangun. Matanya terpejam, bibirnya tersenyum lalu ia tertidur.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro