Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Take me Back - 2

''Sarapan apa, Ma?" Samuel datang dengan ranselnya. Sejak sekolah, Samuel selalu bangun pagi. Kalau biasanya anak itu paling malas bangun pagi, tapi sekarang tidak lagi.
Sudah dua minggu ia menjadi murid PAUD, dan tampaknya anak itu bahagia dengan teman-teman barunya.

Ia naik keatas kursi yang biasa ia duduki di meja makan. Samuel memiliki wajah yang sangat mirip dengan Bram. Mata bulat hitamnya, hidungnya yang mancung, kulitnya pun mengikuti Bram yang berkulit kecoklatan. Sama sekali tak menyisahkan sedikitpun untuk Nadya. Jika melihat kemiripan mereka berdua, tak seorang pun yang bisa menyangkal bahwa mereka adalah ayah dan anak.

"Nasih goreng," jawab Nadya. Wanita berdaster biru muda itu merapikan rambut anaknya yang sudah mulai panjang. Sehabis pulang sekolah, Nadya akan membawa putranya itu ke salon untuk pangkas.

''Siniin piringnya biar Mama buat nasinya," Nadya menyendokkan nasi goreng ke piring yang disodorkan Samuel.

"Jangan banyak-banyak, Ma," Samuel protes saat Nadya memberinya lebih dari satu sendok nasi goreng. "Telur mata sapinya aja yang banyak." Anak itu nyengir ketika Nadya menatapnya penuh peringatan.

Samuel memang tidak terlalu suka makan nasi. Tapi kalau jajanan, tidak usah ditanya. Anak itu selalu memberondong Bram untuk membelinya stock jajanan yang banyak. Sampe-sampe Nadya yang menjadi pusing.

"Jagoan harus kuat makan, bang." Suara Bram yang baru datang terdengar. Bram sudah rapi dengan kemeja biru gelapnya. Pria itu mengambil duduk disebelah anaknya setelah meletakkan tas kerjanya dikursi disampingnya yang lain. Samuel cemberut. "Biar cepat besar," tambahnya lagi seraya memberikan piringnya untuk diisi Nadya. Nadya dengan sigap menyendokkan nasi goreng kepiring Bram, baru setelahnya kepiringnya sendiri.

"Tapi abang nggak suka nasi, Pa." Samuel memainkan sendoknya diatas piring. "Nggak enak."

''Nggak suka tetap harus makan," komentar Nadya saat Bram tidak berbicara apapun untuk menjawab rengekan putranya. Bram memang selalu begitu, kalau sudah berkaitan dengan Samuel pria itu akan mengalah. "Kalau nggak makan nanti abang sakit. Kalau abang sakit nanti Mama sedih. Abang mau Mama sedih?"

Samuel menggeleng pelan, kepala anak itu menunduk lalu mulai memasukkan nasi kedalam mulutnya. Bram mengusap rambut putranya dengan sayang, pria itu mengarahkan tatapan pada Nadya yang seolah-olah mengatakan jangan terlalu keras pada Samuel. Tapi Nadya mengacuhkan peringan itu.

Bukannya apa, kalau Samuel sakit dia yang disalahkan Bram. Laki-laki itu akan dengan enaknya mengatakan dia ibu yang tidak becus mengurus anak. Dasar laki-laki.

"Kalau abang habisin nasinya, besok kita jalan-jalan." Kata Bram, mengambil nasi yang ada di sudut mulut anaknya itu.

"Kemana, Pa?" tanya Samuel antusias, mata anak itu membesar karena senang.

"Abang mau kemana?"

"Berenang?"

"Boleh."

"Tapi jangan dirumah eyang ya, Pa!" Samuel ingin berenang ditempat ramai, dimana banyak anak-anak yang tidak dikenalnya. Dia belum pernah ketempat seperti itu, tapi ia pernah melihatnya di tv.

"Memangnya kalau dirumah eyang kenapa, bang?" Nadya ingin tahu.

''Nggak rame, Ma.''

Nadya sudah akan berargumen ketika Bran bertanya. "Abang mau berenang dimana?"

"Ditempat rame, Pa! Ada banyak kawan-kawannya. Jangan dirumah eyang," Samuel menggeleng. "Nggak asik."

"Hhmm, tapi habisin makanannya!"

"Horeee," Samuel bersorak riang. Detik berikutnya anak itu melahap sarapannya dengan semangat seolah-olah nasi goreng adalah makanan kesukaannya. Samuel tersenyum, lalu tangannya mengusap kepala putranya itu. Nadya memandang Bram tidak setuju dengan rencana pria itu. Bagaimana tidak, ia jelas tau bagaimana kualitas air yang dihuni ratusan orang di kolam berenang umum. Akan lebih baik kalau Samuel berenang dirumah orang tuanya saja. Sudah terjamin airnya bersih. Selama ini pun Samuel sering mandi disana.

***

"Kamu yakin mau membawa Samuel berenang di kolam renang umum?" Nadya bertanya pada Bram. Pria itu sedang memakai sepatunya, begitu pun dengan Samuel. Nadya berbisik agar tak didengar putranya yang saat ini lagi serius memakai tali sepatu.

"Hhhmm," hanya itu jawaban Bram. Sekarang memasang sepatunya yang satu lagi.

Nadya mendesah kesal. Bram memang keras kepala.

"Aku nggak setuju." Membayangkan putranya menelan air kolam yang berisi--hanya Tuhan yang tahu, ia bergidik ngeri. "Bram--"

"Aku sudah janji."

"Makanya jangan asal berjanji."

Bram berdiri, telah selesai dengan kedua sepatunya. Ia menatap tepat dimata Nadya lalu bertanya. "Apa yang salah dengan mandi di kolam renang umum?" Bram menoleh sekilas pada putranya yang hampir selesai mengikat tali sepatunya. "Seharusnya bagus karena Samuel akan bertemu orang-orang baru yang belum pernah ditemuinya. Itu penting untuk kepribadiannya, supaya dia tidak canggung pada keramaian."

"Dia masih kecil, Bram."

"Mendidik itu dari kecil, kalau sudah besar pasti sulit."

"Tapi airnya kotor," Nadya hampir putus asa menghadapi kekeraskepalaan suaminya ini.

"Waktu kecil aku sering berenang disungai yang lebih kotor lagi," Aku Bram kemudian, sepintas mengingat masa kecilnya di kampung sebelum orangtuanya memutuskan pindah ke Jakarta saat usianya 18 tahun. "

"Itu beda, Bram."

"Jangan memulai pertengkaran, Nadya!" gumam Bram pelan. "Samuel tidak akan kenapa-napa!"

"Terserah," ujar Nadya pada akhirnya. "Kalau sempat Samuel sakit---".

"Dia tidak akan sakit," potong Bram yakin.

Nadya sudah akan berbicara saat Samuel berjalan mendekat. "Pa, abang udah siap," anak itu melapor. Hari ini hari jumat, bagian Bram untuk mengantarnya sekolah. Hanya setiap hari jumat saja, itu keinginan Bram sendiri.

****

Menjadi General Manager bukanlah tugas yang mudah. Begitu banyak tanggung jawab yang harus diembannya. Tapi karena Bram mendapatkan jabatan itu setelah melalu proses yang lumayan panjang, hal itu memberinya banyak pelajaran. Membentuknya menjadi pribadi yang displin dan penuh pertimbangan. Setiap keputusan yang diambilnya membawa pengaruh pada perusahaan, karena itu dia tidak asal dalam membubuhkan tanda tangannya.

Kepada setiap bawahannya, Bram selalu bersikap keras. Tapi bukan keras yang tak terarah. Ia ingin memiliki pekerja yang kompeten, bukan hanya bermulut lebar yang kerjanya hanya menggosipi orang lain. Menjelek-jelekkan orang lain yang belum tentuh lebih buruk bila dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Karyawan dikantor sangat segan padanya. Itu terbukti dari cara mereka menunduk hormat dan mengucap salam padanya saat Bram berjalan memasuki ruangannya.

Baru saja ia duduk di kursinya, seseorang membuka pintu dan masuk. Bram memeriksa berkas-berkas yang telah diletakkan sekretarisnya diatas meja kerjanya. Tanpa menaikkan pandangan, Bram susah tau siapa yang datang.

"Ada apa?" tanyanya datar, membalik kertas didepannya. Sesekali membaca ulang bagian yang tidak dimengetinya.

"Aku kangen," canda perempuan itu, ia menarik kursi didepan Bram lalu duduk disana. Matanya yang berbulu lentik menatap pria berdasi garis-garis dihadapannya.

"Jangan bercanda! Katakan ada urusan apa?" Renita memang bekerja di perusahaan yang sama dengan Bram, tapi keduanya sangat jarang memiliki keterlibatan dalam pekerjaan yang sama.

"Sejak menikah kau menjadi kaku ya," Renita tersenyum mengejek. "Aku cuma mau nanya kenapa nggak datang tadi malam?"

"Ada kerjaan!"

"Alasan," dengus Renita.

Bram menghela napas kemudian mendongak dan menatap Renita, perempuan yang dulunya adalah kekasihnya sebelum ia terpaksa menikah dengan Nadya. Masa itu telah bertahun-tahun berlalu, tapi Renita seakan belum bisa berpaling darinya.

Renita itu cantik dan pintar, tidak sulit baginya mendapatkan pria yang bahkan lebih baik dari Bram. Bram sendiri pernah ingin menikahinya. Tapi sampai sekarang, Bram tidak melihat ada satu pria pun yang dekat dengannya. Malah ia masih sering mendekat-dekati Bram.

Tadi malam Renita mengadakan acara kecil-kecilan untuk merayakan ulang tahunnya. Hanya teman kantor yang diundang. Dan Bram tidak datang, padahal Renita sendiri yang langsung meminta Bram untuk datang ke acara itu. Tidak ada alasan khusus Bram tidak datang. Dia memang sedang ada pekerjaan dan saat pekerjaannya selesai, waktu sudah jam sembilan lewat. Bram sangat lelah hingga memutuskan tidak datang. Tapi pemikiran perempuan itu mungkin berbeda. Renita mengira Bram tidak datang karena merasa canggung padanya. Padahal tidak.

"Maaf tidak bisa datang! Siang nanti aku kirim kadonya."

"Aku nggak butuh kado dari kamu, yang aku butuh itu kedatanganmu, Bram."

"Aku sudah menikah, Renita. Sudah punya anak."

"Aku tau kamu nggak cinta sama istri kamu, Bram. Kamu terpaksa."

''Aku sibuk!" Bram kembali membaca berkasnya, mengabaikan raut kesal Renita.

"Aku nggak akan menyerah, Bram! Aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu! Seharusnya aku yang milikin kamu, bukan Nadya. Hanya karena dia anak orang kaya dia bisa dapatin semua yang dia mau??" Napasnya tersengal-sengal karena emosi. "Aku tau kamu masih mencintaiku, Bram." Selepas meluapkan kata-katanya, Renita keluar dengan bantingan pintu yang cukup keras.

Bram memijit pelipisnya dan menghela napas. Ia menghubungi sekretarisnya dan meminta kopi.

Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro