Take me Back - 11
Bram kembali ke kantor, memarkir mobilnya lalu berjalan menuju ruangannya, dimana tadi dia meninggalkan Samuel bersama Renita. Beberapa pasang mata menatapnya, namun enggan terlalu kentara menunjukkannya. Bram menduga itu karena pertengkarannya dengan Nadya tadi. Bram membuat catatan dalam hati agar tidak melakukannya lagi di sekitar kantor. General maneger yang minim ekspresi bertengkar dengan istrinya di tempat parkir, para karyawannya pasti akan menggosipinya. Tentu saja tidak didepannya. Siapa yang berani dengan Bram. Haja dengan lirikan tatapan tajamnya saja para karyawannya sudah menciut, apalagi menerima bentakkan. Jangan pernah mencoba memancing emosi pria itu.
Bram berpapasan dengan Renita didepan ruangan meeting. ''Dimana Samuel?" Dia melihat tak ada putranya bersama Renita, matanya berkeliling kesekitar, siapa tahu anaknya sedang berlarian, tapi ternyata tidak ada, akhirnya matanya kembali pada wanita bersetelan rapi didepannya.
''Samuel udah pulang."
"Pulang?" Bram menaikkan alisnya bingung. Siapa yang menjemput? Dirinya baru saja tiba, sedangkan Nadya tidak mungkin, wanita itu masih dirumah. "Sama siapa?"
"Sama pak Brata. Beliau tadi datang ke ruanganmu, ingin mendiskusikan sesuatu katanya, tapi nggak jadi karena kamu tak ada," Renita menatap pria didepannya, ketampanan pria itu tak berkurang sedikit pun, malah semakin matang. Salahkah ia membenci Nadya untuk rasa kehilangannya terhadap Bram. Dia yang menjadi kekasih Bram, tapi Nadya yang menikahinya. Bram pria yang baik, penyayang dan...setia. hal terakhirlah poin yang ia sukai sekaligus dibencinya. Jika Bram bukan laki-laki setia, pasti sudah dari dulu ia mendapatkan pria itu kembali. Namun sialnya lagi, hal itu lah yang membuatnya tergila-gila padanya. Hingga sekarang. Ia mengerang dalam hati, mengutuk kelemahannya itu.
"Oh, kalau begitu aku akan menjemputnya. Re, terimakasih sudah menjaganya tadi."
Renita mengangkat bahu dan memberi senyuman. ''Tidak masalah, Samuel anak yang manis. Aku suka bersamanya, dia anak yang pintar." Katanya, kemudian dia bertanya. "Bagaimana dengan Nadya?"
Bram sempat bingung sebentar dengan pertanyaan Renita, namun kemudian mengerti maksud pertanyaan wanita itu. "Nadya hanya salah paham, dia memang terbiasa seperti itu. Jangan khawatir, dia baik-baik saja." Bram tersenyum ramah, sorot matanya untuk Renita benar-benar tidak menunjukkan arti lain selain pertemanan dan rekan kerja.
"Dia wanita yang beruntung," Renita mendesah dengan muram. "Seharusnya----"
"Jangan lagi, Re," potong Bram. "Semuanya sudah berakhir lima tahun lalu," ia memastikan tidak ada orang disana, dan syukurnya memang tidak ada, lorong ruang meeting memang jarang didatangi karyawan kalau bukan saat meeting. "Kau harus melupakanku! Aku sudah menikah dan mempunyai anak, haruskan aku tidak mengatakannya terus. Kau tidak bosan mendengarnya? Carilah seseorang untuk menggantikanku.''
"Tapi aku nggak bisa, Bram. Rasanya sangat sulit, bahkan sangat...sulit." Renita menunduk untuk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. "Kau tahu betapa aku...aku mencintaimu."
Bram menghela napas, kepalanya mendongak dan menatap keatas untuk beberapa detik. Kemudian kembali menatap wanita didepannya. Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Membujuk istrinya sendiri saja ia tidak pernah, ia tidak mengenal kata-kata manis untuk menenangkan perempuan. Dia dan Renita memang pernah menjadi sepasang kekasih, tapi harus Bram akui hubungan itu pun dulunya hanya sebagai selingan diantara kesibukannya dikantor. Dia tidak mencintai Renita. Peduli, iya. Ia menyukai Renita yang dewasa. Tidak pernah merengek, tidak manja, dan kala itu tertarik padanya. Ajakannya untuk menjalin hubungan pun tidak terlalu serius, namun Renita langsung mengiyakannya. Jadilah mereka berpacaran. Dan kini sudah lima tahun berlalu sejak ia mematahkan hati gadis itu, dia belum bisa melupakannya. Untuk ukuran pria sepertinya, yang kaku dan tidak romantis, tentulah bingung harus melakukan apa. Ditambah lagi sekarang Renita mulai terisak, ia semakin bingung.
Tidak mempunyai kata-kata yang bisa diucapkan, Bram perlahan mendekat pada Renita dan...memeluk wanita itu. Dengan ragu, ditepuknya punggung itu dan berkata. "Percayalah, ada seseorang yang akan mencintaimu dengan tulus di luar sana. Kau hanya perlu membuka diri, jangan menutupnya hatimu lagi."
Entah karena nyamannya pelukan Bram atau karena rasa sedihnya, Renita tak mau melepas pelukan pria itu. Ia melingkarkan lengannya semakin kuat dan menghirup aroma wangi parfum Bram yang memabukkan. Aroma yang lima tahun yang lalu bebas diciumnya, tapi tidak sekarang. Dan ia semakin terisak.
"Sudah lah," Bram mulai tidak nyaman, pasalnya wanita yang tengah bergelayut padanya ini tidak mempunyai hubungan apa pun dengannya. Jika ada yang melihat, orang pasti berpikiran yang tidak-tidak. "Apa perlu aku mengenalkanmu pada teman-temanku?" Bram tahu itu ide konyol, tapi tak salah dicoba, kan. Dia memang pria kaku. Jadi jika istrinya terus marah-marah padanya, jangan salahkan Nadya.
Bram memegang bahu Renita dengan kedua tangannya, berusaha melepas pelukan erat perempuan itu. Pelukan itu sudah hampir terlepas saat terdengar suara keras dari seorang wanita, suara teriakan yang tak asing lagi ditelinga Bram akhir-akhir ini.
"Menjemput Samuel katamu?" Nadya mendesis. "Oh, kupikir kau salah mengenali putramu dengan seorang wanita, Bram?" Sarkas Nadya tidak tanggung-tanggung. Mata berwarna hitamnya hampir keluar karena besarnya pelototannya.
Bram sudah berhasil melepas pelukan mereka. Dia meringis melihat kemarahan istrinya. Masalah baru, erangnya dalam hati. Tiba-tiba kepalanya terasa akan pecah. Kenapa laki-laki tidak bisa hidup tanpa perempuan? Yang satu tidak bisa move on dan yang satu pencemburu, benar-benar tidak masuk akal dan membuatnya gila.
"Kita bicara diruanganku!" Gumamnya pelan, supaya Renita tidak kembali berteriak. Namun ternyata tidak berguna karena wanita itu kembali bersuara keras.
"Aku nggak mau bicara dimana pun selain disini!! Aku nggak peduli kalau ada yang mendengar, malah bagus. Biar mereka tahu bagaimana kelakuanmu disini. Kau bilang tidak pernah memeluknya, huh?? Yang kulihat barusan apa??"
"Itu tidak seperti---"
"Kau mau bilang itu bukan pelukan?"
"Nad--" Renita mencoba bicara.
"Diam kau!" Nadya dengan galak menunjuk ke arah Renita dengan jari telunjuknya serta dengan pelototan yang menakutkan, hingga membuat Renita beringsut kebalik punggung Bram.
''Bisa tinggalkan kami, Re." Pinta Bram, namun netranya masih diarahkan pada Nadya.
"Tapi, Bram---"
"Kau tidak dengar apa yang dibilang suamiku??" Lagi-lagi Nadya memotong Renita.
"Re!" Ujar Bram mengingatkan. "Tinggalkan kami." Meski enggan, Renita akhirnya menyingkir dari sana.
"Kita bicara diruanganku!" Kata Bram saat Renita sudah tak ada disana, tanpa menunggu persetujuan Nadya, pria itu berjalan menuju ruangannya. Nadya ingin membentak lagi namun urung saat ada beberapa orang berjalan mendekat, dengan dongkol ia menghentak kaki dan mengikuti Bram.
Nadya membanting pintu ruangan Bram dengan keras.
"Pelan-pelan saja menghancurkannya!" Ujar Bram santai, tidak terlalu menanggapi kemarahan Nadya.
"Bukan hanya pintu yang bisa kuhancurkan sekarang, ruanganmu ini pun bisa kubuat kayak kapal pecah."
"Aku tidak akan meragukan itu." Bram menyandarkan pinggul ke sisi meja kerjanya, melipat tangan didada, dan memandang istrinya. "Bicaralah!"
"Kalian sangat serasi."
Bram tahu siapa 'kalian' yang dimaksud Nadya. "Terimakasi! Tapi aku menikah denganmu."
"Kau menyesal menikah denganku?''
"Tidak! Kalau tidak menikah denganmu, Samuel tidak akan ada sekarang."
"Kalau kau menikah dengan Renita mungkin saja kalian akan mendapatkan yang lebih daripada Samuel."
"Tidak ada 'kalau' sekarang, nyatanya aku menikah denganmu! Dan Samuel putraku."
"Kenapa kau memeluknya? Kau bilang tidak pernah memeluknya? Baru beberapa jam kau mengucapkannya tapi kau langsung melanggarnya, siapa yang tahu apa yang kalian lakukan selama ini. Kau berbohong padaku!"
"Aku minta maaf untuk itu," Bram mendesah. "Aku terpaksa! Dia menangis. Itu yang pertama kali."
"Dia menangis dan kau langsung memeluknya? Padahal kalau aku menangis kau mana pernah membujukku. Betapa baiknya dirimu."
"Kau tidak terlihat seperti seorang wanita yang membutuhkan pelukan."
''Siapa bilang?" Bentak Nadya.
''Aku, baru saja."
"Kau...kau....." wanita itu dipenuhi amarah yang hampir menyesakkan dadanya. Bram bergerak cepat dan memeluk Nadya. Tentu saja Nadya berusaha menepis dan keluar dari rangkulan Bram, tapi kekuatan Bram bukan tandingannya. Tangan Bram memeluknya erat, tak membiarkan wanita itu lepas.
"Kehamilan kali ini tidak beda dengan waktu Samuel ternyata."
Nadya membeku, ia terdiam, berhenti memberontak. "Darimana kau tahu?" Bisiknya lirih.
"Aku Papanya, pasti aku tahu."
***
"Sudah periksa ke dokter?"
"Belum," jawab Nadya dingin. Saat ini mereka dalam perjalanan ke rumah orang tuanya untuk menjemput Samuel. Bram menyetir disebelahnya. "Kita belum selesai bicara tentang kau dan Renita, tentang pelukan kalian tadi."
"Ibu hamil dilarang stres."
Nadya menoleh. "Kau tahu tentang itu, tapi kau selalu membuatku stres."
Bram berdehem. "Kenapa kau tidak mengatakan kalau kau hamil?"
"Untuk apa? Toh kau sudah tahu meskipun aku belum bilang. Luar biasa."
"Anak-anakku memiliki ikatan yang kuat denganku, jadi aku bisa merasakan keberadaan mereka."
"Cih, kampret!"
"Aku dan Renita tidak ada hubungan apa-apa! Aku serius. Pelukan tadi tidak seperti yang kau bayangkan, aku berjanji itu yang terakhir." Nadya diam dan menoleh ke jendela, menatap ke keramaian kota. Pikirannya campur aduk. Kenapa Bram bisa tahu dia hamil? Ikatan katanya? Yang benar saja.
"Aku ngantuk."
"Ya sudah tidur saja! Kalau sudah sampai nanti kubangunkan."
Nadya memejamkan mata, mencoba relaks. Bram benar, ibu hamil tidak boleh stres. Seberapa bencinya pun dirinya pada dua orang tadi, Bram dan Renita, dirinya harus memikirkan anak yang ada dalam kandungannya.
"Aku senang kau hamil lagi, Nadya." Gumam Bram, menoleh mendapati mata Nadya yang terpejam, ia kembali memperhatikan jalanan didepannya.
Ya jelas senang lah, kau suka punya banyak anak tapi tidak memikirkan perasaan Ibunya. Ejek Nadya dalam hati. Ia pura-pura tidur hingga benar-benar tertidur.
***
"Kami pulang Ma, Pa," Bram pamit pada mertuanya. Samuel yang tertitur berada dalam gendongannya, ia mendekap anak itu ketika merengek kecil ditengah tidurnya. ''Sstt," ujarnya menenangkan putranya itu seraya mengusap-usap punggungnya.
Ibu dan Ayah mertuanya mengangguk. "Jaga kesehatanmu, Nad," kata Ibunya saat berada di pintu keluar, Bram sudah lebih dulu berjalan ke mobil. "Jangan berpikiran yang macam-macam terus sama Bram. Nggak baik. Walaupun yang sekarang hamil anak yang kedua, bukan berarti lebih muda dari yang pertama. Tetap harus dijaga dengan benar." Nadya mengangguk patuh. Nasehat Ibunya akan terus berlanjut, padahal sudah daritadi beliau melantunkan kalimat- kalimat yang sama.
"Papa dengar kalian bertengkar di tempat parkir," itu suara Ayahnya. "Itu pasti ulahmu kan, Bram bukan orang yang suka membuat keributan didepan umum. Papa mengenal suamimu itu." Kali ini pun dia hanya diam, membantah pun tak ada gunanya. Kedua orangtuanya sudah terlanjur menganggap Bram sebagi menantu idaman. Yah, Bram dan sikap sopan santunnya. Dan kekakuannya. "Menurut lah pada suamimu! Kalau dia melakukan tindakan di luar batas, Papa sendiri yang akan turun tangan memberinya pelajara. Tapi sejauh ini Papa lihat dia baik dan bertanggung jawab." Kan, lagi-lagi pujian. Lebih baik dirinya sekarang berbalik dan segera menyusul Bram. Detik berikutnya itulah yang dilakukan Nadya.
Saat masuk kedalam mobil, ia melihat Samuel yang tidur dikursi belakang. Nyaman dengan bantal dan selimut kecil yang menutupi tubuhnya, selimut dan bantal yang selalu berada di mobil Bram, untuk berjaga-jaga kalau Samuel tidur. Yah, benar-benar Ayah yang siaga.
"Kita pulang," kata Bram, menghidupkan mobil, membunyikan klackson sekali lalu melajukan mobilnya. Di kemudian hari, jika mertuanya meminta Samuel dan Nadya untuk tinggal dirumahnya selama seminggu atau berapa hari pun itu, ia tak akan mengijinkannya jika tanpa dirinya. Lihat saja perubahan Nadya sekarang, lebih pemberontak. Lihat saja rambut warna coklatnya itu, menurutnya seperti ekor kuda. Tidak ada cantik-cantiknya sama sekali.
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" Ujar Nadya, tidak nyaman dengan tatapan intens Bram.
"Kau terlihat agak gemukan sekarang."
Hah? Nadya menahan diri untuk tidak berkaca. Apa benar aku gemukan? Rungutnya khawatir. Tapi dia kan sedang mengandung, bukannya wanita hamil memang seharusnya bertambah gemuk?
"Ya sudah pasti! Aku sedang hamil."
Bram tersenyum kecil. "Aku tidak bilang jelek, kenapa kau cemberut begitu?"
"Aku tidak cemberut."
Bram menyalip dua mobil didepannya dengan santai, ia menoleh singkat menatap Nadya. "Aku tidak suka warna rambutmu." Katanya mengubah topik.
"Iya, iya, besok aku akan mencatnya ulang! Puas?"
Bram mengangguk. "Dan jangan pernah memotongnya sependek itu lagi."
"Sekretarismu juga berambut coklat, kenapa kau tidak melarangnya juga."
"Dia bukan istriku. Aku tidak berhak melakukan itu padanya. Mungkin saja suaminya suka rambut coklat."
"Dia sudah menikah?" Nadya pikir sekretaris Bram belum menikah, dia terlihat masih lajang.
Bram mengangkat bahu. "Aku tidak tahu."
Nadya mengerjap tak percaya. ''Kau tidak tahu sekretarismu sudah menikah atau belum? Benar-benar bos yang perhatian kau ini." Cibir Nadya.
"Yang kubutuhkan hasil kerjanya, bukan biodatanya. Itu biar bagian HRD yang menangani."
Nadya berdecak lalu menggeleng. Sikap tidak perduli Bram benar-benar tidak tertolong lagi. Sepertinya hanya putranya yang mendapat keistimewaan di perhatikan olehnya, bahkan Nadya pun tidak. Tampaknya Nadya harus berhenti mengharapkan kebekuan Bram mencair.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro