Take me Back - 10
Nadya tidak percaya dia melakukan ini. Ya Tuhan, dia bahkan tak mengenali siapa yang berada di dalam cermin.
"Ma, Bram tidak suka aku memotong rambutku. Dia pasti marah," Nadya memegang rambutnya yang lebih pendek beberapa senti karena di potong. Meski dia suka dengan model rambutnya yang baru tapi perasaan was-was tetap ada dalam hatinya, Bram pernah mengatakan dengan serius kalau pria itu menyukai rambutnya yang panjang dan hitam. Dan kini rambut sepinggulnya telah tiada, digantikan dengan rambut di bawah bahu dan diberi warna kecoklatan. Semua ini adalah perintah Ibunya.
Ibunya menggeleng, tidak setuju. "Bram tidak akan marah, dia pasti suka dengan penampilan barumu."
"Nadya tidak yakin."
"Udah, sekarang kita pergi! Kamu percaya aja sama."
Setelah dari salon, Nadya mengantar Ibunya pulang. Kemudian ke sekolah Bram, sudah waktunya menjemput putranya itu. Beberapa hari terakhir, ia sudah jarang mengantar jemput putranya. Supir Ayahnya yang menjalankan tugas itu. Hatinya sedikit merasa bersalah karena hal itu. Dan Bram pun pasti sudah mengetahuinya, namun sampai sekarang suaminya itu belum melontarkan protesannya. Nadya merasa, hanya menunggu waktunya saja sampai kemarahan Bram meledak. Nadya sangat tahu bagaimana protektifnya Bram terhadap putranya, Samuel. Sudah beberapa hari ini juga dia sering pulang larut, dia tahu itu bukan hal yang baik untuk dilakukan. Namun dia ingin melihat reaksi Bram, apakah pria itu merindukannya atau tidak. Kata Ibunya Bram kesal. Namun Nadya tidak tahu kesal itu melukiskan apa. Bram kesal karena tidak bisa bertemu dengannya atau kesal karena dia menelantarkan putranya dengan sering pulang larut?
"Kita ke kantor Papa, Ma?" Samuel begitu gembira mendengar Nadya mengatakan kalau mereka akan mampir ke kantor Bram. "Sekarang?"
"Iya, bang," Nadya mengangguk, tersenyum melihat kebahagiaan putranya. Sekuat itulah arti Bram bagi Samuel. "Sekalian kita makan siang sama." Nadya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menyalakan musik yang memutar lagu anak-anak. Samuel ikut bernyanyi, meski suara anaknya itu sumbang khas anak-anak, Nadya begitu bahagia mendengar suara itu. Baginya itu adalah suara termerdu di dunia. Suara sumbang putranya.
Nadya membelokkan mobilnya ke sebuah restoran. Nadya mengajak Samuel ikut turun. Beberapa menit kemudian mereka masuk kembali kedalam mobil dengan makanan yang dibelinya.
Satpam menunduk hormat padanya saat Nadya memasuki pintu masuk, beberapa karyawan yang kebetulan lewat pun melakukan hal yang sama. Nadya membalasnya dengan senyuman ramah.
Samuel berjalan didepannya, anak itu jelas hapal jalan menuju ruangan Ayahnya. Nadya mengarahkan pandangan sekilasnya ke sekitar kantor itu, agak sunyi, mungkin karena jam makan siang. Samuel masuk ke dalam lift, Nadya menyusul kemudian.
Di dalam lift Nadya melirik pantulannya yang berada di dinding lift. Gaun sederhana berwarna pastel, sepatu tinggi, dan make up natural, terlihat sederhana namun cantik. Nadya berharap Bram menyukai rambutnya yang baru.
Pintu lift terbuka, ia menghela napas. Samuel memegang tangannya dan mengajaknya keluar dari lift. Tampaknya anak itu sudah tidak sabar bertemu dengan Ayahnya.
Kursi sekretaris Bram kosong saat mereka tiba di kantor Bram. Pintu kaca ruangan Bram pun tertutup, karena kaca itu berwarna hitam, ia tidak bisa melihat ke dalam. Samuel terus menyeretnya. Entah kenapa perasaannya tiba-tiba tidak yakin dengan kunjungannya kali ini, sekali lagi dia menghela napas.
Samuel, tanpa mengetuk langsung membuka pintu ruangan Ayahnya.
"Papa," seru anak itu, padahal belum melihat keberadaan Ayahnya. Nadya pikir Bram sedang tidak ada, karena dia tidak memberi kabar kalau akan datang membawa makan siang, bisa saja pria itu keluar makan siang. Namun kenyataan yang ada malah membuat jantung Nadya seakan mencelos. Bram ada namun tidak sendiri. Dia bersama seorang perempuan, siapa lagi kalau bukan Renita. Keduanya sedang menikmati makan siang. Rasanya ingin sekali ia membuang makanan yang ada ditangannya sekarang.
Bram terlihat terkejut dengan kedatangannya namun dengan cepat pria itu mengembalikan ekspresinya. ''Kenapa datang nggak bilang dulu?"
"Supaya kau nggak terganggu?" Jerit Nadya dalam hati, dengan penuh emosi Nadya menatap Bram dan Renita secara bergantian. Jika perempuan yang saat ini sedang makan siang bersama Bram bukan Renita, mungkin perasaan Nadya akan berbeda. Tapi ini benar-benar membuatnya linglung dan bingung, bingung harus melakukan apa. Haruskah ia memaki? Atau menangis?
Samuel berjalan dan mendekat pada Ayahnya, anak itu naik ke pangkuan Bram. "Pa, abang lapar," adunya.
Renita tampak santai ditempatnya duduk, tidak terlihat ingin pergi dari sana. Wanita itu malah tersenyum dan dengan manis menyapa Samuel. ''Abang mau makan?" tanyanya yang dibalas anggukan Samuel. Ia mengambilkan makanan untuk Samuel. "Mau tante suap?" Kali ini Samuel menggeleng.
Nadya meratap. Ia hampir menangis melihat interaksi didepannya. Apalah yang bisa ia lakukan jika ia tidak pernah diharapkan?
"Duduklah!" Bram menggeser tubuhnya, menyuruh Nadya duduk disebelahnya. "Apa yang kau bawa?"
Langkah Nadya begitu kaku, seakan dirinya berjalan menuju pembantaian. Ia meletakkan bungkusan yang dibawanya diatas meja, tepat didepan Bram.
"Aku pergi," katanya, bahkan untuk mengucapkan dua kata itu butuh usaha yang luar biasa. Napasnya benar-benar sesak.
Nadya mengabaikan suara Bram yang memanggilnya. Ia keluar dari ruangan Bram, ketika berada di luar dia menangis. Ia berjalan cepat-cepat, ingin mengenyahkan senyuman Renita dari dalam pikirannya. Dan ketidakpedulian Bram kembali melukai hatinya.
"Nadya?" Itu suara Bram. Begitu Nadya keluar dari ruangannya, Bram langsung berdiri, menitip Samuel pada Renita kemudian mengejar Nadya. "Tunggu!"
Nadya mengabaikan suara itu, air mata benar-benar tak bisa dia tahan lagi, meluncur bebas membasahi pipinya yang memerah akibat emosi. Berani-beraninya laki-laki itu! Rutuknya dalam hati. Berarti selama ini itulah yang mereka lakukan, kerap berduaan. Hatinya membara memikirkan Bram dan Renita.
Melihat Nadya yang tidak memperlampat langkahnya, pria itu berlari dan menarik tangan Nadya. "Kubilang tunggu."
Nadya berbalik dan melotot, berusaha menghempaskan pegangan Bram namun tak berhasil.
"Kenapa kau pergi?"
"Pertanyaan bodoh macam apa itu?" Nadya berteriak. "Kamu masih bisa bertanya kenapa aku pergi? Seharusnya kamu senang aku pergi, tidak ada yang mengganggu kalian."
"Jaga suaramu, ini tempat umum."
Mereka berada ditempat parkir dan ada beberapa orang disana, diantara mereka tampak tertarik dengan pertengkaran bos dan istrinya.
"Oh, kalau ditempat lain aku boleh teriak? Oke kita bicara di rumah." Nadya menarik tangannya dan terlepas, ia berjalan ke arah mobil Bram yang tak jauh dari sana lalu masuk ke dalam mobil dengan cepat.
Bram memijit keningnya kemudian menghela napas. Disaat-saat tertentu, Nadya bisa menjadi lebih keras kepala dari siapa pun. Ia terpaksa ikut masuk kedalam mobil. "Samuel masih diruanganku," kata Bram, berharap Nadya meredahkan amarahnya yang terlihat jelas pada wajahnya. "Aku jemput dia dulu, ya."
''Nggak perlu, Renitamu kelihatannya lumayan bisa membujuknya."
"Dia hanya bersikap baik, Nadya.''
"Karena itulah. Dia baik jadi tidak usah, kita perlu bicara. Setelah itu kamu bisa kembali kesini." Nadya menolehkan pandangan ke arah jendela. Bram mulai menjalankan mobil dengan terpaksa.
"Itu tidak seperti yang kau pikirkan," kata Bram saat beberapa menit mobil berjalan.
''Kamu nggak tahu apa yang kupikirkan.'' Yang diinginkan Nadya sekarang adalah cepat sampai di rumah dan menuntaskan semua ini. Ia benar-benar sudah menyerah.
''Aku tahu."
Nadya tidak membalasnya, ia diam, tidak mau melihat Bram.
Ketika Bram berhenti di depan rumah, Nadya turun, langsung masuk kedalam rumah. Beberapa hari tidak berada dirumah, rasanya kembali kesana terasa asing. Apalagi dengan situasi seperti sekarang. Nadya memperhatikan keadan rumah tak sebersih saat dia tinggalkan. Lantainya sedikit berdebu, ada bungkus-bungkus makanan diatas meja ruang tamu, Bram seperti pria kebanyakan, tidak terlalu pandai mengurus rumah. Hanya mencari uang yang pria tahu.
"Tadi hanya makan siang biasa," gumam Bram saat Nadya hanya diam. Ia memperhatikan punggung istrinya, dan mengernyit melihat sampah di atas meja. Ia tidak akan meminta maaf untuk itu. Dia pria serta sibuk, dan menurutnya hal seperti itu biasa terjadi.
Nadya menghela napas, ia berbalik, meletakkan tangan di pinggang, menatap tepat di mata Bram. "Kenapa dia bisa berada disana?"
"Kami makan siang, dan memang hanya makan siang."
"Harus ya makannya berdua di ruanganmu?"
"...."
"Seberapa sering kalian berduaan seperti itu?"
"Ya ampun Nadya, aku pria beristri aku tidak selingkuh."
"AKU NGGAK PERCAYAAA," Jeritnya frustasi, sampai dadanya naik turun karena amarah.
"Kecilkan. Suaramu," Bram mengingatkan. "Aku tidak tuli."
"Suka-suka aku lah!! Mau menjerit, mau menangis, mau ketawa, sukaku!!!," Nadya membentak, luar biasa rasanya bisa mengeluarkan emosi. "Kamu melarangku menjerit di tempat umum, dan ini bukan tempat umum. Jadi kamu nggak bisa melarangku, Bram."
"Kalau begitu terserah, menjerit saja! Yang kuat, jangan tanggung-tanggung. Bila perlu sampai tetangga kita dengar."
Nadya semakin marah. ''Kita bercerai saja."
''Apa-apaan kau?? Jangan sembarangan mengatakan pisah hanya karena emosi dan cemburu, berapa usiamu?" Kali ini Bram membentak. "Aku tidak mau. Sudah kubilang yang tadi hanya makan siang. Renita datang membawa makanan. Kau ingin aku menyuruhnya keluar dengan membawa makanan yang sudah dia beli, kalau kau mau menjadi kekanakan jangan menyuruhku ikut sepertimu."
"Dia mantan pacarmu, Bram."
"Lalu?," suara Bram meninggi. Nadya meringis, kenapa sekarang jadi Bram yang marah, seharusnya dia yang marah bukan? "Apa kau pernah melihat aku menciumnya? memeluknya? Atau melakukan hal-hal tak senonoh dengannya? Coba kau bertanya pada orang kantor, apakah ada yang menggosipi kami berdua memiliki hubungan lebih. Kecemburuanmu benar-benar menggelikan. Dan itu," Bram menunjuk rambut Nadya dengan jarinya. "Kenapa kau memotong rambutmu dan mewarnainya seperti itu? Kau pikir kau cantik dengan rambut seperti itu?"
Nadya bengong dan terpaku. Keadaan benar-benar sudah terbalik.
''Kenapa kita malah membahas rambutku?"
"Karena aku tidak suka rambutmu yang sekarang."
"Ini rambutku, kalau aku suka dengan potongan yang seperti ini nggak ada yang bisa melarangku. Dan jangan mengganti topik pembicaraan!"
Bram memejamkan mata, dalam satu minggu Nadya sudab berubah menjadi pembangkang seperti ini. "Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Renita selain urusan kerja! Pembicaraan selesai. Aku akan menjemput Samuel."
"Tidak. Belum. Pembicaraan belum selesai." Nadya menghalangi Bram yang ingin pergi.
"Apa lagi Nadya?" Bram mengacak-acak rambutnya kesal.
"Kamu masih mencintai Renita?"
"Ya Tuhan----"
"Kalau kamu nggak menjawab lagi, aku bersumpah----"
''Aku. Tidak. Mencintai. Renita!!" Setiap kata diucapkan dengan penuh tekanan. "Kalau aku mencintai Renita, aku sudah meninggalkanmu."
"Dulu kamu mencintainya, kan?"
''Siapa bilang?"
"Jadi, tidak?" Nadya linglung.
"Aku tidak pernah mencintai Renita. Baik dulu maupun sekarang. Tapi seandainya benar dulu aku mencintainya, apa salahnya? Itu hanya 'dulu'."
Nadya menggigit bibir bawahnya, jemarinya saling memilin, dengan suara pelan ia bertanya. "Jadi...apakah kamu mencintaiku?"
Untuk sesaat Bram terdiam, menatap Nadya dengan banyak arti. Pria itu mendekat, mengikis jarak yang ada, ia menunduk pada Nadya kemudian berkata. "Untuk pertanyaan itu kau cari sendiri jawabannya."
"Lima tahun aku mencari tahu, sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya," gumam Nadya lirih.
"Kuharap Samuel dan adeknya nanti tidak seperti Mamanya.''
''Apa maksudmu?"
Namun Bram sudah mejauh, namun sebelum pria itu benar-benar pergi, Nadya sempat mendengar dia berkata 'bodoh'.
"Aku tidak bodoh!" Jeritnya kemudian.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro