prolog
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
***
Pertemuan terakhir itu seharusnya menyisakan sebuah kenangan indah. Namun, tidak untuk kedua sejoli yang yang diakhir kebersamaannya malah terlibat perang dingin. Saling berdiam diri, ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah, yang ada benang kusut itu malah semakin rumit, dan sulit untuk diluruskan.
Harus ada yang mengalah, tapi mereka terlalu egois. Sama-sama tidak merasa bersalah, hingga kata maaf pun tak bisa mendamaikan jiwa yang terlanjur resah.
Fadhil dengan segala keyakinannya, bahwa ia memang tak tahu apa-apa. Lalu Shila, sepertinya dia sudah enggan meladeni satu makhluk yang baginya terlalu menyebalkan itu.
"Sampai kapan?" Tanya seseorang yang setia berdiri di samping Fadhil.
Mata pria yang tak luput dari memerhatikan gadis di seberangnya beralih sekejap, demi melirik sang sahabat. "Entahlah, masih belum menemukan titik terang," jawabnya disusul embusan napas yang begitu berat.
"Sebenarnya semua udah jelas, lunya aja yang membuat keadaan semakin runyam."
"Gua harus gimana lagi, Mi? Gua udah berusaha untuk meraih dia, tapi dia sendiri yang memilih untuk menghindar."
"Segera bertindak, sebelum penyesalan itu datang."
Fadhil bergeming beberapa saat. Sekali lagi, ditatapnya gadis itu penuh arti. Hingga secuil keberanian muncul dalam dirinya untuk menghampiri tiga gadis yang tengah asyik berswa foto.
Tanpa permisi, Fadhil menarik paksa Shila agar menjauh dari kerumunan teman-temannya. Sebelum itu Fadhil sudah mendapat peringatan, baik dari Shila, maupun dari kedua kawannya. Namun, lelaki itu seolah tuli. Ia tak menghiraukan Shila yang terus saja meronta minta dilepas.
Yang ada dalam benaknya saat ini hanyalah kata maaf. Jika memang ia bersalah, mau tidak mau, dirinya harus bisa meminta maaf pada Shila. Sebaliknya, jika Shila yang keliru, maka gadis itu harus bisa meluruskan kesalah pahaman yang ada.
Sekarang, keduanya telah sampai di atas balkon aula sekolah. Dengan segenap rasa benci yang membumbung dalam hati, Shila menarik tangannya yang masih betah digenggam Fadhil.
"Dasar gila," umpatan pertama setelah sekian lama ia tak bertegur sapa dengan pria di hadapannya. "Maksudnya apa bersikap seperti itu?"
Arah pandang Fadhil lurus ke depan. Membiarkan Shila puas dulu dengan segala caciannya yang siap terlontar.
"Kamu pikir aku suka dengan segala tindakan kamu tadi? Kamu pikir aku senang tanganku digandeng oleh pria sepertimu? Kamu tau batasan antara lawan jenis yang bukan mahram, lalu kenapa kamu berani melakukan itu?"
Bukannya menjawab, Fadhil malah mengatakan sesuatu yang membuat dahi Shila berkerut. "Katakan, apa yang membuatmu berubah."
"Ma-maksudnya?" Shila langsung menunduk begitu Fadhil menoleh ke arahnya.
Kali ini, pria itu sudah menghadapkan tubuh sepenuhnya pada Shila. Lantas, kakinya mulai melangkah, mengikis jarak yang ada di antara dirinya dan Shila. Shila mundur. Ia tidak bisa berada terlalu dekat dengan lawan jenis. Lebih lagi, dia adalah pria yang selama ini telah membuat tatanan hidupnya hancur berantakan.
"Lihat aku, La."
Tetap diam. Shila malah semakin menundukkan wajah karena takut menatap sosok yang sekarang hanya berjarak kurang lebih 10 cm dari tempatnya berdiri.
"Sekali lagi aku bertanya, apa yang membuatmu berubah, Shila!"
Bentakan Fadhil berhasil membawa kepala Shila terangkat. Melalui lirikan matanya, Shila tahu bahwa sekarang, Fadhil tidak main-main. Sorot matanya yang tajam sudah berhasil melumpuhkan seluruh persendian dalam tubuh Shila.
"Bukan urusanmu aku mau berubah atau enggak." Hanya itu yang mampu Shila ucapkan, dan Fadhil geram atas perkataan Shila yang terlalu ambigu.
"Tentu ini jadi urusanku, karena aku temanmu. Aku berhak tau apa yang membuatmu menghindar akhir-akhir ini."
"Sekali lagi, ini bukan urusanmu. Terserah aku mau menghindar, menjauh, atau menghilang sekali pun. Karena bagiku itu akan jauh lebih baik dibanding harus dekat dengan teman sepertimu."
Tatapan Fadhil berubah nanar. "Apa kamu menyesal telah mengenalku?" Tanya Fadhil semakin lirih.
"Enggak, aku sama sekali gak menyesal. Aku hanya kecewa. Kecewa pada diri sendiri karena gak bisa menjaga hati. Kecewa karena terlalu berlebihan dalam menganggapmu yang hanya sebatas teman. Kecewa karena aku udah berani membuka celah yang dapat menghancurkan hidupku sendiri."
"Maksudmu?"
Shila melengos setelah melihat tatapan terluka dari Fadhil. Sungguh, ia tidak bisa ditatap seperti itu terlalu lama. Benteng yang sudah susah payah ia bangun bisa kembali ambruk jika Shila terus memaksa diri bertahan dalam situasi seperti sekarang.
"Sepanjang apa pun aku menjelaskan, kamu gak akan pernah paham. Lagi pula, untuk apa kamu menanyakan hal gak penting seperti ini? Kamu harusnya senang, karena semenjak aku menjauh dari kamu, gak ada lagi orang yang mengusik hidupmu. Jadi kamu bisa bebas berbaur dengan wanita mana pun."
"Apa kamu udah gak peduli lagi sama aku, Shila?"
Shila tersenyum miring. "Untuk apa aku peduli padamu? Kepedulian ku waktu itu juga malah mendatangkan luka." Fadhil tertunduk lesu. "Seandainya kamu tau berapa banyak kesakitan yang udah aku terima selama ini, mungkin kamu akan melakukan hal yang sama," imbuh Shila di tengah suaranya yang hampir tercekat.
"Makanya, kalau kamu mau aku mengerti, kamu jelaskan kenapa kamu bersikap seperti itu sama aku!"
"Aku gak berhak mengatakannya, karena ini semua salahku. Ya, aku yang salah." Sekuat tenaga, Shila menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.
"Shila, apa kamu akan mena-ngis?"
Shila menghindar tatkala Fadhil ingin kembali menggenggam tangannya. "Ini yang aku gak suka dari kamu, Dhil! Kamu menyamakan semua gadis yang kamu kenal. Kamu rayu mereka seolah mereka milikmu seutuhnya. Kamu beri perhatian pada mereka tanpa berpikir apa yang akan terjadi jika kamu terus bersikap seperti itu. Apa yang kamu berikan salah, apa yang aku terima juga salah. Kita salah, apa yang kita lakukan selama ini salah!"
Tak bisa dipungkiri, perasaan Shila sekarang benar-benar kacau. Sampai air mata pun turut keluar saking rumitnya hidup yang harus ia jalani di tengah-tengah masa remajanya.
"La, ka-kamu...."
"Udah, gak usah pedulikan aku. Aku udah bilang, dalam kasus ini aku yang salah. Salah menempatkan diri dalam kehidupanmu. Dan kamu, aku juga salah memposisikanmu. Kamu temanku, tapi aku malah menganggap kamu lebih dari sebatas teman satu kelas. Hingga akhirnya, harus aku yang kecewa. Dan semua itu ... adalah murni akibat kecerobohanku karena gak bisa menjaga anugerah yang telah Allah beri."
Hening. Kebisuan sempat menyapa dua insan itu. Fadhil masih berusaha mencerna setiap kalimat yang diucapkan Shila. Sementara Shila, sibuk menyeka air mata yang masih saja mengaliri pipinya tanpa permisi.
"Dari awal, seharusnya aku bisa menjaga hati ini. Sayang, karena terlalu senang, aku sampai lupa kalau sewaktu-waktu, apa yang aku takutkan bisa aja terjadi. Dan ternyata benar, semuanya terjadi. Udah terjadi, dan aku gak bisa berbuat apa-apa selain menyesali keadaan ini."
Menarik napas dalam, lalu diembuskannya perlahan. Sebelum mengakhiri pembicaraan, Shila sempatkan untuk memberi sedikit ruang agar dadanya tak begitu sesak.
"Aku tau kamu gak ngerti dengan ucapanku yang terus berbelit-belit, tapi menurutku itu jauh lebih baik. Setelah ini, silakan kamu berkelana. Kamu bebas mencari apa yang kamu mau. Setelah perpisahan nanti, kamu gak akan lagi menemukan Shila yang cerewet, Shila yang suka ngatur, Shila yang bisanya ngebully teman yang suka tidur di kelas seperti kamu. Gak akan. Kamu akan bebas sebebas-bebasnya. Dan aku, biarkan hidup dengan penyesalan ini. Semoga setelah ini, aku bisa menyembuhkan luka yang aku torehkan sendiri."
Usai berkata demikian, Shila memilih pergi tanpa mengucap salam. Meninggalkan Fadhil yang masih diliputi jutaan tanya dalam benak. Bersamaan dengan kepergian Shila, pergi pula harapan demi harapan yang Fadhil simpan sepenuhnya hanya untuk gadis itu.
Fadhil sudah tidak mampu lagi menahan Shila agar tetap berada di dekatnya. Air mata yang tak henti mengalir, seolah menjadi bukti kalau gadis itu memang merasa kesakitan, disebabkan perlakuannya selama ini.
Perlakuan apa, dan seperti apa?
Shila. Gadis itu sudah memberi efek lain untuk hidup Fadhil. Shila. Menjadi alasan Fadhil menata harinya selama ini. Sekarang, ia benar-benar kehilangan sosok yang selalu bertingkah absurd selama di kelas. Momen di mana ia menjadi bahan ceramahan Shila, tak akan pernah menyapa hidupnya lagi.
Shila Wardatul Azizah. Terima kasih untuk pelajaran yang kamu beri selama tiga tahun ini. Empat bulan terakhir, kamu berhasil menjauh dariku, dan aku merasa kehilangan sesuatu yang berharga. Kali ini, aku benar-benar akan kehilanganmu, dan aku tidak tahu bagaimana jalan hidupku setelahnya.
Satu yang ku harapkan darimu, tetap bahagia, meski luka itu masih bertakhta.
💞💞💞
2 Ramadhan 1441 H
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro