9. Satu Langkah Menuju Akad
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Ketika kau ragu pada satu ketetapan Tuhan, maka hanya kegelisahan yang akan kau dapatkan. Namun, di saat keyakinan itu datang, Tuhan buat kau bahagia tak berkesudahan.
***
Sebelum Zuhur, dua mobil sedan yang dikendarai Deri dan Pak Ferdi sudah sampai di rumah sang paman. Namun, kelihatannya rumah itu seperti tak berenghuni, sepi.
"Pada ke mana, ya?" Deri keluar dari mobil sambil memerhatikan sekitaran rumah.
"Mungkin mereka sedang tidak ada di rumah, apalagi ini kan hari selasa, pasti masih belum pada pulang." Pak Ferdi ikut berdiri di samping Deri.
Deri bergeming sesaat. "Mama sudah bilang pada mereka kan, kalau kita akan datang ke sini?" tanyanya saat melihat Bu Vera keluar dari mobil.
"Iya, semalam Mama sudah bilang, apa mungkin lupa ya? Coba deh kamu hubungi lagi, siapa tahu mereka memang lupa."
Deri mengambil ponsel yang dia simpan di atas dasboard mobil. Setelah mendial nomor salah satu keluarga yang tinggal di rumah itu, pangagilan pun terhubung. Usai mengakhiri panggilan, Deri kembali menyimpan ponselnya di tempat semula.
"Bagaimana Bang, mereka ada di mana, itu kenapa wajah kamu jadi murung gitu, mereka baik-baik saja, kan?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Bu Vera.
"Nenek masuk rumah sakit, Ma. Sekarang semua orang sedang ada di sana," jelas Deri, nada bicaranya berubah lemas.
"Astaghfirullah, ya sudah sebelum pergi ke rumah Shila, mumpung masih banyak waktu lebih baik kita jenguk dulu ibunya Fitri, Pa," usul Bu Vera yang diiyakan oleh Pak Ferdi. "Kamu tidak apa-apa kan Bang, kalau kita pergi dulu ke rumah sakit?"
Deri hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Bu Vera. Setelah masuk ke dalam mobil, Deri kembali melongokkan kepala dari jendela mobil. "Pa, Ma, sudah azan. Lebih baik sebelum ke rumah sakit kita mampir dulu ke masjid terdekat," ungkapnya sedikit berteriak.
Mendengar itu, Pak Ferdi cukup mengangkat jempol untuk menanggapi ucapan Deri. Mobil pun kembali meluncur, meninggalkan pekarangan rumah yang begitu luas dan asri.
💞💞💞
"Maaf ya Bang, gua juga sebenarnya mau ikut, tapi bagaimana lagi, mendadak tadi subuh penyakit Nenek kambuh, dan harus dirawat di sini." Fadhil hanya bisa pasrah saat keinginannya untuk ikut menemani Deri harus terhalang karena sang nenek yang sedang dirawat.
"Iya gak papa Dhil, gua juga ngerti kok."
"Iya Deri, Bibi juga minta maaf tidak bisa ikut. Bibi doakan saja semoga acaranya berjalan dengan lancar, ya," ujar Bu Fitri.
"Aamiin," jawab Deri dan kedua orang tuanya, kompak.
Deri menghampiri Nenek Khadijah--neneknya Fadhil--yang sedang terbaring lemah di ranjang pesakitan. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya sudah benar-benar renta, dan matanya terlihat sayu.
"Nek, doakan Deri ya, semoga Allah memberikan kelancaran untuk urusan Deri hari ini."
Sebisa mungkin Nenek Khadijah menyunggingkan senyum, tangannya ia ulurkan ke atas hanya untuk mengusap kepala Deri. Memang Deri bukan cucu kandungnya, namun Nenek Khadijah sangat menyayanginya, sama seperti ia menyayangi Fadhil, serta cucunya yang lain.
"Doa Nenek akan selalu menyertaimu, Nak. Doakan Fadhil juga ya, mudah-mudahan dia secepatnya menyusul kamu," ucap Nenek Khadijah seraya mengalihkan pandangan ke arah Fadhil yang terhalang oleh tubuh tegap Deri.
"Ya sudah Nek, kalau begitu Deri sama Mama dan Papa berangkat dulu ya," pamit Deri seraya meraih tangan Nenek Khadijah, lalu menciumnya takzim.
"Fit, Firman sudah pulang dari Surabaya?" Sebelum benar-benar pergi, Pak Ferdi menyempatkan diri untuk bertanya tentang Pak Firman terlebih dahulu.
"Sudah Mas. Dari satu minggu yang lalu dia sudah pulang. Kebetulan selama seminggu kemarin Fadhil juga sempat dirawat di sini."
Deri yang baru mendengar kabar tersebut agak terkejut. Sama halnya dengan Bu Vera dan Pak Ferdi.
"Innalillahi, lu sampai dirawat Dhil, kok gak ngabarin gua?"
"Bagaimana mau ngabarin kamu Der, kita semua di sini panik sampai gak sempat kasih kabar."
"Tapi keadaan kamu sekarang sudah membaik, kan?" Kali ini yang bertanya adalah Bu Vera.
"Alhamdulillah Tante, sudah agak mendingan."
"Syukurlah kalau begitu. Oh iya, terus Husna ke mana?"
"Dia masih di kampus, Mas."
Pak Ferdi terlihat mengangguk-anggukkan kepala. "Firman ma--"
"Sudah Pa jangan kebanyakan bertanya, ayo kita berangkat. Nanti bisa kesorean, soalnya jarak rumahnya agak jauh, nanti kalau telat bagaimana?" Sengaja Deri memotong ucapan sang ayah supaya ia berhenti bertanya.
"Wah ternyata Bang Deri udah gak kuat tuh," goda Fadhil hingga mengundang gelak tawa semua orang.
"Apaan sih Dhil, gak gitu juga kali." Walaupun malu, Deri tetap ikut tertawa. "Ya sudah, kami berangkat dulu. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullah."
Setelah Deri dan orang tuanya benar-benar keluar dari ruang rawat inap Nenek Khadijah, Bu Fitri langsung menghujani Fadhil dengan berbagai macam tanya.
"Dhil, kamu kapan nyusul abangmu?"
"Nyusul apa, Ma?"
"Ya, nyusul melamar gadislah, terus nyusul ke pelaminan."
"Nyari pasangannya dulu, baru nanti Fadhil bisa nyusul."
Bu Fitri menghela napas sebelum akhirnya ia kembali berujar, "Mama carikan ya, banyak teman Papa sama Mama yang punya anak gadis, mereka cantik-cantik lagi, baik, pokoknya kamu juga pasti akan suka."
Fadhil bergeming, benar-benar tak ada niatan untuk menyahuti ucapan Bu Fitri. Mendadak pikirannya kembali diingatkan pada pesan yang baru ia baca semalam.
"Dhil, kamu mau, ya?"
Fadhil kembali sadar dari lamunan. Matanya langsung melihat Nenek Khadijah yang sedang memerhatikannya.
"Nanti ya Ma, Fadhil belum siap. Lagi pula usia Fadhil kan baru 25 tahun, masih banyak hal yang belum Fadhil capai. Sementara Bang Deri, usianya sudah menginjak kepala tiga, sudah sepantasnya kalau Bang Deri segera menikah dan membina rumah tangga. Iya kan, Nek?" Fadhil mengalihkan pandangan ke arah Nenek Khadijah hanya untuk meminta persetujuannya.
Nenek Khadijah hanya tersenyum tanpa berucap sepatah kata pun. Sementara Bu Fitri tak menanggapi lagi ucapan Fadhil.
Sebenarnya Bu Fitri ingin Fadhil segera menikah supaya dirinya bisa segera mendapatkan cucu. Fadhil anak pertamanya, jadi dialah yang dituntut untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Terlebih lagi jika dilihat dari segi materi, Fadhil sudah bisa masuk dalam kategori siap menikah.
Tapi begitulah, walau semuanya sudah siap, Fadhil masih memiliki kendala dalam mendapatkan jodoh. Dirinya masih tertambat pada satu gadis yang sudah menawan hatinya bertahun-tahun. Sehingga ia sulit membuka hati pada gadis lain.
"Lagi pula tumben dari semenjak kamu kuliah sampai sekarang, Mama merasa kamu tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan satu wanita pun."
"Setelah lulus SMA Fadhil memang tidak pernah lagi berurusan sama yang namanya perempuan, Ma," tutur Fadhil begitu lemah sambil menatap kosong lawan bicaranya.
Bu Fitri bukan main terkejutnya. Berbagai pertanyaan mulai berseliweran dalam pikiran. Apakah anaknya itu sudah tidak normal? Padahal Bu Fitri sangat tahu bagaimana kelakuan Fadhil waktu masih SMA dulu. Dia, adalah laki-laki yang handal dalam memikat hati para gadis, persis seperti ayahnya dulu.
"Kamu masih normal kan, Dhil?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari mulut Bu Fitri.
"Astaghfirullah Ma, kenapa Mama bertanya seperti itu? Mama meragukan kenormalan Fadhil?"
"Bukan begitu, Mama cuma heran saja. Kenapa Fadhil yang dulu berbeda dengan Fadhil yang sekarang?"
Hening, belum ada sahutan dari Fadhil, hanya embusan napas berat yang terdengar berasal dari mulut Nenek Khadijah.
"Fadhil hanya tidak ingin bermain cinta sebelum waktunya, Ma. Sudah cukup Fadhil nakal sewaktu SMA, merayu gadis sana-sini. Sekarang Fadhil hanya ingin memperbaiki diri, menjaga hati hanya untuk jodoh Fadhil nanti. Fadhil juga sudah besar, Fadhil harus benar-benar mencari gadis yang siap untuk hidup bersama Fadhil dalam keadaan apa pun. Lagi pula, seorang lelaki tangguh itu adalah lelaki yang berani mengucapkan 'saya terima nikah dan kawinnya', bukan lelaki yang dengan mudahnya mempermainkan perasaan gadis, lalu mengungkapkan embel-embel cinta yang tidak ada buktinya," pungkas Fadhil dengan napas yang terdengar memburu.
Bu Fitri terharu mendengar ungkapan anak sulungnya. Ia sampai mau menitikkan air mata saking bahagianya. Sekarang anak kecilnya yang dulu, yang selalu manja itu telah bermetamorfosis menjadi sosok pemuda yang luar biasa.
"Mama jangan nangis," tahan Fadhil ketika air mata jatuh dari pelupuk mata Bu Fitri. Diusapnya air mata itu dengan sayang. "Fadhil janji Ma, kalau esok atau kapan pun itu, jika Allah telah menjawab doa-doa Fadhil agar segera dipertemukan dengan jodoh Fadhil, Fadhil tidak akan menundanya lagi, Fadhil akan langsung menikah. Mama doakan saja, semoga gadis yang menjadi jodoh Fadhil nanti adalah gadis terbaik yang Allah berikan untuk Fadhil."
Air mata keluar semakin deras, dengan cepat Fadhil segera membawa tubuh Bu Fitri ke dalam dekapannya.
Dan semoga saja, kamu jodoh terbaik itu. Shila, lanjut Fadhil dalam hati.
💞💞💞
Seluruh anggota keluarga Shila telah duduk lesehan di atas karpet. Deri dan kedua orang tuanya pun telah tiba beberapa menit yang lalu. Sungguh, Deri, Bu Vera dan Pak Ferdi merasa takjub saat seluruh anggota keluarga Shila menyambutnya dengan baik.
Apalagi saat pertama datang ke kediaman Shila, orang tua Deri mengira kalau yang berkumpul di rumah Shila adalah para tetangga yang ikut serta dalam acaranya. Namun, setelah sang pengatur waktu membuka acara, orang tua Deri langsung terperangah dibuatnya. Orang-orang yang berkumpul di rumah Shila adalah keluarga besar dari almarhum kedua kakeknya Shila.
Usai menggelar syukuran, akhirnya pengatur acara memberi wewenang sepenuhnya pada Deri untuk menyampaikan niatnya datang ke rumah Shila. Namun sebelum itu, terlebih dahulu Pak Ferdi yang membuka pembicaraan.
"Sebelumnya saya ingin meminta maaf pada semuanya, terutama pada para tetua yang hadir saat ini. Karena mungkin kedatangan kami kemari malah merepotkan tuan rumah yang menyambut kami dengan begitu baik dan ramah."
"Tidak merepotkan sama sekali Pak Ferdi, justru kami semua senang karena gubuk kami bisa kedatangan orang terhormat seperti keluarga Pak Ferdi. Apalagi lokasi rumah kami terdapat di kampung, sangat berbanding terbalik dengan rumah Pak Ferdi yang berada di kota besar seperti Jakarta," sela Pak Qomar sambil menjelaskan keadaannya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
"Justru saya merasa nyaman saat pertama kali menginjakkan kaki di sini. Tempat Pak Qomar dan keluarga tinggal, benar-benar menyuguhkan panorama yang tidak dapat ditolak lagi keindahannya. Saya sangat berterima kasih pada Pak Qomar dan keluarga karena mau menerima kami di sini."
Setelah bercuap-cuap dengan sedikit basa-basi, barulah Deri dapat berbicara. "Bismillahirrahmaanirrahiim, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Suara riuh orang-orang yang menjawab salam menggema di setiap sudut ruangan rumah Shila. "Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada pengatur waktu yang telah memberikan saya kesempatan untuk berbicara pada saat ini. Kepada seluruh keluarga besar juga saya sangat menghaturkan banyak terima kasih, karena telah berkenan menerima saya dan kedua orangtua saya." Deri terdiam sejenak. Berusaha mengumpulkan oksigen dalam paru-parunya yang mendadak raib. "Jadi maksud ... aaa--maksud saya..."
Bu Vera yang tahu dengan gelagat Deri, segera mengusap pelan punggungnya. Berharap dengan usapan itu, rasa gugup yang melanda Deri sedikit ternetralisir. Kembali Deri menarik napas dalam, dan menghembuskannya secara perlahan.
Sungguh diluar dugaan. Deri kira akan sangat mudah mengucapkan kata yang sudah ia rangkai jauh-jauh hari. Nyatanya ia malah seperti kehilangan kata. Semua kalimat yang sudah ada dalam benaknya, raib entah ke mana.
Tanpa Deri ketahui, Shila sedang menahan senyum melihat tingkah laku dosennya itu. Dia tidak menyangka, ternyata dosen yang terkenal sangar, pedas, dan tegas selama di kampus, bisa merasakan gugup juga jika dihadapkan dalam situsi seperti ini. Ah, dasar. Lucu juga sih, eh.
Setelah sedikit tenang, baru Deri kembali berkata, "jadi maksud kedatangan saya kemari, adalah untuk menagih janji Shila. Satu minggu yang lalu, saya sudah memberi waktu pada Shila untuk memikirkan tawaran saya, dan Shila pun meminta saya untuk menghapal beberapa surah dalam waktu satu minggu tersebut. Alhamdulillah, atas pertolongan Allah, setelah saya berusaha, akhirnya saya berhasil memenuhi syarat itu. Sekarang, saya ingin melamar anak dari Bapak Qomaruddin dan Ibu Ema Pratiwi untuk saya jadikan istri yang Insya Allah, Allah meridhoi niat ini."
Hening. Shila masih setia dalam diamnya. Hingga sebuah suara yang memanggil namanya, memaksa Shila untuk mendongak.
"Bagaimana Nak Shila, apakah lamaran Deri bisa diterima?"
Senyum manis terbit dari bibir ranum Shila saat matanya bertemu pandang dengan ayah dari sang dosen. "Mmm sebelum itu, boleh saya meminta Pak Deri untuk membacakan beberapa surah? Supaya semua orang yang ada di sini juga tahu bahwa Bapak memang telah berhasil memenuhi syarat saya."
Sebelum menyetujui, Deri, Pak Ferdi, dan Bu Vera berpandangan terlebih dahulu. "Baik, saya akan membacanya."
"Saya minta, tolong Pak Deri bacakan 5 ayat pertama surah Al-Baqarah, ayat qursi, serta 3 ayat terakhir dari surah Al-Baqarah ditambah satu surah yaitu surah Ar-Rahman. Silakan."
Kalau saat berbicara tadi Deri tidak memakai mikrofon, beda lagi dengan sekarang, si pembawa acara yang tak lain adalah adik dari ibunya Shila memberikan mikrofon ke arah Deri supaya surah yang akan ia baca dapat terdengar oleh semua orang yang hadir.
Ketika bibir Deri mulai melafalkan taawudz, suasana disulapnya menjadi hening. Semua terpana pada suara Deri yang Masya Allah merdunya. Tanpa dapat dicegah lagi, dada Shila mendadak terasa bergemuruh saat lantunan kalamullah keluar dari bibir kecil Deri.
Masya Allah, gak nyangka banget ternyata dia memiliki suara yang indah, pelafalan setiap huruf serta makhrajnya pun sangat apik. Tanpa Shila sadari, dirinya ikut terhanyut dalam setiap untaian kalam-Nya yang indah.
Akhirnya pembacaan surah telah selesai. Ada rasa kecewa menyelundup di hati Shila saat Deri mengakhiri bacaannya.
"jadi bagaimana, Shila?"
Shila sedikit terlonjak saat Bu Ema menepuk pelan pahanya. "Aaa--iya, bagaimana?"
"Shila, kenapa jadi balik bertanya, Deri tanya sama kamu jawabannya apa," bisik Bu Ema di telinga Shila.
Shila tersenyum kikuk saat semua pandangan mengarah padanya. Setelah menetralkan mimik wajahnya yang sempat terkejut, Shila berusaha menarik napas.
"Bismillahirrahmaanirrahiim, dengan menyebut asma Allah, dihari yang berbahagia ini, saya Shila Wardatul Azizah, akan menerima lamaran dari Pak Deri. Semoga dengan ini, Allah meridhoi apa yang akan kita rencanakan kedepannya, dan semoga Allah senantiasa memberi kelancaran untuk niat baik ini. Terima kasih karena telah memilih wanita yang penuh dengan kecacatan seperti saya."
Ucapan hamdalah kompak dirapalkan oleh mereka yang mendengar jawaban Shila. Deri sendiri masih terdiam sambil bibirnya terus menampilkan senyum bahagia. Syukur tak henti ia panjatkan, karena sebentar lagi cinta yang selama ini ia tahan, akan segera terealisasikan lewat jalan yang halal.
Setelah penyematan cincin di jari Shila dan Deri oleh Bu Vera, sang pengatur waktu pun menutup acara di sore itu. Usai acara makan-makan, sebagian anggota keluarga memilih pulang. Namun para tetua masih harus diam sebentar sekadar membahas tanggal yang cocok untuk penyelenggaraan pernikahan Shila dan Deri.
Akhirnya, semua sepakat bahwa pernikahan Shila akan dilangsungkan satu minggu setelah Shila wisuda. Itu artinya hanya tinggal 2 bulan lagi pernikahan akan diselenggarakan, dan kedua keluarga harus segera mempersiapkan segala perlengkapannya dari sekarang.
Semoga ini yang terbaik dari-Mu ya Allah, doa Shila disela-sela senyumnya yang masih terpahat manis diwajah bulatnya.
💞💞💞
21 Ramadhan 1441H
Masya Allah tabarakallah, kok udah lamaran aja ya?
Waduh berarti setelah ini harus siap-siap masuk ke konflik (sedikit bocoran).
Terus dukung kisah Shila dan Deri ya, (eh Shila dan Fadhil maksudnya,
eh siapa ajalah terserah yang baca enaknya mau sama siapa). Intinya jangan lupa tinggalkan jejak😊...
Jangan sungkan untuk mengingatkan jika terdapat kesalahan dalam cerita ini.
Oke, aku padamu😆
💙
💙
Semoga bermanfaat...
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro