Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Sebuah Firasat

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Hadirmu...
Seperti sebuah firasat yang memberi isyarat untuk tetap tinggal. Bisikan yang memberi arti untuk tetap bertahan. Namun, apa yang harus dipertahankan, jika selama ini hanya ada kebisuan yang semakin membuatku enggan,
untuk bertahan apalagi tetap tinggal.

***

Suasana hening semakin terasa saat waktu menunjuk pada angka 11 lewat 15 menit. Malam ini Bu Fitri tidak bisa tidur dengan tenang dikarenakan Fadhil yang masih belum sadarkan diri. Padahal sudah hampir dua belas jam Fadhil tidak sadarkan diri, tapi sampai sekarang masih belum ada tanda-tanda dia akan bangun.

Sesekali Bu Fitri menatap layar monitor yang menunjukkan grafik naik turun denyut jantung Fadhil. Pandangannya pun beralih pada jarum yang tertancap di tangan kiri anaknya. Embusan napas berat mulai dilakukan Bu Fitri. Kekhawatirannya semakin kentara kala ia mengingat kembali ucapan dokter yang menangani Fadhil.

Untuk sementara, dokter mendiagnosis Fadhil terkena gejala tifus. Setelah Fadhil sadar, pihak rumah sakit akan secepatnya melakukan tes darah untuk mengetahui bakteri apa yang menyebabkan Fadhil terkena gejala tifus.

Kembali, Bu Fitri menghela napas. Rasanya sedih jika harus melihat anaknya dirawat seperti ini. Hati ibu mana yang tidak sakit ketika melihat anak yang ia sayangi harus terbaring lemas di ranjang pesakitan. Pasti semua ibu menginginkan agar anaknya selalu dilimpahkan kesehatan. Bahkan mereka rela jika dirinya harus menggantikan kesakitan yang di derita si anak.

Tanpa beranjak sedikit pun, Bu Fitri tetap setia menemani Fadhil, berharap mata anak sulungnya segera terbuka. Dia juga sudah memberi tahu suaminya pasal Fadhil yang dirawat di rumah sakit. Husna sendiri, dia sudah tidur sejak satu jam yang lalu di sofa ruangan yang Fadhil tempati. Sementara Akmal--adik bungsu Fadhil--memilih untuk tetap di rumah bersama dengan neneknya.

"Shila ... Shila ... Shil ... La ..."

Bu Fitri yang sudah memejamkan mata terperanjat saat mendengar rintihan seperti orang kesakitan dari bibir Fadhil. Matanya masih tertutup, tapi Fadhil terus saja memanggil nama seseorang yang tidak Bu Fitri ketahui.

"Fadhil, sayang, bangun Nak." Bu Fitri mengusap lembut puncak kepala Fadhil. Buliran keringat mulai membasahi dahi dan pelipis Fadhil. "Husna, bangun sayang. Kakakmu mengigau."

Husna yang sedang pulas dalam tidurnya, seketika membuka mata.

"Shilaa .... Shila... Shh ... Shila .."

Dihampirinya sang ibu yang sudah terlihat panik. Dengan pelan, Husna menggoyang-goyangkan tubuh Fadhil agar sang kakak bisa membuka mata. "A, bangun, istighfar A."

Masih belum ada reaksi. Fadhil tetap meracau menyebut-nyebut nama tersebut. Dari raut wajahnya, Fadhil terlihat seperti orang ketakutan. Seluruh anggota tubuhnya bergerak tak tenang. Tetesan cairan bening mulai keluar dari sudut matanya yang tertutup.

"A, Ya Allah, bangun. Ada apa A, kenapa Aa terus memanggil nama itu, Aa kenapa nangis?" Rentetan pertanyaan diajukan Husna pada sang kakak.

"Shiii ... Shilaaa .. Tto .." Fadhil mulai bergumam tidak jelas.

"Husna, kamu jaga kakakmu sebentar, Mama mau panggil dokter dulu."

"Biar Husna saja, Ma, yang panggil dokter," cegahnya, dan langsung berlari keluar ruangan.

Menit berikutnya dokter masuk dengan satu perawat, dan langsung memeriksa kondisi Fadhil. Sementara Bu Fitri dan Husna memilih untuk menunggu di luar selama dokter memeriksa Fadhil.

"Sudah dua malam A Fadhil terus mengigau menyebut nama itu." Husna berkata lirih.

Bu Fitri yang sedari tadi mondar-mandir di depan ruang rawat Fadhil langsung ikut duduk di samping Husna. "Sudah dua malam?"

"Iya Ma, malam tadi A Fadhil juga mengigau seperti itu. Terus waktu Husna cek suhu tubuhnya, ternyata A Fadhil demam. Dan sekarang...." Ucapan Husna tak diteruskan. Ia malah memijat pelan pangkal hidungnya.

"Sebenarnya siapa Shila? Lantas ada hubungan apa Fadhil dengannya?"

"Entahlah Ma, Husna juga tidak tahu."

Keheningan kembali menyapa setelah ibu dan anak itu menyibukkan diri dengan pikirannya masing-masing. Tak lama, dokter yang memeriksa Fadhil keluar, dan mengatakan kalau kondisi Fadhil masih belum ada perkembangan. Hanya saja sekarang Fadhil sudah sadarkan diri.

"Masya Allah sayang, akhirnya kamu sadar juga. Ya Allah, Mama khawatir sekali sama kamu, Fadhil," ucap Bu Fitri setelah dokter memperkenankan nya masuk.

Lantas Bu Fitri memeluk erat tubuh Fadhil sampai Fadhil merasa sedikit tidak nyaman. "Ma, Fadh-dhil se-sak," ungkapnya tergagap dengan suara lemah.

"Eh iya maaf, saking senangnya, Mama sampai lupa kalau kamu sedang sakit. Haah, Ya Allah, Tadi kamu mimpi apa sampai mengigau segala, terus nangis lagi?"

Mendapat pertanyaan itu, Fadhil memilih diam. Matanya menatap sekitaran ruangan yang didominasi dengan cat berwarna putih. "Sejak kapan Fadhil di sini, Ma?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Sejak kamu pingsan. Jadi kamu tidak ingin bercerita tadi kamu mimpi apa?"

"Mmmm itu..."

Mengerti dengan kegelisahan yang tergambar di wajah Fadhil, Husna segera meraih gelas yang ada di atas nakas. "Minum, A." Fadhil menerima gelas itu dan meminum isinya sedikit. "Ma, biarkan A Fadhil istirahat dulu ya, A Fadhil kan baru saja siuman, masih harus banyak istirahat. Jadi jangan terlalu didesak untuk bercerita."

Akhirnya Bu Fitri menurut dan membiarkan Fadhil untuk kembali tidur. Husna juga meminta Bu Fitri agar istirahat, karena kini giliran dirinya yang menjaga Fadhil.

💞💞💞

Selepas subuh, Shila sudah keluar dari rumah. Kali ini ia ingin pergi ke suatu tempat yang bisa me-refresh otaknya supaya tidak suntuk. Keadaan masih gelap gulita, bahkan sang fajar sama sekali belum menampakkan semburat kemerahannya. Ketika itu rumput dan daun masih berembun, tatkala Shila menyusuri jalan setapak yang akan membawanya ke sebuah tempat.

Dengan menggunakan senter dari ponselnya, Shila pun sampai di sebuah saung yang berada tepat di tengah-tengah sawah. Saat ini dirinya benar-benar butuh ketenangan. Tak ingin memikirkan tugas, tak ingin memikirkan masalah hidup. Ia hanya ingin ketenangan.

Begitu membaringkan tubuh di saung tersebut, ketenangan mulai menghampiri Shila. Bersama dengan embusan angin di pagi hari yang masih terasa sejuk, Shila  melantunkan ayat demi ayat yang membuatnya semakin merasa tenang.

"Kenapa gak bilang-bilang kalau mau ke sini?"

Bulu kuduk Shila meremang saat telinganya tiba-tiba menangkap suara yang sedikit menyeramkan. Perlahan, ia membuka mata, dan langsung menengok ke arah samping.

Shila kembali menutup matanya. Kini, dadanya terlihat kembang kempis karena terus menarik napas lalu mengembuskannya dari mulut. Aura tidak beres saat melihat makhluk yang ikut berbaring di sampingnya mulai tercium. Ah, niat hati ingin mencari ketenangan, tapi makhluk itu malah membuat Shila keki sendiri.

"Kenapa sih kamu ke sini?" Baru juga berbicara, tapi suara Shila sudah naik satu oktaf.

"Bebas dong, emangnya gak boleh ya?"

"Bukannya gak boleh, tapi situasinya gak tepat. Kamu jangan ngintilin mulu deh."

"Yaaa gimana ya, aku tuh udah nyaman banget sama kamu. Jadi sebentar saja kamu pergi, rasa rindu dalam hatiku semakin melambung tinggi."

"Ihh geli banget. Lagian juga kamu tau dari mana kalau Teteh di sini? Gak bisa apa jauh sebentar aja."

Reva menghamburkan tawa. Ucapannya barusan memang terdengar geli. Setelah tawanya reda, Reva mulai mengeluarkan protesnya. "Teh Shila jahat, main ninggalin aku gitu aja. Udah tau dari tadi aku ngintilin Teteh, eh malah gak peka. Mana di jalan gelap banget lagi, untung aku gak sampai nyusruk ke sawah. Itu juga, kenapa sih Pak lurah gak masang lampu di persimpangan jalan menuju ke sini, kalau ada lampu kan enak jadi terang. Teteh juga, kenapa jam segini udah pergi ke sawah, mau nyari jangkrik?"

Tuh kan apa Shila bilang. Kalau sudah ada Reva, ketenangan yang didambakannya tidak akan bisa ia dapatkan. Baru datang saja ucapannya sudah nyasar ke mana-mana, mana pakai acara bawa-bawa Pak lurah segala.

"Eh, bukannya Pak Lurah itu Papa kamu, kenapa gak bilang aja?"

Reva cengengesan sambil menggaruk bagian kepalanya yang gatal. "Iya juga ya, kok aku bisa lupa sih kalau yang jadi Pak Lurahnya Papa aku."

"Huh dasar pikun."

"Gak papalah, pikun-pikun gini juga tetap cantik."

Shila bertingkah seolah ingin memuntahkan sesuatu. "Cantik juga gak ada gunanya kalau pikun mah."

"Teteh, semalam mimpi apa?" Tiba-tiba saja Reva bertanya, tanpa menimpali ucapan Shila sebelumnya.

"Mimpi? Kenapa emangnya?"

"Enggak, pengen tau aja. Soalnya semalam Teteh sampai ngigau, nyadar gak?"

"Oh ya? Gimana ngigaunya?" Shila bangun dari posisi berbaringnya, dan mulai fokus menatap Reva.

"Gak tau, ngigaunya gak jelas."

Bergeming sesaat, lantas Shila mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arah timur. Semburat kemerahan yang tadi menguasai angkasa mulai hilang, tergantikan oleh sinaran lembut dari sang mentari. Bersamaan dengan itu, mimik wajah Shila berubah sendu kala mimpi semalam yang menghampirinya, melintas lagi dalam benak.

"Semalam dia datang, Re." Cukup mengatakan itu saja, Reva sudah paham siapa yang dimaksud 'dia' oleh Shila. "Tapi teteh gak paham kenapa dia bisa datang dengan raut wajah yang begitu menyedihkan. Dia terlihat seperti orang yang sedang menahan sakit, saat Teteh tanya, dia gak jawab. Hanya diam, dengan bibir pucat pasi. Aneh gak sih? Padahal semalam Teteh gak ada kepikiran dia loh, Re. Tapi tiba-tiba aja, selepas Teteh salat istikharah, yang Teteh harapkan adalah sebuah jawaban dari segala kebingungan Teteh, eh yang datang malah dia."

Reva menarik napas, dan mengembuskannya pelan. "Gak usah terlalu dipikirin Teh, itu kan cuma mimpi."

"Iya Teteh tau, tapi mimpi semalam itu rasanya seperti nyata, Re. Teteh takut terjadi sesuatu sama dia."

Hening, Shila memilih untuk kembali diam. Menutup mata sebentar, demi menikmati semilir angin yang menerpa kulit wajahnya.

"Terus kalau misalnya suatu hal buruk terjadi sama dia, Teteh mau apa?"

"Teteh belum sempat minta maaf ke dia, selama ini ... hidup Teteh selalu dibuat gelisah hanya karena kesalahan di masa lalu. Kalau misalnya apa yang kamu katakan itu benar terjadi, Teteh akan sangat merasa bersalah, Re."

Serius. Kali ini keduanya terlibat dalam obrolan yang sangat serius. Bahkan sikap humoris Reva seolah lenyap saat dihadapkan pada masalah sang sepupu. Bukan hanya Shila saja yang bingung, dirinya juga ikut bingung.

"Sebenarnya kalian ada masalah apa sih, kok rasa takut Teteh sampai segitunya?"

"Yah, masalah antara sesama teman. Kamu juga taulah bagaimana sikap Teteh dulu ke dia, bisa dikatakan kurang baik. Bahkan gak pernah baik." Sesaat, pandangan Shila beralih pada Reva yang tengah menatap kosong ke arahnya. "Tiap hari, selalu ada aja kelakuan dia yang membuat Teteh naik darah, sampai setiap saat Teteh harus marah-marah ke dia. Sayang, rayuannya yang terlalu manis itu, malah membuat Teteh lupa, dan salah menempatkan diri. Kamu juga pasti masih ingat dengan semua curahan hati Teteh selama masih sekolah dulu."

Iya, dia ingat. Namun, Reva tidak tahu mengenai masalah yang ada di antara kakak dan temannya itu.

"Teteh suka sama dia, Re. Ya, Teteh udah terlalu jauh berharap padanya. Hingga pada akhirnya, Teteh kecewa. Dan di sanalah, Teteh sadar kalau apa yang Teteh lakukan itu salah. Teteh pun memutuskan menjauh, tapi ternyata ... hal itu malah menimbulkan masalah baru di tengah-tengah masalah yang belum usai." Tarikan napas yang dilakukan Shila mulai terdengar berat. "Sebelum berpisah dengannya, dia sempat menemui Teteh, bertanya mengenai masalah sebelumnya. Berhubung saat itu Teteh lagi kesal, terjadilah perdebatan di antara kita. Sampai Teteh harus mengatakan sesuatu yang gak seharusnya Teteh katakan. Tentang perasaan itu, Teteh bilang sama dia, Re."

"Hah, jadi...." Reva memasang raut terkejut. "Teteh pernah  bilang ke A Fadhil kalau Teteh suka sama dia?"

"Iya, tapi semuanya Teteh katakan secara tersirat. Teteh gak menjelaskan maksud yang sebenarnya, dan sepertinya dia juga gak ngerti waktu itu Teteh ngomong apa."

"Kalau seandainya A Fadhil ngerti, gimana?" Tanya Reva setelah terdiam cukup lama.

Shila mengangkat kedua bahu, tanda kalau ia juga tidak tahu. "Paling nanti Teteh yang akan malu kalau misalkan kita ditakdirkan untuk bertemu lagi."

Reva mengangguk beberapa kali. "Terus sekarang gimana?"

"Teteh juga gak tau, Re. Teteh bingung gimana caranya supaya semua ini bisa segera berakhir." Wajah Shila mulai ia sembunyikan di kedua tangan. "Selama enam tahun, kita gak pernah ketemu. Di sosial media pun kita gak pernah saling sapa. Seolah enggan, dan takut jika harus kembali mengenang masa lalu. Bahkan Teteh ragu, apakah dia masih ingat Teteh, atau enggak."

Merasa iba, Reva pun merangkul bahu sang kakak. "Gak mungkin dia lupa gitu aja sama orang cerewet seperti Teteh." Mendengar penuturan Reva, Shila lekas mengangkat wajah, dan menatap sendu padanya. "Meski terpaksa lupa, sedikitnya dia tetap harus ingat bagaimana masa kalian ketika masih berteman dulu. Seperti halnya Teteh yang menganggap dia pernah jadi bagian dari masa lalu, dia pun harus begitu."

"Jadi sekarang apa yang harus Teteh perbuat, Re?"

Ulasan senyum mulai terpahat di bibir ranum Reva. "Harus ada yang memulai lebih dulu. Mulai sekarang, lupakan sejenak hal-hal buruk Teteh tentang dia. Turunkan ego dan gengsi, lalu mulailah untuk kembali menyambung tali yang sempat terputus. Minta maaf, Teh, tanyakan bagaimana kabarnya dan keluarga saat ini." Setelah mengatakan itu, Reva bangkit, dan berjalan hendak pulang.

Di tengah kehangatan yang menjalari setiap tubuhnya karena terpaan sinar mentari, Shila mendesah. Setelah meraup oksigen lumayan banyak, ia pun ikut beranjak. Meninggalkan saung yang semakin terang, dan berlari menyusul Reva yang sudah agak jauh berada di depan.

Berjalan di antara hamparan sawah merupakan favorit Shila sedari dulu. Sungguh suatu nikmat yang tak bisa ditolak lagi kehadirannya. Apalagi jika melihat embun perlahan menguap ketika sang mentari menampakkan sinarnya.

Pagi ini, harus menjadi pagi yang indah untuk Shila. Setidaknya, hal yang ia niatkan sejak tadi, harus terealisasi. Meski sebenarnya ketakutan itu lebih menguasai, Shila harus mampu memerangi.

Sehangat cahaya mentari di pagi hari, yang mampu membakar semangat jiwa sang pemimpi. Semoga aku dapat merekatkan tali, yang sempat terputus karena keegoisan diri.

💞💞💞

18 Ramadhan 1441H

Vote dan komennya jangan lupa ya...

Share ke teman-teman juga boleh, biar cerita ini gak cuma kalian aja yang menikmati.

Jangan lupa Al Qur'an nya juga dibaca😉 biar dapat banyak pahala.

Terima kasih untuk kalian yang sudah mampir.

Salam cinta

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro