Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Free It

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Beri sedikit waktu pada hatimu untuk beristirahat sejenak. Hilangkanlah segala kemelut yang dapat mengusik benak. Hari ini, milikmu. Sementara esok, masih menjadi bayangan semu.

***

Perasaan lega Shila rasakan ketika ia bisa terbebas dari cengkeraman mamanya Najma. Sekujur tubuhnya yang sudah terasa lengket karena belum terguyur air sedari pagi, membuat Shila tak bisa berlama-lama di rumah temannya itu.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya Shila bisa sampai rumah dengan selamat.

"Mobil siapa itu, sepertinya aku pernah lihat? Tapi di mana ya?" Shila bermonolog saat melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah Reva.

Demi menjawab pertanyaannya, segera saja Shila memasuki halaman rumah. Setelah berada tepat di depan rumahnya, Shila mematung. Motor matic yang ia bawa tak langsung dimasukkan ke dalam, tatkala melihat sepatu yang ia hapal tergeletak di teras rumahnya.

Apa jangan-jangan....

Belum tuntas Shila berpikir, Reva sudah datang dengan segala tingkah rempongnya, dan langsung bertutur panjang lebar.

"Teh Shilaaaa! Aduh, dari mana aja sih ngampus kok lama banget, kayak orang lagi munggah haji aja. Ayo Teh cepetan masuk, semua orang udah pada nungguin Teteh di dalam. Ditelepon dari tadi juga kenapa gak ada yang diangkat sih. Sampai lumutan nih aku nungguin Teteh."

"Tunggu, tunggu, Re. Bisa gak sih kamu ngomongnya pelan-pelan aja, jelaskan apa maksudnya. Jangan nyerocos terus seperti beo."

"Udah, jelasinnya nanti aja, di dalam udah ada yang menunggu."

Reva menarik paksa tangan Shila sampai ia terseret-seret. Saat Shila berhasil menyamakan langkahnya dengan Reva, dan masuk ke ruang tamu, dia langsung menghentikan langkah kaki begitu matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.

Seketika, tubuh Shila terkunci. Bahkan kakinya pun seperti terpaku ke dasar bumi. Embusan napasnya mendadak berat. Ternyata dugaannya benar, dia yang datang.

Ucapan pria itu tak main-main. Baru kemarin Shila terkejut dengan keputusannya yang tiba-tiba. Sekarang ia semakin dibuat terkejut atas keberanian orang yang kini tengah menatapnya.

"Assalamu'alaikum, Shila."

Belum ada jawaban salam dari Shila. Ia malah membiarkan salam Deri tak bersambut. Lidahnya terlalu kelu hanya untuk mengucapkan satu huruf saja. Bahkan wajahnya saat ini sangat menunjukkan kecemasan yang luar biasa.

Sekarang apa? Ingin memintanya langsung pada orang tua Shila? Silakan, ia tidak keberatan. Bahkan Shila sangat ingin melihat, seberapa hebat kemampuan orang itu dalam berakting di hadapan keluarganya. Bagaimana cara dia meyakinkan Shila agar mau menerima pinangannya.

"Shila, jawab salamnya, Nak." Suara Pak Qomar menyadarkan Shila.

"W-wa-wa'alaikumsalam."

"Sini duduk," ajak Bu Ema.

Setelah Bu Ema membawa Shila duduk di sampingnya, Shila langsung menatap orang yang ada di sana satu persatu. Ayah dan ibu, kakaknya--Intan, kedua paman dan bibinya, termasuk adik sepupunya--Reva. Mereka terlihat bahagia karena bisa kedatangan pria yang berniat ingin melamarnya.

Haruskah aku menghancurkan kebahagiaan mereka oleh keegoisanku? Haruskah aku meredam segala rasa tidak sukaku terhadapnya? Seandainya bukan dia, aku ingin. Tapi ini ... sungguh, aku tidak bisa hidup berdampingan dengan orang yang sudah berkali-kali menumpahkan air mataku.

Kepala yang sedari tadi Shila tundukkan, ia angkat hanya untuk melihat orang yang sekarang sudah ada di hadapannya. Tak sengaja, mata keduanya bertemu dalam satu garis lurus, membuat Deri tersenyum saat itu juga.

Shila melengos, tak membalas senyum Deri. Untuk ke sekian kalinya ia merasa muak pada orang seperti Deri. Tampak manis di depan, padahal entahlah kalau di belakang.

"Nak Deri sudah menyampaikan niatnya datang kemari, Shila." Pak Qomar memulai percakapan. "Dan Bapak sangat terkejut saat tahu kalau dia adalah dosen kamu di kampus." Meski enggan, Shila berusaha mengulas senyum. Demi Bapak, batinnya. "Memang ini terlalu cepat, bahkan kami sekeluarga juga sama sekali belum mengenal Nak Deri. Tapi mungkin kamu lebih tahu bagaimana kepribadian Deri, baik tidaknya dia menurut pandanganmu."

Setelah bergeming cukup lama, akhirnya Shila mampu buka suara. "Pak, apakah ... Shila harus menjawabnya sekarang?"

"Tidak Nak, kamu tidak perlu terburu-buru. Pikirkan lagi, dan mintalah petunjuk Allah. Agar Dia mempermudah setiap langkahmu. Tapi jangan terlalu lama juga, sebab Nak Deri perlu jawaban secepatnya."

Ucapan Pak Qomar yang terdengar lembut, membuat hati Shila terenyuh. "Berapa hari saya harus berpikir, Pak?" Pertanyaan itu diajukan Shila untuk Deri.

Deri tak langsung menjawab. Ia tampak menimang berapa lama waktu yang akan dia berikan agar Shila mampu memikirkan tawarannya secara matang.

"Satu Minggu," ujarnya setelah yakin.

"Baik, saya akan memikirkan tawaran Bapak dalam waktu satu minggu. Sementara saya berpikir, saya akan mengajukan beberapa syarat untuk Bapak."

"Syarat apa, Nak?" Bu Ema tampak bingung.

Shila hanya melihat sekilas sang ibu, dan memilih fokus pada kalimat yang akan diucapkannya. "Syaratnya mudah. Saya hanya akan meminta Bapak untuk menghapalkan surah Al-Baqarah, surah Ar-Rahman, Al-Waqi'ah serta Al-Mulk. Dalam waktu satu minggu."

Semua orang saling berpandangan. Termasuk Pak Qomar dan Bu Ema, yang kini tengah memberi tatapan tajam pada Shila.

"Saya harus menghapalnya dalam jangka waktu satu minggu?" tanya Deri memastikan ucapan Shila.

Shila mengangguk sembari tersenyum congkak. " Iya, apa Bapak keberatan? Semoga saja tidak ya. Karena saya yakin, Bapak pasti dapat menghapalnya, Bapak kan orangnya pandai."

Deru napas Deri terdengar tak beraturan. "Bagaimana jika saya tidak mampu menghapalnya?"

"Itu artinya, saya tidak bisa menerima lamaran Bapak."

"Shila...."

"Biarkan Shila yang memutuskan, Pak." Terpaksa, Shila memotong perkataan sang ayah. "Shila sudah dewasa, Shila tahu mana yang terbaik untuk Shila," imbuhnya sembari menatap Pak Qomar dengan penuh pengharapan. "Bagaimana, Pak, apakah Bapak sanggup?"

Setelah berpikir cukup lama, Deri mengangguk. "Insya Allah, saya sanggup," ucapnya dengan mantap, dan tegas.

Sungguh di luar dugaan. Shila kira Deri tidak akan menyetujui syaratnya. Tapi, dengan sikap percaya dirinya, ia telah berhasil membuat Shila diam tak berkutik. Anggota keluarga yang menyaksikan pun, dapat mengembuskan napas lega.

Silakan, jika mampu menghapalnya dalam waktu satu minggu, Anda hebat, Bapak Deri Bambang Khairuman, batin Shila meremehkan.

Jika sudah begitu, Shila lupa akan kedudukan Deri, yang merupakan dosen pembimbingnya. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi, ini di luar kampus. Jika Deri saja bisa berlaku kejam pada Shila saat berada di kampus, Shila pun bisa berlaku demikian ketika Deri ingin masuk ke ranah pribadinya.

Hukum timbal balik, mas bro!

Kejam! Biarlah semua orang berkata apa tentang Shila. Hal yang harus selalu diingat adalah Shila memang kejam, bahkan dari dirinya masih duduk di bangku SMA dulu, terlebih pada kaum adam. Mungkin, sikapnya yang satu itu akan terlihat menonjol jika hatinya tengah terusik seperti sekarang.

💞💞💞

Tak ada yang lebih menyenangkan selain duduk di beranda rumah, ditemani susu jahe kesukaan. Malam ini Shila berniat untuk menyelesaikan tugas akhirnya sebelum ia benar-benar dihadapkan pada masalah yang lebih serius.

Entah sudah berapa lama dirinya duduk di sana--menghadap layar laptop yang sedang menampilkan bagian akhir dari tugasnya. Yang jelas, sekarang matanya sudah terasa perih. Punggungnya juga seperti ditindih bebatuan yang membuatnya pegal.

"Ciee, yang baru kedatangan tamu spesial, gimana nih perasaannya?"

Tanpa Shila sadari, Reva telah duduk menyender di punggungnya. Pantas saja punggung Shila semakin terasa berat, rupanya ada makhluk lain yang menempel di sana.

"Teh, aku gak nyangka, kok di kampus Teteh ada sih spesies seperti Mas Deri?"

Shila langsung menyingkir saat mendengar panggilan Reva untuk Deri. Reva yang tengah santai bersender pun langsung terjengkang. "Innalillahi, si Teteh reuwas ih, teu bisa cicing (si Teteh kaget ih, gak bisa diam)."

Tanpa mengindahkan protesan Reva, Shila bertanya, "kamu tadi panggil dia apa?"

"Mas Deri."

"Mas Deri?" Shila langsung tertawa terbahak-bahak. "Ups, maaf. Gak salah, kamu panggil dia pakai embel-embel 'Mas'?"

"Emangnya kenapa?"

"Haah, aduh Reva, Reva. Dia itu asal Jakarta, kalau dipanggil Abang sih masih nyambung, tapi kalau Mas..." Shila kembali menghamburkan tawa, sampai air di ujung matanya mulai bermunculan.

"Ya nyambung atuh Teh, orang Mas Deri masih ada keturunan jawanya."

Shila berusaha menghentikan tawanya. "Kata siapa?"

"Dia sendiri yang bilang waktu Teteh belum datang. Jadi yang asli orang Jakarta itu cuma Papanya doang, kalau Mamanya mah asli dari Surabaya. Makanya dia mau aku memanggilnya 'Mas', katanya sih biar lebih akrab." Tanpa diminta, Reva menjelaskan asal-usul kenapa ia memanggil Deri dengan sebutan yang membuat Shila geli. "Oh iya Teh, katanya Mas Deri itu dospem Teteh ya?"

"Hmmm."

"Waaaahh, bagus dong, berarti Teteh bisa dapat nilai plus dari dia, terus tugas skripsi Teteh bisa langsung di acc deh, secara kan bentar lagi Teteh akan jadi tunangannya."

Shila mencebikkan bibirnya. Dengan tangan yang tak berhenti menari di atas keyboard laptop, Shila terus komat-kamit menirukan gaya bicara Reva. "Profesional, Reva. Dia gak akan pernah seperti itu. Walaupun Teteh ini adalah istrinya, sepertinya apa yang kamu katakan tadi gak berlaku bagi dosen galak macam singa itu."

"Masa sih?"

"Gak percaya? Kalau kamu gak percaya, kamu bisa lihat ini." Shila menyodorkan kertas lusuh berisi karangan skripsinya kepada Reva.

"Apa ini?"

"Itu skripsi Teteh yang gagal. Dengan teganya, singa garang itu mencoret-coret semua isi yang ada di kertas. Dia memang begitu, sukanya coret-coret tugas orang. Benar-benar gak menghargai hasil kerja keras orang lain. Dia gak tau bagaimana lelahnya Teteh menyelesaikan semua itu, sampai Teteh rela gak tidur semalaman. Capek-capek bikin, eh dia malah main coret aja. Kesal gak? Terus kalau lagi bimbingan, dia gak pernah menunjukkan sikap ramahnya sama sekali. Tiap kali ketemu, belum pernah mata Teteh kering, selalu aja basah karena nangis mendengar segala caciannya."

Reva tak menyela ucapan Shila. Ia masih berusaha mencerna semua informasi yang diberikan kakaknya tentang Deri. Semua terlalu rumit, apa yang dikatakan kakaknya, tidak selaras dengan keadaan Deri yang menurutnya teramat baik.

"Terus di kampus, dia dikenal sebagai dosen tergalak di fakultas. Udah galak, gak pernah senyum, tiap ngomong yang keluar cabe semua, pokoknya, kalau berhadapan sama dia, dijamin bisa mati berdiri."

Mendengar Shila yang tidak berhenti mengumpat dosennya, Reva hanya memasang wajah melas. Sungguh, ia bingung bagaimana menanggapi perkataan Shila.

"Re, kamu kenapa jadi bengong sih?"

"Habisnya aku bingung mau ngomong apa. Masih syok setelah dengar cerita Teteh tentang Mas Deri." Reva membaringkan tubuhnya, dengan tangan menyangga kepala. "Emang Mas Deri segalak itu ya?"

"Begitulah."

"Tapi pas tadi siang dia keliatan baik banget Teh, beneran."

"Jangan menilai seseorang dari luarnya aja. Terkadang, cangkang yang bagus, gak menjamin kalau isinya juga bagus."

"Kamu seharusnya juga begitu, Shila." Refleks, Shila menengok ke belakang tatkala suara Intan menyela ucapannya. "Dari tadi kamu asyik banget menyebutkan setiap kekurangan yang Deri punya. Sekarang, coba kamu sebutkan kebaikan yang udah dilakukan Deri untuk kamu."

"Gak ada," jawab Shila tegas.

"Pasti ada, hanya karena hati kamu udah diliputi rasa benci, kamu sampai gak bisa lihat kebaikan apa yang udah dia lakukan untuk kamu." Secara perlahan, Intan berusaha menyentuh hati Shila.

"Tapi dia emang gak pernah berbuat baik sama aku, Teh. Dia gak pantas disebut baik, karena setiap waktu dia selalu menyakiti perasaan aku. Yang lebih parah lagi, dia gak pernah minta maaf, dan gak pernah menyadari kesalahannya. Makanya, saat dia bilang mau lamar aku, aku gak percaya. Karena aku rasa dia gak pernah suka sama aku. Sekarang coba Teteh bayangkan, ada gak sih orang yang udah berani menghina, tiba-tiba malah ingin mempersunting? Gak ada orang segila itu kecuali Pak Deri. Emangnya dosen mana sih yang suka sama mahasiswa bodoh seperti aku, gak ada, kan? Lagi pula aku itu bukan benci sama dia, aku hanya kesal aja sama sikap egoisnya yang gak ada ujungnya."

Menghela napas, sebelum Intan berujar. "Deri udah menunjukkan sikap kurang baiknya ke kamu, tapi dia masih ingin menjadikan kamu istrinya. Di sini, kamu bisa ambil kesimpulan, mungkin dia ingin kamu menjadi orang yang bisa mengubah tabiat buruknya. Karena dia percaya, hanya kamu satu-satunya orang yang dia pandang bisa melalukan itu."

"Tapi aku gak minat, Teh, dan aku gak akan pernah mau berhadapan terlalu lama dengan lelaki egois itu. Setampan apa pun dia, sepintar apa pun dia, dan sekaya apa pun dia, kalau gak bisa menghargai perasaan wanita, untuk apa?"

Intai mulai geram menghadapi sikap adiknya yang terlalu keras kepala. "Kalau begitu ... kenapa kamu gak tolak lamarannya aja langsung, supaya masalahnya cepat selesai?"

"Awalnya aku mau melakukan itu, tapi setelah melihat Bapak dan Ibu, aku gak tega. Mereka udah pengen banget melihat aku menikah secepatnya. Sekarang, setelah ada seseorang yang serius, masa harus aku anggurkan?"

"Itu artinya, kamu akan tetap menerima lamarannya meski dia gak bisa memenuhi syarat yang kamu ajukan?"

"Enggak. Bahkan jika dia mampu menghapalnya pun, aku belum tentu akan menerimanya."

Intan dan Reva saling berpandangan. "Kenapa begitu?" Tanya Intan selanjutnya.

"Aku takut kecewa lagi."

Penuturan Shila barusan berhasil membungkam Intan. Begitu kejadian demi kejadian melintas dalam benaknya, Intan turut merasakan kesedihan yang dirasakan sang adik.

"Teteh takut gagal nikah lagi ya?" Reva bertanya setelah keheningan menyapa.

Tatapan Shila berubah sendu. "Kamu bayangkan aja, Re, berapa kali Teteh harus mengalami ujian yang sama? Berapa orang laki-laki yang udah datang silih berganti dalam kehidupan Teteh? Delapan, sembilan, sepuluh, atau bahkan lebih? Tapi gak ada yang berhasil membawa Teteh pada hari sakral itu. Semua harus putus di tengah jalan." Setelah membuang napas, Shila langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku takut, bingung, bahkan kecewa pada diriku sendiri karena belum bisa mewujudkan keinginan Bapak sama Ibu. Kadang aku suka berpikir, apakah ini bentuk teguran Allah karena dulu aku pernah menolak pinangan seseorang?"

"Jangan pernah kamu kait-kaitkan ujian itu dengan masa lalu, Shila." Intan berusaha memberi pengertian pada Shila ketika ia mulai kehilangan arah. "Semua yang telah kamu lewati selama ini, itu gak lepas dari takdir Allah yang digariskan-Nya untukmu. Bebaskan. Jangan pernah kamu berpikir sedikit pun kalau ujian itu disebabkan perbuatan kamu di masa lalu. Hak kita mau menolak sesuatu yang tidak kita sukai, selama penolakan yang kita lakukan tidak menyinggung pihak mana pun."

Shila mengangkat wajah yang sempat ia sembunyikan. Lantas, menatap lekat ke dalam bola mata Intan, mencari ketulusan. Setelah agak lama, Shila langsung menghambur dalam pelukan sang kakak.

"Bebaskan, Shila. Segala hal yang kamu lalui, jangan pernah kamu jadikan beban." Dengan sayang, Intan mengusap puncak kepala Shila yang tak terbalut hijab. "Mungkin belum saatnya saja keinginanmu terwujud. Allah masih ingin melihat kamu berusaha, berdoa, dan bertawakal kepada-Nya. Nanti, kalau waktunya benar-benar udah tepat, pasti Allah akan kabulkan semua itu, tanpa kita duga-duga sebelumnya."

"Benar, Teh." Reva ikut menyela. "Sekarang, Teteh banyak-banyak doa aja, semoga orang yang datang kali ini benar-benar orang yang akan menetap. Menemani perjalanan hidup Teteh selanjutnya. Iya kan, Teh Intan?"

Intan mengangguk, hanya untuk membenarkan perkataan Reva. "Masa lalu, telah berlalu. Hari ini milikmu, dan esok masih menjadi bayangan semu," tutur intan setelah melerai pelukan. "Allah menyuruh kita untuk memanfaatkan masa yang kita lewati sekarang, karena hari besok, kita gak tau apakah Allah masih memberi kesempatan, atau malam ini menjadi akhir dari kehidupan. Deri datang hari ini, dan kamu jangan menyia-nyiakan sesuatu yang telah Allah datangkan untukmu. Istikharah, dan berdoa, semoga Deri adalah jawaban dari semua doa-doamu selama ini."

Untuk kali ini, Shila menggangguk. Berusaha menerima segala kenyataan yang datang dalam hidupnya. "Makasih, Teh."

"Sama-sama. Teteh masuk dulu ya, udah malam, kasihan Zulfa tidur sendirian."

Setelah kepergian intan, Shila mendesah. Wajahnya menengadah, menatap kerlipan bintang yang bertaburan di atas sana.

"Sekarang udah saatnya Teteh buka lembaran baru. Sambut dia, yang siap menjaga Teteh dengan sekuat tenaga."

Reva turut memberi sokongan pada Shila, yang sepertinya memang membutuhkan semangat dari orang-orang terdekat. Lagi-lagi Shila mengangguk, dan mencoba mengulas senyum. Karena tak ada lagi yang harus dibicarakan, keduanya lekas masuk ke dalam rumah.

Rabbii Laa Tazarni Fardan Wa Anta Khairul Waaritsiin

Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri, dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.

💞💞💞

17 Ramadhan 1441H

Alhamdulillah....
Bisa kembali merevisi cerita Shila☺️☺️

Silakan vote dan komen ya.
Kasih masukan, ke depannya ini cerita mau seperti apa.

Terima kasih...

Salam

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro