5. Gelisah Melanda Hati
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Cinta. Anugerah terindah yang Allah beri dalam perjalanan hidup kita. Lantas, mengapa cinta selalu berujung nestapa? Sebab engkau membingkainya dengan beribu dusta.
***
Pikiran Shila yang terus bergulat dengan niatan Deri yang akan melamarnya, membuat ia tidak bisa memejamkan mata semalaman. Padahal sudah berkali-kali Shila berwudu supaya hatinya bisa lebih tenang. Namun, tetap saja ia terjaga, sampai waktu menunjuk pada pukul 03.25, barulah dirinya bisa tertidur.
Setelah melaksanakan salat subuhnya yang kesiangan, Shila malah kembali bergelung dalam selimut. Berniat untuk menyambung tidur barang beberapa menit saja.
Baru juga matanya terpejam, satu
suara dari ponsel menyapa pendengaran Shila. Ia biarkan benda itu terus berbunyi sampai akhirnya berhenti sendiri, karena Shila tak kunjung mengangkatnya. Selang beberapa detik, bunyi itu kembali terdengar, dan memaksa Shila untuk membuka mata.
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Shila mencoba meraih benda yang sedari tadi tak berhenti mengeluarkan suara. Tanpa melihat siapa yang menelepon, langsung saja ia menggeser panel merah, tanda panggilan ditolak.
Begitu ponsel tergeletak di kasur, suara yang sama kembali berbunyi sampai membuat Shila geram. Untuk kali ini, sebelum benar-benar mematikan panggilan, terlebih dahulu ia melihat siapa nama yang tertera di layar ponselnya.
"Mincreung? Ada apa ya dia telepon?"
Saat tangannya hendak menggeser panel jawab, panggilan berakhir begitu saja. Tak lama sebuah pesan masuk, masih dari orang yang sama.
Mincreung:
Assalamu'alaikum Shila. Gawaaaaatttt!!! Ya Allah Shila, cepat kamu ke sini, aku butuh bantuan kamuuu!!!! Aku gak tau kalau kamu sampai gak ke siniii!!! Cepat Shilaaaaa😭😭😭😭
Shila mengernyit saat membaca pesan dari teman kampusnya. "Kenapa sih dia, kok riweuh banget?"
Wa'alaikumsalam. Kamu kenapa sih, gak jelas banget.
Mincreung:
Cepat ke siniiiii!!!!!
Aku tunggu kamu di kampus.
Ya kamu bilang dulu ada apa, jangan main nyuruh datang gitu aja. Lagi pula aku gak ada jadwal ke kampus hari ini.
Mincreung:
Ihhh pokoknya cepat kamu ke siniiii, aku... Aaaaaa Shilaaaaa😭😭😭
Apa sih, yang jelas dong. Kalau gak jelas, aku gak mau datang.
Beberapa menit Shila menanti balasan dari Najma, tapi yang ditunggu tak kunjung membalas. Pesan yang ia kirim juga masih centang satu, menandakan kalau si pengguna aplikasi tersebut sudah tidak aktif lagi.
Shila memutuskan untuk menelpon balik Najma. Tak ada jawaban. "Ih, sepertinya ini anak balas dendam."
Berulang kali Shila menghubungi Najma, namun hasilnya masih tetap sama. Sampai sebuah suara yang sangat familier membuat Shila mendengus.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.
"Kok gak aktif sih?"
Dengan perasaan tak karuan, Shila berusaha menelepon Najma lagi. Masih tidak aktif. Sebenarnya apa yang terjadi pada temannya itu? Pikiran-pikiran buruk tentang Najma mulai berseliweran dalam benak Shila.
Tanpa berpikir panjang, Shila langsung bangkit dari kasurnya, lantas menuju kamar mandi. Hanya sebatas mencuci muka, tanpa mandi terlebih dahulu, Shila langsung mengganti pakaian tidurnya dengan gamis yang menggantung di belakang pintu.
Biarlah dia mau dikatakan jorok, tak ada yang tahu ini. Sekarang bukan saatnya untuk bersolek berlama-lama, pikirnya. Ada hal yang lebih penting di sana, dan sepertinya Najma memang benar-benar membutuhkan bantuannya.
Dengan pikiran yang terus tertuju pada Najma, Shila melakukan semuanya dengan gerakan cepat. Dari mulai memakai kerudung alakadarnya, memakai kaos kaki, sampai mengoleskan sedikit lipbalm di bibirnya agar tidak kering.
Tanpa memoles wajahnya dengan bedak sedikit pun, Shila berlari keluar kamar. Baru saja kakinya menapaki ruang tamu, ia kembali menuju kamar. Barang berharga yang selalu setia menemaninya belum ia bawa.
Sembari memasukkan ponsel ke dalam tas, Shila berjalan sedikit berlari.
"Kamu mau kemana, Shil?" Tiba-tiba Intan--kakaknya Shila--bertanya saat keduanya berpapasan di ruang tengah.
"Ke kampus, Teh."
"Katanya sekarang gak ada jadwal ngampus, kok ja---"
Belum tuntas Intan berucap, Shila langsung memotongnya. "Jangan dulu banyak tanya, Teh. Itu, apa ya, Ya Allah Teh, itu ... aduh, apaan sih kok susah banget nyebutnya." Shila menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Apa sih, kamu kalau ngomong yang jelas dong."
"Ih, si Teteh, itu, apa namanya?" Tangan Shila menunjuk pada lubang kunci di motor.
"Kunci?"
"Ah iya, kunci. Di mana?"
"Aeh mana Teteh tau, yang punya motor kan kamu."
Tak ingin membuang waktu, Shila kembali berlari ke kamar sampai ia tak sengaja menendang pintu kamar sedikit keras. "Innalillahi, awww aduuhh." Shila mendesis, menahan ngilu yang menyerang jari kakinya.
"Ketemu?" tanya Intan saat mendapati Shila yang sudah keluar kamar dengan wajah bingung.
"Gak ada, Teh."
"Emang biasanya kamu simpan di mana?"
"Biasanya aku simpan di atas nakas, tapi sekarang gak ada. Aduh gimana ini, mana aku buru-buru lagi."
"Coba cek di tas."
Shila menuruti perintah Intan. Setelah agak lama mengorek-ngorek dalam tas, akhirnya yang sedari tadi dicari ketemu.
"Nah ada."
"Makanya jangan pelupa kalau jadi orang."
Sambil mencoba menstater motornya Shila berkata, "namanya juga lagi buru-buru, Teh, mana ingat kalau kunci motornya ada di tas."
"Emang ada apa sih kok harus buru-buru?"
"Ada urusan." Sebelum berangkat, Shila memakai masker penutup wajah terlebih dahulu. "Aku berangkat ya, bilangin sama Ibu, aku ke kampus dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Eh Shila, kamu gak makan dulu?" Intan sedikit berteriak karena Shila sudah melajukan motornya.
"Nanti aja Teh, di kampus," sahut Shila tak kalah berteriak. "Eh, Teh Intan tolong ambilkan helm aku di atas meja!"
Intan yang mendengar itu, hanya mampu menghela napas. Setelah mengambil helm di dalam rumah, Intan menghampiri Shila yang sudah berjarak agak jauh dengan rumahnya.
"Apa lagi yang ketinggalan?"
"Gak ada," jawab Shila sambil nyengir. "Makasih ya Teh, aku berangkat."
"Hati-hati, jangan ngebut."
"Iya!"
💞💞💞
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam, akhirnya Shila bisa sampai kampus dengan selamat. Kalau tidak dalam keadaan mendesak, biasanya Shila harus memakan waktu sekitar satu jam untuk bisa sampai ke kampus. Namun kali ini, ia berhasil memecahkan rekor. Untung jalanan tidak padat kendaraan seperti biasa, jadi Shila bisa lebih leluasa melajukan motornya di atas rata-rata.
Sebelum memasuki halaman kampus, Shila memilih untuk menghubungi Najma terlebih dahulu. Syukurlah ponselnya sudah kembali aktif.
"Halo, assalamu'alaikum. Ada apa Shil?"
"Wa'alaikumsalam." Shila menjawab salam dengan nada malas. "Kenapa baru diangkat?"
Tanpa merasa bersalah, Najma malah terkikik-kikik. "Tadi ponselnya sengaja aku matikan, habisnya kamu berisik nelepon terus."
"Kurang asem. Aku tuh khawatir sama kamu, aku kira kamu kenapa. Sekarang kamu di mana?"
"Aku lagi di ruangannya Bu Dinar."
"Lagi apa?"
"Bimbingan."
Bibir Shila manyun beberapa inci. "Terus kenapa kamu nyuruh aku ke kampus cepat-cepat kalau kamu lagi ada bimbingan? Sekarang aku udah ada di depan kampus, kamu ke sini sekarang sebelum aku pulang lagi."
"Eiitt, eiit, eiitt, tunggu dulu. Bimbingan aku belum selesai, bentar lagi. Kamu tunggu aku di kantin aja ya, nanti aku ke sana."
Shila mendengus kesal. "Jangan lama-lama."
"Iya, udah dulu ya Bu Dinarnya udah datang, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah panggilan diakhiri, Shila bergegas menuju kantin kampus. Kebetulan dia juga belum sarapan, jadi sambil menunggu Najma selesai bimbingan, ia bisa sarapan terlebih dahulu.
###
Karena terlalu lama menunggu Najma, membuat Shila dilanda rasa jemu. Berkali-kali ia mencuci muka hanya untuk menghilangkan kantuknya yang kembali menyerang. Namun, sepertinya mata Shila sudah tak bisa diajak kompromi. Alhasil, jadilah sekarang ia tertidur di meja kantin paling pojok.
"Assalamu'alaikum Shila, maaf ya aku kelamaan." Najma datang, dan langsung mengambil posisi duduk di depan Shila. "Shil, Shila? Hei, kamu tidur ya?" Najma mencolek-colek lengan Shila, tapi tak ada reaksi sama sekali. "Shila ih, kok tidurnya pulas banget, bangun dong. Shila?" Sengaja Najma menggoyangkan tubuh Shila sedikit kencang. "Ih, ini anak beneran tidur atau enggak sih? Shila jangan bercanda deh, gak lucu tau."
Sambil menunggu Shila bangun dari tidurnya, Najma meminum air pesanan Shila yang belum diminumnya sama sekali. Beberapa menit kemudian Shila mendongak, dan membuat Najma terlonjak kaget.
"Astaghfirullahal'adzim." Mata Najma membulat sempurna. "Kamu Shila, atau bukan?" tanyanya saat melihat wajah kusut Shila.
"Kenapa?"
"Kok beda sih? Perasaan Shila yang aku kenal itu orangnya rapi, bersih, cantik. Tapi kok sekarang kamu lebih mirip seperti ... panda? Sekitaran mata kamu hitam banget, sejak kapan kamu mengikuti gaya dia?"
Shila menarik napas berat, ia kembali menyimpan kepalanya di atas meja. Rasanya ia tidak memiliki tenaga lebih hanya untuk menimpali ucapan Najma. Padahal perutnya sudah diisi dengan nasi goreng yang ia pesan tadi.
"Udah beres ngocehnya?" tanya Shila setelah Najma tak lagi mengeluarkan suara.
"Kamu ngantuk ya?" Najma malah balik bertanya.
Shila mengusap wajahnya. "Emang keliatan banget?"
"Jelas atuh Shil, nih ngaca." Najma menyodorkan cermin kecil ke arah Shila. "Tadi kan aku juga udah bilang, sekitaran mata kamu hitam banget, keliatan kurang tidurnya. Kenapa sih, kok sampai lemas gitu, belum makan ya? Itu juga muka kusut banget seperti baju gak pernah disetrika selama berabad-abad," ucap Najma hiperbolis. "Terus juga kamu seperti orang yang ... belum mandi." Najma memelankan suaranya saat mengucapkan dua kata terakhir.
"Aku emang belum mandi." Kejujuran Shila membuat Najma semakin membelalakkan mata.
"Serius?"
"Habis kamu nyuruh aku cepat-cepat ke sini."
Najma nyengir saat mendengar alasan Shila. "Hehehe, tapi gak mandi juga tetap cantik kok."
"Untungnya," timpal Shila sambil memutarkan bola mata, malas. "Oh iya, ta--"
"Sebentar Shil, aku pesan minuman dulu." Najma memotong perkataan Shila, dan langsung bangkit hendak memesan minuman.
"Eh Najma, minuman aku dihabiskan sama siapa?" Shila baru menyadari kalau minuman di depannya sudah habis tak bersisa.
Najma sendiri langsung menengok ke arah di mana Shila duduk, dan ia langsung menampilkan deretan giginya. "Nanti aku ganti."
Wajah Shila semakin memberengut. Dasar tidak sopan, untung sayang.
"Tadi mau ngomong apa?" tanya Najma setelah kembali duduk. "Mau ngomong apa?" Najma bertanya sekali lagi saat Shila tak kunjung menjawab. "Ya Allah Shila, ada apa sih dari tadi kamu malah bengong terus?" Lama kelamaan, Najma jadi geram menghadapi tingkah Shila. "Ck, Shil, sumpah ya aku lebih baik dengar kamu ceramah panjang lebar daripada harus lihat kamu diam seperti ini."
Shila menatap sendu ke arah Najma. "Seharusnya aku yang bertanya, Najma. Kamu ada urusan apa sama aku sampai nyuruh aku datang ke sini?"
"Oh itu." Sebelum menjawab, Najma membasahi tenggorokannya terlebih dahulu. "Gini ya, Ibunda tercintanya akoh minta ketemu kamu. Katanya dia udah kangen berat sama kamu. Biasanya kan kamu sering tuh main ke rumah, tapi sekarang gak pernah nonghol. Makanya Mama kira kamu kapok main ke rumah aku. Tiap kali aku pulang ngampus, yang ditanyain bukan anaknya, tapi kamu. Kadang aku tuh suka heran sama Mama, yang anaknya dia itu aku atau kamu sih, kok aku jadi merasa dianak tirikan ya?"
Melihat wajah melas Najma, tak pelak membuat Shila menahan senyum. "Jadi intinya apa?"
"Ya kamu harus datang ke rumah, biar Mama senang. Kalau kamu gak mau, nanti aku bisa diceramahin 7 hari 7 malam sama Mama."
"Gak mau ah, malas."
"Ih, pokoknya harus mau." Najma menarik-narik ujung lengan baju yang Shila pakai, "ya, ya, ya, mau ya. Pliissss," paksanya dengan tampang melas.
"Aku belum mandi, terus sekarang aku ngantuk, jadi aku harus cepat pulang."
"Nanti aja mandi sama boboknya di rumah aku, yang penting kamu ikut aku dulu. Kamu juga gak mau kan kalau sahabatmu yang cantik jelita ini kupingnya rombeng gara-gara dengar ocehan Mama?"
"Pemaksaan."
"Gak papa, kamu juga sering maksa aku. Contohnya aja kemarin wak..." Najma menghentikan ucapannya, dan langsung mengalihkan topik pembicaraan. "Eh iya, gimana pertemuan kamu sama Pak Deri kemarin, lancar, kan? Dia gak apa-apain kamu, kan? Dia gak bikin kamu mati seperti yang kamu bilang, kan?"
Bukannya menjawab, Shila malah bergeming. Saat ini ingatannya sedang tertuju pada kejadian kemarin, waktu dia dan dosennya berada di restoran. Hingga pada akhirnya, kegelisahan kembali ia rasakan.
Lebih dari itu Ma, dia bukan hanya membuat aku mati kedinginan, tapi juga mati karena jantungan.
Sayang, Shila hanya bisa mengatakan itu dalam hati. Ia belum siap jika harus menceritakan kejadian kemarin pada Najma. Biarlah, lagi pula apa yang dikatakan Deri belum tentu benar. Bisa jadi dia hanya bercanda tentang niatannya yang ingin melamar Shila.
"Shil, kok malah bengong?" Najma melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Shila.
"Eh, engh ... apa, Ma?"
"Ck, jadi gimana kemarin?"
Sebisa mungkin Shila tersenyum hanya untuk menutupi kegelisahan di hatinya. "Aman, Ma," katanya sambil mengangkat kedua ibu jari.
"Haah, syukurlah. Kemarin waktu aku ninggalin kamu di sana sama Pak Deri, aku tuh takut banget, tapi sekarang aku lega. Ya udah, kita pulang sekarang aja, yuk."
Keduanya sama-sama bangkit, lalu meninggalkan kantin yang sudah mulai ramai dipenuhi para mahasiswa dari berbagai tingkatan.
💞💞💞
"Assalamu'alaikum." Tak ada jawaban ketika Husna masuk ke kamar sang kakak. Pantas saja, rupanya saat ini Fadhil sedang tidur. "A, bangun, ini minum obat dulu."
Fadhil menggeliat begitu Husna mengguncang pelan tubuhnya. Setelah itu, ia berkata tanpa membuka mata sedikit pun. "Nanti saja, Na," tolaknya dengan suara berat.
"Ini udah waktunya minum obat, A. Ingat kan apa kata dokter tadi, Aa itu harus minum obat tepat waktu. Ayo, bangun."
Husna membantu Fadhil bangun, dan menyenderkannya di kepala ranjang dengan sanggaan bantal yang sengaja ia tumpuk.
"Kamu gak ngampus, Na?"
"Hari ini jam aku lagi kosong, Aa sendiri gak ada jadwal ngajar?" Husna memberikan beberapa butir obat yang berbeda, dan segelas air kepada Fadhil.
"Kosong," jawab Fadhil singkat karena ia hendak meminum obat.
"Gimana, kepalanya udah gak sakit lagi?"
Fadhil menghela napas berat. "Masih, malahan sekarang rasanya sekujur tubuh Aa ikut sakit semua."
Setelah membereskan obat-obatan, Husna langsung duduk di pinggir kasur. "Yang sabar ya, Husna berharap setelah ini Aa bisa lebih menjaga kesehatan lagi. Pola makan lebih teratur, dan bisa meluangkan waktu untuk istirahat. Sekarang Aa pasrahkan saja semuanya sama Allah, karena Dia yang memberi ujian ini. Aa harus selalu ingat bahwa ada banyak hikmah yang bisa kita ambil ketika kita ditimpa musibah berupa sakit. Sebab sakit, dosa yang kita punya perlahan gugur setiap kita merasakan sakit itu. Sebab sakit juga kita bisa lebih dekat lagi dengan Allah, dengan cara dzikir mengingat kebesarannya. Dan tentunya kita jadi bisa bermuhasabah diri, menghitung-hitung sudah berapa banyak amal yang kita kumpulkan untuk bekal nanti di akhirat."
Dengan seksama, Fadhil mendengarkan setiap petuah yang disampaikan Husna. Lengkungan senyum tak pudar menghiasi wajah tampan Fadhil, meskipun saat ini dirinya tengah ditimpa sakit.
Begitu Husna akan menyambung ucapan tadi, bunyi yang berasal dari ponsel Fadhil mengurungkan niatnya. Dengan cepat, Husna mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kerja milik Fadhil.
"Siapa?" tanya Fadhil saat Husna melihat layar ponsel yang dipegangnya.
"Si Abang telepon. Aku angkat ya." Belum juga Fadhil mengiyakan, Husna sudah mengangkatnya terlebih dahulu. "Halo, assalamu'alaikum, Bang."
"Wa'alaikumsalam. Loh kok yang angkat Husna, Aa-nya mana?"
"Ada, dia lagi tiduran."
"Bisa Abang bicara sama dia?"
Husna langsung memberikan ponsel itu pada Fadhil, tapi Fadhil tak juga menerimanya. "Di loudspeker aja, Na." Husna menuruti titah sang kakak.
"Assalamu'alaikum, Bang."
"Wa'alaikumsalam, Dhil lu jadi gak ketemu sama gua, sekarang gua udah ada di tempat biasa nih."
Fadhil beristighfar seraya mengusap wajah. "Ya Allah Bang, gua lupa kalau hari ini gua ada janji sama lu."
"Eh tumben. Jadi sekarang gimana?"
"Mmm, gimana kalau lu ke rumah gua aja. Kebetulan sekarang gua lagi gak bisa keluar rumah."
"Kenapa gak bisa keluar rumah, lagi dipingit lu?"
Fadhil tersenyum simpul saat seseorang di seberang sana terkekeh. "Nanti juga lu tau sendiri, Bang."
"Wiihh udah main rahasia-rahasiaan aja lu sekarang. Ya udah, gua langsung ke sana. Udah ya, assalamu'alaikum."
"Iya, wa'alaikumsalam."
Setelah panggilan diakhiri, Husna langsung menyimpan ponsel milik Fadhil di atas nakas. "Kok Aa gak bilang sih kalau lagi sakit?"
"Biarin aja, nanti dia tau sendiri kalau udah datang."
Husna menggeleng pelan. Dia pun memutuskan keluar dari kamar Fadhil. Sementara Fadhil, memilih untuk kembali tidur sambil menunggu sepupunya datang.
###
Di sinilah Fadhil sekarang. Tidur di atas sofa yang terdapat di ruang keluarga menyambut kedatangan kakak sepupunya. Kalau saja keadaan kamarnya layak untuk dikunjungi, mungkin dia akan memilih tetap diam di kamar. Namun sayang, kamarnya saat ini benar-benar tidak membuat nyaman.
"Ini Bang, diminum dulu." Husna datang membawa segelas air lengkap dengan camilannya dari arah dapur.
"Ya Allah Na, pakai repot-repot segala."
"Gak repot kok Bang, malahan Husna senang Abang bisa main ke sini. Terlebih lagi kita kan memang dianjurkan untuk memuliakan tamu, jadi gak ada salahnya kalau Husna memuliakan Abang. Apalagi Abang masih ada ikatan keluarga sama kita."
"Masya Allah Dhil, adikmu ini benar-benar calon ustazah yang baik."
"Bukan calon ustazah Bang, tapi calon ahli hukum," tandas Husna meralat ucapan kakak sepupu yang menurutnya kurang tepat. "Ya udah, kalian kalau mau ngobrol, ngobrol aja ya, Husna ke kamar dulu."
Setelah Husna benar-benar menghilang dari pandangan keduanya, Fadhil mulai berbicara. "Jadi, apa yang mau lu bicarakan, Bang?"
"Mmm, tadinya gua mau ajak lu ketemuan sama orang, tapi berhubung lu lagi sakit, terpaksa gua pergi sendiri."
"Emangnya mau ketemu siapa?"
"Ada deh pokoknya. Udah ya gua berangkat dulu, maaf gak bisa lama-lama. Soalnya gua harus cepat-cepat datang ke sana." Fadhil mengangguk, dan menjabat tangan kakak sepupunya. "Oh iya, sampaikan salam gua ke Paman sama Bibi."
"Insya Allah, nanti gua sampaikan."
Setelah kepergian sang sepupu, Fadhil berniat untuk kembali lagi ke kamar. Entah kenapa, sekujur tubuhnya terasa menggigil. Dengan perlahan, ia bangun, dan mulai berjalan menuju tangga. Lokasi kamar Fadhil yang berada di lantai dua membuatnya harus berhati-hati, mengingat sekarang ia sedang tidak sehat.
Awalnya, Fadhil ingin meminta bantuan Husna untuk mengantarnya ke kamar, tapi ia tidak punya tenaga cukup untuk memanggilnya. Bu Fitri juga kebetulan sedang tidak ada di rumah. Jadi, mau tidak mau ia harus berjalan sendiri.
Tanpa menghiraukan rasa sakit yang kembali menyerang bagian kepala, Fadhil terus menaiki anak tangga satu persatu. Tangannya mencengkram kuat pegangan yang terdapat di sisi kiri tangga. Ketika sudah berhasil mencapai lantai atas, mendadak kakinya melemas.
Seolah mati rasa, kaki Fadhil tidak bisa digunakan untuk menopang beban tubuhnya. Rasa nyeri di bagian kepala pun terasa semakin berdenyut. Pandangannya mulai mengabur. Hingga akhirnya pertahanan Fadhil runtuh, dan ia langsung ambruk di tempat. Seketika itu juga, dunia terasa gelap.
💞💞💞
16 Ramadhan 1441H
Satu kata untuk part ini...
Vote, komen, share ya teman-teman, biar kita bisa sama-sama menikmati setiap alur yang disuguhkan di sini😉
Terima kasih...
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro