35. Jawaban Pasti
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Terkadang, melalui kebersamaan, kita mampu menciptakan hal menakjubkan.
***
"SHILA AWAAASS!!"
Dengan sekuat tenaga Fadhil berlari. Berharap ia masih bisa menyelamatkan Shila di saat bagian truk sedikit lagi menghantam tubuhnya. Tak ada yang dipikirkan Fadhil selain keselamatan orang yang masih saja belum menyadari bahwa dirinya dalam bahaya.
Suara rem berdecit terdengar memekakkan telinga. Semakin truk itu mendekat, semakin lama bagi Fadhil agar dirinya bisa menggapai tubuh Shila. Pergerakan yang tertangkap oleh mata, bagai adegan slow motion yang membuatnya kesal sendiri.
Cekiiiitttt....
Bruukkk!
Tubuh Shila terpelanting ke pinggir jalan. Sambil mendekap anak kucing yang bersembunyi ketakutan, Shila berusaha bangun. Benar-benar perjuangan yang sangat menegangkan. Sopir truk itu, sudah tahu dirinya tengah menyelamatkan seekor kucing, malah terus saja membunyikan klakson. Lalu, orang yang mendorong tubuhnya, tidak tahu situasi. Beruntung ia tidak kenapa-napa.
Oh iya, orang itu?
"Mbak, kenal sama orang yang ada di sana?"
Mata Shila mengikuti arah telunjuk wanita itu. Tak jauh dari tempatnya sekarang, terlihat orang-orang tengah berkerumun. Napas Shila tertahan. Jangan-jangan sesuatu terjadi pada orang itu?
Setelah melepaskan kucing tadi, buru-buru Shila berlari ke tempat kerumunan. Begitu sampai, jantungnya serasa berhenti berdetak. Melihat siapa orang yang tergeletak tak sadarkan diri, Shila hanya bisa menganga tak percaya.
"Astaghfirullahal'adzim!" Tangannya langsung membekap mulut. "Fadhil, Dhil, bangun! Fadhil! Innalillahi wa inna ilaihi raji'uun, Fadhil." Shila terus menggoyang-goyangkan tubuh Fadhil, berharap pria itu bisa membuka matanya.
"Ini suaminya si Mbak?"
"Dia teman saya, Pak. Kalau boleh tau, dia kenapa ya, kok bisa seperti ini?"
"Tadi dia berusaha menyelamatkan Mbak, dan setelah berhasil menyelamatkan Mbak, entah kenapa dia jadi pingsan. Mungkin karena syok atau kenapa, saya juga kurang tahu."
"Ya Allah, Fadhil, bangun, Dhil." Tanpa putus asa Shila terus berusaha menyadarkan Fadhil. "Ada yang punya minyak kayu putih, saya mau minta sedikit, siapa tahu dia bisa sadar."
Seorang wanita paruh baya yang ikut menyaksikan kejadian beberapa menit lalu, dengan cekatan merogoh tas sorennya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, secepatnya si ibu memberikannya pada Shila.
"Dhil, sadar dong, ya Allah." Berkali-kali Shila mengolesi bagian atas bibir Fadhil dengan minyak, namun masih belum ada tanda-tanda kalau Fadhil akan siuman.
"Mbak, si Masnya di bawa ke rumah sakit saja, takut terjadi apa-apa. Soalnya tadi pas waktu si Mas jatuh, saya melihat kepalanya terbentur jalan cukup keras. Sempat terserempet motor juga."
Mendengar penuturan saksi, perasaannya semakin ketar-ketir. Tanpa menunggu persetujuan Shila, orang yang tadi mengusulkan agar Fadhil dibawa ke rumah sakit sudah memesan taksi untuk membawa Fadhil.
Masih dengan perasaan tak menentu, Shila ikut masuk ke dalam mobil. "Dhil, bangun." Terlalu takut, ia sampai meneteskan air mata. "Fadhil ... ya Allah."
Beberapa menit menembus jalanan yang cukup ramai, akhirnya sang sopir taksi mampu membawa Shila dan Fadhil ke rumah sakit tak jauh dari tempat kejadian. Segera, para perawat mengangkat tubuh Fadhil untuk dipindahkan ke atas brangkar setelah Shila memberi tahu apa yang sudah terjadi. Selama Fadhil menjalani pemeriksaan, Shila diminta untuk menunggu di luar.
Selang beberapa menit, sang dokter yang menangani Fadhil keluar dari ruang pemeriksaan. "Keluarga pasien?"
"Saya, Dokter. Bagaimana keadaan teman saya?"
Si dokter tersenyum ramah. "Pasien masih belum sadarkan diri. Tapi Mbak tenang saja, sebentar lagi pasien akan siuman. Setelah saya periksa, Alhamdulillah, tidak ada luka luar mau pun dalam yang sangat serius pada pasien. Hanya saja bagian pergelangan kakinya sedikit bengkak, mungkin karena terkilir. Lalu, dibagian punggungnya juga ada memar. Yang ini cukup parah, tapi masih bisa diobati dengan krim pereda rasa nyeri."
Shila menghela napas. Lantas ia bertanya, "Lalu ... apa yang menyebabkan dia pingsan Dok?kenapa dia bisa pingsan sampai sulit untuk disadarkan?"
"Mungkin karena kecelakaan tadi membuatnya syok berat sampai dia kehilangan kesadarannya. Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu."
"Saya boleh masuk, Dok?"
"Silakan, masuk saja."
Saat memasuki ruangan dengan nuansa serba putih, bau obat-obatan mulai menyeruak, menyapa indra penciuman Shila. Perasaan bersalah kembali menghampiri, ketika ia melihat tubuh Fadhil terbaring di ranjang rumah sakit. Demi menyelamatkannya, Fadhil sampai tidak memikirkan keselamatan diri sendiri. Benar-benar teman yang pengertian.
Sambil menunggu Fadhil sadar, Shila duduk di sebuah kursi yang tersedia di sana seraya melantunkan surah Maryam. Berharap dengan bacaan ini, Fadhil bisa segera membuka matanya. Benar saja, memasuki ayat ke delapan, mata Fadhil terbuka perlahan.
Ditatapnya Shila yang duduk di samping kanan dengan lekat. Tak berselang lama, pandangan itu mulai beredar. "Ini ... di mana?"
"Kita lagi ada di rumah sakit."
Refleks, tubuh Fadhil yang semula menempel di ranjang, sudah terbangun dengan tegak. "Kamu gak papa, La?"
Mendapat pertanyaan itu, Shila sampai melengos. Lalu, matanya kembali melihat Fadhil. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu sama kamu, kamu gak papa, kan?"
"Lah, emang aku kenapa?"
Shila mendengus kesal. "Kamu gak sadar kalau kamu habis pingsan?"
Gelengan pelan dilakukan Fadhil untuk menjawab tanya Shila. "Yang aku ingat, tadi aku lihat kamu mau celaka, La. Terus ... aku berusaha untuk menyelamatkan kamu, setelah itu aku gak tau lagi apa yang terjadi."
"Dan setelah itu, kamu gak sadarkan diri," tambah Shila dengan perasaan kesal yang teramat. "Heran deh, aku yang mau celaka, tapi kenapa kamu yang pingsan?"
"Aku tuh kaget, La, aku kira kamu gak akan selamat. Lagi pula kenapa kamu malah diam di tengah jalan? Gak ada kerjaan banget. Kalau mau nyeberang, nyeberang aja, jangan malah diam di tengah jalan. Udah tau itu jalan raya, malah disamain sama jalan kampung. Kamu gak tau ya bagaimana khawatirnya aku saat melihat tubuh kamu mau dihantam sama truk besar itu?" Fadhil mulai protes panjang lebar, sampai Shila harus menghamburkan tawa, saking gemas melihat bibir temannya itu. "Malah ketawa lagi," imbuh Fadhil semakin kesal.
Setelah berusaha mengontrol tawa, Shila langsung berujar, "maaf ya, aku sama sekali gak bermaksud membuat kamu khawatir. Tadi di tengah jalan ada anak kucing, aku berniat mengambilnya. Eh, ternyata kakinya tersangkut di sela-sela penutup got. Jadi aku harus menyelamatkannya dulu."
Tangan Fadhil memijit pelan bagian pelipis. Kepalanya masih terasa pusing, tapi sekarang perasaannya sudah jauh lebih lega. Gadis itu selamat, bahkan keadaannya terlihat baik-baik saja.
"Kita pulang sekarang ya, La."
"Gak mau beli buah tangan dulu?"
"Lain kali aja, kepala aku masih pusing. Lagi pula ini udah siang banget, kakak kamu pasti khawatir karena kamu belum pulang."
Shila mengangguk. Lantas, ia berdiri, memberi jalan pada Fadhil yang hendak turun dari ranjang. Sebelum menapakkan kaki di lantai, Fadhil meringis.
"Kenapa?" Tanya Shila, khawatir.
"Pinggang aku sakit."
"Kata warga kamu terserempet motor. Terus kaki kamu juga terluka, untuk beberapa hari, gak bisa dipakai jalan dengan normal dulu." Wajah Fadhil terlihat begitu sendu, dan itu membuat perasaan bersalah di hati Shila semakin besar. "Maaf ya, Dhil, gara-gara aku, kamu harus mengalami hal seperti ini."
"Udah, gak papa, nanti juga sembuh."
"Tapi kamu...."
"Gak perlu merasa bersalah, ini bukan salah kamu kok. Udah jadi tugas aku, menjaga apa yang seharusnya aku jaga, meski harus nyawa taruhannya."
Tertegun. Meski beberapa kata terakhir yang diucapkan Fadhil terdengar lebih lirih, tapi telinga Shila masih mampu menangkapnya dengan baik. Hari ini, ia melihat gelagat aneh dalam diri Fadhil. Seolah ingin mengutarakan sesuatu, tapi belum berani mengungkapkannya.
"Hei, mau pulang gak?" Teguran dari Fadhil berhasil membawa kesadaran Shila kembali.
"Eh, i-iya, Dhil." Langsung saja Shila berjalan agak cepat agar bisa menyamai langkah Fadhil yang sudah berjalan di depannya.
💞💞💞
Memasuki halaman villa, dahi Shila langsung berkerut melihat mobil yang terparkir di sana bertambah satu. Sempat terkejut, ketika seseorang berlari dan langsung menghambur dalam pelukan.
"Teh Shila dari mana aja, dari tadi aku nungguin Teteh loh."
Dalam keadaan bingung, Shila menjawab, "abis jalan-jalan sama Fadhil. Kamu ... sama siapa ke sini, Re?"
Melihat seorang pria muncul dari balik pintu, wajah Shila berubah pucat. "Ahnaf," ucapnya pelan.
"Iya Teh, aku ke sini sama Kak Ahnaf."
Shila melihat ke arah Fadhil sekilas. "Kalian ... udah baikan?"
"Alhamdulillah, masalah antara aku sama Reva udah selesai."
"O-oh." Shila tersenyum masam.
"Maaf ya Teh, waktu itu aku udah bersikap kekanak-kanakan."
Sebisa mungkin Shila mengatur napasnya yang mendadak sesak. "Gak papa, Teteh juga paham," diam sebentar, "lalu ... ada perlu apa Ahnaf sampai datang kemari?"
"Kak Ahnaf datang ke sini, mau nagih jawaban Teh Shila tentang lamaran waktu itu."
Sebelum menimpali, Shila sempat menatap Reva lamat-lamat. Sorot terluka tampak jelas, terpancar dari pendaran mata adik sepupunya itu. Ya, rupanya Reva tengah berusaha tegar. Berpura-pura, lebih tepatnya. Memaksakan diri untuk menerima kenyataan yang terjadi padanya.
Senyum kecut terpasang di wajah Shila. Apa maksud Reva bersikap seperti ini? Sungguh, tindakannya sama sekali tidak lucu.
"Kakinya kenapa, A, kok bengkak?"
Mendapat teguran dari pria di depannya, Fadhil tersentak. "Mmm, tadi ... saya jatuh," katanya tergagap, setelah menetralkan mimik wajah.
"Kakaknya Husna ya?"
"Iya."
Bukan sombong, tapi Fadhil bingung bagaimana menimpali ucapan Ahnaf. Dirinya terlalu kaget karena dipertemukan dengan orang yang katanya ingin melamar Shila. Jika dilihat dari penampilannya, Ahnaf seperti lelaki baik. Ia juga sepertinya tipikal orang yang ramah. Gaya bicaranya tidak kagok, menunjukkan seorang pemimpin yang tegas.
"Oh iya, saya Ahnaf, A."
Fadhil menjabat tangan Ahnaf dengan senyuman. "Saya Fadhil, temannya Shila."
Ahnaf tampak mengangguk beberapa kali. Setelahnya, mereka memilih diam barang sebentar. Hingga panggilan dari seseorang, mengalihkan fokus semua orang yang ada di sana.
"A Fadhil." Husna berjalan menghampiri.
"Kenapa, Na?"
"Papa...." Sebelum berkata, Husna menatap satu persatu orang yang tengah melihatnya. Saat giliran Ahnaf, ia malah mendadak kesal.
"Kenapa sama Papa, Na?"
Pandangannya langsung kembali berpusat pada Fadhil. "Papa meminta kita untuk pulang. Katanya ... ada hal yang mau Papa bicarakan sama A Fadhil."
Raut wajah Fadhil menegang. "Tentang lamaran?" Tanyanya berusaha tenang.
Mendengar kata lamaran, hati Shila semakin diliputi perasaan tak nyaman. Seandainya ia memiliki hak, ingin sekali menyangkal lamaran yang terjadi saat ini. Baik lamaran Ahnaf untuk dirinya, maupun lamaran Fadhil untuk wanita lain.
Jujur, dalam hatinya ada setitik harapan untuk Fadhil. Ya, Shila mengharapkan Fadhil agar mau menjadi Pangeran Ar Rahmannya. Lagi pula, ia yakin Fadhil sudah tahu tentang perasaannya dulu, tapi kenapa Fadhil seolah tak peduli? Apakah itu pertanda bahwa Fadhil sama sekali tidak memiliki rasa terhadapnya?
Tolong Shila, jangan mengharapkan dia untuk yang kedua kalinya. Cukup satu kali kamu kecewa sebab perbuatanmu sendiri.
"Ayo A, kita harus segera berkemas." Buru-buru Husna menarik tangan Fadhil agar berjalan lebih cepat.
"Hati-hati Husna, kaki Fadhil terluka, dia gak bisa jalan cepat." Refleks. Shila mengatakan itu karena takut Fadhil kesakitan.
Akibat perkataan Shila juga, Fadhil dan Husna sampai harus berpandangan. "Maaf, itu semua ... gara-gara Teteh," tambahnya merasa tak enak.
"Cukup, La, aku gak suka kamu terus menyalahkan diri sendiri." Setelah itu, Fadhil berjalan masuk dengan dipapah Husna.
"Sebenarnya A Fadhil kenapa sih?"
"Keserempet motor," jawab Shila, malas.
"Terus kenapa Teteh yang minta maaf?"
"Karena semua salah Teteh."
"Oh, oke." Reva berpikir sebentar, "untuk hal itu lewati dulu, sekarang bagaimana jawaban Teh Shila untuk Kak Ahnaf? Kasian, dia udah nunggu dari tadi."
Kalau saja di sini tidak ada Ahnaf, Shila pasti sudah menyumpal mulut Reva agar tidak terus menanyakan hal yang membuatnya ingin marah.
"Gak perlu buru-buru Reva, beri Shila waktu untuk memikirkan semua ini."
"Udah seminggu Kak, tapi masih belum dapat jawaban. Kalau gak mau, langsung aja bilang, jangan malah gantung Kak Ahnaf seperti ini."
Kali ini emosi Shila benar-benar tersulut. Reva sepertinya minta diberi pelajaran. Tanpa melihat Ahnaf terlebih dahulu, langsung saja ia membawa Reva masuk. Sesampainya di kamar, Shila langsung menjatuhkan tubuh Reva di atas kasur.
"Kamu pikir, dengan cara kamu bicara seperti tadi, Teteh suka?" Dua pasang mata itu saling menyoroti. "Dari awal Ahnaf datang ke rumah, Teteh udah tolak dia, bilang ke dia untuk jangan melamar Teteh, tapi sekarang apa? Dia datang lagi, dengan tujuan yang sama. Bedanya, sekarang kamu setuju dengan niat Ahnaf."
Reva bungkam. Shila seolah tak memberi kesempatan pada adiknya untuk berbicara, apalagi menyangkal.
"Sekarang, kamu jawab dengan jujur, apa maksud kamu bicara seperti itu?"
Pandangan Reva mengarah pada lantai. Tanpa sepengetahuan Shila, air mata keluar dari pelupuk matanya.
"Jawab Re, kenapa?"
Setelah Shila membentak, barulah wajah Reva terangkat dalam keadaan pipi yang sudah basah. "Aku cuma mau berusaha mengikhlaskan sesuatu yang gak bisa aku miliki, Teh?"
"Dengan cara kamu menyuruh Teteh menerima lamaran Ahnaf? Teteh tau, kamu cinta mati sama lelaki itu. Bahkan Teteh paham, berat bagi kamu supaya bisa menerima kenyataan tentang Ahnaf yang ingin melamar Teteh. Kenapa? Kenapa kamu sampai ingin Teteh menerimanya?"
"Karena aku tau, cepat atau lambat, Teteh pasti akan menerima Kak Ahnaf, dan aku cuma mempersiapkan hati aja, jika hal itu terjadi, setidaknya aku gak terlalu sakit hati."
Senyum Shila semakin kecut. Merasa sudah semakin panas, ia duduk di kursi depan meja rias, berusaha mengontrol emosi. Beberapa saat, suasana terasa sunyi. Hanya deru napas yang terdengar tak beraturan yang menjadi pengisi kekosongan di ruangan itu.
"Bayangkan, kalau Teteh benar-benar menikah sama Ahnaf. Apa kamu udah siap, melihat segala bentuk perhatian Ahnaf sama Teteh nanti? Apa hati kamu bisa ikhlas, saat lafalan Qabul terucap dari bibir Ahnaf, dan menyebut nama wanita lain? Nama kakak sepupu kamu sendiri lebih tepatnya."
Ditanya seperti itu, Reva bungkam, mencoba mencari kalimat lain yang pantas untuk menimpali pertanyaan Shila. "Terus aku harus gimana? Menentang seperti kemarin, sampai aku marah sama Teteh? Percuma, Teh. Itu gak akan mengubah keputusan Kak Ahnaf, karena dia udah terlalu cinta sama Teteh."
Bergeming. Shila memilih diam sebentar, demi menenangkan detak jantungnya yang bergemuruh hebat. Semakin rumit. Ia tidak percaya Ahnaf secinta itu padanya. Padahal pertemuan dengannya baru beberapa kali.
"Teh, aku mohon, terima Kak Ahnaf, untuk masa depan Teteh." Reva sudah beralih posisi di samping Shila. Dalam keadaan berjongkok, dia memelas pada kakaknya.
"Lalu bagaimana dengan kamu? Kamu gak boleh mengorbankan perasaan kamu sendiri, Re."
"Aku bukan mengorbankan, Teh, aku cuma lagi berusaha menerima takdir yang Allah gariskan untuk ku. Kenyataannya, Kak Ahnaf jodoh Teh Shila, bukan jodoh aku."
Perlahan, Shila membawa Reva bangkit, lantas, mendekapnya erat. "Teteh gak akan pernah bisa bahagia, Re, sampai kapan pun Teteh gak akan bahagia." Shila ikut menumpahkan air mata.
"Teteh pasti bahagia," kata Reva sesenggukan di bahu Shila.
"Di atas penderitaan kamu? Enggak Re, Teteh gak bisa."
"Pasti bisa, Teh, aku yakin." Dilepasnya pelukan agar ia bisa memandang Shila. "Teteh ingat bagaimana sikap Teteh sama Mas Deri dulu? Awalnya Teteh juga gak mau kan menerima Mas Deri? Tapi seiring berjalannya waktu, Teteh bisa mencintai Mas Deri."
"Beda Re, situasinya beda. Waktu itu gak ada orang ketiga di antara Teteh sama Pak Deri."
"Terus A Fadhil siapa?"
Ucapan tiba-tiba Reva, berhasil membuat dahi Shila berkerut. "Maksud kamu?"
"Dia sepupunya Mas Deri, kan? Dan asal Teteh tau, dia itu suka sama Teteh."
Shila bukan main terkejutnya. Ucapan Reva telah berhasil melumpuhkan seluruh syaraf dalam tubuhnya. Bahkan lidahnya kelu, sampai ia tak bisa berucap apa pun.
"Dan sekarang, aku lagi ada di posisi seperti A Fadhil," imbuh Reva saat Shila masih dalam gemingnya.
"Kalau kamu tau Fadhil suka sama Teteh, kenapa kamu gak suruh Fadhil aja untuk melamar Teteh?"
"Dia udah berniat untuk melamar perempuan lain Teh, ditambah Kak Ahnaf udah lebih dulu melamar Teteh."
Terduduk lemas di atas kasur, Shila langsung menatap kosong jendela di sampingnya. Apa yang dikatakan Reva benar. Situasi yang membuatnya terjebak dalam dilema. Mungkin sudah takdirnya juga seperti ini, di mana ia tidak akan pernah bisa bersatu dengan pria impiannya dulu.
"Ayo Teh, saatnya Teteh kasih jawaban ke Kak Ahnaf."
"Tunggu, Re." Shila menahan langkah Reva untuk diam sebentar. "Kamu yakin, bisa ikhlas kalau Teteh nikah sama Ahnaf?" Anggukan berkali-kali Shila dapatkan dari Reva. "Ya udah, ayo kita temui Ahnaf. Tapi sebelumnya Teteh mau minta maaf sama kamu. Maaf, kalau nanti Teteh menyakiti kamu."
Tanpa mengajak Reva, Shila berjalan keluar lebih dulu. Reva beruntung, sebab Shila tak memaksanya ikut keluar. Ia masih harus mempersiapkan diri di sini. Agar nanti, ia bisa kuat menghadapi satu takdir menyedihkan dalam hidupnya.
Oke, Reva, suka tidak suka, mau tidak mau, kamu harus menerima semua keputusannya. Karena ini juga yang kamu pinta.
💞💞💞
2 Zulqidzah 1441 H
Bingung mau ngomong apa🥺🥺
Intinya, jangan lupa untuk terus dukung cerita ini ya, sebagai apresiasi dari pembaca untuk menulis☺️☺️
See you next part...
Aku padamu😘
Salam
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro