Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. Sesaat Bersamamu

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Karena aku tahu, kita tak akan bisa bersatu. Maka dari itu, izinkan aku bersamamu, sebentar saja. Hanya untuk memastikan, kalau kau akan baik-baik saja, tanpa diriku.

~Takdirku~

***

Warning! Part ini hanya akan diisi oleh dua tokoh saja, yaitu Fadhil dan Shila, diharapkan untuk tidak bosan. Terus baca sampai akhir, karena ada kejutan di akhir part-nya😉

---------------------------------------------------------------

Suasana hening begitu terasa di area pantai timur yang sedang Shila kunjungi. Bagaimana tidak hening, kalau gadis itu mengunjunginya di saat azan Subuh baru berkumandang 20 menit yang lalu.

Sengaja Shila ke luar dari villa di waktu pagi-pagi buta, sebab itu memang sudah menjadi kebiasaannya selama di Yogyakarta. Memilih salat di surau yang jaraknya dekat dengan pantai. Selesai menjalankan kewajiban, ia akan segera pergi ke pesisir pantai hanya untuk menyaksikan terbitnya sang surya.

Ghani sebagai kakak laki-laki satu-satunya, sudah tidak merasa heran, jika Shila menghilang dari kamar sejak subuh. Terlalu mencintai alam dengan nuansa pantai, membuat Ghani kesulitan melarang Shila agar tidak setiap hari datang ke tempat itu. Terlebih dengan pantai yang jaraknya jauh dari villa, seperti pantai timur ini.

Kini, sepasang mata itu mulai menyapu sekitaran pantai. Sepi. Tak begitu banyak aktivitas manusia tertangkap penglihatannya. Mungkin hanya ada beberapa nelayan saja yang baru pulang melaut. Selebihnya, Shila tak menjumpai siapa pun. Tak apa, sudah biasa seperti ini.

Sambil menghirup udara pagi, kaki Shila melangkah, mendekati saung yang terdapat di sisi pantai. Di sana, ia bisa menyimpan perlengkapan salat yang sering dibawanya setiap pagi. Setelah memastikan semuanya tersimpan, langkahnya tertuju pada sebuah ayunan.

Menyenangkan. Di sini, ia bisa benar-benar menikmati kesendirian. Duduk di atas ayunan, yang perlahan mulai mengayun, dibarengi dengan lantunan surah Maryam. Ayat demi ayat yang ia baca, semakin menggetarkan jiwa, sebab menyatu dengan suara ombak yang bergemuruh merdu.

"Assalamualaikum."

Ucapan salam dari seorang pria menghentikan murrotal yang dilakukan Shila. Diperhatikannya seseorang yang tengah berjalan menghampiri. Keadaan tempat yang kurang penerangan, membuat Shila agak kesulitan mengenali orang tersebut. Buru-buru ia bangkit, bersiap, siapa tahu itu orang usil yang akan mengganggunya.

Begitu lampu yang menerangi saung menyorot ke arah si pria, barulah napas Shila berembus, lega.  "Wa alaikumsalam warahmatullah. Kamu ... sedang apa di sini?"

Bibir Fadhil menipis. "Ada sinyal kuat yang memanggilku datang ke tempat ini. Sinyal yang berasal dari lantunan ayat-ayat Allah. Aku mencoba menelusuri, sampai sinyal itu membawaku kemari."

Miris. Shila benar-benar menyesal karena telah mengeraskan suaranya saat bermurrotal. Alhasil, ia malah mengundang seorang lelaki datang ke hadapannya. Sungguh, ini bukan hal yang baik. Berdua saja dengan pria yang bukan mahram, di tempat yang remang-remang pula, itu bisa mendatangkan suatu hal yang tidak diinginkan.

"Kamu sendirian?" tanya Shila pelan.

"Iya, aku sendiri."

"Mmm, kenapa Husna gak diajak?"

"Kebetulan tadi aku salat Subuh di masjid, setelah dari masjid aku langsung ke sini, jadi gak sempat ajak Husna."

Mata Shila terpejam sejenak, lalu embusan napas terdengar begitu berat dari hidungnya. "Fadhil, maaf, bukan aku mau usir kamu, tapi ... alangkah baiknya kamu pulang aja."

"Kenapa?"

"Kamu gak sadar? Kita ada di tempat yang sepi, minim cahaya juga, aku ... gak mau kalau ada orang yang lihat kebersamaan kita, lalu salah paham sama kita."

"Oh itu." Bibir Fadhil tersungging. "Oke, aku akan pulang, tapi nanti. Setelah mentari agak naik, aku minta waktu sebentar sama kamu. Ada hal yang mau aku bicarakan." Setelah mengatakan itu, Fadhil segera menjauh dari Shila.

Sementara Shila, masih bergeming di tempat. Matanya tak lepas dari memerhatikan Fadhil yang berjalan menuju sebuah kursi tak jauh dari tempatnya sekarang. Pertanyaan demi pertanyaan tentang apa yang akan Fadhil bicarakan, sudah mulai memenuhi benak.

Beruntung, pikirannya cepat teralihkan dengan kemunculan sinar yang terpancar dari sang raja siang. Bias jingga yang sempat memenuhi sebagian cakrawala mulai memudar. Tergantikan oleh warna kuning menyala yang semakin menambah rasa hangat dalam tubuh Shila.

Shila suka senja, tapi pagi hari juga tak kalah menawan di matanya. Keduanya sama-sama memiliki arti dalam hidup gadis itu. Senja, akan selalu menjadi sesuatu yang istimewa. Meski kehadirannya hanya sesaat, tapi itulah yang mengagumkan dari senja. Sebab senja rela, kemegahan sinarnya ditelan gelapnya malam.

Sementara pagi, akan menjadi waktu yang selalu dinanti. Karena kehangatan sinarnya, jiwa sang pemimpi mampu bangun dari tidur panjang. Menyongsong hari baru, yang bisa membawa secercah harap dalam hidup.

"Shila!"

Arah pandang Shila tertuju pada Fadhil. Dari jarak beberapa meter, pria itu tampak melambaikan tangan ke arahnya. Mata Shila menyipit, silau dengan cahaya mentari yang menyoroti wajah.

"Shila, kemarilah!" Sekali lagi, Fadhil memanggil Shila.

Yang dipanggil segera berjalan, mendekati Fadhil yang sedang memegangi badan perahu milik nelayan. "Kenapa, Dhil?" tanya Shila setelah dekat.

"Naik perahu, yuk!"

Tertegun. Shila belum mengiyakan ajakan Fadhil. Ia perlu berpikir dulu, maksudnya apa Fadhil mengajaknya naik perahu? Jangan-jangan dia mau culik aku.

"La, mau, kan?"

"A--mmm, bo-boleh. Tapi ... aku gak mau kita berdua aja yang naik, harus ada yang menemani!" Kerasnya suara ombak yang bergemuruh, membuat Shila harus sedikit meninggikan suara. Begitu pula dengan Fadhil.

"Kamu tenang aja, kita naik perahu bareng sama bapak yang punya perahu ini!"

Shila tak banyak protes, ia hanya menurut saja. Selama masih ada orang lain di antara keduanya, ia tak masalah.

"Ayo La, naik," kata Fadhil yang sudah berada di atas perahu sambil berjingkrak-jingkrak.

Merasa lucu atas tingkah Fadhil, Shila sampai tertawa lepas. Sudah berapa tahun kiranya ia tak melihat wajah polos itu. "Dhil, jangan lompat-lompat, nanti kamu jatuh!"

Fadhil segera menghentikan tingkah konyolnya. "Maaf La, aku terlalu senang, jadinya seperti ini," katanya diakhiri senyum kikuk.

Shila hanya menggeleng maklum. Iya, dia memaklumi tingkah Fadhil yang sedari dulu memang seperti itu. Ia kira, teman lelakinya itu sudah berubah, tapi di saat-saat tertentu, Fadhil bisa kembali menjadi orang yang petakilan, dan apa adanya. Sosok Fadhil yang berhasil membuatnya ... berhenti mengenang masa lalu!

"La, kok malah bengong sih, ayo naik, ditinggalkeun siah (nanti ditinggalin loh)."

Derai tawa kembali membuncah saat Shila melihat raut kesal di wajah Fadhil. "Bagaimana aku bisa naik, Dhil, susah. Ini ketinggian, akunya pakai rok!"

"Kamu pakai celana panjang, kan?" Shila mengangguk. "Ya udah, roknya di ke atasin dulu."

Bukannya menuruti titah Fadhil, Shila malah terlihat kebingungan. Ia sedang memikirkan cara lain agar dirinya bisa naik ke atas perahu, tanpa harus menyingsingkan roknya terlebih dahulu.

"La, lagi mikirin apa, ayo naik, kasihan si bapaknya nunggu kamu kelamaan!"

"Dhil, emangnya gak ada cara lain, ya?" tanya Shila pada akhirnya.

"Cara lain apa lagi, gak ada." Fadhil diam sesat, lalu kembali berkata, "atau ... kamu mau aku gendong?"

Mendengar tawaran Fadhil, Shila sampai mendelik. "Gak usah, makasih, aku bisa naik sendiri."

Fadhil terkikik geli. "Ya udah, ayo naik!"

"Kamunya balik kanan dulu," titah Shila, semakin membuat Fadhil kesal.

"Kenapa?"

"Kan aku mau naik, jadi kamu gak boleh lihat aku."

Bola mata Fadhil berputar, malas. "Hah, loba acara (banyak acara)." Meski kesal, ia tetap menurut.

Bapak pemilik perahu yang menyaksikan tingkah dua sejoli di hadapannya, ikut menyunggingkan bibir. "Neng, gak mau dibantuin sama pacarnya?"

Ucapan yang terlontar dari mulut si bapak membuat dua pasang mata itu membelalak. Shila yang sudah hendak menaiki perahu pun langsung mengurungkan niat. Fadhil juga, malah salah tingkah dengan tangan mengusap-usap tengkuk.

"Kami bukan sepasang kekasih, Pak." Fadhil mencoba meluruskan kesalah pahaman yang terjadi.

"Oh, sudah jadi suami istri, ya?"

"Belum, Pak," jawab Fadhil dengan santainya.

Shila mematung dengan kedua tangan memegang pinggiran perahu, dan kaki kanan terangkat. Maksudnya belum?

"La, ayo, kok masih belum naik juga?"

"Eh, iya maaf, maaf. Lupa. Ayo, kamu balik kanan lagi." Fadhil kembali membalikkan badan. "Udah!" Baru juga beberapa detik, telinga Fadhil sudah mendengar pekikan Shila.

"Kok cepat banget?"

"Iya dong, aku kan super hiro," kata Shila, jemawa.

Fadhil tak habis pikir dengan sikap Shila, ia kira Shila sudah benar-benar berubah menjadi gadis kalem. Rupanya sikap tomboi yang dimiliki Shila dulu masih belum sepenuhnya hilang.

Kini, keduanya telah duduk di papan dengan jarak cukup jauh. Shila duduk di bagian belakang perahu, sementara Fadhil duduk di dekat pengemudi. Namun, badannya tetap ia hadapkan ke arah Shila. Perlahan, perahu itu mulai melaju, menerjang ombak yang siap mengombang-ambingnya.

Sesampainya di tengah-tengah laut, sang pengemudi menghentikan laju perahunya. Seperti memberi kesempatan pada penumpangnya untuk menikmati biota laut di bawah sana. Tangan Shila terjulur dari bibir perahu, menyentuh air laut yang mulai beriak tenang.

Tumbuhan laut seperti rumput laut begitu tampak jelas. Terumbu karang yang menjadi tempat tinggal berbagai ikan kecil pun sangat menarik perhatian Shila.

"Shila."

Mata sipit itu segera beralih menatap Fadhil. "Kenapa?"

"Boleh aku bertanya?" Shila jadi ingat pada ucapan Fadhil yang ingin berbicara dengannya, dan mungkin inilah saatnya.

"Tanya apa," sahutnya sembari membenarkan posisi duduk agar sedikit lebih nyaman.

Fadhil diam sejenak, mencoba kembali menyusun kata yang tepat untuk menanyakan perihal lamaran itu. "Mmm, kata Husna ... kepergian kamu ke sini, itu karena ada lelaki yang melamar kamu, apa itu benar?"

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Shila. Seolah malas jika harus membahas hal yang membuatnya bingung. Namun, setelah pandangannya beredar ke segala arah yang hanya menampakkan lautan lepas, sebisa mungkin Shila menjawabnya.

"Mungkin iya."

"Apa ... kamu udah terima lamarannya?" Shila menggeleng lemah. "Kenapa?"

Wajah Shila menengadah, melihat sang mentari yang sudah naik semakin tinggi. "Aku masih bingung, Dhil." Napasnya berembus, kasar, "kalau aku menerima lamaran Ahnaf, aku sama aja dengan menyakiti Reva yang notabene-nya cinta sama dia. Tapi kalau aku menolaknya, aku harus siap membuat Bapak kecewa." Kembali, Shila mengembuskan napas. "Bapak mau banget melihat aku secepatnya menikah, dan saat kepergian Pak Deri ... bukan hanya aku yang merasa kehilangan, tapi Bapak sama Ibu juga ikut merasakannya. Hingga kedatangan Ahnaf ke rumah dengan niat baiknya, kembali membawa kebahagiaan Bapak."

Untuk beberapa menit, keadaan sunyi. Dahi Fadhil berkerut, antara heran, dan silau terkena sinaran fajar.

"Shila?"

Tak ada sahutan. Shila hanya memandang Fadhil sebentar, lalu kembali asyik dengan aktivitasnya. Memercik-mercik air laut.

"Anggaplah kalau sekarang belum ada lelaki yang meminang kamu. Lalu, datang teman lama kamu, baik itu teman SD, SMP, atau teman SMA sekali pun. Dengan maksud ingin meminang kamu, apa ... kamu mau menerimanya?"

Pertanyaan Fadhil sukses membuat Shila berpikir keras. "Kalau dia lelaki saleh, mampu menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab, mungkin aku akan menerimanya. Tapi yang menjadi masalahnya di sini, apa yang kamu tanyakan, aku rasa gak akan mungkin terjadi. Mana ada teman yang naksir sama aku sampai punya niatan mau lamar aku segala, apalagi teman SMA, mustahil." Shila mulai tertawa kecil. "Secara laki-laki yang jadi teman sekelas aku waktu SMA masih bisa dihitung dengan jari, termasuk kamu. Iya, kan," imbuhnya masih betah tertawa.

Sudut bibir Fadhil pun terangkat sebelah. "Bagaimana kalau yang melamar kamu itu, aku?"

Butuh waktu lama bagi Shila agar bisa mencerna pernyataan Fadhil. Berkali-kali benaknya mempertanyakan, apakah ia tidak salah dengar?

"Itu juga satu hal yang gak mungkin, kan? Secara kamu udah ada yang lamar, dan aku juga udah punya niatan untuk melamar gadis lain."

Entah apa yang sedang dirasakannya, mendadak hati Shila mencelos ketika Fadhil menjelaskan maksud dari ucapannya. Ada sedikit rasa kecewa di sudut hati itu, namun tak ada yang bisa Shila lakukan selain diam.

Sebisa mungkin ia mengukir senyum di bibir. Agar Fadhil tak melihat raut kecewa yang mungkin sangat kentara di wajahnya. "Mmm, semoga apa yang kita rencanakan ke depannya berjalan lancar."

"Iya, La, aamiin. Semoga kamu bisa secepatnya mengambil keputusan." dan semoga Ahnaf memang lelaki yang Allah kirim untuk menjaga kamu, Shila.

Keadaan sunyi kembali menyapa. Keduanya sama-sama terdiam, sekadar menikmati angin yang berembus kencang. Pasmina yang Shila kenakan pun turut melambai, terkena tiupan angin yang menyejukkan.

"Mau pulang, atau masih mau tetap di sini?"

Pertanyaan itu berhasil memancing garis manis terbit di wajah Shila. "Sebenarnya lebih enak diam di sini, tapi di seberang sana, masih banyak orang yang menunggu kepulanganku."

Mendengar kalimat itu, tak pelak tawa Fadhil berderai. "Jadi kesimpulannya apa?" Tanyanya masih dalam keadaan tertawa.

"Kita pulang."

"Oke. Pak, pulang sekarang ya."

Bapak pengemudi yang sedari tadi hanya menjadi obat nyamuk untuk Shila dan Fadhil, mengangguk. Dalam hati, si bapak berteriak hore, karena akhirnya obrolan sepasang manusia yang tidak ia ketahui statusnya itu telah berakhir.

Kurang dari 10 menit, perahu yang Fadhil dan Shila tumpangi telah menepi. Suasana pantai yang tadinya sepi, sekarang sudah padat pengunjung. Setelah membayar uang sewa pada bapak pemilik perahu, Fadhil segera menyusul Shila yang sudah berjalan menuju saung.

"La, kamu udah sering ke sini, kan?"

"Iya, malah tiap hari aku datang ke sini."

Fadhil menggaruk pelipis. "Maksud aku, kamu udah sering datang ke Yogya, kan?"

"Oh, kalau sering sih enggak, tapi dalam setahun aku bisa dua kali berkunjung ke Yogya. Kenapa?"

"Di daerah sini, ada gak tempat jualan oleh-oleh khas Yogya?"

"Banyak. Tapi menurut aku, yang lebih banyak itu ada di Jalan Malioboro, di sana adalah pusat oleh-oleh kota Yogyakarta. Mau ke sana?"

Sebelum mengiyakan, Fadhil berpikir terlebih dahulu. Di menit ke sekian, barulah ia menyetujui tawaran Shila.

"Jarak dari Pantai Parangendog menuju Malioboro, kalau ditempuh menggunakan kendaraan roda empat, bisa memakan waktu satu jam, gak papa?"

"Gak papa, tapi yang jadi masalahnya aku gak bawa mobil. Gimana dong?"

"Kalau kamu gak keberatan, kita tinggal pesan taksi online aja."

Setelah mendapat anggukan dari Fadhil, Shila segera merogoh saku gamis. Hendak mengambil barang yang akan ia gunakan untuk memesan taksi. Sayang, barang yang ia cari tidak ada di sana. Sepertinya Shila lupa membawa ponsel.

Menangkap raut bingung di wajah Shila, Fadhil bertanya, "kenapa?"

"Kamu aja deh yang pesan taksinya, aku lupa gak bawa ponsel."

Dengan lincah, tangan Fadhil menggeledah setiap saku yang ada di jaket dan juga celananya. Namun, sama halnya dengan Shila, ia tak menemukan barang yang dicarinya.

"Terus gimana dong?"

"Lain kali aja deh," jawab Fadhil, pasrah.

"Ada andong!" pekik Shila dengan girangnya. "Mau naik gak?"

"Boleh, ayo," sahutnya semakin melebarkan senyum.

Tangan Shila melambai, sebagai interupsi agar sang kusir menghentikan andongnya. Setelah jaraknya dekat dengan Shila, Pak Kusir segera menarik kendali kuda agar rodanya berhenti melaju. Lantas, Shila mempersilakan Fadhil untuk naik terlebih dahulu.

Saat kaki Shila hendak naik, tiba-tiba tangan Fadhil terulur ke arahnya, seraya berkata, "mau dibantu?"

Pandangan Shila menajam. "Buk--"

"Bukan mahram. Iya, aku tau," sela Fadhil sambil melengos.

Setelah memastikan penumpangnya naik dan duduk dengan nyaman, andong itu kembali berjalan secara perlahan. Angin sepoi-sepoi mulai menerpa wajah Shila, membuatnya jadi merasakan kantuk yang luar biasa. Hingga akhirnya, ia terlelap dalam belaian angin yang melenakan.

Satu sudut bibir Fadhil terangkat. "Dasar pelor, begitu nempel langsung molor," katanya, gemas.

Menyaksikan Shila seperti itu, Fadhil seolah melihat dirinya sendiri, yang memang selalu tidur di mana saja. Ah, gadis itu. Selalu berhasil membuatnya terkesan dengan segala tingkah laku yang ditunjukkan. Benar-benar menggemaskan.

"Kasihan Mas, istrinya pasti kecapean ya, sampai tidurnya pulas banget."

Fadhil terkesiap. Hari ini, sudah dua orang yang menyangka mereka sebagai sepasang suami istri. Setelah ini, tolong, jangan ada lagi. Hatinya belum cukup kuat jika harus menampik perasaan yang mungkin bisa mencuat karena sebuah sangkaan.

"Mmm, Pak, kalau boleh tau, dari sini ke Jalan Malioboro memakan waktu berap lama, ya?"

"Kalau pakai kendaraan seperti ini akan lebih lama, Mas, kurang lebih sekitar dua jam."

"Oh iya?"

"Iya, si Mas mau ke sana?"

"Iya, Pak."

"Gak papa waktunya lama?"

"Gak papa, Pak, asal kami bisa sampai di sana."

Karena terhanyut dalam obrolan bersama dengan Pak Kusir, tak terasa, Fadhil telah sampai di tempat yang dituju. Jalan Malioboro. Tempat yang menyimpan berjuta keindahan serta kenangan di dalamnya.

Sebelum turun, terlebih dahulu Fadhil membangunkan Shila yang sama sekali tak terusik dengan keramaian pusat kota Yogyakarta. Awalnya ragu, bingung juga bagaimana ia membangunkan Shila. Namun, jika tidak dibangunkan, kasihan dengan Pak Kusir yang hendak pergi untuk kembali mencari penumpang.

Terpaksa, Fadhil menggoyang-goyangkan mukena yang ada dalam dekapan gadis itu. Sebelum matanya benar-benar terbuka, Shila menggeliat terlebih dahulu. Mungkin belum sadar di mana dirinya berada. Makanya, tanpa tahu malu Shila menggeliat sekuat tenaga.

Setelah mengucek mata beberapa kali, barulah Shila tersadar. "Astaghfiruahal'adzim! Kok aku bisa ada di sini?"

"Dari tadi juga kamu ada di sini, La."

"Innalillah, aku ketiduran, ya?"

"Udah, gak papa, ayo turun, itu Pak Kusirnya mau pergi."

Dengan gontai, Shila menapakkan kaki di jalan berbahan aspal. "Kita mau ke mana dulu?" Tanyanya sambil  mengedarkan pandang.

"Cari makan dulu yuk, lupa kalau dari pagi belum makan."

"Emang sekarang jam berapa?"

Manik mata Fadhil menatap jam di pergelangan tangannya. "Jam sembilan."

Shila mengangguk. "Ya udah, kita makan dulu, kebetulan aku juga udah lapar."

Baru juga melangkah, Fadhil sudah harus berhenti ketika Shila berbalik arah. Setelah melihat ke mana Shila pergi, Fadhil bukan main terkejutnya. Di tengah jalan sana, entah apa yang sedang Shila lakukan. Yang jelas, gadis itu sudah bertindak bodoh karena malah diam di sana. Padahal kendaraan bermotor tak berhenti hilir mudik.

"SHILA!" Dipanggil bukannya menyahut, Shila malah semakin asyik.

Gemas, buru-buru Fadhil menghampirinya. Namun, belum juga sampai, sebuah truk besar dari arah kanan jalan, tampak melaju kencang. "SHILA AWAAASS!!"

Fadhil berlari secepat yang ia bisa. Berharap dirinya masih diberi waktu untuk menyelamatkan Shila.

Sreeeettt....

Cekiiittt....

Bruukk!

Seketika, dunia terasa gelap. Fadhil merasakan sekujur tubuhnya sakit. Bayangan kebersamaan dirinya dengan Shila yang baru ia lalui, mulai memutari otak. Mungkinkah ini terakhir kalinya ia ada di dunia? Jika iya, siapa pun tolong jaga Shila setelah kepergiannya.

💞💞💞

Cukup Deri, jangan ambil Fadhil juga 🥺🥺

Bagaimana kisah Shila setelah ini? Nantikan kelanjutannya.

Jangan lupa, vote & comment ya😉

Sekitar  5 part lagi end, insya Allah, mohon doanya aja🙂

Salam....

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro