33. Tersenyumlah
Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Bersabarlah, jika saat ini bahagia belum bisa kau cecap. Mungkin saat ini kau tengah berada di titik terendah. Entah esok atau lusa, kau telah berhasil menggapai asa, meraih kebahagiaan yang nyata, di sisi-Nya yang amat Mulia. Surga...
***
Matanya tak pernah lelah memandang setiap rintikan hujan yang turun dari langit. Setelah satu minggu berada di Yogyakarta, baru hari ini, kota yang dijuluki dengan kota pelajar itu, diguyur rahmat yang sengaja Allah turunkan langsung dari langit-Nya yang megah.
Duduk di pojokan kafe sepertinya sudah menjadi kebiasaan baru bagi Shila. Satu Minggu ada di sini, ia benar-benar menutup diri dari hiruk pikuk suasana luar. Hanya pojokan kafe, dan pantai. Itulah dua tempat yang paling sering Shila singgahi.
Dari stand kasir, tampak seorang pemuda berjalan ke arah Shila. Membawa nampan berisi dua cangkir cokelat yang masih mengepulkan asap. Sesaat, pandangan Shila beralih pada pemuda itu. Tak lama, pahatan manis terukir di bibir, setelah ia mendaratkan tubuhnya di kursi yang berseberangan dengan Shila.
"Cokelat panas untuk Tetehku yang paling ganas." Dengan cekatan, tangan pemuda itu memindahkan cangkir dari nampan ke atas meja.
"Kamu kira Teteh singa apa, dibilang ganas segala," sergah Shila mengerucut, sebal.
"Teteh bukan Teteh singa, tapi Teteh Shila," kelakarnya, lantas tertawa.
Semula dahi Shila berkerut. Namun, tak lama ia ikut tertawa kecil. Bukan menertawakan ucapan Alyassa, melainkan menertawakan tingkahnya yang selalu saja berusaha melawak. Shila yakin, Alyassa juga menyadari kalau candaannya kali ini tidak lucu, alias garing.
Entah punya keberanian dari mana, Alyassa ingin menghiburnya. Yang jelas, Shila merasa terharu karena sekarang ia bisa kembali dekat dengan adik bungsunya itu. Dulu, sewaktu keduanya masih kecil, mereka sangat sulit dipisahkan. Sampai-sampai, banyak orang mengira mereka kembar. Kedekatan yang terjalin antara kakak beradik itu selalu membuat iri banyak orang.
Namun, seiring berjalannya waktu, jarak telah menjadi sekat di antara mereka. Yang semula dekat menjadi jauh, yang awalnya akrab menjadi orang seperti tak saling kenal. Bahkan kalau bertemu pun, Shila dan Alyassa tak pernah bertegur sapa. Kecuali kalau ada urusan yang memaksa mereka harus bicara.
Berbagai kejadian di masa kecil yang ia lalui bersama Alyassa, masih melekat dalam benak. Di usia lima tahun pertama Shila, ia dan Alyassa benar-benar menjadi saudara yang saling menjaga satu sama lain. Lima tahun kedua, mereka sudah seperti kucing dan tikus, yang kalau bertemu selalu saja bertengkar. Lima tahun ketiga sampai beberapa hari yang lalu, keduanya seperti bukan kakak beradik, karena kecanggungan yang hadir selama bertahun-tahun.
Sekarang, sekat itu telah tersingkap. Bongkahan es yang sekian lama membeku, telah mencair hanya karena dua kata yang Alyassa ucapkan tempo lalu. 'Teteh kuat!'. Itulah kata yang masih terngiang di telinga Shila hingga saat ini.
"Teh, ayo diminum dulu cokelatnya, nanti kalau udah dingin gak enak."
Shila tersadar dari kenangan masa lalunya. Kemudian ia menoleh ke arah samping, menatap pesisir pantai yang terlihat jelas dari jarak 500 meter.
"Teteh lagi gak selera minum cokelat, Al," ucap Shila pada akhirnya.
Alyassa mendengus. "Gak mau tau, pokoknya Teteh harus minum, supaya perasaan Teteh bisa membaik. Teh Shila tau gak, kalau cokelat itu bisa memperbaiki mood?" Sekarang, Shila sudah menatap Alyassa dengan tangan menyangga dagu, siap mendengar ocehan sang adik. "Cokelat itu mengandung beberapa senyawa bermanfaat bagi tubuh, seperti fenol dan flavonoid. Selain itu, di dalam cokelat juga terdapat vitamin A, B1, C, D, dan E. Terus, mineral-mineral baik seperti zat besi, kalium, kalsium, dan magnesium juga ada dalam cokelat.
Dalam 1 ons cokelat, mengandung 18 mg magnesium, yang setara dengan 15% asupan magnesium yang dibutuhkan tubuh. Cokelat juga mengandung alkaloid seperti theobromin, kafein, dan fenitelamin, yang diyakini dapat memberikan efek yang berkaitan dengan serotonin pada otak, sehingga dapat meningkatkan daya sensitif insulin, menurunkan tekanan darah, dan memperbaiki suasana hati."
Bibir Shila malah menganga saat mendengar penjelasan panjang kali lebar Alyassa. "Kamu ini sebenarnya manajernya A Ghani, atau pakar kesehatan yang lagi menyampaikan ulasan seputar cokelat?"
"Dua-duanya," jawab Alyassa sambil nyengir, sampai lekukan di kedua pipinya tampak.
"Kamu sepertinya lebih cocok jadi dokter daripada manajer restoran. Soalnya kamu tau banget apa aja senyawa dan kandungan yang terdapat dalam cokelat, terus manfaat apa aja yang ada dalam cokelat."
"Al cuma mau kasih tau Teteh, kalau cokelat itu punya manfaat yang besar untuk perubahan mood seseorang."
Tangan Shila menggaruk kepala yang mendadak gatal. "Sekarang Teteh tanya sama kamu, kenapa kamu ada di sini? Bukannya kerja malah kelayapan, nanti A Ghani nyariin loh."
Untuk yang kedua kalinya, Alyassa mendengus. "Ya Allah, Teh Shila, sekarang udah jam istirahat, jadi Al mau santai-santai dulu di sini. Lagi pula restoran A Ghani ada di bawah, kalau dia butuh Al, gampang. Tinggal turun aja. Udah, sekarang Teteh minum dulu cokelatnya."
Shila tidak suka pemaksaan, tapi demi menyenangkan sang adik, meski malas ia tetap meminum cokelat di hadapannya. "Gimana, Teh?" tanya Alyassa.
"Gimana apanya?"
"Perasaan Teteh sekarang?"
"Biasa aja, Teteh gak merasakan perubahan apa pun."
Alyassa menepuk dahinya cukup keras. "Sejak kapan sih Teteh gak peka sama perasaan sendiri?"
"Sejak kejadian beberapa minggu lalu," ujar Shila, kembali memalingkan wajah ke samping. Kali ini pendaran matanya kosong.
"Udah Teh, jangan dipikirin terus."
"Ini ujian terberat yang Teteh rasakan, Al, walaupun gak dipikirin, semua masih suka berputar di pikiran Teteh." Shila menyembunyikan wajahnya dibalik tangan.
"Teh, ingat gak, sama Quran surah Al Baqarah ayat 286?"
Bibir Shila bungkam, tapi hatinya langsung membaca ayat yang disebutkan Alyassa. "Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan dengan kesanggupannya." Begitu kata Alyassa, setelah cukup lama tak ada sahutan dari Shila. "Al yakin, Allah memberi ujian seperti ini sama Teteh, karena Allah tau, Teh Shila bisa melewati semuanya. Meskipun Teteh merasa berat untuk menghadapi ujian ini, tapi dengan Teteh selalu mengingat Allah, selalu pasrah, berserah diri pada setiap ketetapan yang Allah buat, bisa bangkit dari keterpurukan, itu artinya Teteh telah berhasil melewati ujian-Nya. Sekarang Teteh hanya perlu bersabar dalam menanti sesuatu yang akan Allah beri, untuk menggantikan apa yang sudah diambil-Nya."
Kepala Shila tertunduk. "Seandainya kita tau, apa yang akan menimpa kita di masa depan, pa---"
"Pasti rencana yang udah Allah buat gak akan menjadi kejutan lagi untuk kita." Alyassa sengaja memotong ucapan Shila. "Percayalah Teh, semuanya udah Allah atur sedemikian rupa, jadi Teteh gak perlu khawatir."
Satu embusan napas lolos dari bibir Shila. "Kira-kira siapa ya, lelaki yang akan menjadi Pangeran Ar Rahman Teteh?"
"Mau Al kasih tau?"
"Siapa?" Shila mulai antusias.
"Sore ini, Teteh pergi ke pantai, terus tanyakan pada dzat yang menciptakan pantai. Siapa, dan di mana Pangeran Ar Rahman Teteh sekarang. Setelah itu, tunggu beberapa saat, sampai ada seseorang yang datang. Kalau dia laki-laki, berarti, dialah Pangeran Ar Rahman Teteh," jelas Alyassa, persis seperti detektif.
"Masa sih, kamu jangan ngaco deh, kalau yang datang nanti adalah kakek-kakek, atau kemungkinan buruknya malah jin laki-laki yang datang, bagaimana?"
"Ya ... itu artinya dia pangeran Ar Rahman Teteh," Alyassa mengulum bibir.
"Ih, Al, gak lucu ah, kalau ngomong jangan sembarangan, emangnya kamu mau Teteh nikah sama kakek-kakek, parahnya lagi sama jin," protes Shila sambil memukul lengan Alyassa berkali-kali.
Bukannya menghindari pukulan Shila, Alyassa malah tertawa bahagia. "Teteh percaya?"
"Emang kamu bohong?"
Masih dengan tawanya, Alyassa berkata, "Udah ah, Al mau kerja lagi, jam istirahat udah selesai, Assalamualaikum." Alyassa bangkit. Namun, sebelum pergi meninggalkan Shila, ia sempat mengatakan sesuatu yang membuat kakaknya heran. "Teh, siap-siap ya," katanya sambil berlalu.
Alis Shila tertaut, "Siap-siap apanya, Al? Hey, Al?" Tanpa memperdulikan teriakan Shila, Alyassa terus berjalan dengan langkah tenang. "Dasar punya adik, ngomongnya gak pernah disaring. Lama-lama bisa stres kalau terus seperti ini," sungutnya dengan suara tinggi.
💞💞💞
Dua kali dalam sehari, Shila mengunjungi tempat favoritnya, tapi ia tak pernah merasa bosan dengan keindahan yang disuguhkan pantai. Suara ombak yang terdengar merdu, menjadi lagu alam paling syahdu. Matanya tak penat menatap ciptaan Tuhan yang megah di atas sana. Juga aktivitas burung camar yang menjadi pelengkap keindahan sore ini. Membuat suasana semakin sempurna.
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Benar-benar kebahagiaan tersendiri, bisa datang setiap hari ke tempat yang menyimpan sejuta keindahan ini. Lokasi restoran kakaknya yang berada dekat dengan pantai, membuat Shila merasa bebas ingin ke sini kapan pun ia mau.
Desiran angin yang membelai wajah, membuat matanya terpejam. Menikmati setiap detik, bersatu dengan alam. Tangan yang semula bersidekap di depan dada, sudah terlentang ke arah samping.
Di tengah keasyikannya bercengkerama dengan alam, tiba-tiba Shila menangkap sebuah suara yang begitu familier di telinganya.
"SHILA!"
Shila menengok ke belakang. Matanya langsung menyipit tatkala melihat seorang pria berlari ke arahnya. Dahi Shila turut berkerut, mencoba mengenali sosok tersebut. Setelah jaraknya dekat, dua kaki Shila mendadak terkunci di tempat. Jantungnya langsung beraksi, bertingkah nakal sampai detakannya abnormal.
Kenapa harus dia, ya Allah?
"Assalamualaikum, Shila."
Netra Shila beralih pada kaki yang tersapu ombak. "Wa-wa alaikumsalam warahmatullah."
"Syukurlah aku gak salah mengenali kamu. Sebentar ya, aku mau menghubungi dulu seseorang."
Shila mengangguk lemah. Sembari menunggu dia yang tengah melakukan panggilan--entah pada siapa, Shila mulai memainkan pasir yang dipijaknya dengan kedua kaki.
Tunggu beberapa saat, sampai ada seseorang yang datang. Kalau dia laki-laki, berarti, dialah Pangeran Ar Rahman Teteh.
Baru saja menanyakan hal itu, sekarang, sudah ada laki-laki yang datang kemari. Mana yang datang itu orang yang dulu berpengaruh dalam hidupnya. Shila jadi bingung, bagaimana menyikapi semua ini. Kejadian sekarang, tentu hanya kebetulan. Tidak mungkin kan, jika ucapan Alyassa itu memang benar?
"Tunggu ya, sebentar lagi dia datang."
Shila sama sekali tak bersuara. Ia masih heran, kenapa pria itu bisa ada di sini, dan ... kenapa pula ia bisa tahu posisinya sekarang? Ingin bertanya, tapi segan. Lidahnya terlalu kelu, hanya untuk menyapa pria itu.
"TEH SHILA!"
Kepala Shila kembali tertoleh ke arah sumber suara. Begitu menyadari siapa yang memanggilnya, tanpa diperintah, senyum sudah menghiasi wajah Shila sepenuhnya.
"Teh Shila, aku kangen," rengeknya sambil menghambur, memeluk Shila.
Shila terkekeh pelan, "Sama, Teteh juga. Kamu apa kabar, Husna?"
"Alhamdulillah aku baik, Teh. Teteh sendiri bagaimana, udah gak papa, kan?"
Shila cukup menggeleng setelah melerai pelukan Husna. "Kamu kok bisa ada di sini?"
"Bisa dong." Husna melirik jahil pada Fadhil yang dari tadi hanya bisa menonton kedua perempuan di depannya. "A, udah bilang belum sama Teh Shila?"
Fadhil mengernyit. "Bilang apa?"
"Ah, A Fadhil suka pura-pura begitu."
"Ya bilang apa Husna, Aa gak ngerti?"
Husna mencebik. "Ih, bilang kalau A Fadhil kangen sama Teh Shila."
Tentu saja Fadhil kaget. Bahkan matanya sampai membeliak, lebih tepatnya melotot ke arah Husna. Adiknya itu, benar-benar minta diberi hadiah. Sama sekali tidak bisa menjaga adab. Karena ucapannya, Shila sampai harus mati-matian menutupi salah tingkahnya di depan Fadhil.
"Fitnah kamu ya, kata siapa itu?"
"Kata Husna barusan."
Fadhil ikut salah tingkah. "A--Shila, aku, mmm, maksudnya...."
"Hayo, mau ngomong apa, hmm? Gak bisa ngomong, kan? Udah, mending A Fadhil jujur aja, toh, Teh Shila juga gak akan marah, iya kan Teh?"
Shila berusaha menahan senyum saat melihat wajah merah Fadhil. "Apaan sih kamu. Mmm, maaf La, Husna, maksudnya ... gak usah dianggap. Dia ... memang seperti itu. Bibirnya terlalu bocor."
"Emangnya bibir Husna ember, dikatain bocor segala? Udah jelas-jelas tadi A Fadhil memaksa Husna supaya mau menemani A Fadhil ke sini untuk bertemu Teh Shila, iya kan? Pakai acara menyalahkan Husna segala lagi," sungut Husna tidak mau disalahkan.
"Emang Aa yang mau ke sini, tapi yang kamu bilang itu gak berdasarkan fakta, Husna. Kamu yang memaksa mau ikut, kenapa jadi bilang Aa yang paksa kamu?"
Mata Husna mendelik tajam. "Tapi benar kan, kalau A Fadhil kangen sama Teh Shila?"
"Kata siapa?"
"Kata Husna tadi."
"Ngaco kamu."
"Kok ngaco, harusnya Aa bilang terima kasih sama Husna, karena Husna udah mau mewakili isi hati A Fadhil."
Shila menghela napas. Sudah cukup dirinya melihat adegan adu mulut yang terjadi antara Fadhil dan Husna. "Udah Na, gak usah di perpanjang. Daripada debat gak jelas, mending kita lihat sunset aja yuk, mau gak?"
Husna mengangguk antusias. "Mau Teh, mau."
Segera saja kedua gadis itu berlari, menuju tempat yang biasa Shila gunakan untuk menyaksikan senja. Fadhil pun turut berjalan, menyusul ke mana perginya Shila dan Husna.
Kini, mereka telah berdiri di atas batu karang. Sungguh, Fadhil dan Husna tidak bisa mengungkapkan apa yang dilihatnya dengan kata-kata. Keindahan yang disuguhkan Pantai di kota pelajar itu sangat memikat siapa pun yang memandangnya. Keduanya terhipnotis pada semburat merah jingga yang tengah menguasai cakrawala.
Di lubuk hati Shila yang paling dalam, kebahagiaan tak lekang ia rasakan. Entah keinginan dari mana, mendadak manik mata itu melirik ke samping kiri. Di sana, ia bisa melihat siluet Fadhil menengadahkan wajah, dalam keadaan mata terpejam. Sunggingan senyum perlahan terbit, menghiasi bibir ranum Shila.
Allah, terima kasih untuk hari ini. Betapa baiknya Engkau, sebab telah menghadirkan orang-orang yang begitu peduli padaku. Dia ... entah bagaimana alur kehidupan kami ke depannya. Semoga takdir, membawa kami pada satu ketetapan yang baik.
💞💞💞
29 Syawal 1441 H
Yah, gimana ya, menurutku Fadhil dan Shila itu sejoli yang klop banget.
Menurut kalian gimana, ada saran gak siapa yang mau jadi pendamping Shila?
Komen-komen ya😁
See you next part...
Aku padamu😘
Salam
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro