Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32. Tegar

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Pada semesta yang tak pernah lelah memberi asa, terima kasih masih berkenan mendatangkan pelangi sehabis mendung. Setidaknya, dengan itu aku bisa tahu, bahwa langit tak selamanya kelabu, dan hati tak selamanya bisa bersatu.

~Takdirku~

***

Gemuruh suara ombak terdengar begitu merdu di kala Shila semakin mendekat ke bibir pantai. Terpaan angin yang sedikit kencang, membuat gamis dan hijab yang dipakainya terlihat melambai-lambai. Langkah kaki itu terhenti, tepat setelah pijakannya menapaki pasir putih yang basah.

Sapuan ombak yang mengenai kaki, tak membuat Shila merasa terganggu. Ia malah semakin maju beberapa langkah, agar ombak itu tak lekang membasahi kakinya. Kerinduan akan satu tempat ini perlahan terobati. Satu tempat favorit yang membuat Shila jatuh cinta saat kali pertama mengunjunginya.

Kedua sudut bibir mulai tertarik ke samping, menampilkan satu senyuman yang menenangkan. Mata Shila terpejam rapat, menikmati setiap embusan angin yang membelai lembut kulit wajahnya. Kedamaian dapat kembali ia rasakan setelah sekian lama tak bersua dengan alam yang indah nan luas ini.

Helaan napas berat mulai berembus. Senyum yang semula terpasang manis, berubah getir, kala ingatan tentang berbagai kejadian yang dilaluinya mulai berputar. Berat, tapi Shila tetap harus melangkah, demi bisa sampai ke tujuan yang ia tempuh selama ini. Kini, manik matanya menatap kosong pada laut yang seolah tak berujung.

Kamu tahu, begitu banyak hal yang sama sekali belum ku ceritakan padamu, tapi kenapa kamu harus pergi secepat ini? Meninggalkan berita pahit yang sulit ku terima.

Aku memang tidak tahu, alasan apa yang membuatmu sampai harus menikahi wanita itu. Apakah kamu mencintainya? Jika iya, tega kamu, karena sudah mempermainkan perasaanku.

Shila menarik napas dalam, mencoba menetralkan dada yang kembali sesak. Ingin sekali ia menjerit, menumpahkan segala sesuatu yang menghimpit dadanya. Ternyata sesulit ini mengikhlaskan seseorang yang pernah hadir dalam hidup. Tanpa disadari, air mata sudah kembali membanjiri pipi.

Dulu, kamu menyuruhku untuk membalas puisi buatanmu. Saat itu pula aku membalasnya, Pak, apa kamu mau membacanya? Ah, itu sudah sangat tidak mungkin, karena kamu sudah memilih pergi lebih dulu. Bersama wanita itu.

Sekarang siapa yang jahat? Aku, yang pernah membencimu, atau kamu, yang memilih pergi setelah menorehkan kesakitan mendalam di dasar hati?  

Tangan Shila mengusap pipi dengan kasar. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Kedatangannya kemari, adalah untuk membebaskan pikiran, bukan untuk menambah kemelut dalam hidup.

Puas menumpahkan air mata, ia kembali melangkahkan kaki. Menyusuri pantai yang terlihat begitu lengang. Bias jingga mulai menghiasi cakrawala. Awan-awan yang berperan sebagai pigura langit pun, tak luput terkena pancaran sinarnya yang megah.

Inilah yang Shila tunggu-tunggu, momen yang paling ia rindukan jika dirinya berkunjung ke pantai. Menikmati senja. Sekarang, Shila telah berdiri di atas sebuah batu karang. Percikan air mengenai wajahnya, kala deburan ombak menerpa batu itu dengan keras.

Senyum masam menghiasi wajah Shila. Seandainya ia bisa sekeras batu karang, pasti ia akan terus menantang dunia. Seperti halnya batu karang, yang selalu menantang ombak untuk menghantam. Sayang, ia tak setegar itu.

Kedua tangan mulai direntangkan. Menyambut kehadiran sang senja, yang telah membuatnya terpukau untuk ke sekian kali. Mata itu terpejam, menikmati setiap anugerah yang telah Allah beri di penghujung sore ini.

Aku bilang juga apa, kamu itu seperti senja. Hadir untuk memberi warna, lalu hilang dalam sekejap mata. Menyisakan pilu yang teramat nyata, serta rasa yang menyesakkan dada.

"Pulang, sudah mau Magrib."

Shila menurunkan tangan, ketika sebuah suara yang ia hafal menyapa pendengaran. Tepat setelah matanya terbuka, ia menengok ke arah samping kanan. Di sana, sudah ada Ghani yang sedang berdiri menghadap laut.

"Kamu habis nangis?"

Spontan, kepala Shila tertunduk dalam. Lalu, ia menggeleng, tapi genangan air sudah siap meluncur dari matanya. Kembali, Shila mendongak, berusaha menghalau air mata yang akan jatuh. Napas Ghani berembus kencang. Entah sampai kapan ia harus melihat adiknya seperti itu. Bersikap kuat, padahal hatinya rapuh.

"Kamu gak perlu bohong Shil, kalau menangis bisa membuat kamu merasa lebih baik, menangislah."

Usai berkata demikian, Ghani segera membawa tubuh Shila ke dalam dekapannya. Di saat itu pula, tangis Shila pecah, menumpahkan segala isi hati yang ia pendam selama ini. Jujur, sebenarnya Ghani benci kalau harus beradegan seperti ini, apalagi dalam keadaan bersedih. Namun, ia tidak bisa egois. Shila membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Jadi, mau tidak mau, Ghani harus menepikan sejenak rasa tidak sukanya.

Dalam isaknya, Shila berkata, "Ternyata Shila masih lemah A, Shila belum bisa menjadi wanita yang kuat. Meskipun ujian yang sama selalu menghampiri, tapi tetap aja hati Shila rapuh, A. Shila lemah, Shila terlalu lemah."

Usapan lembut Shila dapatkan dari Ghani yang masih setia mendekapnya. "Meskipun kamu menganggap diri sendiri lemah, tapi Aa bangga sama kamu. Seberat apa pun cobaan yang datang, kamu masih bisa bangkit. Aa sendiri gak tau, apakah Aa bisa sekuat kamu atau enggak, kalau seandainya Aa yang ada di posisi kamu."

Barulah setelah itu, Ghani menarik tubuh Shila, demi melihat raut yang tampak di wajah adiknya. "Udah, jangan sedih terus, simpan air matamu," kata Ghani sambil mengusap pipi Shila. "Allah hanya mengambil satu orang dari hidupmu, sementara yang lainnya, masih Allah izinkan untuk tetap ada di sampingmu, menemanimu, memberi dukungan padamu. Istighfar ya, jangan buat hati kamu terus dirundung kesedihan."

Rapalan istighfar mulai terucap dari bibir Shila. Merasa belum kuat, ia menubruk tubuh sang kakak, dan memeluknya erat. Wajahnya semakin ia tenggelamkan ke dada bidang Ghani.

"Kenapa semua ini terjadi dalam hidup Shila, A?"

"Karena Allah tau, kamu bisa melewatinya. Kamu termasuk orang-orang pilihan yang sengaja Allah beri ujian ini, sebagai tanda cinta-Nya, bukti kalau Dia menyayangi kamu. Allah mendatangkan ujian ini, semata-mata hanya untuk menguji kesabaran dan ketaqwaan kamu. Jadi, mulai sekarang, syukuri setiap kejadiannya, Allah sedang mengangkat derajat kamu."

Air mata semakin deras keluar. "A, apa ... ini hukuman dari Allah, karena dul-lu Shila menolak perjodohan yang Ibu lakukan?"

"Sama sekali bukan."

"Tapi Shila selalu merasa kalau semua yang Shila lalui selama ini, merupakan bentuk hukuman dari Allah."

Lagi-lagi Ghani menarik tubuh Shila, kali ini tarikannya agak kencang. "Kamu paham apa yang dimaksud takdir?" Bungkam. Shila melengos, berusaha menghindari tatapan Ghani yang berubah tajam. "Apa yang terjadi sama kamu saat ini, gak ada kaitannya dengan masa lalu. Apalagi karena masalah itu! Ini semua takdir Shila, takdir! Ketetapan yang telah Allah gariskan untuk kamu. Jadi, jangan pernah sekali pun kamu menyangkut pautkan semua yang menimpa kamu saat ini, adalah karena kesalahan kamu di masa lalu." Bahu Shila terguncang hebat, Ghani benar-benar telah membuatnya merasa kecil.

"Ingat Shil, Allah Maha Berkehendak. Semua hal yang terjadi sama kamu, itu karena Allah mau, bukan karena masa lalu kamu," imbuhnya, berhasil menyentil perasaan Shila.

Gema azan dari masjid yang berjarak beberapa meter dari pantai, sudah terdengar saling bersahutan. Ghani segera mengajak Shila pulang, namun sebelum itu, terlebih dahulu Shila mengeluarkan sebuah benda dari saku gamisnya.

"Kamu kenapa bawa begituan?" Alis tebal Ghani mulai tertaut.

"Mau dibuang," jawab Shila sembari menuruni batu karang.

"Jangan mengotori pantai dengan barang sampah itu."

Shila mengerucut, sebal. "A Ghani kok malah bicara seperti itu? Ini adalah perahu yang terbuat dari kertas, Shila cuma mau melayarkannya. Siapa tau setelah perahu ini berlayar, apa yang tertulis di sini, bisa ikut berlayar."

"Terserah," sahut Ghani, mengangkat bahu tak acuh.

Melihat tingkah laku Shila yang persis seperti anak TK, Ghani hanya bisa mengusap dada. Terkadang, ia sering dibuat heran jika sedang berhadapan dengan adik perempuannya. Apa yang diperbuat Shila sangat sukar ditebak. Contohnya seperti sekarang, apa maksudnya melayarkan perahu kertas dari bibir pantai? Yang ada perahu itu malah kembali menepi, sebab ombak yang tak henti pasang surut.

"Shil, sampai kapan pun itu perahu gak akan bisa berlayar. Kamu lihat, ombaknya terus membuat perahu itu kembali. Udah yuk, pulang."

"Bentar lagi, A." Shila tak henti mencoba. Dengan sabar, ia layarkan kembali perahu di tangan, hingga akhirnya berhasil.

Mata Shila terus menatap laju perahu kertas yang terombang ambing, terseret ombak. Senyuman kembali menghiasi wajah sendunya, saat perahu yang ia layarkan benar-benar sampai di lautan lepas.

Balasan puisiku, untukmu sudah berlayar. Terima kasih, telah menyempatkan diri berlabuh di dermaga hati ini. Meski perpisahan di antara kita, selalu saja membuatku menangis, tapi kehadiranmu, mampu mengubah alur hidupku.

💞💞💞

Derap langkah kaki yang sengaja dihentak-hentakkan semakin nyaring terdengar. Fadhil memutar kepala ke arah suara ketiplak itu berasal. Didapatinya sang adik tengah berjalan mendekat, dengan wajah yang begitu masam.

"Kenapa Na, kok bibirnya monyong terus?"

Husna duduk di sofa panjang yang bersebelahan dengan Fadhil. "Teh Shila pergi ke Yogya."

"Cakep."

Mata Husna membelalak. "Ih, kok A Fadhil malah bilang cakep sih?"

"Lah, emang kenapa?"

Wajah Husna semakin memberengut. "Husna itu kasih info sama A Fadhil kalau Teh Shila pergi ke Yogya, kenapa Aa malah bilang cakep?"

"Oh," Fadhil terkekeh sejenak, "Aa kira tadi kamu mau baca pantun, habisnya nada bicara kamu seperti orang mau pantunan."

Kali ini, bola mata Husna berputar. "Ada-ada aja."

Sambil terus membolak-balik kertas yang dipegangnya, Fadhil masih terkikik geli. Sementara Husna, memilih baringan di sofa panjang yang didudukinya sekarang. Suasana hening, karena tak ada yang memulai pembicaraan. Husna sendiri, ia sudah terlanjur malas bercerita pada Fadhil. Ekspresi kakaknya yang biasa saja saat mendengar info kepergian Shila, berhasil membuat Husna geram.

"Memangnya kenapa kalau Shila ke Yogya?"

Husna langsung mengubah posisinya, ketika Fadhil tiba-tiba mengajukan pertanyaan. "Karena Husna gak akan bisa ketemu sama Teh Shila lagi."

"Memangnya Shila mau tinggal di sana selamanya, nanti juga dia balik lagi, kan?"

Entah kenapa, setiap respons yang diberikan Fadhil malah semakin menambah rasa kesal di hati Husna. "Memangnya, memangnya, terus aja memangnya." Tubuh Husna kembali berbaring. "Semua ini gara-gara Kak Ahnaf, coba aja kalau dia gak lamar Teh Shila, pasti sekarang Teh Shila masih ada di sini."

Mendengar gerutuan adiknya yang mengucapkan kata 'lamar', Fadhil langsung bereaksi. "Ahnaf itu siapa, Na?"

"Itu, cowok gadungan yang pernah jadi pacarnya Reva, dia berani melamar Teh Shila."

Raut heran begitu kentara di wajah Fadhil. "Terus, kenapa dia malah lamar Shila?"

"Itu dia, Husna juga gak tau, Reva belum menceritakan alasan sebenarnya kenapa si Ahnaf itu malah melamar Teh Shila." Diam sejenak, "sekarang Teh Shila pasti lagi bingung, antara harus menerima lamaran Kak Ahnaf, atau menolaknya. Ih, kesel deh sama si Ahnaf, kenapa sih dia pakai acara lamar-lamar Teh Shila segala. Padahal tadinya Husna ada rencana untuk kembali mencomblangkan A Fadhil sama Teh Shila."

"Kamu bicara apa sih, kamu masih berharap supaya dia jadi kakak ipar kamu?" Tanya Fadhil tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.

"Iya," jawab Husna singkat.

"Cewek yang Papa sama Mama bawa kemarin itu, gak kalah baiknya loh dari Shila. Kenapa kamu gak berdoa aja supaya dia benar-benar jodoh Aa, supaya kamu juga bisa secepatnya punya kakak perempuan."

"Pokoknya Husna mau yang jadi kakaknya Husna itu Teh Shila, gak mau yang lain. Apalagi sama cewek yang kemarin, Husna gak suka. Dia terlalu banyak gaya."

Fadhil menghela napas. Ternyata ia sependapat dengan Husna. Inginnya Fadhil bisa kembali memperjuangkan Shila, tapi mendengar dia sudah ada yang melamar, harapannya harus gugur sebelum berbuah. Mungkin, sudah saatnya ia menerima tawaran Pak Firman. Menikah dengan gadis pilihan papanya, sepertinya itu jauh lebih baik. Takdir terlalu sukar untuk ditebak, sampai ia tidak tahu ke mana takdir akan membawanya setelah ini.

"A, jawab dong, mau apa enggak?"

Fadhil mengerutkan dahi. "Jawab apa?"

Husna berdecak, kesal. "Makanya Aa jangan melamun terus, gak dengar kan, tadi Husna nanya apa."

"Ya maaf, memang tadi kamu nanya apa?"

"Aa mau kan, melamar Teh Shila?"

Kedua tangan Fadhil mengusap wajah, kasar. "Na, kamu sendiri yang bilang kalau Shila sudah dilamar sama mantan kekasihnya Reva, terus kenapa sekarang kamu malah menyuruh Aa untuk melamar dia? Kamu kan tau itu gak boleh. Janganlah seorang laki-laki melamar di atas lamaran saudaranya, hingga pelamar sebelumnya, meninggalkan lamarannya atau ia mengizinkannya. Ingat, dengan hadits itu?"

"Iya, Husna tau, A, tapi rasanya Husna gak rela kalau misalkan Teh Shila harus nikah sama cowok itu."

Manik mata Fadhil menatap lekat ke dalam bola mata Husna. Ada ketakutan yang teramat di dalam sana. Itu artinya, Husna memang mengkhawatirkan Shila. Lalu, apa yang harus Fadhil lakukan, ia tidak bisa berbuat banyak selain berdoa, semoga pria yang akan menikah dengan Shila nanti, adalah pria yang jauh lebih baik dari Deri.

"Kamu berdoa aja Na, mudah-mudahan apa yang kamu takutkan gak terjadi."

Dengan tampang melas, Husna memandang wajah Fadhil. "Jadi ... A Fadhil gak mau melamar Teh Shila?" Fadhil menggeleng. "Kenapa?"

"Ada dua alasan Aa gak bisa melakukan apa yang kamu mau, Na. Pertama, seperti yang Aa bilang tadi, kalau seorang perempuan sudah ada yang melamar, laki-laki lain gak boleh melamar dia. Kedua, Aa udah punya pilihan tentang siapa yang akan Aa jadikan sebagai calon istri, dan sepertinya ... pilihan Mama sama Papa, menurut Aa itu yang terbaik."

Pupus sudah harapan Husna ingin menjadi adik ipar dari Shila. Kalau Fadhil sudah menentukan pilihan, apa yang dipilihnya tidak dapat diganggu gugat. Semua sudah menjadi keputusan mutlak bagi Fadhil.

Dengan perasaan kecewa yang menggunduk dalam hati, Husna bangkit. Meninggalkan Fadhil yang masih berkutat dengan tumpukan kertas di depannya, dan sepuluh jarinya tak berhenti menari di atas keyboard laptop. Malam ini, merupakan malam termenyedihkan bagi Husna.

💞💞💞

27 Syawal 1441 H

Alhamdulillahi rabbil 'alamiin..

Gak tau harus bilang apa, semuanya terlalu rumit.

Oya, untuk yang baca, maunya gimana nih, Shila baiknya sama Ahnaf, atau Fadhil?

Atau ... mending Shila sama tokoh lain yang gak dikenal??😁😁

Respons ya..

Pengen tau pemikiran kalian seperti apa untuk cerita ini.

Aku padamu😘

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro