Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Keputusan Shila

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Dan jika Allah tak jua membersamakanku denganmu, mungkin itu sudah menjadi ketetapan yang tak dapat diganggu. Aku pergi, bukan berarti aku tak mau lagi. Aku hanya ingin mencoba mengerti. Yaitu, melepas bayang yang tidak akan pernah bisa ku genggam.

***

Sembari menunggu Shila yang tengah menyusul sang ayah, pandangan Ahnaf terus beredar. Menelisik setiap penjuru ruang tamu, yang tampak lengang. Di sana, ia tidak sendiri, ada Reva yang turut duduk di depannya. Bergeming, dengan mata menatap kosong ke arahnya.

Sebenarnya Reva ingin bertanya, tentang tujuan Ahnaf datang ke rumah Shila sampai harus menemui ayahnya. Namun, ia masih bingung mengawali pertanyaan itu dari mana. Ketika Reva hendak membuka mulut, Shila datang bersama Pak Qomar dari arah dalam. Terpaksa, niatnya yang ingin bertanya harus diurungkan.

"Assalamualaikum, Pak." Ahnaf berdiri dari duduknya, lantas mencium tangan Pak Qomar.

"Wa alaikumsalam, duduk, Nak."

Ahnaf kembali duduk di kursi semula. Sementara Pak Qomar, duduk di kursi ukuran single, dan Shila duduk di sebelah Reva yang berhadapan langsung dengan Ahnaf.

"Tadi siapa namanya, Bapak lupa lagi?"

"Saya Ahnaf, Pak."

Pak Qomar tampak mengangguk beberapa kali. "Oh, Nak Ahnaf ini temannya Shila?"

"Sebenarnya saya baru beberapa kali bertemu dengan Shila, mungkin ini baru yang ketiga kalinya, Pak," tutur Ahnaf sambil terus menyunggingkan bibir.

"Oh, jadi baru kenal," jeda beberapa detik, "lalu, ada apa Nak Ahnaf bertamu kemari sampai ingin bertemu Bapak?"

Manik mata Ahnaf melirik sekilas pada Shila yang sedang menunduk. "Saya ... berniat untuk melamar Shila, Pak."

Ketiga orang yang berada di sana, sontak terkejut mendengar ungkapan Ahnaf. Terlebih dengan Reva, ia sampai bangkit dari duduk, lalu menatap Ahnaf dengan sengit.

"Apa? Kak Ahnaf mau lamar Teh Shila?"

Dengan entengnya, Ahnaf menjawab, "Iya, Reva."

Senyum miring terbit di bibir Reva. "Lalu apa maksud perkataan Kak Ahnaf dulu sebelum Kak Ahnaf putusin aku, Kak Ahnaf udah janji mau lamar aku!"

Mendengar itu, Pak Qomar semakin terkejut. Sebenarnya siapa lelaki yang hendak melamar Shila ini, kenapa Reva mengenalnya? Dan ... kenapa Reva bilang kalau lelaki ini sudah berjanji akan melamarnya, tapi kenapa malah Shila yang dilamar?

"Va, dulu aku bilang, kalau aku udah yakin kamu adalah pilihan aku, aku pasti akan pilih kamu, tapi ternyata ... hati aku malah memilih Shila."

"Kenapa Kak Ahnaf milih Teh Shila, Kak Ahnaf kan belum kenal lama sama Teh Shila?"

"Karena aku ... mencintai Shila."

Deg.
Jantung Reva seolah berhenti berdetak. Kejujuran yang Ahnaf katakan berhasil membuatnya lemas tak berdaya. Ternyata orang yang dianggap mencintainya malah mencintai kakak sepupunya sendiri. Padahal Reva lebih dulu kenal dengan Ahnaf, tapi kenapa harus Shila yang dipilih?

Kejadian yang langka Reva lakukan adalah menangis. Apalagi kalau harus menangis karena sesuatu yang tidak berguna. Namun, kali ini hati Reva benar-benar sakit, ia merasa dikhianati oleh kakaknya sendiri. Tanpa menyahuti ucapan Ahnaf, Reva segera keluar dari rumah Shila.

"Reva, tunggu!" Tangan Shila yang hendak meraih lengan Reva ditepis dengan keras. "Reva!"

Reva menulikan pendengarannya saat Shila terus saja memanggil. Kakinya mulai melangkah semakin cepat, bahkan sampai berlari demi menghindari kejaran Shila. Hingga akhirnya, tubuh Reva menghilang setelah masuk ke dalam rumah, dan menutup pintu dengan kencang.

"Reva, buka pintunya, Teteh mau masuk!" Terpaksa Shila menggedor pintu rumah Reva agak kencang, supaya Reva mau membuka pintu.

"Pergi Teh! Gak usah ganggu aku, urusi aja Ahnaf, aku gak mau lagi ketemu sama dia, aku gak mau liat Teteh lagi!"

"Ya Allah Reva, kenapa kamu bicara seperti itu? Ayo Re, buka dulu pintunya!" Shila mendengar isakan di dalam sana, yang ia yakini adalah suara isak tangis Reva.

"Gak mau! Udah, Teteh pergi aja sana! Ini semua pasti rencana Teteh, kan? Dulu Teteh sengaja kan, mau ketemu sama Ahnaf supaya dia suka sama Teteh? Teteh juga sengaja bicara seolah menasihati Ahnaf, supaya Ahnaf putusin aku, dan akhirnya Ahnaf memilih Teteh, iya kan?"

Shila menghela napas. Spekulasi yang Reva kemukakan sungguh sangat tidak masuk akal. Untuk apa ia melakukan itu semua, sementara waktu itu dirinya telah terikat dengan Deri?

Kalaupun Shila tidak memiliki hubungan dengan siapa pun, ia tetap tidak akan pernah menyukai lelaki semacam Ahnaf. Nasihat yang ia berikan pada Ahnaf tempo lalu, itu murni karena ingin menjaga Reva. Tidak ada maksud tertentu apalagi yang menjurus pada harapan ingin disukai.

Dengan perlahan, kaki Shila mulai melangkah. Menjauhi pintu itu yang masih saja tertutup. Kalau sudah begini, sikap Reva yang kekanak-kanakan semakin kentara. Bagaimana caranya Shila menjelaskan semua ini kepada Reva? Ke mana pula Hera, dan yang lainnya, kenapa tidak ada yang merasa terganggu saat dirinya dan Reva saling bersahutan dengan suara yang cukup kencang?

"Ahnaf, lebih baik sekarang kamu pulang," kata Shila setelah kembali menemui Ahnaf dan Pak Qomar yang masih duduk di kursi ruang tamu.

"Lalu, bagaimana dengan lamarannya, apa diterima?"

Sungguh, Shila sangat muak pada lelaki di hadapannya ini. Benar-benar tidak bisa membaca keadaan. Suasana sudah genting seperti ini masih saja sempat menanyakan hal yang membuat Shila kesal.

"Gak usah bahas hal itu lagi, karena aku gak akan pernah terima lamaran kamu." Suara Shila berubah dingin.

"Shila, bicara yang baik, Nak, kalau kamu tidak bisa menerima lamaran Ahnaf, tolaklah dengan sopan."

Teguran dari Pak Qomar menyadarkan Shila. Ya, ia sudah melampaui batas. Shila kembali mendudukkan diri, sambil terus menarik napas dan membuangnya perlahan.

"Maaf Pak, Shila terbawa emosi."

Bibir Pak Qomar tersungging. "Apa alasan kamu tidak mau menerima Ahnaf?"

Shila melengos, lantas kembali menatap sang ayah. "Pak, Ahnaf ini mantan kekasihnya Reva, Shila gak bisa menerimanya. Memangnya Bapak mau hubungan Shila sama Reva hancur hanya karena masalah laki-laki?"

"Aku tau ini berat untuk kamu Shila, tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bisa memilikimu secara halal. Aku juga yakin, setelah keadaannya membaik, Reva pasti akan bisa mengerti."

"Mengerti apanya, udah jelas-jelas Reva marah sama aku. Harusnya kamu yang lebih mengerti, Ahnaf! Udah tau aku sama Reva sepupuan, kenapa kamu malah lamar aku? Terus kenapa juga kamu janji sama Reva mau lamar dia, kalau ujungnya kamu datang ke rumah aku!" Setelah mengatakan itu, Shila memilih pergi, meninggalkan Pak Qomar yang masih menemani Ahnaf.

Helaan napas berat mulai diloloskan Pak Qomar. Belum pernah dirinya melihat Shila bertingkah tidak sopan pada tamu seperti sekarang.

"Pak, bagaimana, apakah Bapak mengizinkan saya untuk menikah dengan Shila?"

"Tergantung pada Shila, Ahnaf. Kalau Shila menerima lamaran kamu, Bapak hanya bisa merestuinya, tapi kalau tidak, maaf, Bapak tidak bisa berbuat banyak. Terlebih Bapak baru kali ini bertemu kamu, jadi tidak ada yang bisa Bapak bicarakan dengan Shila, selain memasrahkan semuanya pada dia."

Ahnaf menunduk lesu. Ia sudah tahu kalau hal ini akan terjadi. Reva, gadis itu pasti akan menjadi orang yang menentang keras niat baiknya. Meski sudah tahu, tetap saja kecewa ia rasakan.

"Tolong Pak, tanyakan lagi pada Shila. Saya berharap semoga dia bisa menerima lamaran saya."

"Akan Bapak usahakan, tapi sepertinya akan sulit. Mengingat dia baru saja ditinggal oleh laki-laki yang akan menikahinya, pasti dia tidak akan bisa menerima orang baru dengan mudah."

Terkejut? Tentu saja. Sungguh, Ahnaf baru tahu akan hal ini. Ia kira, Shila sama sekali belum ada niatan untuk menikah. "Kalau boleh tahu, apa yang menyebabkan calon suaminya Shila pergi, Pak?"

"Takdir." Satu kata yang Pak Qomar ucapkan sukses membuat dahi Ahnaf berkerut.

"Maksudnya, Pak?"

"Kamu tahu dengan kejadian jatuhnya pesawat beberapa pekan lalu?" Kepala Ahnaf mengangguk. "Dia yang menjadi salah satu korbannya, dan hari senin kemarin, jezanahnya baru saja dimakamkan."

Raut terkejut tidak bisa Ahnaf sembunyikan. Ia sampai tak mampu mengucapkan satu kata pun, saking kagetnya mendengar kabar mengenai Shila.

"Harusnya...." Pak Qomar terlihat mengusap air di sudut matanya. "Hari ini Shila menikah, tapi rupanya Allah masih ingin melihat anak saya berjuang lagi. Hal ini sudah sering terjadi, di mana Shila, selalu gagal melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ... ada kamu di sini, saya tidak tahu, rencana apa yang sedang Allah buat untuk anak saya."

Hening. Pak Qomar memilih diam. Berusaha kembali menetralkan perasaannya yang masih saja merasa sedih kala kejadian itu berputar dalam ingatan. Benak Ahnaf pun tak henti mengartikan semua yang dituturkan oleh Pak Qomar. Apakah ini pertanda kalau Shila adalah jodohku?

"Berapa usiamu, Ahnaf?"

"Dua puluh dua, Pak."

Pak Qomar kembali terdiam. Beberapa detik kemudian, bibirnya berucap, "Apa kamu yakin ingin menikah dengan Shila?"

"Yakin, Pak," jawab Ahnaf mantap.

"Kamu tahu, berapa usia Shila?" Gelengan Pak Qomar dapatkan saat Ahnaf menggerakkan kepala. "Usia dia dua tahun lebih tua dari kamu, memangnya kamu mau punya istri yang usianya berada di atas kamu?"

Awalnya Ahnaf kaget begitu mengetahui satu fakta tentang Shila, tapi ia berusaha tenang karena Pak Qomar terus saja menatapnya. "Itu ... tidak jadi masalah untuk saya, Pak, karena saya sedang mencari sosok calon istri, bukan calon kakak."

"Jadi kamu akan tetap meneruskan niat kamu?"

"Iya, Pak."

"Tolong dipikirkan lagi Ahnaf, kamu belum lama mengenal Shila, itu artinya kamu belum tahu sepenuhnya bagaimana karakter dan sifat dia."

Ahnaf tahu, ini pasti cara Pak Qomar menguji pertahanannya dalam memperjuangkan Shila. "Insya Allah, ini adalah keputusan final saya, Pak. Saya sudah memilih Shila untuk masa depan saya, karena dari awal saya bertemu dia, saya yakin kalau Shila adalah perempuan yang baik."

Merasa puas dengan jawaban Ahnaf, Pak Qomar tak lagi mengajukan pertanyaan. Meski keputusan sepenuhnya ada di tangan Shila, tapi apa salahnya kalau ia memberi kesempatan pada Ahnaf untuk memperjuangkan anaknya.

"Baiklah, kalau sekiranya Shila menerima lamaran kamu, kapan kamu akan membawa orang tua kamu kemari?"

"Secepatnya, Pak."

Pak Qomar tersenyum. Ia salut pada Ahnaf yang menjawab setiap pertanyaannya dengan tegas. Meski terus menerus diberi pertanyaan, tapi pembawaan Ahnaf tetap tenang. Sama sekali tak ada rasa gentar di raut wajah pemuda itu. Padahal usianya masih terbilang muda.

"Satu lagi pertanyaan dari Bapak, apa kamu hafal Al Quran?"

Barulah sekarang Ahnaf mulai gelagapan. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan ditanyai satu hal ini. "Saya hanya hafal juz 30 saja, Pak."

"Tidak apa-apa, juz 30 saja sudah alhamdulillah." Bahu tegang Ahnaf mengendur. "Tapi Bapak akan mengajukan syarat sama kamu, sebelum Shila benar-benar menerima kamu."

"Syarat apa, Pak?"

"Tolong kamu hafalkan beberapa surah dalam Al Quran. Surah yang harus kamu hafal yaitu surah Al Baqarah, Ar Rahman, Al Waqi'ah serta Al Mulk. Bagaimana, kamu sanggup?"

Sebenarnya Ahnaf tidak dapat memastikan, apakah dia akan mampu menghafalnya atau tidak. Namun, demi Shila, ia harus berusaha.

"Insya Allah, saya sanggup, Pak."

"Ingat, hafalkan semua surah yang Bapak minta karena Allah, jangan ada tujuan lain di hati kamu. Apalagi kalau bertujuan hanya ingin mendapatkan Shila. Demi Allah, apa yang kamu hafalkan tidak akan berkah untuk dunia dan akhirat kamu."

Jujur, Ahnaf merinding mendengar nasihat Pak Qomar. Tubuhnya sampai mengeluarkan keringat dingin yang membuatnya menggigil.

"Ya sudah, Pak, kalau begitu saya pamit pulang dulu. Terima kasih sudah mau menerima saya di sini dengan baik. Tolong sampaikan salam saya pada Ibu dan juga Shila, Pak."

"Iya, sama-sama, terima kasih juga karena kamu telah berkenan berkunjung ke gubuk ini. Insya Allah, nanti Bapak sampaikan."

Selepas Ahnaf mengucap salam, ia segera pulang dengan perasaan senang sekaligus takut. Senang, karena ayah Shila menerimanya dengan baik. Takut, sebab syarat yang diajukan ayahnya Shila benar-benar harus dikerjakan dengan hati yang ikhlas.

💞💞💞

Setelah satu minggu Ghani berada di Bandung, hari ini ia memutuskan kembali ke Yogyakarta. Tadinya ia ingin lebih lama berada di Bandung, tapi setelah mengingat restoran di kota pelajar itu sedang dalam keadaan ramai, Ghani jadi tidak tega kalau harus membiarkan Alyassa--adik laki-lakinya--mengurus restoran sendirian.

"Bunda mau ke mana?" Pertanyaan itu terlontar dari Zulfa saat melihat Shila keluar kamar dengan tangan menyeret sebuah koper.

"Mau ikut Om Ghani, Sayang," jawab Shila lemah.

"Kok mau ikut sama Aa?" Ghani mulai protes.

"Kenapa, gak boleh?"

"Bukannya gak boleh Shil, tapi...." Ucapan Ghani terhenti tepat saat Intan mengusap bahunya.

"Bawa aja, Ni, Shila butuh suasana baru. Sepertinya dia udah bosan diam terus di rumah. Biarkan dia sesekali jalan-jalan, hitung-hitung refreshing."

Manik mata Ghani bertemu dengan milik Intan. Sorot mata Intan menyiratkan agar ia mau menuruti perkataannya. "Ya udah, kamu boleh ikut."

Segaris senyum terbit di bibir Shila. "Makasih ya, A."

Berkat Intan, akhirnya Ghani mau membawanya ke Yogya. Lagi pula, Intan melakukan itu karena ia merasa kasihan pada Shila. Melihat raut sedih di wajah sang adik membuat hatinya terenyuh. Terlebih jika mengingat cerita Shila kemarin, yang katanya Reva sedang marah hanya karena mantan kekasihnya melamar dia.

Mungkin dengan menjauh sebentar dari Reva, Shila bisa lebih membebaskan pikiran. Meski berkali-kali ia berusaha menemui Reva, tetap saja gadis itu tak acuh. Dan itu, hanya akan semakin membuat Shila tersiksa.

"Pamit dulu yuk, sama Ibu sama Bapak."

Shila dan Ghani melangkah ke luar rumah. Menemui Pak Qomar yang tengah memberi makan ternak bebeknya, juga Bu Ema yang sedang mencuci di sebuah pancuran dekat rumah.

"Pak, Ghani sama Shila berangkat ya."

Pak Qomar langsung menoleh saat mendengar nama anak perempuannya di sebut Ghani. "Shila juga mau ikut?"

"Iya, Pak."

"Kenapa mau ikut ke Yogya?"

Kepala Shila tertunduk. "Shila udah kangen sama Alyassa. Udah lama gak ketemu sama dia."

"Berapa lama?"

"Ya ... pokoknya udah lama, Pak." Shila kembali mendongak.

Pak Qomar terkekeh sebentar. "Maksudnya, berapa lama kamu di sana?"

"Oh, Shila juga kurang tau. Mungkin ... sampai keadaannya membaik."

Ayah empat anak itu menghela napas, gusar. "Lalu bagaimana dengan lamaran Ahnaf, Bapak sudah terlanjur mengajukan syarat yang kamu ajukan dulu pada Deri."

"Kalau Shila gak mau terima dia, bagaimana?"

"Itu tergantung kamu, karena keputusan sepenuhnya ada di tangan kamu, tapi Bapak berharap semoga kamu bisa memikirkannya kembali."

Saat menatap lurus ke dalam bola mata sang ayah, di sana Shila melihat harapan besar akan lamaran kali ini. Bingung, Shila hanya mampu mendengus. "Baiklah, nanti Shila coba pikirin lagi."

Senyum hangat terulas di bibir Pak Qomar. "Ya sudah, kalau begitu hati-hati ya. Ghani, jaga adikmu baik-baik."

"Iya, Pak," kata Ghani seraya mencium punggung tangan Pak Qomar, diikuti oleh Shila.

Beralih pada Bu Ema, mata Shila mendadak berkaca-kaca. "Maaf ya Bu, Shila harus meninggalkan Ibu." Dipeluknya tubuh renta sang ibu begitu erat.

Dengan sayang, Bu Ema mengelus punggung Shila. "Tidak apa-apa, Nak, Ibu cuma minta, kamu jangan sampai merepotkan kakakmu ya. Semoga di sana, kamu bisa bertemu dengan orang yang kamu harapkan selama ini," ujarnya sambil melepas pelukan Shila.

Lantas, pelukannya beralih pada Intan. Dalam keadaan terisak, Shila berkata, "Teh, tolong jaga Ibu sama Bapak, ya. Cuma Teteh yang sekarang dekat sama mereka."

"Iya, tanpa kamu minta pun Teteh pasti akan menjaga mereka, karena itu udah jadi kewajiban Teteh sebagai anaknya." Intan melerai pelukan. "Udah, jangan nangis. Kamu kuat," lanjutnya seraya mengusap pipi Shila.

"Bunda pergi ya, Sayang." Shila mencium setiap inci wajah Zulfa.

"Hati-hati ya, Bunda. Ufa cayang cama Bunda."

"Bunda juga sayang sama Zulfa."

Setelah pamit pada semua orang, Shila dan Ghani pun mulai masuk ke dalam mobil. Lambaian tangan dari mereka yang ditinggalkan, mengiringi kepergian Shila. Semoga selama ia tinggal di Yogyakarta, pikirannya bisa jauh lebih jernih.

💞💞💞

26 Syawal 1441 H

Ya Allah Yogya.... I am come back😆😆😆

Yuk jalan-jalan dulu, biar gak tegang. Pikiran juga bisa jauh lebih rileks.😁😁

Kejutan selanjutnya siap menyapa readers semua😊

See you next part...

Aku padamu😘

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro