Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Tamu Tak Diundang

Allahumma salli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Sesungguhnya kesedihan tidak akan mengembalikan orang yang hilang, tidak menyembuhkan orang yang sakit, dan tidak menghidupkan orang yang mati.

~Laa Tahzan~

***

Semenjak Deri ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, jiwa Shila semakin terguncang hebat. Lebih lagi setelah kepulangannya dari Jakarta, Shila semakin murung, dan memilih tak keluar kamar selama berhari-hari. Bukan hanya kepergian Deri saja yang membuatnya sedih, mengetahui satu fakta tentang calon suaminya pun menjadi faktor utama kesedihan Shila.

Begitu sampai di tempat kediaman almarhum, air mata Shila kembali menetes. Dengan setia, Reva memapah sang kakak yang berjalan tertatih-tatih. Berkali-kali tangannya menyeka air di pipi, tapi lagi-lagi air mata kembali membasahinya. Hingga sampailah ia di ruang tengah, tempat di mana jenazah dibaringkan.

Melihat dua mayat teronggok di sana, membuat benak semua orang yang datang, langsung diliputi tanya. Ingin bertanya, tapi kehadiran Bu Vera di hadapannya mengurungkan niat Shila.

"Sayang." Dengan erat, Bu Vera memeluk tubuh Shila. Lantas, Shila balik mendekapnya. Sesekali, usapan lembut Shila lakukan di punggung Bu Vera.

Tanpa bisa dicegah, tangis keduanya pecah. Sama-sama merasa sakit karena kehilangan, tapi tetap saling menguatkan.

"Maafkan Deri, maafkan atas kecerobohannya." Masih dalam keadaan saling memeluk, Shila mengangguk kelu. "Mama sedih dia pergi, tapi mungkin ini yang terbaik untuk kalian."

Tepat setelah mengatakan itu, tangan Shila berhenti bergerak. Perlahan, ia tarik tubuh Bu Vera hanya untuk melihat raut wajahnya.

"Maksud Mama apa?"

Masih sesenggukan, Bu Vera berusaha untuk menghentikan tangis. Namun dadanya terlalu sesak, sampai ia hanya bisa tergugu dalam keadaan mulut menganga. Seperti hendak mengatakan sesuatu.

"Kemarilah."

Bu Vera mengajak Shila agar bisa lebih dekat dengan jenazah. Dengan tangan bergetar, ia singkap kain yang menutupi kedua wajah jenazah tersebut. Tangan Shila meremas dada, menahan perih yang menjalar sampai ke dasar hati.

Matanya sengaja ia pejamkan rapat-rapat. Enggan melihat wajah yang sudah pucat, dengan luka lebam di beberapa bagian. Tenggorokan Shila kembali tercekat. Isak tangis yang ia tahan malah semakin membuatnya sesak. Tidak kuat, tubuh Shila tergolek di depan jenazah Deri.

"Bu Vera, siapa perempuan itu?" Intan bertanya. Setidaknya ia sudah mewakili semua orang yang mempertanyakan hal yang sama.

"Dia...." Bukannya menjawab, tangis Bu Vera malah semakin menjadi. Kembali dipeluknya erat tubuh Shila. Sesekali, ia cium puncak kepala calon menantunya itu. "Maafkan Deri, Nak. Maafkan dia."

Kali ini, bukan hanya Bu Vera dan Shila saja yang menangis, orang-orang yang menyaksikan pun turut meneteskan air mata. Terlalu pilu, sampai suasana sekitaran menjadi semakin kelabu.

Dengan sabar, mereka yang penasaran, menanti jawaban dari Bu Vera. Namun setelah cukup lama menunggu,  Bu Vera masih belum berbicara. Hingga kedatangan Pak Ferdi yang mengungkap semuanya, berhasil membuat tercengang semua orang.

"Dia istrinya Deri."

Tatapan sakit melayang ke arah Pak Ferdi. "Maksudnya, Pa?" Tanya Shila ditengah kekalutannya.

"Maaf Shila. Sebenarnya ... satu Minggu sebelum kamu wisuda, Deri telah menikah dengan perempuan itu."

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Peribahasa itu layak untuk Shila, yang tengah merasakan sakit berlipat-lipat. Ingin bertanya, kenapa? Namun hatinya terlalu sakit, bahkan setelah Pak Ferdi mengatakan kalau jenazah perempuan yang terbaring di samping Deri, adalah istrinya.

Hanya tatapan kosong yang Shila lakukan. Sekarang, dunianya benar-benar ambruk. Tak ada lagi pilar penyangga yang bisa mempertahankannya. Harapan dan doa yang tak henti ia lambungkan, lebur. Tersapu air kesedihan, meninggalkan duka mendalam.

Kenyataan yang baru ia tahu benar-benar pahit. Ia sungguh tidak menyangka kalau hidupnya teramat pelik. Alasan apa yang membuat calon suaminya mengingkari janji? Menikah dengan wanita lain, di saat waktu untuk menikah dengannya semakin dekat.

Ini yang terbaik untuk kalian. Terbaik apanya? Terbaik agar ia tak begitu sakit hati jika tahu kebenaran tentang calon suaminya? Ya, semua ada benarnya juga. Seandainya Deri tidak meninggal, pasti Shila akan merasakan sakit yang sesungguhnya. Dan ... mungkin, pernikahannya akan gagal dengan alasan yang sangat memalukan.

"Tunggu sebentar, ada yang mau Papa berikan padamu." Pak Ferdi berjalan menuju kamar. Selang beberapa menit, ia telah kembali, dengan sebuah benda kotak tipis di tangan. "Satu hari sebelum Deri memutuskan pulang, dia mengirimkan ini. Katanya untuk kamu, tapi Papa belum sempat memberikannya padamu. Semua hal yang kamu tanyakan, akan terjawab di sini."

Shila tak menerima benda tersebut. Ia malah melengos, dengan air mata yang  kembali jatuh. Rasanya terlalu sakit, sebab lelaki yang ia anggap akan menjadi pangeran Ar Rahmannya malah menikah dengan wanita lain. Merasa tak enak pada Pak Ferdi, Intan menerima benda berisi kaset itu. Untuk saat ini Shila mungkin tidak membutuhkannya, tapi siapa tahu suatu saat nanti, ia mau menonton kaset tersebut.

Helaan napas berat kembali terdengar, saat benaknya masih saja memutar kejadian di mana rahasia besar terbongkar di depan jenazah Deri. Manik mata Shila mulai beredar, menelisik setiap penjuru kamar yang ia rasa semakin terasa sunyi. Pandangannya berhenti pada sebuah kartu yang tergeletak di atas meja.

Kartu yang sudah ia sebar ke setiap orang dua minggu yang lalu, terpaksa harus keluarga Shila batalkan, karena pernikahannya yang memang tidak bisa diteruskan. Mereka yang tidak tahu akan musibah yang menimpa Shila, tentu banyak yang menyayangkan. Banyak pula orang-orang menggunjingkan dirinya, tapi Shila tetap bersikap masa bodoh.

Toh, perkataan mereka sama sekali tak sesuai dengan yang sebenarnya. Jadi, biarkan saja mereka lelah membicarakan. Ingin menyangkal pun, Shila sudah malas.

Saya harus pergi, dan sepertinya saya gak akan kembali.

Saya pergi ya, sudah ada yang menunggu.

Kamu pasti akan menemukan seseorang yang lebih baik dari saya, yang cintanya lebih besar dan tulus.

Dia yang akan menemani saya setelah ini, Shila. Saya harap kamu mengerti. Maaf, karena saya tidak bisa menepati janji padamu.

Kembali, pipinya basah karena air yang mulai mengalir. Shila menenggelamkan wajah di atas bantal. Kalimat demi kalimat yang Deri ucapkan dalam mimpi, ternyata masih melekat dalam ingatan. Lalu, dengan bait puisi yang pernah Deri buat untuknya, mendadak ikut mampir tanpa permisi.

Semuanya sudah tak berguna! Apa yang pernah Deri berikan padanya sudah tak berarti lagi. Deri telah berpaling pada wanita lain. Cintanya tidak benar-benar tulus. Wanita yang hadir di mimpi itu, tak lain adalah istri dari Deri.

"Ya Allah, Astaghfirullahal'adzim."

Besok, tepatnya pada tanggal 11 November, seharusnya menjadi hari paling membahagiakan untuk Shila. Namun, sepertinya Allah belum mengizinkan dia untuk merasakan bagaimana bahagianya menjadi ratu sehari, bersama dengan sang pujaan hati.

"Assalamualaikum."

Shila langsung mengangkat kepala, dan mengusap pipinya yang basah saat mendengar suara pintu dibuka, bersamaan dengan ucapan salam dari seseorang. Bibir Shila tersungging manis, melihat keberadaan Najma yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Wa alaikumsalam Najma, sini masuk." Tangan Shila melambai, meminta Najma untuk mendekat, dan duduk di dekatnya.

Ketika kakinya melangkah, mata Najma sudah mulai berkaca-kaca. Setelah berhasil menjangkau Shila, langsung saja ia menubruk tubuh temannya itu, memeluknya erat, dan menangis sejadi-jadinya.

"Hei, kenapa, kok nangis?"

Sungguh, hati Najma sakit sekali ketika Shila berpura-pura tegar seperti sekarang. Ia tahu, hati Shila saat ini pasti sangat hancur, tapi kenapa Shila sama sekali tidak menunjukkan kesedihan di depannya?

"Shila, maaf aku baru bisa menemui kamu sekarang."

Shila terkekeh. "Gak papa, lagian aku juga baru pulang dari Jakarta, jadi kalau kemarin kamu ke sini, kamu gak akan bisa ketemu aku. Udah gak usah nangis, nanti makin jelek, loh."

"Kamu jangan seperti itu, Shila." Najma merengek tak terima, "aku tuh lagi sedih."

"Sedih kenapa?"

Najma menggeram, lama-kelamaan ia bisa stres akibat menghadapi Shila yang masih saja berpura-pura tidak mengerti. "Udah, kamu gak usah banyak tanya, pokoknya aku lagi sedih aja."

"Kan sedih juga harus ada alasannya, Najma."

Bola mata Najma menatap lurus ke dalam manik Shila. "Kenapa, kok liatinnya seperti itu?" Tanya Shila pada akhirnya.

Cukup menggeleng, lalu tangannya kembali merengkuh tubuh Shila. "Aku kangen sama kamu, Shila." lebih tepatnya, kangen sama sikap kamu yang dulu.

"Aku juga kangen sama kamu."

"Jangan sedih terus ya, aku gak bisa lihat kamu nangis."

Dahi Shila berkerut. "Emangnya aku nangis? Enggak kok."

"Walaupun kamu gak menunjukkan air mata kamu di depan aku, dan di depan semua orang, tapi aku tau kalau perasaan kamu belum sepenuhnya pulih. Aku tau kamu selalu menangis di saat lagi sendiri seperti tadi." Shila yang tadinya tidak ingin menangis, langsung menumpahkan air mata setelah Najma berucap demikian. "Sedih itu wajar Shil, karena siapa pun orang yang merasa kehilangan pasti akan merasa sedih, tapi aku mohon, sedihnya jangan kelamaan, ya."

"Pak Deri bohong sama aku, Ma. Semua yang dia katakan selama ini, bohong," kata Shila disela Isak tangis yang kembali terdengar.

"Shuut, udah ya. Gak usah dipikirkan lagi, gak usah cerita. Aku udah tau semuanya kok. Sekarang, berusahalah untuk kembali menata hati, agar hari-hari kamu juga ikut tertata. Aku yakin, kamu pasti akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dari orang yang benar-benar tulus mencintai kamu. Pangeran Ar Rahman. Dia pasti sedang menunggu kamu.

Untuk yang sudah lalu, biarkan saja berlalu. Karena kita hidup untuk masa depan, bukan untuk kembali ke masa lalu. Jadi, tinggalkan semua hal yang pernah menyapa kamu di masa lalu. Termasuk kepahitan dalam hidup. Kalau kamu bisa lebih bersabar, secepatnya, kamu akan menyecap manisnya hidup, menggantikan rasa pahit yang telah lama menetap."

Shila membenarkan setiap ucapan Najma. "Kamu benar Ma, tapi satu hal yang harus kamu tau, realisasi dari apa yang kamu katakan tadi, itu gak semudah membalikkan telapak tangan. Akan banyak fase yang harus aku lalui untuk bisa menggantikan rasa pahit itu menjadi manis, yang madu saja kalah dengan rasa manisnya."

"Tapi aku yakin, kamu bisa melewati semuanya, buktinya kamu masih bisa senyum saat ingus kamu udah meler seperti ini."

Refleks, Shila langsung mengambil tissue, dan mengusap hidungnya yang memang sudah mengeluarkan lendir terlalu banyak. "Kamu itu ya...." Shila malah terkekeh karena perkataan Najma yang menurutnya terlalu menyebalkan.

Najma ikut terkekeh, senang karena bisa melihat Shila kembali tersenyum. Meski ia tahu, tawa itu hanya akan mampir sesaat, tapi tidak apa-apa. Setidaknya Shila tidak terus berlarut-larut dalam kesedihan.

"Oh iya Shil, tadi sebelum aku ke sini aku sempat telepon kamu, tapi ponsel kamu gak aktif, kenapa?"

"Aku emang sengaja mematikan ponsel. Malas meladeni pertanyaan orang-orang tentang batalnya pernikahanku."

Hanya mengangguk, karena Najma bingung bagaimana menanggapi sikap Shila. "Keluar yuk Shil, gerah nih," ajaknya setelah suasana hening.

"Nanti ya, aku masih mau di sini."

Meski kecewa karena ajakannya ditolak Shila, Najma tetap tersenyum. "Ya udah gak papa, aku juga mau di sini aja."

"Katanya tadi gerah."

"Entah kenapa setelah kamu bilang masih mau di sini, rasa gerah aku mendadak hilang. Ajaib, ya?"

Shila menggeleng tak paham. Tak lama dari itu, kekehan kembali terdengar. Ia rasa, Najma salah makan sesuatu, sampai apa yang dikatannya tidak bisa dimengerti. Atau mungkin, dirinya yang masih belum siap berpikir keras.

Sambil bercengkerama, membicarakan hal yang dirasanya menarik, Shila berusaha menanggapi setiap guyonan yang dilontarkan Najma. Derai tawa pun mulai mengiringi obrolan mereka di sore ini. Membuat Shila terhanyut dalam ocehan panjang lebar Najma, yang melantur ke sana kemari.

💞💞💞

Setelah satu minggu tidak keluar rumah, hari ini, Shila mulai kembali membuka diri, dan berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya. Sambil duduk di sebuah bangku yang terdapat di teras depan rumah Reva, Shila tak henti menarik napas, demi menghirup udara segar. Ia rindu suasana pagi seperti ini, damai dan begitu menyejukkan.

"Woy!" Tepukan keras yang dilakukan Reva pada bahu Shila, membuatnya berjengit. "Dah pada ngopi belooom, ngopi napa ngopi, diem-diem bae."

Mata Shila berputar, malas. "Ngomong naon sih (bicara apa sih)?"

Tanpa mengindahkan perkataan Shila, Reva malah tersenyum lebar sampai gigi gingsulnya tampak. "Eh, itu mata Teteh masih bengkak, udah dikompres pakai es batu?"

"Udah," jawab Shila sambil menunduk.

"Makanya jangan nangis mulu, tuh, matanya jadi makin gak keliatan gara-gara bengkak. Udah tau kelopak mata Teteh kecil, mas---"

Berhubung Reva tak meneruskan ucapannya, Shila pun mengangkat wajah. "Kenapa?"

Bukannya menjawab, Reva malah berlari menuju mobil yang memasuki pekarangan rumahnya. "Kak Ahnaf," ujarnya begitu riang.

"Assalamualaikum, Reva."

Masih dengan senyum manisnya, Reva menjawab salam dari Ahnaf, "Wa alaikumsalam warahmatullah, Kak. Kak Ahnaf ada perlu apa, gak biasanya datang ke sini, mana masih pagi lagi?"

Ahnaf mengalihkan pandangan pada Shila yang masih saja duduk. Tanpa diperintah, kedua sudut bibirnya tertarik saat Shila balik menatapnya. Sayang, Shila hanya tersenyum sekilas tanpa menyapa Ahnaf seperti biasa.

"Mmm, aku ada perlu sama Shila," katanya setelah terdiam.

Raut wajah Reva yang semula cerah perlahan redup. Garis manis di bibirnya pun sudah mengendur ke bawah. Reva kira Ahnaf ingin menemuinya, nyatanya, orang yang ingin ditemui oleh pria itu adalah Shila. Harapannya terlalu cepat melambung tinggi, sampai ia tidak punya kesiapan untuk jatuh ke dasar bumi.

Meski kecewa, Reva tetap bersikap ramah. "Memangnya ada perlu apa Kak Ahnaf ingin bertemu Teh Shila?"

Tanpa menjawab tanya Reva, Ahnaf segera menghampiri Shila. Reva yang merasa diabaikan langsung mengerucutkan bibir. Langkah kakinya sengaja ia hentakkan hanya untuk memancing Ahnaf agar menengok ke belakang. Namun, usahanya sia-sia, Ahnaf sama sekali tak menghiraukan Reva, karena kini, fokusnya sudah teralihkan pada Shila.

"Assalamualaikum, Shila."

"Wa alaikumsalam."

"Lagi gak sibuk, kan?" Kepala Shila bergerak ke kiri dan kanan. "Syukurlah, eh, tapi kamu baik-baik aja, kan?"

"Alhamdulillah, aku baik."

"Kok wajah kamu kelihatan pucat."

"Aku gak papa."

"Benar?"

"Iya," jawab Shila singkat.

"Gak lagi sakit, kan?" Shila cukup menggeleng saja. Ia terlalu malas hanya untuk sekadar menjawab pertanyaan Ahnaf yang terdengar basa- basi.

"Senang karena bisa bertemu lagi denganmu." Menanggapinya, Shila cukup mengulas senyum.

Lain lagi dengan Reva, kekesalannya kali ini semakin bertambah. Apalagi setelah menyaksikan Ahnaf yang bersikap sok peduli pada kakak sepupunya. Sebenarnya Kak Ahnaf ada urusan apa sih sama Teh Shila, kok aku jadi curiga ya, soalnya gelagat Kak Ahnaf beda banget dari biasanya.

"Ayo Re, temani Teteh."

Hati Reva berhenti menggerutu. Lantas, ia langsung menautkan alis karena melihat Shila dan Ahnaf yang sudah melangkahkan kaki. "Temani ke mana, Teh?"

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Shila segera menarik tangan Reva, lalu membawanya menuju rumah. Meski kebingungan begitu kentara di wajah Reva, tapi Shila seolah tidak memberi kesempatan padanya untuk kembali menanyakan hal yang masih menggantung dalam benak.

Ada apa sih, kok buru-buru banget?

💞💞💞

25 Syawal 1441 H

Alhamdulillah,part-nya meluncur dengan selamat☺️☺️

Komen dong, apa aja harapan kalian untuk cerita ini ke depannya (ciaaellah ngarep😆) rapopo toh, kali-kali, iya gak?

Oya, siap-siap lagi ya, setelah ini kalian akan dapat kejutan😁

Udah itu aja, wassalam..

See you next part...

Aku padamu😘

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro