Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Egois

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Hanya orang-orang egois yang merasa berat untuk meminta bantuan. Enggan meminta maaf, serta malu berterima kasih.

***

Mungkin sudah dari jaman dulunya, kalau kelas belum kedatangan guru pengajar, pasti keadaan akan jauh dari kata senyap. Begitu pula dengan kelas yang Irma tempati. Rasanya sudah seperti berada di lingkungan pasar.

Biarpun keadaan sangat bising, itu tak membuat Irma dan temannya yang sedang asyik bercengkerama merasa terganggu.

"Lu kenapa sih pagi-pagi udah cemberut aja, gak kayak biasanya."

Sesil menyangga dagunya dengan tangan. Matanya tak beralih sedikit pun dari memerhatikan Irma yang sedang mencorat-coret buku.

"Gua tuh lagi kesel," ungkap Irma sambil meremas kertas yang semula dijadikan media untuk menyalurkan kekesalannya.

"Kesal kenapa?"

"Pak Fadhil, kenapa sih dia gak peka banget sama perasaan gua. Kemarin, pas lagi di taman mini, dia malah ngomongin cewek lain di depan gua, Sil. Lu bisa bayangin gak gimana sakitnya gua saat dengar curahan hatinya tentang cewek itu. Sakit, Sil, nyesek gua."

Sesil mendengus cukup kencang. Bukan satu hal yang aneh jika Irma mulai lebay seperti sekarang. "Kirain apaan. Rupanya ngomongin guru tampan itu. Sampai kapan sih lu mengharapkan Pak Fadhil? Lu nyadar dong Ir, lu itu cuma sebatas pungguk yang merindukan rembulan. Berharap ingin mendapatkan Pak Fadhil, sama aja dengan lu disuruh peluk gunung, gak akan pernah bisa."

"Kok lu ngomongnya gitu sih." Irma mulai memberengutkan wajahnya.

"Ya terus gua harus ngomong apa lagi, emang itu kenyataannya, kan? Lu jangan terlalu berlebihan dalam mengharapkan Pak Fadhil, Ir, karena sampai kapan pun dia gak akan pernah mau sama lu. Lagian kenapa sih lu ngebet banget pengen dapetin Pak Fadhil, dia kan udah tua, ih." Sesil bergidik ngeri. "Gue akui dia ganteng, keren, perfect deh pokoknya. Tapi usianya jauh banget sama lu yang baru aja 17 tahun, Irma."

"Itu gak jadi masalah. Lagian umur gua sama Pak Fadhil gak jauh-jauh amat, cuma beda 8 tahun."

Menggeleng tak mengerti, disusul helaan napas pasrah. Setelah terdiam cukup lama, Sesil baru menimpali ucapan Irma. "Heran gua sama lu, lu itu cantik Irma, lu bisa aja dapetin cowok sepadan Pak Fadhil yang sebaya sama lu. Please deh, lu jangan jadi buta karena cinta."

"Lu tau kan gimana baiknya Pak Fadhil? Dia itu ... cowok sempurna yang gua temui di sepanjang hidup gua, Sil. Udah ganteng, ramah, rajin ibadah lagi. Siapa sih yang gak mau dapet suami seperti dia? Bego aja kalau ada orang yang menyia-nyiakan kebaikannya."

Sesil semakin dibuat bingung atas sikap Irma yang terlalu berlebihan dalam mengekspresikan rasa sukanya. Temannya itu ... rupanya telah menyalah artikan kebaikan guru yang menjadi idamannya selama ini.

"Tetep aja Pak Fadhil gak bakalan mau sama lu, Ir. Sebaik apa pun dia, pasti dia lebih milih cewek yang jadi idamannya selama ini. Dan gak mungkin juga kan Pak Fadhil nikah sama anak didiknya sendiri."

"Lu jadi temen gak solid banget sih, bukannya ngasih support, lu malah bikin gue down."

"Gua ngomong kayak gini, itu karena gua sayang sama lu. Gua gak mau lu asyik sendiri dengan perasaan yang gak akan bisa terbalaskan. Bagi gua, ini yang terbaik, daripada sekarang gua terus nyemangatin lu, dan ujung-ujungnya lu gak bisa dapetin Pak Fadhil, mending langsung gua jatuhin aja sekalian, biar sakitnya sekaligus."

Dengusan kasar keluar dari organ pernapasan Irma. Pagi ini dirinya sedang berada dalam mood kesal. Ditambah temannya yang membuat kesal, bertambahlah kekesalan Irma pada level tertinggi.

"Daripada dengerin lu ngomong gak jelas, mending gua jemput Pak Fadhil. Wlek." Sebelum meninggalkan Sesil, Irma menjulurkan lidahnya terlebih dahulu. Dan Sesil hanya bisa memaklumi sikap yang ditunjukkan Irma.

###

"Pak Fadhil!"

Merasa namanya dipanggil, Fadhil menengok ke arah sumber suara. "Ada apa?" tanya Fadhil pada Irma yang sudah berada di dekatnya.

"Mau ke kelas?" Fadhil hanya mengangguk untuk menanggapi pertanyaan Irma. "Biar saya bawakan bukunya, Pak." Fadhil tersenyum sekilas, dan langsung menyerahkan buku-buku yang dibawanya pada Irma. "Bapak sakit ya?" Irma menelisik wajah Fadhil yang memang terlihat agak pucat hari ini.

"Saya baik-baik saja."

"Oh syukurlah. Tapi hari ini wajah Bapak gak secerah biasanya."

"Saya hanya kurang istirahat, Irma."

Irma hanya ber-oh saja. Setelah itu, tak ada lagi pembicaraan selama mereka menuju kelas. Irma bingung harus bertanya apa, sementara Fadhil sendiri malas kalau harus berbincang panjang lebar.

"Sudah sampai, kamu masuk duluan dan simpan semua buku saya di meja," ucap Fadhil saat mereka sudah berada di depan kelas.

"Loh, Bapak gak sekalian ikut masuk?"

"Nanti, setelah kamu masuk."

"Kenapa harus begitu, Pak?"

"Jalankan saja perintah saya, jangan banyak bertanya," ucap Fadhil dengan nada tegas.

Irma pun tersentak, karena tidak biasa dibentak oleh guru idolanya. Ingin kembali mengajukan tanya, Fadhil sudah lebih dulu bertanya.

"Kenapa malah diam?"

"I-iya Pak, maaf, saya masuk dulu."

"Hmm."

Setelah Irma menjalankan interupsi Fadhil, dia pun segera duduk di bangkunya dengan rapi. Tak lama, Fadhil masuk kelas dan langsung memulai pembelajaran hari ini.

💞💞💞

Keadaan kampus masih tampak lengang. Shila yang sudah datang sejak tadi memutuskan pergi ke perpustakaan terlebih dahulu sebelum ia bertemu sang dosen killer. Ya, hitung-hitung mempersiapkan diri. Terutama mempersiapkan mental, hati dan pikiran.

"SHILA," panggil seseorang yang membuat langkah Shila terhenti, dan langsung menengok ke arah sumber suara.

Najma, si gadis cerewet yang keponya sudah mencapai tahap akut sedang melambaikan tangan, dan berjalan ke arah Shila. "Assalamu'alaikum," sapanya setelah dekat. "Mau ke mana?"

"Wa'alaikumsalam. Aku mau ke perpus."

"Mau ngapain?"

"Mau makan," jawab Shila sekenanya sambil berjalan kembali.

"Masa makan di perpus sih, kalau mau makan itu ya di kantin, Shil." Najma mengikuti langkah Shila.

Shila memilih bungkam daripada harus menanggapi ucapan Najma yang dirasanya sudah ngaco itu. Temannya yang satu ini memang selalu membuatnya pusing kepala karena terlalu banyak geleng-geleng.

"Eh Shil, mau langsung ketemu sama Pak Deri sekarang?"

"Emang Pak Derinya udah datang?"

"Tadi waktu aku mau berangkat dia kirim pesan, katanya ketemuannya gak jadi di kampus, tapi di restoran dekat sini."

Shila menghentikan langkah, dan langsung menatap tajam ke arah Najma.

"Kenapa?" tanya Najma dengan tampang super polosnya.

"Iya, kenapa. Kenapa kamu gak langsung kasih kabar ke aku kalau ketemuannya gak jadi di sini? Kalau tau Pak Deri gak ada di sini mungkin aku langsung datang ke tempat yang dia janjikan."

Wajah Shila sudah merah padam. Bukan sedang menahan marah, tapi sedang kesal atas ulah temannya itu. Salah sendiri juga, siapa suruh merepotkan orang lain dengan menjadikannya sebagai perantara. Dia pikir Najma tidak punya kesibukan lain?

"Iya maaf, Shil, aku lupa."

"Pokoknya aku gak mau tau, kamu harus tanggung jawab."

Najma langsung mengernyit, dan alarm berbahaya mulai berbunyi. "Tanggung jawab apa, aku kan gak melakukan apa-apa."

"Gak mau tau. Pokoknya kamu harus temani aku untuk ketemu dia."

"Gak bisa Shil, aku masih ada urusan lain."

"Kamu mau aku mati kedinginan gara-gara berduaan sama dia?"

Dahi Najma semakin berkerut dalam. Alasan macam apa itu. Benar-benar tidak masuk akal. "Ya ampun Shila, dengerin aku ya. Kamu itu ketemuan sama Pak Deri bukan di hotel, tapi di restoran. Pasti kalian gak mungkin berdua aja di sana. Terus kalau misalnya Pak Deri nyuruh kamu untuk menemui dia di kutub, baru kamu mati akibat kedinginan, lagian dia bukan kulkas, gak mungkin kamu mati cuma gara-gara dekat sama dia."

Wajah Shila memelas dikarenakan Najma yang masih belum memahami maksud dari ungkapannya. "Maksud aku bukan begitu, Ma. Kamu kan tau sendiri bagaimana sikap dia kalau lagi kasih materi di kelas. Mukanya itu lempeng banget kayak triplek, terus bibirnya juga kaku gak pernah senyum. Matanya juga udah kayak mata pisau yang tajamnya bisa menghunus siapa saja orang yang main-main sama dia. Selama aku bimbingan, belum pernah tuh Pak Deri bersikap baik sama aku. Yang ada aku malah kena marah terus-terusan karena dianggap gak pernah becus nyusun skripsi."

Najma hanya bisa melongo ketika Shila mengeluarkan protesan yang sangat panjang. Ya, Najma juga tahu kalau Deri memang tidak sebaik wajahnya yang tampan. Jika sudah berhadapan dengan satu dosen itu, jangan harap bisa selamat dari terkamannya.

Jujur, Najma kasihan pada Shila. Namun skripsinya juga telah menanti untuk diperbaiki.

"Ma, tolong banget ya, temani aku. Biar kalau Pak Deri marah aku gak akan nangis karena ada kamu."

Melihat Shila mengiba seperti itu, membuat hati Najma tersentuh. "Udah, gak usah melas gitu mukanya. Kalau kamu banyak omong, kapan berakhirnya protesan kamu yang panjangnya udah mengalahkan gerbong kereta api itu? Kamu tau kan kalau Pak Deri selalu perhitungan? Telat dikit aja pasti dipermasalahkan."

"Jadi kamu mau temani aku?"

"Enggak bisa, Shila."

"Harus bisa, pokoknya aku gak terima penolakan, titik."

"Tapi aku gak bisa."

"Please, mau ya? Aku yakin, Najma gak akan pernah membiarkan sahabatnya menderita disebabkan oleh dosen killer itu," tutur Shila semakin melas.

Kalau sudah begitu, Najma tidak bisa menolak. Entah kenapa hatinya gampang luluh jika Shila yang berbuat hal itu.

"Oke, tapi aku gak--"

"Beres, nanti aku yang traktir kamu kalau kamu mau makan. Kamu gak perlu khawatir, oke?"

Shila segera menarik tangan Najma menuju parkiran tanpa menghiraukan ucapannya. Sebelum Najma berubah pikiran, menurutnya.

💞💞💞

Shila dan Najma telah sampai di sebuah restoran cepat saji yang tak jauh dari kampusnya. Sambil berjalan, matanya terus mencari-cari sosok yang katanya sedang sarapan di sini.

Sekian menit kemudian, mata Shila menangkap sosok yang dicari tengah duduk di bangku restoran paling pojok sambil menatap layar laptop di depannya. Shila berjalan dengan tergesa, sampai ia tak menyadari langkah kaki Najma terseret-seret akibat ditarik olehnya.

"Assalamu'alaikum Pak, maaf saya terlambat," ucap Shila setelah menjangkau meja yang diduduki Deri.

Mata Deri beralih menatap Shila. Tubuh Shila langsung terkunci. Tegang. Sungguh, tatapan yang diberikan Deri membuat Shila merinding seketika. Sorot mata tajamnya benar-benar menusuk sampai ke dasar dada.

Sebelum menjawab salam, Deri minum terlebih dahulu. "Wa'alaikumsalam. 15 menit 18 detik. Waktu saya terbuang percuma hanya untuk menunggu kedatangan kamu di sini. Saya tahu, jarak rumahmu dengan tempat ini bisa ditempuh dalam waktu 30 menit, tapi kenapa kamu terlambat 15 menit? Kamu tahu kan, kalau saya tidak suka pada orang yang tidak bisa menghargai waktu," katanya dengan menekan setiap kata yang diucapkan. Jangan lupakan juga wajah datarnya.

"I--ya Pak, say-ya minta maaf. Tadi ... saya datang dulu ke kampus karena saya kira Bapak ada di sana." Shila benar-benar takut sekaligus gugup kalau sudah berhadapan langsung dengan Deri.

"Saya kan sudah memberi tahu kamu, kalau saya ingin kita bertemu di sini, apa kamu tidak membaca pesan yang saya kirim," sentak Deri dengan nada yang super dingin.

Iya, Shila melupakan itu. Kenapa juga dia harus keceplosan? Benar-benar ceroboh. Kalau sudah begini, alasan apa lagi yang harus dia berikan?

"Sudah berapa kali saya bilang. Disiplin, Shila. Sekarang bagaimana caranya kamu mengganti waktu saya yang sudah kamu sia-siakan?"

Shila bungkam. Begitu juga dengan Najma. Sedari tadi dia hanya diam sambil mengatur ritme jantungnya agar tak berdegup terlalu berlebihan. Sungguh, Najma benar-benar ketakutan. Terbukti dari tangannya yang sudah mengeluarkan keringat dingin.

Kalau Shila berani, ia sangat ingin mengatakan 'siapa juga yang suruh menunggu? Gak ada. Kalau takut waktumu terbuang percuma, kenapa gak pergi aja dari tadi'. Sayangnya Shila masih membutuhkan orang seperti Deri. Karena dialah yang akan membimbingnya selama tugas akhir belum tuntas.

"Permintaan maaf kamu saja tidak bisa mengembalikan waktu yang sudah terbuang itu. Saya juga tidak akan menerima alasan apa pun yang keluar dari mulut kamu."

Tangan Shila sudah terkepal kuat. Benar-benar egois orang yang ada di hadapannya ini. Jika saja ia tidak dapat menahan emosi, sudah dapat dipastikan telapak tangannya akan mendarat dengan mulus di pipi sang dosen. Untungnya Shila masih sadar ia sedang berhadapan dengan siapa, dan di mana dirinya berada sekarang.

"Lain kali jangan diulangi lagi." Setelah mengatakan itu, Deri memalingkan wajahnya ke arah lain. "Duduk," suruhnya dengan mimik wajah yang belum berubah. Datar.

Shila dapat bernapas lega karena Deri tak memperpanjang masalahnya. "Terima kasih, Pak."

"Kamu mau apa?" tanya Deri pada Najma yang ikut duduk di samping Shila.

"Dia mau menemani saya, Pak."

"Memangnya saya menyuruh kamu membawa teman? Tidak, kan? Jadi untuk apa dia di sini. Urusan saya hanya dengan kamu, bukan dengan dia."

Najma melirik sekilas pada Shila yang sedang tertunduk. "Tuh kan Shil, aku bilang juga apa, dia pasti akan seperti ini," bisiknya tepat di telinga Shila.

"Ngomong apa kamu, harus bisik-bisik segala?" Najma langsung mengatupkan bibirnya. "Ngomong apa?"

"A--engggh, itu Pak, a-anu, saya...." Najma menarik-narik baju Shila, meminta bantuan agar temannya mau mencarikan alasan.

"Dia mau pamit, Pak," tutur Shila setelah mengerti kode yang diberikan Najma.

"Silakan," ucap Deri santai.

Tanpa basa-basi, Najma beranjak dari duduknya, dan langsung meninggalkan meja yang menurutnya begitu terasa panas. Lain halnya dengan Shila yang semakin kesal atas perbuatan Deri.

Dasar tengil. Ganteng-ganteng kok galak sih. Mana itu mulut pedes banget lagi. Kebanyakan makan cabe kali ya? Pantes aja, udah tua gitu gak laku-laku. Pasti gak ada yang mau, gerutu Shila dalam hati.

"Kenapa lihatin saya seperti itu?"

Shila berjengit saat ketahuan tengah menatap Deri dengan cara yang tidak biasa. Tak ingin mendapat masalah lagi, Shila memilih menunduk dibanding harus menjawab tanya Deri.

💞💞💞

14 Ramadhan 1441H

Done...

Alhamdulillah, lancar..

Ramaikan dong, biar gak sepi😉
Vote, komen, dan jangan lupa untuk share ke temannya yang lain ya..

Terima kasih.

Salam

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro