Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Perkara Takdir

Allahumma sholli 'ala sayyidinaa Muhammad wa'ala aali sayyidinaa Muhammad.

SEKERAS APA PUN MENENTANG, DAN SEKUAT APA PUN MENGINGINKAN, JIKA BUKAN ITU TAKDIR YANG ALLAH GARISKAN, KAU TIDAK AKAN BISA MENGGAPAINYA, TIDAK PULA MENGHINDARINYA.

~Takdirku~

***

Acara wisuda telah selesai. Sekarang, Shila dan Najma sedang bergaya memperlihatkan baju wisudanya di depan kamera yang dibawa Haris-ayahnya Reva. Mereka tampak bahagia, ketika jepretan demi jepretan telah didapatkannya. Sesekali, Reva ikut masuk menjadi pengacau, saat lensa kamera mulai terfokus pada Shila dan Najma.

Meski jengkel, Shila tetap tertawa melihat kekonyolan adik sepupunya yang petakilan itu. Tanpa ada yang tahu, di balik senyum lebar Shila, tersimpan satu kesedihan yang sengaja ia sembunyikan.

Setelah Najma pamit pulang, Shila memilih untuk masuk secepatnya ke dalam mobil. Ajakan makan bersama dari Hera pun ia tolak, dengan alasan tidak enak badan. Shila tidak bohong, ia memang sedang tidak enak badan. Terlebih setelah dirinya bangun dari tidur--dini hari tadi--sebab mendapat mimpi buruk yang sangat mengerikkan.

Mimpi itu ... seperti nyata terjadi. Setiap kalimat yang Deri ucapkan di mimpi itu, masih melekat dalam ingatan. Lalu, genggaman tangan Deri pada wanita lain, seolah tampak nyata. Sampai setiap kali Shila mengingatnya, rasa sakit yang menyerang sudut hati membuat ia tak berdaya.

Pertanda apa? Shila benar-benar tidak paham mengenai mimpi semalam. Semoga saja, tidak ada kejadian buruk yang menimpanya setelah ini.

"Ada apa, kok mukanya jadi masam gitu?" Intan yang kebetulan duduk di jok sebelah Shila, sudah tak bisa diam lagi saat melihat adiknya memberengut.

"Gak papa, aku cuma capek aja," alibi Shila dengan suara pelan.

Intan menghela napas. "Mama Vera sama Pa Ferdi kenapa gak datang, kata kamu kemarin mereka mau datang?"

Matanya menatap Intan dengan nanar. Satu pertanyaan itu berhasil memancing kesedihan Shila mencuat ke permukaan. Rasanya ia ingin menangis sekencang-kencangnya. Sunguh, ia sangat kecewa. Orang-orang yang diharapkannya bisa hadir, ternyata malah tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali.

"Aku gak tau," jawabnya lemah.

"Udah coba dihubungi?" Anggukan lesu Shila lakukan, untuk menjawab pertanyaan Intan. "Terus bagaimana?"

"Ponsel Mama Vera gak aktif."

"Lagi sibuk mungkin, makanya mereka gak bisa datang."

Shila memilih memejamkan mata, dan mengakhiri percakapannya dengan Intan. Ya, mungkin apa yang dibilang Intan memang benar. Sepertinya Bu Vera mendadak ada urusan yang membuatnya berhalangan hadir.

Coba kalau punya nomor ponsel Pak Deri, pasti aku udah hubungi dia. Menanyakan kabarnya, lalu bertanya kenapa dia gak pulang sekarang? Padahal waktu itu Pa Ferdi bilang, dia mau pulang. Benar-benar gak ngerti banget sih. Bentar lagi kan dia akan menikah. Apa dia gak ada niatan untuk istirahat sebelum hari-H? Meski sudah lelah, tapi hati Shila terus menggerutu kesal.

Tak terasa, setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, mobil yang Shila tumpangi memasuki pekarangan rumah. Begitu mobil berhenti, buru-buru Shila turun dari mobil, dan mengambil langkah cepat agar bisa segera masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di beranda rumah, langkah Shila terhenti. Sesaat, suasana terasa hening. Shila seperti tak mempunyai kemampuan untuk kembali melangkahkan kaki, atau hanya sekadar menyapa orang yang kini tengah menatapnya.

Meski berat, Shila tetap berusaha mengukir senyum. "Assalamualaikum, Fadhil." Kakinya melangkah ke tempat di mana Fadhil berdiri.

"Wa alaikumsalam, Shila."

"Kamu kok...." Shila terkikik, "kok bisa ada di sini? Sejak kapan?"

"Aku baru sampai, La."

Bibir Shila membulat tanpa suara. Dalam pikirannya, ia bingung harus bertanya apa pada Fadhil. Tidak biasanya ia datang ke rumah seorang diri. Apa dia mau memberi info tentang Pak Deri? Ah, semoga saja.

"Shil, tamunya gak diajak masuk?" Itu suara Bu Ema yang tengah berjalan ke arahnya.

"Eh, iya lupa, ayo Dhil, masuk dulu."

"Gak usah La, di sini aja."

Sekilas, netra Shila menatap Fadhil. Menangkap raut gelisah di wajah temannya, tak pelak dahi Shila berkerut. Hingga akhirnya, Shila setuju, dan memilih duduk di beranda rumah. Membuat Fadhil pun turut duduk di sampingnya. Dengan jarak duduk yang sangat jauh.

"Ya sudah kalau begitu, Ibu masuk dulu, ya."

"Iya, Bu."

Setelah seluruh anggota keluarganya masuk, Shila mulai menanyakan maksud kedatangan Fadhil. "Mmm, jadi ... ada apa, Dhil, tumben kamu berkunjung sendiri aja, gak sama Fahmi?"

"Fahmi sedang ada tugas." Fadhil diam sebentar. "Oh iya, selamat ya, atas kelulusannya."

Senyuman kembali terbit di wajah Shila. "Terima kasih, Fadhil."

"Itu artinya ... pernikahan kamu ... tinggal seminggu lagi?"

"Iya. Kamu udah terima undangan dari aku, kan?"

Fadhil cukup mengangguk. Baginya, hari ini merupakan hari paling berat yang ia lalui, sampai lidahnya tak mampu berkata panjang lebar. Melihat keceriaan di wajah Shila, Fadhil bukannya bahagia, ia malah khawatir. Semakin Shila tersenyum lebar, semakin hatinya dilanda rasa nyeri yang begitu menyayat.

"Shila."

Panggilan dari Fadhil, memaksa Shila untuk mengarahkan pandangannya ke samping kanan. "Kenapa?"

"Sebenarnya ... kedatangan aku ke sini, itu karena ... ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu."

"Oh, ya udah, bicara aja."

Sebelum berucap, Fadhil memejamkan mata sebentar. Mencoba mengumpulkan keberanian yang mendadak lenyap dalam dirinya. "Apa yang akan aku katakan, mungkin bisa membuat kamu terkejut, bahkan gak percaya sama sekali, apa kamu yakin mau mendengarnya?"

Mendengar Fadhil berkata seperti itu, Shila malah tertawa kecil. "Ya ampun, Dhil, yakinlah, udah bicara aja. Ditambah kamu bilang seperti itu, aku jadi semakin penasaran sama apa yang mau kamu bicarakan."

Fadhil menarik napas dalam, dan sepertinya ia enggan untuk mengembuskannya kembali.

"Sebelumnya aku minta maaf sama kamu La, maaf kalau apa yang aku katakan nanti, membuat kamu gak senang."

"Jadi intinya kamu mau bilang apa?" Rasanya Shila benar-benar gemas karena mendengar ucapan Fadhil yang terus saja berbelit-belit.

"Mmmm, sebenarnya...." Ragu. Fadhil tidak bisa mengatakan ini, tapi ia tetap harus mengatakannya. Karena cepat atau lambat, Shila juga pasti akan tahu hal ini.

"Sebenarnya apa, Fadhil?"

"Maaf, Shila." Bukannya berbicara, Fadhil malah menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Sesaat, Shila biarkan Fadhil dalam posisi itu. Memberinya kesempatan untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu sebelum berbicara.

"Ayo Dhil, apa yang mau kamu katakan, bilang."

"Shila, sebenarnya ... aku ... aku mau bilang kal---"

"Innalillahi wa inna ilahi raji'uun!"

Pekikan dari dalam rumah menghentikan ucapan Fadhil. Shila menatap Fadhil sebentar. Lalu, dengan cepat ia berlari masuk ke dalam rumah. Terpaksa, Fadhil ikut masuk, karena ia takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi di dalam sana.

Sesampainya di ruang televisi, Shila melengos, enggan melihat Intan yang tengah asyik dengan tontonannya. "Teh, lagi nonton apa sih, kok teriaknya sampai histeris gitu?"

Bukannya menjawab, Intan malah menarik tangan Shila agar lebih dekat dengan televisi yang sedang menayangkan sebuah berita. "Kamu lihat itu, Shil!"

Arah pandang Shila mengikuti telunjuk Intan. Lantas, mulutnya menganga begitu sadar dengan apa yang dimaksud Intan. "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Kecelakaan pesawat, Teh?"

"Iya, kejadiannya tadi malam, dan sampai sekarang masih banyak korban yang belum ditemukan. Mungkin karena lokasi jatuhnya pesawat yang masuk perairan, makanya semakin mempersulit pencarian korban."

"Mana korbannya banyak banget lagi. Mudah-mudahan proses evakuasinya cepat selesai."

Pandangannya berubah nanar. Nahas, Shila tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia yang jadi salah satu korban jatuhnya pesawat itu, atau jadi keluarga dari si korban. Pasti akan sangat sulit menerima kenyataan ini.

"Shila, itu teman kamu kenapa malah dianggurin?" tanya Intan

"Eh, iya Teh, lupa aku. Maaf ya, Dhil. Oh iya, tadi kamu mau bilang apa?" Tak ada sahutan dari Fadhil, ia masih menatap kosong layar televisi yang sedang menyala. "Dhil, kamu melamun, ya?"

"Eh, a ... ke-kenapa, La?"

"Harusnya aku yang tanya, kamu kenapa, kok malah bengong? Bukannya tadi kamu mau bilang sesuatu?"

"O-oh, soal itu, ya ... itu yang mau aku bilang," katanya sambil menunjuk televisi.

Alis Shila tertaut, tidak mengerti. "Maksudnya?"

"Iya, aku ... mau bilang soal kejadian itu."

Merasa perkataan Fadhil terlalu konyol, Shila sampai tertawa kecil. "Jadi kamu datang ke sini cuma untuk bilang kejadian jatuhnya pesawat itu?" Anggukan Fadhil terlihat lemah. "Ya Allah, Dhil, kenapa kamu malah repot-repot datang ke sini, di tv kan udah ada siarannya. Aduh, kamu ini ada-ada aja deh," ujar Shila semakin tergelak.

"Tapi Bang Deri ikut jadi korban, La."

Tawa Shila berhenti seketika. "Maksud kamu?"

"Bang Deri ... dia...."

Suaranya tercekat, menahan perih yang menyerang tenggorokan dan hati secara bersamaan. Sungguh, Fadhil tidak berani mengatakan kabar buruk ini. Ia tidak sanggup. Jika saja ibunya Deri tidak meminta, mungkin Fadhil akan memilih bungkam, dibanding mengatakan hal pahit ini.

"Dia ... dia jadi salah satu korban kecelakaan pesawat itu, Shila."

Shila semakin tidak mengerti atas ucapan Fadhil. "Kamu bicara apa, Dhil? Tolong kamu jangan ngaco ya. Apa yang kamu bilang itu gak lucu tauk."

"Aku serius La, semua yang aku katakan itu memang kenyataannya." Air telah membendung di pelupuk mata. Sekali saja berkedip, pipi Fadhil akan langsung basah terkena alirannya.

"Bohong! Aku tau kamu pasti bohong! Ini pasti cuma akal-akalan kamu aja! Kamu sengaja bilang seperti itu, karena kamu sama Pak Deri mau kasih kejutan untuk aku, iya kan, Dhil?" Suara Shila mulai bergetar saat Fadhil meneteskan air mata. "Dhil, tolong kamu jangan seperti ini, aku mohon katakan yang sejujurnya."

Sebisa mungkin Fadhil menahan laju air matanya agar tak jatuh. Namun, ketika melihat Shila yang terus saja menarik lengan bajunya, air itu kembali menganak sungai. Lantas, wajahnya menengadah, menyembunyikan segala yang tampak di sana. Termasuk air mata.

Setelah menyeka pipi, Fadhil beralih menatap Intan. Meminta bantuan padanya agar mau memegangi Shila. Mengerti, Intan segera membawa tubuh sang adik dalam pelukan.

"Sabar Shila, ini ujian."

Shila berontak, menolak pelukan Intan. "Enggak Teh, Fadhil pasti bohong, Teteh jangan percaya gitu aja sama dia! Iya kan Dhil, apa yang kamu bilang itu gak benar, kan? Fadhil, tolong bicara, katakan sama Teh Intan kalau kamu lagi bercanda! Dhil, bilang, kamu jangan diam aja!"

Mendengar keributan dari ruang tengah, Pak Qomar dan Bu Ema yang baru selesai melaksanakan salat Zuhur datang menghampiri. "Ada apa ini, kok rame banget? Loh, Shila kenapa nangis?" Bu Ema bertanya dengan raut panik.

"Deri, Bu, Pak, Deri ... mengalami kecelakaan."

"Innalillahi wa inna ilahi raji'uun." Bu Ema dan Pak Qomar mengucap kalimar tarji' bersamaan. "Kecelakaan apa?"

"Bohong Bu, Ibu jangan percaya! Itu semua bohong! Pak Deri gak papa Bu, dia baik-baik aja!"

"Tenang Shila, tenang! Istighfar, ini ujian untuk kita semua." Intan semakin mengeratkan pelukannya.

"Enggak! Ini pasti bohong, semua ini pasti gak benar." Suara Shila semakin melemah.

Setelah itu, tubuh Shila yang semula berdiri tegap terkulai lemas. Ia duduk di dasar lantai dengan pandangan kosong. Membuat Intan ikut duduk tanpa melepaskan dekapannya.

Air mata keluar dengan deras. Shila menggigit bibir bagian bawahnya untuk menghalau isakan yang mulai terdengar. Fadhil sendiri kembali menumpahkan air mata, ia sungguh tidak kuat melihat pemandangan ini. Hatinya semakin terasa sakit, seolah belati tak kasat mata terus menyayatnya tanpa ampun.

Bukan hanya Shila saja yang terluka mendengar kabar duka tentang Deri. Dirinya juga ikut terluka, karena melihat orang yang dicintai harus menangis, menahan sakit yang tak tampak lukanya.

Seharusnya hari ini Shila bahagia, tapi apa mau dikata, takdir Allah tak ada yang tahu. Semua yang terjadi di luar ekspektasi manusia. Terkadang, manusia ingin hidupnya selalu bahagia, tapi Allah memberi takdir sebaliknya. Dengan tujuan untuk menguji, sebagai tanda kasih sayang-Nya.

Sungguh, Fadhil merasa sangat bersalah karena telah mengatakan semua kebenarannya. Jika saja doa yang ia panjatkan dapat terkabul dengan segera, ia ingin meminta agar dirinya bisa menggantikan posisi Deri. Biarkan dia yang mengalami semua ini, toh, tidak ada orang yang akan peduli seperti Shila yang memperdulikan Deri.

"Ya Allah, astaghfirullahal'adzim ... astaghfirullahal'adzim ... ya Allah, astaghfirullahal'adzim ...." Rapalan istighfar mulai terucap dari bibir Shila.

"Bagaimana kejadiannya, kenapa Nak Deri bisa mengalami kecelakaan?"

Fadhil agak tersentak saat Pak Qomar mengajukan tanya. Sebisa mungkin, ia menjawab pertanyaan Pak Qomar dengan tenang, meski suaranya harus tersendat-sendat. "Jadi, semalam Bang Deri berniat untuk pulang dari Bali menuju Jakarta, Pak. Saya juga kurang tahu kejadian sebenarnya seperti apa. Katanya, ada kerusakan pada mesin pesawat yang tidak terkontrol. Hingga pesawat oleng, dan jatuh di perairan selat Bali."

"Astaghfirullahal'adzim, lalu bagaimana keadaan Deri?"

"Sampai sekarang belum ada kabar tentang Bang Deri. Sebagian para korban masih dikatakan hilang, tapi pihak BASARNAS sudah mengerahkan semua timnya untuk mencari para korban, dan semoga pertolongan Allah datang untuk Bang Deri. Supaya Bang Deri bisa ditemukan secepatnya dalam keadaan selamat."

"Aamiin ya Allah."

Shila semakin menangis tergugu. Baru saja ia membayangkan bagaimana jika dirinya yang menjadi keluarga dari korban kecelakaan itu, sekarang ia tengah merasakannya.

Allah, kenapa ini terjadi lagi? Apakah Engkau senang melihat aku terjatuh terus menerus? Sungguh, kali ini semuanya terasa begitu berat. Bahkan aku tidak tahu, apakah aku akan kembali bangkit atau tetap seperti ini.

Hati Shila terus saja membatin. Bayangan dirinya yang akan segera naik pelaminan bersama Deri, lalu tentang masa depannya yang sudah terangkai apik dalam bilik ingatan, seketika runtuh begitu mendengar kabar buruk tentang calon suaminya.

Mimpi semalam. Rupanya mimpi itu ada kaitannya dengan kejadian saat ini. Deri pamit untuk pergi, dan ternyata ia memang pergi. Entah akan kembali, atau tidak. Shila hanya berharap, semoga ia masih bisa meraih Deri.

Lalu, siapa wanita yang pergi bersamanya, kenapa Pak Deri memilih pergi bersama seorang wanita?

Pelukan Intan yang sudah tak seerat sebelumnya, membuat Shila dengan mudah melepaskan diri. Mengakhiri pikiran yang tengah rancu, Shila memutuskan bangkit. Mencoba menguatkan kaki untuk melangkah.

"Mau ke mana, Shila?"

"Shila mau salat dulu, lupa belum salat Zuhur," ungkap Shila sambil berjalan gontai masuk ke dalam kamar mandi.

"Fadhil?"

Tersentak untuk yang kedua kalinya, kala suara Shila mengudara. "Iya, La?"

"Kalau udah ada kabar tentang Pak Deri, tolong kabari aku lagi, ya."

Fadhil mengangguk seraya menyunggingkan bibir. Setelahnya, ia langsung tertunduk, saat tak sengaja melihat wajah Shila yang basah oleh air wudu. Di tengah perasaannya yang tak menentu, Fadhil sempat berpikir. Kenapa sekarang Shila bisa setenang itu, padahal beberapa menit yang lalu, ia masih menangis terisak?

Mungkin karena efek dari air wudu. Itulah yang membuat Shila bisa lebih tenang dari sebelumnya. Melihat Shila berjalan menjauh, satu embusan napas berhasil Fadhil loloskan. Sudah cukup, memikirkan gadis itu hanya akan semakin membuat jantungnya sulit dikendalikan.

Setelah memastikan tak ada lagi yang dibicarakan, Fadhil memutuskan pulang. Sepertinya ia juga perlu berwudu dengan segera, agar suasana hatinya bisa lebih tenang.

"Pak, saya pamit pulang dulu, nanti kalau saya sudah mendapat kabar tentang Bang Deri, saya pasti kabari lagi ke sini."

"Baiklah, terima kasih ya, Nak. Di sini juga kami tidak akan berhenti berdoa agar Deri bisa secepatnya ditemukan."

"Iya, Pak. Assalamualaikum." Setelah mendapat jawaban salam, secepatnya Fadhil berjalan keluar.

💞💞💞

25 Syawal 1441 H

Maaf, jika kalian kecewa, sebab pada kenyataannya alur tak sesuai ekspektasi kalian.

Tapi jujur, semua yang tertuang di sini sudah kupikirkan secara matang, dan aku puas dengan ending yang akan ada nanti.

Bukan gak ngerti sama keinginan para pembaca, tapi di sini aku membuat cerita. Tujuan awalku membuat cerita dengan alur seperti ini, adalah ingin menunjukkan pada kalian, bahwa inilah takdir.

Sekuat apa pun menentang, dan sekeras apa pun menginginkan, jika bukan itu takdir yang Allah gariskan, tidak akan bisa.

So, aku harap kalian bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Suka gak suka, kalian tetap harus menerima. Karena bagiku, itulah yang terbaik.

Oiya, sebenarnya ada satu rahasia yang belum sempat Deri katakan pada Shila. Berkaitan dengan perkataan Deri pas ditelepon sama Fadhil.

Penasaran?

Tunggu setelah part ini...

See you next part..

Aku padamu😘😥

Salam

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro