Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Yang Terbaik

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Tak semua keputusan yang kau ambil itu baik. Libatkanlah Allah dalam segala hal, agar tak ada kecewa di akhir kemudian.

~Takdirku~

***

Hari ini akan menjadi hari bersejarah bagi Shila di sepanjang dirinya menjadi mahasiswa. Karena tepat pada hari ini, ia akan melaksanakan sidang skripsi sebagai penentu apakah dirinya bisa lulus atau tidak.

4 tahun Shila menggali potensi dan kemampuannya di bidang manajemen. Sebentar lagi, dirinya sudah berhasil merampungkan pendidikan di bangku kuliah. Itu pun kalau proses sidangnya lancar, dan membuahkan hasil yang memuaskan.

Rapalan doa tak henti Shila ucapkan sembari menunggu namanya dipanggil. Harapan Shila saat ini hanya satu, ia bisa lulus dengan hasil yang mampu membuat kedua orang tuanya bangga. Titik. Namun, ia tetap memasrahkan segala hasil akhirnya hanya pada Allah. Karena Dia-lah yang telah mengatur segalanya.

Meskipun ia sudah berusaha semampu yang ia bisa, tapi ketika Allah berkata tidak, tak ada yang bisa mengubahnya. Walau demikian, Shila selalu percaya, bahwa setiap usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Ia yakin, Allah pasti akan menolongnya. Memberi petunjuk padanya dikala serentetan pertanyaan dari dosen penguji mulai keluar.

Untuk ke sekian kalinya Shila menarik napas dalam, dan mengembuskannya secara perlahan. Bukan suatu hal yang mudah bagi Shila, masuk bangku kuliah di usia yang sudah menginjak 20 tahun. Di saat semua temannya sudah mampu melewati beberapa semester, Shila baru bisa memulai perjuangannya.

Namun, itu semua tidak menjadikan semangat yang tertanam dalam jiwanya surut. Dengan segala tekad yang dimiliki, Shila berhasil melewati ujian demi ujian yang sempat membuat pertahanannya roboh. Terlebih saat masuk semester akhir. Di kala kegigihan seorang mahasiswa diuji dengan rentetan tugas akhir yang menjengahkan.

Masih mending saat mendapat dosen pembimbing yang ramah dan baik hati. Itu benar-benar suatu nikmat yang patut disyukuri. Akan tetapi, jika seorang pembimbingnya merupakan dosen killer seperti Deri. Shila pun sangat tidak kuat ketika harus berhadapan dengannya. Benar-benar dibutuhkan kesabaran, kegigihan, kecermatan, serta disiplin penuh untuk menghadapi manusia beku nan kaku macam calon suaminya itu.

"Assalamualaikum, Shila." Shila menengok ke arah seseorang yang baru saja duduk di sebelahnya.

"Waalaikumsalam." Bibirnya tersungging. "Ma, aku kira kamu gak akan datang."

"Pasti datanglah Shil, secara kan aku perlu banget kasih semangat untuk kamu. Terlalu jahat rasanya kalau aku membiarkan kamu berjuang sendirian."

Shila merasa terharu mendengar ungkapan Najma. Ia sangat bersyukur bisa dipertemukan, dan ditakdirkan bersahabat dengan gadis seperti Najma. Meskipun tingkat keingin tahuannya selalu membuat Shila kewalahan, tapi ia yakin Najma melakukan itu karena dia peduli pada sahabatnya sendiri.

"Mohon dipersiapkan, peserta sidang selanjutnya, Shila Wardatul Azizah."

Jantung Shila langsung bereaksi saat namanya disebut. Kali ini detakannya mulai tak tenang. Perut yang sebelumnya baik-baik saja, mendadak mulas saking tegangnya ia, yang sekitar 5 menit lagi akan masuk ke ruang panas itu. Menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari dosen penguji selama beberapa jam.

"Aku yakin kamu pasti bisa, Shil." Najma berusaha membuat Shila tenang ketika raut wajahnya berubah tegang.

Sementara Shila, hanya bisa mengulas senyum kala Najma merangkulnya dari samping. "Makasih ya, kamu udah bersedia menemani aku, memberi semangat untuk aku, mendoakan aku juga."

"Itu memang udah seharusnya aku lakukan sebagai sahabat kamu, Shila."

"Aku janji, Insya Allah, minggu depan aku juga akan menemani kamu di sini." Najma cukup mengangguk berkali-kali.

"Shila Wardatul Azizah!"

Panggilan itu menyadarkan Shila dan Najma dari kegiatannya yang sedang saling merangkul. "Ayo masuk, tenang ya, jangan gugup. Jangan lupa baca Bismillah dulu," titah Najma mengingatkan.

"Bismillahirrahmanirrahiim. Doain ya, semoga semuanya lancar."

"Iya. Eh, tarik napas dulu, biar mukanya gak keliatan tegang."

Shila mengikuti perintah Najma. Diraupnya oksigen yang ada di sekitaran dengan serakah. Lantas, dadanya kembali mengempis setelah Shila membuang napas secara perlahan. Cukup tenang, meski masih terasa mendebarkan.

Setelah benar-benar siap, Shila segera memasuki ruangan dengan perasaan campur aduk. Ketakutan yang seolah tampak nyata, ia singkirkan dengan satu hentakan kaki penuh percaya diri.

Perasaan Najma semakin waswas begitu tubuh temannya menghilang di balik pintu ruangan. Ia turut merasakan ketegangan, ketakutan serta kekhawatiran yang dirasakan Shila. Secara dirinya juga akan menghadapi sidang satu minggu kemudian. Jadi wajar kalau ia ikutan tegang.

###

Setelah dua jam Najma menunggu di ruang tunggu, akhirnya Shila bisa keluar dengan wajah yang sulit diartikan. Entah itu raut sedih, bingung, lelah, suntuk, atau apa, Najma tidak terlalu mengerti. Yang jelas, keadaan Shila saat ini pasti sedang tidak baik-baik saja. Dengan ragu, ia hampiri Shila yang sedang berjalan gontai ke arahnya.

Tanpa berucap sepatah kata pun, mata Shila langsung mengeluarkan air yang sudah ditahannya sedari tadi. Najma segera membawa Shila dalam dekapannya. Apakah Shila perlu mengulang sidangnya?

Isakan mulai keluar dari bibir Shila, bahunya pun ikut naik turun. Menandakan kalau ia sudah tak bisa menahan semuanya. Tatapan kasihan dari orang-orang yang ada di sana tak Shila hiraukan. Ia hanya perlu mengungkapkan segala yang dirasakannya melalui tangisan.

Bersyukur Najma ada di sana. Jadi, saat Shila seperti ini, masih ada orang yang siap menopang kakinya, yang sudah tak mampu lagi ia pijakkan. Untuk beberapa menit, Shila masih saja sesenggukan di bahu Najma. Seperti enggan melepas pelukan sahabatnya itu. Merasa kakinya pegal, Najma pun memapah Shila agar duduk di kursi. Diusapnya bahu Shila dengan pelan.

"Sabar Shila, jangan putus asa."

"Alhamdulillah, ya Allah."

Mendengar itu, Najma buru-buru menarik tubuh Shila yang ada dalam dekapannya. "Maksud kamu, Shil?"

"Aku, berhasil Ma, aku berhasil," kata Shila setelah menyeka air mata yang menganak sungai di pipi.

Dengan gerakan cepat, tubuh Shila sudah kembali didekap Najma. Ia ikut menumpahkan air mata, saking bahagianya mendengar kabar yang dibawa Shila.

Keduanya berpelukan semakin erat. Menikmati suasana haru yang begitu melegakan hati. "Ya Allah, Shila, aku kira kamu...." Suara Najma tercekat.

Shila hanya mampu terkekeh saat Najma masih saja terisak. "Semuanya berjalan lancar Ma, tanpa hambatan sama sekali."

"Alhamdulillahi rabbil'alaimiin, ya Allah. Masya Allah tabarakallah. Aku pikir, tadi kamu itu gagal, Shil. Habisnya muka kamu seperti raut orang stres gitu."

Untuk yang kedua kalinya Shila terkekeh. "Sampai segitunya, ya?"

Najma mengangguk. Ucapan syukur tak henti dirapalkan keduanya. Tangis bahagia masih mengiringi mereka di hari yang mengharukan ini.

"Kamu hebat, Shil, hebat."

"Alhamdulillah, ini semua berkat doa Ibu sama Bapak, doa dari kalian semua juga. Makasih ya." Najma mengangguk, hanya untuk merespons perkataan Shila. "Ya udah, kita pulang yuk. Aku udah gak sabar mau bilang sama Bapak, sama Ibu kalau aku berhasil. Kamu ikut pulang ke rumah aku ya, kita makan bersama di sana."

"Tapi, Shil...."

"Udah, gak boleh nolak."

Lagi, kepala Najma mengangguk. Setelah itu, Shila segera menyeret Najma menuju tempat parkir. Ia sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah, lalu mengatakan kabar bahagia ini pada kedua orang tuanya.

Setelah berhasil melewati koridor kampus yang menghubungkan antara ruang ujian dan tempat parkir, langkah Shila mendadak terhenti. Membuat Najma pun ikut menghentikan langkahnya.

"Kenapa, Shil?"

Shila bergeming di tempat. Tak ada satu pun kata yang terucap. Matanya terlalu fokus melihat sosok yang tengah berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang.

Dengan langkah lebar, tapi tenang, ia menghampiri Shila. Tangannya memegang sebuket bunga khusus untuk diberikan pada Shila, yang telah berhasil melewati ujiannya.

"Assalamualaikum, Shila." Lengkungan di bibirnya tampak lebar setelah berhasil mengikis jarak dengan Shila.

Masih terlalu syok atas kehadiran orang yang kini berdiri di hadapannya, Shila sampai lupa tak menjawab salam. "Shila," tegur orang itu.

Terkesiap, lalu berusaha mengukir senyum. "A--wa-wa alaikumsalam, kamu kok ... bisa ada di sini?"

"Untuk kamu." Dia malah menyodorkan bunga yang sedari tadi dipegangnya.

Dengan canggung, Shila menerima pemberian orang yang baru ia kenal. "Terima kasih, Ahnaf."

"Sukses sidangnya?"

"Alhamdulillah, lancar. Kamu kenapa bisa tau kalau hari ini aku sidang? Terus kamu tau dari mana aku kuliah di sini?"

"Reva yang bilang semuanya," ungkap Ahnaf, tenang.

Shila cukup mengangguk beberapa kali. Setelahnya, ia tak bersuara lagi. Sementara Ahnaf, masih belum beralih dari memerhatikan Shila yang tengah asyik menatap sekitaran kampus.

"Shil, ayo kita pulang."

Najma mengingatkan Shila untuk segera pulang. Ia harus cepat-cepat membawa Shila menjauh dari pria itu. Entah kenapa, Najma merasa ada yang tidak beres dengan pria itu. Ada bau-bau mencurigakan yang mampu Najma endus dari gelagat orang di hadapannya.

Memang, Najma tidak kenal siapa pria yang memberikan buket bunga pada Shila, tapi ia harus hati-hati. Cara si pria menatap Shila sangat berbeda, Najma merasa kalau pria itu seperti menyukai sahabatnya.

"Eh, ayo Ma. Ahnaf, maaf aku harus pulang. Assalamualaikum."

Bukannya menjawab salam, Ahnaf malah mengajukan satu pertanyaan. "Boleh aku ikut?"

Pandangan Shila dan Najma bertemu. "Untuk apa?"

"Mmm, aku mau ketemu Reva. Ada hal yang mau aku bicarakan dengannya. Mengenai hubungan kami. Tadinya ... aku mau menemui dia di kampus, tapi sayang, dia udah pulang," jelas Ahnaf.

Mendengar itu, Shila merasa lega. Semoga saja Ahnaf akan meninggalkan Reva. Kalau tidak bisa meninggalkan, ia harus mau menghalalkan adik sepupunya sekarang juga. Setelah mengangguk sekali, Shila langsung menuju tempat parkir, diikuti oleh Najma. Sedangkan Ahnaf, berlari menghampiri motornya.

💞💞💞

Selesai makan bersama di rumah Shila, Ahnaf meminta waktu pada Reva untuk bicara empat mata dengannya. Namun, Shila tidak mengizinkan jika mereka hanya berbicara berdua saja. Jadilah Husna yang kembali menjadi korban. Ia yang niatnya mau langsung pulang sesudah makan, harus menerima tugas dari Shila agar bisa menemani Reva terlebih dahulu.

"Apa yang mau Kak Ahnaf bicarakan?" Tanya Reva to the point.

Sebelum berkata, Ahnaf menghirup udara terlebih dahulu. Hatinya masih bimbang antara harus mengatakan, atau lebih baik menunggu waktu yang tepat. Ternyata, hati kecilnya menyuruh Ahnaf untuk segera menyelesaikan urusannya dengan Reva saat ini juga.

Baiklah, ia akan mengatakannya sekarang. Semoga saja apa yang akan ia ucapkan nanti tidak sampai membuat Reva tersinggung.

"Kak? Kak Ahnaf, hei?"

"Eh, i-iya Va, maaf. Aku melamun ya?"

Reva malah terkikik saat melihat wajah bingung Ahnaf. "Jadi, apa yang mau Kak Ahnaf bicarakan sama aku?"

Sekilas, pandangan Ahnaf mengarah pada Reva, lalu manik matanya kembali menatap lurus ke depan. "Mmm, ini ... soal hubungan kita, Va."

Reva mengernyit. "Emang ada apa sama hubungan kita?"

Meski ragu, Ahnaf tetap harus bicara. "Aku ... sebelumnya aku minta maaf Va, sama kamu. Aku mohon, kamu jangan marah kalau apa yang aku bicarakan nanti membuat kamu sakit hati."

Dahi Reva semakin berkerut, dalam. "Iya, jadi Kak Ahnaf mau bilang apa?"

"Aku ... mau ... mengakhiri hubungan kita," ucap Ahnaf semakin memelankan suaranya di tiga kata terakhir.

Kelopak mata Husna membelalak, saat tak sengaja mendengar apa yang Ahnaf katakan. Jujur, ia sangat bahagia jika Ahnaf benar-benar akan memutuskan hubungannya dengan Reva. Itu artinya, Reva tidak akan lagi menjalani hubungan yang menurut Husna hanya buang-buang waktu.

Air muka Reva berubah masam. "Ma-maksud Kak Ahnaf mengakhiri, itu artinya ... kita putus?" Anggukan kepala Ahnaf membuat Reva tersenyum kecut. "Apa Kak Ahnaf mutusin aku karena perkataan Teh Shila kemarin?"

"Awalnya memang iya, aku mau putusin kamu karena perkataan Shila, tapi ... setelah aku pikir-pikir lagi, ternyata apa yang dikatakan kakak kamu ada benarnya juga. Aku bilang cinta sama kamu, tapi aku gak bisa menjaga cinta itu sendiri. Aku malah berani menodainya dengan cara mengajak kamu pacaran." Sebelum kembali berbicara, Ahnaf sempat melihat pada Reva yang kini sedang menatapnya, kosong.

"Dan ... sekarang aku sadar, kalau aku ingin bisa memiliki kamu, aku harus berani menghalalkan kamu terlebih dahulu. Untuk saat ini ... aku belum bisa melakukannya, Va, aku belum siap, dan tentunya kamu juga pasti sama, kan? Makanya aku memilih untuk melepaskan kamu, karena aku gak mau membuat kamu masuk ke dalam lubang dosa yang aku gali sendiri."

Meski tak merespons, tapi Reva setia mendengarkan apa saja yang dikatakan Ahnaf. Perlahan, dirinya mulai mengerti dan menerima keputusan lelaki itu. Mungkin ini yang terbaik untuk keduanya, terbaik pula untuk masa depannya.

"Sekali lagi maaf, Reva, maaf kalau aku menyakiti kamu."

Sudut bibir Reva tertarik ke samping. "Gak papa Kak, aku terima keputusan Kak Ahnaf."

Bahu Ahnaf mengendur ke bawah. Ketegangan yang sempat ia rasakan, perlahan sirna. Dadanya pun sudah sedikit lapang, seolah beban yang menghimpitnya selama ini, terangkat semua.

"Beneran Va, gak papa?"

"Iya Kak, beneran. Lagi pula, udah saatnya juga aku hijrah. Meninggalkan hal-hal yang gak ada manfaatnya, dan banyak menyita waktu. Sekarang, aku mau mengikuti jejak Husna yang keliatannya itu tetap tenang walaupun dia jomlo. Iya gak, Na?"

Husna tersenyum bangga. Kedua ibu jarinya terangkat ke udara. Memberi isyarat kalau ia setuju dengan perkataan Reva.

"Makasih ya, Va. Aku janji, kalau aku udah yakin kamu adalah orang yang aku pilih, aku akan datang lagi ke sini, untuk seriusin kamu."

Untuk beberapa saat, Reva diam tak berkutik. Jantungnya mulai merespons, dan tanpa bisa dikendalikan, degupannya semakin kencang. Wajahnya pun ikut memanas, rona merah di kedua pipinya semakin terlihat jelas. Padahal Ahnaf sama sekali tidak mengatakan hal yang membuat hati Reva berbunga, tapi entah kenapa, Reva senang saja mendengar itu.

"Ya udah, kalau begitu aku pulang, ya. Makasih, kamu udah mau mengerti aku. Assalamualaikum."

"Wa alaikumsalam," jawab Husna seorang diri, karena Reva masih memerhatikan Ahnaf yang melangkah semakin jauh.

"Awas, Re, jangan baper cuma gara-gara Kak Ahnaf bilang mau seriusin kamu. Tipe-tipe cowok seperti dia itu cuma omongan doang yang digedein, buktinya mah nihil."

"Suuzon kamu!"

"Bukan suuzon Reva, tapi emang itu kenyataannya."

Menimpali perkataan Husna, Reva hanya mengangkat bahu, tak peduli. Lantas, ia segera masuk ke dalam rumah setelah Husna memutuskan pulang.

💞💞💞

Alhamdulillah wasyukurillah..

Up kembali😁

Oiya, cuma mau kasih tau, jika suatu saat cerita ini berjalan gak sesuai dengan keinginan kalian, tolong jangan kecewa.

Hargailah setiap keputusan orang lain. Semua yang tertuang di sini hanya fiktif belaka, dan aku sebagai author sudah memikirkan semuanya sejak lama.

So, enjoy aja ya, jangan ambil hati😉

Aku akan merasa sangat bahagia jika kalian bisa membaca cerita ini sampai akhir. Meski ujungnya tak sesuai harapan, atau bahkan sad end, persiapkan saja ya🥺🥺

See you next part...

Salam

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro