26. Titipan Deri
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Bagaimana bisa lupa, jika langkahnya selalu kau ikuti? Ajakan nafsumu yang memerintah untuk melihatnya, selalu kau turuti. Hei! Lantas, sudah sejauh mana dirimu dalam mengenal-Nya? Dan berapa sering kamu mengingat-Nya? Waktumu habis, hanya untuk mengingat kenangan itu.
Self remember~Takdirku~
***
Dari jarak beberapa meter, Shila sudah bisa melihat motor yang terparkir di pinggir jalan--depan rumah Reva. Setelah dekat, barulah ia sadar, kalau motor yang terparkir itu bukan motor milik Najma. Ia kira, teman yang datang ke rumahnya adalah Najma, ternyata bukan.
Tak ingin membuat tamunya menunggu terlalu lama, langsung saja Shila memasukkan motor ke pekarangan rumah. Tampak dua sosok pemuda tengah duduk di beranda rumahnya. Dugaan Shila benar, rupanya memang dia orang yang datang ingin menemuinya. Lantas, ada urusan apa dia sampai niat sekali datang ke rumah Shila?
Kedua pemuda itu sontak berdiri, dan menyunggingkan senyum ketika melihat Shila berjalan ke arahnya. Shila pun balik tersenyum ramah.
"Assalamualaikum, Fadhil, Fahmi," ucap Shila setelah dekat.
"Wa alaikumsalam, Shila," jawab keduanya bersamaan.
"Kalian kenapa malah diam di luar, ayo masuk dulu." Pintu rumah langsung terbuka lebar.
"Gak usah, Shil, udah di sini aja, lebih enak di luar," kata Fahmi kembali duduk di beranda.
"Oh, ya udah, kalau gitu aku ambil air minum dulu ya buat kalian."
"Jangan, La." Cegahan Fadhil membuat langkah Shila terhenti. "Kebetulan ... kita lagi puasa, jadi kamu gak perlu repot-repot."
Alis Shila tertaut, "Puasa? Kalian puasa apa, ini kan hari minggu?"
Fadhil langsung kelabakan. Ditatapnya Fahmi yang kini malah asyik bersiul sambil melihat sekitaran rumah Shila--bersikap tak peduli. Lagi pula, kenapa Fadhil harus sok-sok'an berkata seperti itu, biar apa coba?
"Mmm, kamu ... dari mana?" Fadhil mengalihkan pembicaraan.
"Aku tadi ada urusan sebentar di luar, jadi aku gak tau kalau di rumah ada tamu. Maaf ya, kalian pasti udah nunggu lama."
"Oh, enggak kok, kita juga baru sebentar di sini."
Perkataan Fadhil barusan, sukses membuat Fahmi mendelik tajam. Wajahnya sengaja ia palingkan ke arah lain. Apanya yang sebentar, gua udah duduk di sini setengah jam lebih, dia malah bilang sebentar? Dasar gendeng, gak lihat apa ini pantat udah mau akaran gara-gara kelamaan duduk.
Meskipun Fadhil berkata demikian, tapi Shila tahu kalau kedua temannya ini sudah berada di sini dari setengah jam yang lalu. Shila yakin, pasti mereka kelamaan menunggu dirinya. Semua itu terbukti dari raut wajah Fahmi yang kesal saat Fadhil mengatakan kata 'sebentar'.
"Oh iya La, sebenarnya ... kedatangan aku ke sini itu untuk memberikan ini." Fadhil menyodorkan amplop berwarna biru muda ke arah Shila.
"Apa itu?" Shila masih belum menerima amplop yang diberikan Fadhil.
"Titipan dari Bang Deri. Kebetulan ... sebelum terbang ke Bali, dia sempat menitipkan ini ke aku."
"Oh, makasih ya," kata Shila sambil meraih amplop itu.
"Maaf ya, aku baru sempat memberikannya sekarang."
"Iya gak papa, Dhil. Kamu pakai repot-repot segala datang ke sini cuma untuk memberikan titipan Pak Deri. Padahal, kamu kan bisa titipkan ini ke Husna. Kebetulan tadi aku habis ketemu dia, atau kamu bisa titipkan sama mamanya Reva. Supaya ... kamu sama Fahmi gak kelamaan menunggu aku."
Tangan Fadhil menggaruk tengkuknya yang mendadak gatal. "Gak papa, La, lagi pula Bang Deri menitipkan amanatnya ke aku, jadi sebisa mungkin harus aku yang menyampaikan amanatnya. Ya ... sekalian silaturrahmi juga sama keluarga kamu. Udah lama juga, kan aku gak berkunjung ke rumah kamu? Terakhir ke sini itu waktu masih kelas sebelas, dulu. Waktu ada acara makan bersama."
Fahmi melengos. Sudut bibirnya terangkat sebelah. Meski sedari tadi ia hanya menjadi penyimak, tapi hatinya terus saja menggerutu, menimpali ucapan Fadhil. Menurutnya, apa yang Fadhil katakan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Alibi lu, Dhil, mau silaturrahmi. Bilang aja lu mau ketemu Shila.
Lain halnya dengan Shila yang hanya menampilkan seulas senyum. Tanpa diperintah, ingatannya langsung tertarik pada masa 7 tahun silam. Waktu di mana Shila, untuk yang pertama kalinya menjamu teman-teman yang datang ke rumahnya kala itu.
"Masakan kamu dari dulu sampai sekarang ternyata gak berubah ya. Makanan yang kamu kasih ke aku tempo hari itu, rasanya masih enak seperti dulu."
Apa yang Fadhil katakan barusan, berhasil membawa Shila kembali ke dunianya. Perasaan aneh tiba-tiba menghinggapi sebagian hatinya. 7 tahun sudah berlalu, tapi Fadhil masih mengingat rasa makanan yang pernah ia buat.
Tatapan Fadhil menerawang ke atas, melihat langit biru yang tengah dihiasi awan putih. "Kapan ya La, kita bisa seperti dulu lagi? Bisa makan bareng, becanda bareng, terus aku bisa gombalin kamu lagi seperti dulu."
Mata Fahmi membeliak kaget. Apalagi saat melihat Shila sudah mengernyit, tak paham. Pasti gadis itu tengah memikirkan maksud dari apa yang diucapkan Fadhil. Dengan pelan, Fahmi menyentuh bahu Fadhil, membuat Fadhil mengalihkan pandangannya pada Fahmi.
"Kenapa?"
Fahmi memberi isyarat pada temannya agar melihat ke arah Shila. Sekilas, ia menangkap raut bingung sekaligus tak suka di wajah Shila. "Ada apa, La?"
"Tadi kamu bicara apa? Kok seperti...."
Fadhil mencoba mengingat apa yang telah ia katakan. "Astaghfirullahal'azim," pekiknya langsung mengusap wajah. "La, maksud aku ... maaf, aku gak bermaksud...."
Fadhil gelagapan. Ia benar-benar merutuki bibirnya yang malah lepas kendali. Dilihatnya lagi wajah Shila yang kini telah berubah sendu. Fadhil tegang bukan main. Sungguh, ia sangat takut kalau Shila menganggap Fadhil sedang mengharapkan dirinya.
Meskipun kenyataannya memang begitu, tapi Shila tidak boleh tahu tentang perasaan Fadhil. Apalagi sekarang Fadhil sudah memutuskan untuk tidak mengharapkan Shila lagi. Harapannya sekarang hanya satu, semoga Shila tidak mengerti maksud dari ucapannya.
Melihat suasana sudah tak sehangat sebelumnya, Fahmi berinisiatif untuk mengajak Fadhil pulang. "Dhil, pulang yuk, gua baru ingat kalau gua masih ada kerjaan di kantor."
Fadhil menengok sebentar ke arah Fahmi yang tengah memegang bahunya. "Mmm, ya udah. La, kalau begitu ... kita ... pamit, ya."
"Iya, tapi kalian yakin gak mau masuk dulu?" tanya Shila sekadar basa-basi.
"Lain kali aja ya, Shil. Sekarang kita masih ada urusan lain." Kini, yang menyahut adalah Fahmi. "Kita pulang ya, assalamualaikum."
"Wa alaikumsalam warahmatullah." Dengan lirih, Shila menjawab salam Fahmi. "Fii amanillah," imbuhnya semakin pelan.
Setelah memastikan kedua temannya sudah menghilang dari pandangan, Shila langsung masuk ke dalam rumah. Entah kenapa, jantungnya malah berdetak abnormal. Ini tidak bisa dibiarkan, ia harus mempertanyakan perasaan yang tiba-tiba muncul itu pada hatinya. Mana bisa perasaannya kalut hanya karena Fadhil berkata demikian.
💞💞💞
"Dhil, maksud lu apa sih, kok tadi lu mendadak ngomong kayak gitu?"
Fahmi bertanya pada Fadhil yang kini tengah duduk di atas jok motor sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Saat ini, mereka masih diam di pinggir jalan, tepatnya di depan rumah Reva.
"Gua juga gak sadar, Mi, kok bisa sih gua keceplosan seperti tadi. Lagi pula, emangnya salah ya kalau gua ngomong gitu, Shila pasti gak akan ngerti. Lu juga tau, kan dia itu seperti apa?"
Iya, Fahmi memang tahu, Shila termasuk perempuan yang memiliki tingkat kepekaan di bawah rata-rata. Namun, tidak menutup kemungkinan juga kalau sekarang Shila telah berubah jadi orang yang super peka.
"Gua tau Dhil soal itu, tapi lu juga lihat, kan bagaimana perubahan Shila setelah lu ngomong?" Fadhil bergeming. "Sebenarnya, lu benar-benar udah ikhlasin dia untuk sepupu lu, atau belum sih?"
Helaan napas terdengar begitu berat. Dilihatnya Fahmi yang berdiri di samping kiri. "Mi, ternyata ikhlas itu gak segampang yang kita bayangkan. Ikhlas, satu kata yang mudah diucapkan, sulit diterapkan. Gua gak tau apakah gua udah ikhlas atau belum. Yang jelas, sekarang gua lagi berusaha untuk melupakan perasaan gua sama dia."
Fahmi menatap Fadhil dengan miris. Apa yang ia bayangkan dulu tentang sahabatnya itu seolah menjadi kenyataan. Dulu sekali--ketika keduanya masih duduk di bangku SMA, Fahmi sempat berpikir. Bagaimana jadinya jika Fadhil menyukai Shila, sementara Shila sama sekali tidak pernah menaruh rasa apa pun pada Fadhil. Ternyata, semua itu benar terjadi, dan Fahmi sendiri yang menyaksikannya.
Kini, wajah Fadhil menengadah ke atas. Menantang sang surya yang tengah memancarkan sinar teriknya. "Apa definisi bahagia menurut lu?"
Fahmi yang semula menatap ujung jalanan kampung, langsung mengalihkan arah pandangnya pada Fadhil. "Bahagia, menurut gua sederhana. Dengan kita selalu mensyukuri setiap nikmat yang Allah beri. Mau sedikit apalagi banyak, mau itu nikmat sakit atau pun sehat, asal kita selalu bersyukur, maka kita akan berada dalam puncak bahagia yang tiada tara. Bisa membagi waktu dengan keluarga, lalu berkumpul bersama mereka pun, itu suatu hal yang mampu membuat hati jauh lebih bahagia."
Kepala Fadhil tertunduk. Lantas, mata teduhnya beralih menatap Fahmi, dalam. "Saat ini, gua juga lagi bersyukur karena bisa menjadi orang yang pernah mencintainya. Meskipun cinta gua gak bersambut, tapi dari hal itu gua menyadari satu hal, kalau hidup gak selamanya harus jadi orang yang dicintai. Ada kalanya kita harus mencintai tanpa harus dicintai."
Tangan kanan Fahmi mendarat di bahu Fadhil. "Gua salut sama lu, Dhil. Sekarang lu udah bisa terlepas dari perbudakan nafsu yang selalu mengungkung lu selama ini. Gua yakin, lu akan bisa mengikhlaskan Shila. Karena gua melihat ketulusan yang terpancar dari sorot mata lu. Terus ingat Allah, Dhil. Cepat atau lambat, rasa yang lu miliki untuk dia akan sirna."
Fadhil tersenyum kecut. "Apa gua masih bisa mendapatkan orang seperti dia?"
"Kalau lu benar-benar ikhlas, Allah pasti akan langsung menggantinya dengan sesuatu yang lu sendiri gak pernah sangka."
Kedua sudut bibir Fadhil tertarik semakin lebar. Ia rangkul bahu Fahmi dari arah samping agar bisa lebih dekat dengan sahabatnya.
"Syukran, lu selalu ada untuk gua, Mi. Lu gak pernah bosan mengingatkan gua kalau gua salah, lu selalu mengarahkan gua kalau lagi dalam situasi kehilangan arah. Gua benar-benar beruntung masih bisa dibersamakan sama lu."
Fahmi balik merangkul Fadhil. Wajah sumringah Fahmi menjadi pertanda kalau euforianya saat ini tidak mampu digambarkan dengan kata-kata.
"Mau pulang gak?" Tiba-tiba Fadhil bertanya.
"Maulah, ngapain diam di sini, bikin malu aja."
"Terus kenapa lu masih berdiri, buruan naik, gua udah kepanasan nih, atau lu mau bikin wajah gua merah seperti kepiting," kata Fadhil terus mengibaskan tangan di depan wajah, menghalau panas yang menderanya.
Melihat wajah Fadhil yang sudah memerah, Fahmi terkekeh pelan, resiko punya kulit putih ya gitu, baru kepanasan sebentar, persis seperti bom yang siap meledak aja tuh muka.
"Buruan Mi, naik. Malah senyam-senyum sendiri lagi, sinting ya lu?"
Tak ingin membuat Fadhil semakin kesal, segera saja Fahmi naik ke atas jok motor. Heran, juga takjub. Baru saja ia melihat Fadhil memasang wajah sendu, sekarang rautnya telah berubah menjadi penuh jenaka. Sahabatnya ini memang paling hebat dalam urusan menyembunyikan apa yang dirasakannya. Sekali pun itu sangat menyakitkan baginya. Semoga lu mendapat pengganti dia, Dhil. Secepatnya.
💞💞💞
Amplop dengan warna biru muda itu masih tertutup rapat. Pertanda kalau si penerima amplop sama sekali belum membukanya. Meskipun rasa penasaran itu ada, tapi Shila memilih untuk tidak membukanya. Masih enggan untuk mengetahui apa isi dari amplop tersebut.
Sebenarnya Shila sudah bisa menebak, isi dari amplop itu pasti sebuah surat yang sengaja Deri tulis untuknya. Kalau memang benar, ingin sekali ia tertawa. Memang romantis, tapi di zaman yang sudah serba canggih ini kebanyakan orang akan memilih bertukar kabar melalui media sosial. Sementara Deri? Apa yang ada dalam pikiran pria itu?
Ah, sudahlah. Mungkin Deri hanya ingin membuat Shila terkesan dengan apa yang dilakukannya. Baiklah, akan Shila buka saja amplop itu. Memastikan, kalau tebakannya tidak salah.
Setelah amplop terbuka, manik mata Shila melihat secarik kertas di dalamnya. Perlahan, ia buka kertas seukuran A4 itu. Menampakkan deretan kalimat yang ditulis tangan dengan begitu apik.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, calon pelengkap tulang rusukku.
Tanpa sadar, bibir Shila tersungging saat membaca sebaris kalimat pembuka dari Deri. Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, calon pelengkap imanku. Hatinya berdesir hangat. Kegundahan yang sempat ia rasakan pun, sirna begitu saja.
Ada banyak sekali pengalaman yang ingin ku ceritakan padamu. Pengalamanku dalam menjalani hidup, mengarungi ujian, mencari sang pujaan.
Sampai akhirnya, aku putuskan untuk mengakhiri pencarianku. Karena apa yang ku cari telah ku jumpai. Di sana, menunggu diri ini kembali.
Maafkan aku yang terlalu egois di matamu. Bukannya aku tak peduli padamu, tapi pekerjaanku di sini memaksaku untuk segera kembali.
Aku harap kamu mengerti, dan tolong jangan pernah lagi memaki.
Memaki? Dahi Shila berkerut. Sedikit janggal dengan kata terakhir dari kalimat yang ia baca. Memang, dulu Shila selalu memaki, bahkan mencaci sikap Deri yang menurutnya tak pantas. Namun itu dulu, tidak dengan sekarang.
Bahkan setelah Deri berkata kalau ia tidak bisa menghadiri acara sidangnya, Shila berusaha legowo. Karena ia tahu, pekerjaan Deri di sana jauh lebih membutuhkannya.
Selamat menghadapi hari esok.
Aku yakin, kamu bisa menghadapinya.
Percayalah...
Calonmu di sini pun tak pernah berhenti mendoakan keberhasilanmu.
Warning!
Harap jangan ditutup dulu.
Jika kamu membalik kertas ini, di halaman selanjutnya kamu akan menjumpai sesuatu. Dariku, yang mungkin tak seberapa menurutmu.
Terima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk membaca surat ini.
Akhir kata, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dariku,
orang yang tak pernah kamu harapkan kehadirannya,
Deri Bambang Khairuman
Wa 'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Shila menghela napas, jengah. Sampai kapan Deri akan terus mengatakan itu? Secara tidak langsung, dia sama saja mengira kalau Shila belum bisa menerimanya. Sudahlah, biarkan saja.
Tak ingin membuat suasana hatinya kembali keruh, Shila segera membalik kertas yang dipegangnya. Di sana, ia kembali disuguhkan dengan bait-bait yang membuatnya terperangah. Puisi?
Kepada senja yang selalu ku nanti kedatangannya,
Bolehkah aku bercerita?
Tentang dia yang teramat ku cinta,
Meski berat hati ini ku rasa,
Namun aku terlanjur percaya,
Padamu, duhai senja.
Walau hadirmu hanya sesaat,
Namun, aku percaya
Bahwa hadirmu kan selalu memikat
Para penikmat si warna jingga.
Tuhan...
Bolehkah aku meminta?
Untuk bisa hidup lebih lama
Agar pencarianku membuahkan asa
Dan tak berujung sia-sia.
Sekali lagi, Tuhan...
Bolehkah aku meminta?
Untuk dibersamakan dengannya
Pilihanmu yang begitu nyata
Tidak hanya di dunia saja
Melainkan sampai ke surga.
Kamu...
Adalah jawaban dari setiap doaku
Akhir dari pencarianku
Pelabuhan untuk perahu layarku
Terima kasih, telah sudi menerimaku.
Jika berkenan, balaslah. Setelah itu, simpan balasan puisimu. Nanti, setelah aku mengikatmu, akan ku tagih balasan itu.
Shila kembali melipat kertas di tangannya. Masih tidak menyangka, kalau orang yang ia anggap dingin itu mampu merangkai kata teramat indah. Membalas? Shila menggaruk bagian keningnya. Sungguh, ia tidak pandai membuat puisi seperti yang dilakukan Deri, tapi demi Deri, akan ia usahakan.
Di atas meja belajarnya, Shila mengambil secarik kertas dari buku yang tergeletak di sana. Dengan perasaan bingung, tangannya mulai lihai, menorehkan tinta hitam pada kertas yang masih kosong.
Kepada hati yang masih saja merasa sendiri,
Bolehkah aku bertanya?
Kepada siapa kiranya dirimu kan ku beri
Apakah pada nama yang selalu ku sebut dalam doa,
Namun tak kunjung datang sampai saat ini?
Atau pada dia yang sama sekali tak ku harapkan kehadirannya,
Namun dia sudah terlanjur menanti?
Nyatanya...
Saat ini, sudah ku temukan jawabannya
Jawaban dari setiap tanya yang tak lekang mengusik jiwa.
Dirimu...
Sosok pelengkap imanku
Yang Tuhan datangkan untukku
Mengisi sebagian ruang hatiku
Terima kasih, karena telah memilihku.
Bilang pada senja,
Jangan terlalu memberi pesona
Kalau hadir hanya dalam sekejap mata.
Untukmu, sosok yang selalu ku nanti....
Helaan napas kembali terdengar. Mengakhiri tulisannya, Shila melipat kertas itu. Bersama dengan secarik kertas milik Deri, ia selipkan kertas miliknya di dalam amplop yang sama.
💞💞💞
22 Syawal 1441 H
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
Syukur tak henti kuucapkan, karena akhirnya aku bisa terus merevisi cerita Shila. Tanpa hambatan apa pun. Alhamdulillah...
Untuk kalian, yang menunggu Fadhil & Shila. Eh, Deri & Shila maksudnya😅👍
Happy reading..
See you next part..
Aku padamu😘
Salam
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro