25. Pertemuan Pertama
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Jangan terlalu berlebihan ya, Allah tidak suka pada hamba-Nya yang berlebih-lebihan. Apalagi dalam merealisasikan cinta terhadap makhluk-Nya, dalam ikatan belum halal pula. Sungguh, itu akan sangat merugikan diri.
~Takdirku~
***
Shila menutup buku panduan yang sejak satu minggu lalu jadi temannya ke mana-mana. Hari ini terakhir ia bergelut dengan buku-buku tebal nan menjengahkan itu. Karena besok, dirinya sudah harus berjuang di meja sidang. Mempertaruhkan, apakah ia bisa lulus dengan nilai terbaik, atau tidak.
Sekadar mencari udara segar, Shila memutuskan pergi ke rumah Reva. Entah kenapa ia merasa rindu pada adik sepupunya yang ceriwis itu. Sudah dua hari juga Shila tidak bertemu dengan Reva, jadi wajar kalau misalnya ia rindu setengah mati.
Saat memasuki kamar yang bernuansa serba ungu, Shila langsung mengedarkan pandang ke segala arah. Namun, manik matanya tak menjumpai sosok yang ia cari. Mungkin sedang berada di kamar mandi, pikir Shila. Ia pun memutuskan untuk menunggu Reva di sana.
Sambil bersenandung kecil, Shila membuka-buka laci yang terdapat di meja belajar Reva. Hingga sebuah dering dari ponsel milik Reva mengalihkan perhatiannya.
Sebuah panggilan masuk dengan nama 'Aa Ganteng'. Siapa ini? Iseng, Shila pun mengangkat panggilan itu, mengundang si pemanggil langsung mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum, sayang?"
Innalillahi, Shila berjengit. Ia sedikit menjauhkan benda pipih yang sedang menempel di telinga, saat seseorang di seberang sana mengucapkan kata yang membuatnya bergidik.
"Halo, sayang? Sayang?"
Shila mencoba mendekatkan kembali benda yang dipegangnya karena si penelepon terus saja mengucapkan kata 'sayang'. "Wa-wa alaikumsalam, apa?" Hanya itu yang mampu Shila ucapkan.
Awalnya ia ingin mematikan saja panggilan itu, tapi urung akibat rasa penasaran yang tiba-tiba menghampiri. Ia ingin tahu, siapa orang yang sudah lancang berkata seperti itu, benar-benar mengerikan.
"Sayang, kamu masih di sana, kan?"
"Eh, i-iya." Sebenarnya Shila sudah muak, tapi ia harus bertahan sampai rasa penasarannya hilang. "Kenapa?"
"Hari ini kita jadi ketemu, kan?"
Ketemu? Reva mau ketemu sama siapa? Terus, sebenarnya orang ini siapa sih?
Pertanyaan yang masih menggantung dibenak Shila, buyar begitu mendengar panggilan yang membuatnya ingin muntah.
"Sayang, kamu ke mana sih, masih di sana, kan?"
"Oh, iya, iya masih."
"Kamu kenapa, kok dari tadi nyahutnya lama banget?"
"Iya sorry, tadi agak kresek-kresek, jadi suaranya gak jelas."
"Oh gitu."
"Iya gitu," jawab Shila lirih.
Sebenarnya ini orang bego atau apa, masa gak mengenali suara Reva, rutuknya dalam hati.
"Ya udah kalau gitu, aku tutup ya teleponnya, dah sayang, sampai ketemu nanti di mall ya, i love you."
Mendengar 3 kata terakhir dari si penelepon, Shila berlagak seolah ingin muntah.
"Sayang, kok gak dibalas sih?"
Dahi Shila berkerut, dibalas? Apanya yang harus dibalas?
"Sayang, balas dong."
Ih, ini orang gila kali ya, gak nyambung banget ngomongnya.
"Sa--"
Langsung saja Shila mematikan panggilan, tepat saat orang itu hendak kembali berkata. Sungguh, kata-kata yang diucapkannya membuat Shila jijik.
Masih dengan tampang waswas, Shila mencoba duduk di pinggiran kasur. Tak lama dari itu, si empunya kamar masuk dengan balutan kimono di tubuhnya. Ternyata benar, kalau tadi Reva sedang berada di kamar mandi.
"Loh, kok ada Teh Shila, sejak kapan Teteh di sini?" tanya Reva setelah menyadari keberadaan Shila.
"Sejak tadi."
"Itu kenapa handphone aku Teteh pegang?"
"Tadi ada yang nelepon." Shila menyerahkan ponsel yang dipegangnya pada si pemilik.
"Siapa?"
Shila mengangkat bahu. "Kamu lihat aja di log panggilan."
Melihat sebaris nama yang tertera di sana, wajah Reva berubah tegang. "Dia bilang apa aja sama Teteh?" Tanyanya memastikan.
"Gak tau, Teteh gak ngerti dia ngomong apa, bahasanya gak jelas, kayak bahasa alien."
Penuturan Shila setidaknya membuat Reva sedikit lega. Ia menyimpullan kalau si penelepon mungkin tidak berkata apa-apa. Syukurlah.
"Siapa dia, Re? Kok neleponnya pakai sayang-sayangan segala?"
Rasa lega yang sempat Reva rasakan, seketika sirna. "Emangnya ... tadi dia ngomong apa?"
"Siapa dulu orang itu?"
Dengan susah payah, Reva menelan ludahnya sendiri. "Dia...."
"Dia siapa," gertak Shila semakin membuat nyali Reva menciut.
"Kak Ahnaf," ungkap Reva pada akhirnya.
"Ahnaf yang dulu pernah kamu ceritain itu?" Yang ditanya mengangguk pelan. "Jangan bilang kalau sekarang kamu pacaran sama dia?"
Sekilas, ekor mata Reva melihat takut pada Shila yang sedang menatapnya. Apa yang harus ia katakan? Mau bilang tidak, tapi itu kenyataannya. Mau bilang ya, takut Shila marah, karena selama ini ia tidak pernah mendengar nasihat sang kakak.
"Kamu diam. Itu artinya, apa yang Teteh pikirkan tentang kalian, benar." Reva tak menyahut lagi, ia hanya bisa menunduk sambil menggulung kain baju yang ia pegang. "Mau ketemu sama dia? Di mana?" Tanya Shila lagi setelah melihat Reva mengangguk.
"Di restoran mall."
"Cuma berdua?"
Sekarang, Reva menggeleng tegas. "Husna juga ikut, jadi aku gak cuma berdua aja sama Kak Ahnaf."
"Kalau gitu, Teteh juga ikut."
"Tapi, Teh---"
"Kenapa, gak boleh?"
"Boleh kok, Teh," jawab Reva, pasrah.
Shila yakin, Reva pasti tidak ikhlas karena ia memaksa ikut. Namun, ikhlas tidak ikhlas, Shila harus tetap ikut. Ada hal yang harus ia bereskan dengan pria yang sudah berani memacari adiknya.
💞💞💞
Suasana mall di hari minggu, begitu padat pengunjung. Sebelum Shila dan Reva masuk, terlebih dahulu ia menunggu Husna yang katanya masih berada di jalan. Tak perlu menunggu lama, akhirnya Husna datang, dengan mengendarai motor matic berwarna merah.
Setelah motor terparkir dengan rapi, segera Husna menghampiri Reva dan Shila yang sedang berdiri di depan mall. Lantas, ketiganya langsung masuk, dan menaiki eskalator agar bisa sampai di lantai tiga--tempat di mana restoran itu berada.
Setelah sampai di tempat yang dituju, mata Reva beredar ke setiap penjuru restoran. Mencari sosok yang sudah menunggunya dari sepuluh menit yang lalu.
Begitu melihat seseorang melambaikan tangan ke arahnya, garis manis di wajah Reva terbit. Langsung saja ia menghampiri orang itu, diikuti oleh Shila dan Husna di belakangnya.
"Assalamualaikum, Kak, maaf ya, aku telat," kata Reva langsung duduk di kursi yang berdekatan dengan Ahnaf.
"Waalaikumsalam, iya Va, gak papa, santai aj...." Bibir Ahnaf masih terbuka, tapi ucapannya malah tak berlanjut.
Sosok gadis yang berjalan di belakang Reva sudah berhasil menyita perhatiannya. Shila, ia masih belum sadar kalau sekarang dirinya menjadi objek utama penglihatan Ahnaf. Setiap gerak-gerik yang Shila lakukan, tak luput dari pandangannya.
Setelah duduk di kursi yang bersampingan dengan Husna, tak sengaja netra Shila bertemu dengan mata liar itu. Buru-buru ia memalingkan wajah ke arah lain. Mencoba menghindari tatapan pria yang ia yakini adalah Ahnaf.
Astaghfirullahal'dzim. Berani-beraninya dia melihatku seperti itu.
Merasa tak nyaman, Shila meminta bantuan Husna agar menegur orang yang tengah memerhatikannya. "Ekhem."
Terkesiap, karena mendengar deheman Husna. Demi menutupi kecanggungannya, Ahnaf berpura-pura menyibukkan diri dengan ponsel. Napas Shila berembus, karena Husna paham atas kode yang diberikan.
"Dimohon untuk tidak jelalatan ya."
Mendengar teguran Husna, Ahnaf hanya mampu tersenyum kikuk. "Mmmm, Va, itu..."
"Oh iya Kak, perkenalkan, ini Teh Shila, kakak sepupu aku."
Bibir Ahnaf membulat. Lantas, pandangannya kembali tertuju pada Shila. "Saya Ahnaf," kata Ahnaf seraya mengulurkan tangan ke arah Shila.
Sambil tersenyum, Shila menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Saya Shila, kebetulan saya sudah tahu nama kamu, soalnya dulu Reva sering cerita."
Ahnaf kembali menarik tangan karena tak mendapat sambutan dari Shila. "Oh, begitu ya." Bibirnya ikut tersungging, manis.
Untuk yang kedua kalinya Husna harus berdehem. Ia benar-benar muak pada Ahnaf yang terus saja memandangi Shila. Parahnya lagi, cara pandangnya itu tidak biasa. Seperti orang yang tengah kasmaran. Mungkinkah Ahnaf menyukai Shila?
"Mmm, kita pesan makan dulu, ya." Tiba-tiba Ahnaf berbicara, mencoba mengalihkan perhatian Husna.
"Sebentar."
Ahnaf yang sudah hendak memanggil pelayan, harus mengurungkan niat sebab Shila mencegahnya.
"Kenapa, Teh?" Reva bertanya.
"Boleh saya minta waktu untuk bicara dulu sama kamu, Ahnaf?"
Sebelum mengiyakan, Ahnaf melihat terlebih dahulu ke arah Reva. Meminta persetujuan sang kekasih. Lalu, ia mengangguk sekali karena Reva menyuruhnya.
"Sejak kapan kenal sama Reva?"
"Mmm, sejak Reva ... mengikuti organisasi BEM."
Shila diam, lagi, satu pertanyaan kembali ia lontarkan. "Terus, sudah berapa lama kamu berhubungan sama Reva?"
"Jalan ... dua minggu."
"Kamu sering ikut kajian, kan?"
Reva yang menyimak pertanyaan sang kakak langsung mengusap wajah. Ia tahu, Shila pasti akan menginterogasi Ahnaf tentang status keduanya.
"Coba kamu baca terjemahan dari Quran surah Al Isra ayat 32," pinta Shila setelah sebelumnya Ahnaf mengangguk.
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk," ujar Ahnaf.
"Kamu paham, kan, makna dari apa yang kamu baca tadi?" Ahnaf diam, enggan merespons tanya Shila. "Tegasnya begini, pacaran adalah salah satu cara setan menggoda manusia agar terjerumus dalam dosa berupa zina. Jadi intinya, saya gak suka kamu bawa-bawa Reva untuk melakukan maksiat."
Ahnaf agak tersinggung dengan perkataan Shila, ia sudah ingin angkat bicara. Namun, Shila meminta untuk tidak menyela.
"Saya tahu, kamu pasti mau berdalih kalau cara pacaran kamu itu gak sampai melakukan apa pun. Iya kan? Sayangnya, saya tidak akan pernah percaya sama kamu. Dengan cara kamu memanggil Reva menggunakan kata SAYANG, itu artinya kamu sudah melecehkan adik saya dengan lidah yang mengandung bisa itu."
Tatapan kesal mulai diberikan Ahnaf pada Reva. Ia mengira kalau kekasihnya itu sudah menceritakan kebiasaannya pada Shila. Sampai-sampai Shila tahu panggilan yang sering Ahnaf ucapan saat di telepon.
"Tidak usah menyalahkan Reva, dia tidak tahu apa-apa. Saya tahu kamu seperti itu, karena tadi saya yang mengangkat panggilan kamu."
Sontak kelopak matanya membeliak. Mengetahui itu, Ahnaf jadi merasa keki. Pantas tadi teleponnya malah dimatikan begitu saja. Rupanya dia yang menyabotase telepon Reva.
"Atas dasar apa kamu mengajak Reva pacaran?"
Lagi, Ahnaf kembali mendapat pertanyaan tak mengenakan dari Shila. Ia tidak menyangka, ternyata Shila tak semanis yang Ahnaf bayangkan. Padahal tadi saat pertama kali melihat Shila, Ahnaf tak melihat tanda-tanda kalau gadis yang berada di depan Reva itu memiliki sifat sangar. Nyatanya, kucing manis yang Ahnaf kagumi, seketika berubah jadi harimau buas yang mengerikan.
"Kok gak dijawab?"
"A--saya ... cinta sama Reva."
Shila tersenyum miring. "Memangnya cinta itu harus disalurkan lewat pacaran? Saya rasa enggak. Kamu masih kuliah, kan?"
"Sebentar lagi saya wisuda."
"Apalagi seperti itu. Itu artinya kamu sudah dewasa. Harusnya, kamu bisa berpikir lebih dewasa juga. Kalau kamu tulus mencintai Reva, kamu tidak akan mungkin mengajak Reva pacaran. Pastinya kamu akan langsung datang ke rumah Reva, menemui ayahnya, dan meminta langsung Reva padanya. Apa kamu berani melakukan itu?"
Ditanya seperti itu, Ahnaf gelagapan. "Saya merasa ... belum siap kalau harus mengajak Reva serius."
"Jadi, kamu hanya mempermainkan perasaan adik saya?" Sebisa mungkin Shila menahan gejolak di dalam hatinya yang sedang meletup-letup.
"Bukan begitu, maksudnya...."
Sungguh, tak ada yang bisa Reva dan Husna lakukan selain diam. Melihat perdebatan yang terjadi di antara dua orang di depannya, membuat kedua penonton itu terpaku.
"Maksudnya apa, Ahnaf?"
"Kalau saya harus menikahi Reva sekarang, saya belum siap. Karena saya juga baru mau lulus kuliah, saya belum punya pekerjaan tetap, saya belum punya biaya untuk melangsungkan pernikahan. Terlebih, Reva belum mau menikah di saat dia masih kuliah, ayahnya juga pasti tidak akan setuju kalau saya melamar Reva sekarang, dan lagi, saat ini saya masih berada dalam tahap mencari."
Reva termangu. Mendengar kalimat terakhir Ahnaf, rasanya dunia runtuh seketika. Masih berada dalam tahap mencari. Itu artinya, bukan Reva yang akan ia jadikan masa depannya, bukan Reva yang akan menjadi pilihan terakhirnya.
Berat, Reva berusaha menghela napas. Rupanya Ahnaf masih mencari sosok perempuan yang lebih daripada dirinya.
"Kalau begitu, kamu tinggalkan Reva sekarang," ucap Shila tegas, membuat raut kaget di wajah Ahnaf semakin kentara, terlebih lagi dengan Reva. "Cinta itu perlu pembuktian, Ahnaf, bukan hanya sekadar janji, bukan hanya sekadar ucapan romantis yang sering kamu ucapkan. Kalau kamu memang benar-benar mencintai Reva, buktikan!" Diam beberapa detik, Shila menyambung perkataannya, "karena saat ini kamu belum siap menghalalkan Reva, jadi lebih baik kamu lepaskan dulu Reva. Baru setelah kamu benar-benar siap untuk menghalalkannya, kamu bisa datang langsung ke rumah. Paham?"
Ahnaf mengangguk lemah. Mau menimpali, tapi lidahnya terlalu kelu. Perkataan Shila benar-benar membuat Ahnaf mati kutu. Baru kali ini, ada seseorang yang berhasil menyentil perasaannya. Seorang ketua BEM yang baru saja lengser dari jabatannya beberapa bulan lalu, harus menerima kekalahan yang begitu telak.
Apa yang harus disanggah dari perkataan Shila? Jika dipikir-pikir, semua ada benarnya juga. Kalau boleh jujur, sebenarnya bukan itu alasan yang membuat Ahnaf tidak ingin terlalu serius dengan Reva. Ia bisa saja menikah setelah lulus nanti. Namun, karena Reva bukan orang yang Ahnaf cari, makanya dia harus beralibi seperti itu.
"Maaf, Ahnaf, kalau ucapan saya tadi banyak menyinggung perasaan kamu. Bukan maksud saya ingin ikut campur dalam kisah asmara kalian, saya hanya sedang berusaha menjaga adik perempuan saya satu-satunya dari hal yang tidak saya inginkan. Saya takut kalau Reva akan mengalami sakit hati untuk yang ke sekian kalinya. Apa salah, kalau saya terlalu berlebihan dalam hal ini?"
Ahnaf menggeleng sembari tersenyum tulus. Rasa kagumnya terhadap Shila kembali lagi, dan kali ini hadir semakin besar. Reva harus banyak bersyukur, karena bisa mempunyai kakak sebaik dan sepeduli Shila. Meskipun hubungannya dengan Reva hanya sebatas saudara sepupu, tapi kepedulian Shila patut diacungi jempol.
"Kamu dengar kan, Re?" Husna bersuara, memancing Reva untuk mendongak.
"Iya, aku dengar."
Husna terkikik sendiri. "Aku kira kuping kamu tersumbat. Dari tadi diam aja."
Shila ikut terkekeh mendengar ucapan Husna. Lantas, jarinya langsung membuka ponsel yang sedari tadi ia anggurkan. Ada beberapa pesan, dan dua panggilan tak terjawab dari ibunya Reva. Begitu membaca pesannya, dahi Shila langsung berkerut.
"Kenapa, Teh?"
"Mama kamu nyuruh Teteh pulang, katanya di rumah ada teman Teteh. Teteh pulang duluan, ya?"
"Oh, ya udah kalau begitu."
"Na, Teteh mau kasih tugas buat kamu."
"Tugas apa, Teh?"
"Titip Reva ya, jagain dia, jangan sampai dia macam-macam," kata Shila sebelum beranjak. Husna langsung memberi hormat pada Shila, tanda bahwa ia bersedia menjalankan tugas. "Oh iya, Ahnaf, sekali lagi saya minta maaf. Soal kamu mau melepas Reva atau enggak, keputusan sepenuhnya ada di tangan kamu. Kamu tinggal pikirkan lagi baik-baik. Udah ya, assalamualaikum."
"Wa alaikumsalam," jawab ketiganya kompak. "Hati-hati, Teh," imbuh Reva dan Husna.
Mata itu tak pernah bosan menatap Shila. Bahkan sampai Shila menjauh dari jangkauan pun, ia masih menatapnya lekat. Senyum penuh arti terulas di bibirnya. Ahnaf tidak akan melupakan kejadian hari ini. Pertemuan pertamanya dengan gadis itu, sudah berhasil membuatnya terkesan sekaligus penasaran.
💞💞💞
22 Syawal 1441 H
Alhamdulillah, part selanjutnya berhasil UP.
Syukran katsiran untuk para pembaca yang masih ingin menyempatkan baca cerita ini. Syukran juga bagi yang udah vote sama komen.
Semoga kebaikan kalian Allah balas dengan yang lebih baik. Aamiin.
See you next part...
Aku padamu😘
Salam
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro