24. Realisasi Ikhlas
Allahumma shalli'ala sayyidinaa Muhammad wa'ala aali sayyidina Muhammad.
Membicarakan kebenaran tentang saudaramu, itu ghibah. Membicarakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatan saudaramu, itu fitnah. Sama-sama dosa.
~Takdirku~
***
Di sebuah musala yang terdapat di samping rumah, Fadhil duduk bersimpuh menghadap kiblat. Dari pertama ia masuk ke tempat ini, lalu melaksanakan salat, sampai sekarang ia berzikir, pipinya masih basah dengan air mata.
Sebenarnya ia sudah sangat lelah untuk menangis. Karena kemarin, setelah mengetahui sang nenek meninggal dunia, air matanya terus meminta untuk keluar. Sekarang pun air mata masih menjadi teman setia Fadhil. Ia sudah berusaha menahannya, tapi lagi-lagi air itu jatuh saat mengingat hidupnya yang rancu.
Rasa kecewa menyelimuti sebagian hati Fadhil. Bukan kecewa dengan hidupnya, bukan kecewa dengan takdir yang telah Allah gariskan untuknya. Bukan pula kecewa karena tidak bisa mendapatkan cintanya. Ia kecewa pada dirinya sendiri, yang berubah menjadi pria cengeng. Jujur, Fadhil tidak suka hidupnya yang sekarang. Terlalu perasa.
Kini, ia merasa berada di titik terlemah dalam hidup. Berbagai makna ikhlas yang ia ketahui, rupanya tak membuat Fadhil mudah merealisasikannya. Semenjak mengetahui siapa calon istri dari sepupunya, Fadhil bukannya ikhlas, ia malah semakin merajuk. Seharusnya ia senang, sebab Deri jatuh ke tangan orang yang tepat. Namun, entahlah. Ia perlu waktu agar hatinya bisa benar-benar lapang.
Dalam keadaan lemah, Fadhil tersungkur di atas sajadah. Menumpahkan segala sesak, yang memenuhi rongga dada di hadapan sang pengatur kehidupan. Berharap, Dia bisa sedikit memberi ketenangan untuk Fadhil.
Isakan kecil mulai terdengar memilukan. Di tengah malam yang sunyi ini, Fadhil tak henti meminta agar diberi kelapangan dada dalam menerima segala ujian yang ditimpakan padanya.
Ya Allah, yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. Aku hamba-Mu yang hina datang menemui-Mu. Mengharap belas kasih-Mu, meminta setitik kasih sayang-Mu. Di malam ini, Engkau hadir untuk menyaksikan hamba-Mu yang senantiasa bersujud pada-Mu. Di malam ini pula, aku ingin mengadukan segala keluh kesah yang selama ini terasa menghimpit dada.
Tolong jaga hati ini agar aku tidak berlarut-larut dalam kesedihan, ya Allah. Sungguh, jika boleh aku memilih, aku tidak ingin membiarkan air mata ini keluar hanya untuk menangisi sesuatu yang belum tentu baik menurut-Mu. Tolong tuntun selalu aku untuk tetap berada di jalan-Mu, ya Allah.
Lapangkanlah dadaku dalam menerima setiap keputusan yang Kau beri. Yakinkanlah hatiku bahwa semua keputusan-Mu adalah yang terbaik untukku. Aku tahu, ini adalah ujian dari-Mu, maka ku pasrahkan semua ini pada-Mu.
Kau yang telah mengatur setiap kehidupan makhluk-Mu di dunia ini. Kau yang telah menuliskan setiap takdir baik dan buruk ciptaan-Mu jauh sebelum diri ini diciptakan. Maka tolonglah hamba yang lemah ini, ya Allah.
Sesungguhnya, aku hanya bersujud pada-Mu, meminta pada-Mu, dan akan kembali pada-Mu.
Masih dalam keadaan sujud, Fadhil menangis tergugu. Dalam hati, ia bertekad untuk mengakhiri semuanya. Setelah ini, tak akan ada lagi pengorbanan, tak akan ada perjuangan, apalagi sebuah penantian. Linangan air mata penyesalan menjadi saksi bahwa ini akan menjadi terakhir kalinya dia menangis hanya karena seorang wanita.
"Husna tau, rasanya berat menjalani hidup di dunia ini. Allah selalu memberi kita pilihan dalam menempuh jalan yang mau kita ambil. Sebagai manusia, kita gak bisa hidup dalam dua sisi. Harus memilih, tapi kita harus siap jika seandainya apa yang gak kita pilih menimpa kita. Seperti hidup dan mati. Sejak zaman azali, kita memilih untuk hidup di sini, itu artinya, kita harus siap untuk mati."
Fadhil segera mengangkat kepala, begitu mendengar suara adik perempuannya. Sekilas, ia melirik pada Husna yang sudah duduk di sampingnya.
"Sejak kapan kamu di sini, Na?" Tanpa mengindahkan ucapan Husna, Fadhil malah memberi pertanyaan baru pada sang adik. Suaranya berubah parau akibat terlalu lama menangis.
"Cukup lama."
"Kenapa kamu ada di sini?"
Pertanyaan yang sangat ambigu menurut Husna, tapi ia memaklumi saja pertanyaan sang kakak. Karena ia tahu, keadaan hati Fadhil saat ini pasti sedang tidak baik.
"A Fadhil gak mau cerita?" Bukannya menjawab pertanyaan Fadhil, Husna malah mengalihkan pembicaraan.
"Cukup Allah yang jadi tempat Aa bercerita." Diam beberapa detik, Fadhil kembali bertanya, "kamu belum jawab pertanyaan Aa, sedang apa kamu di sini?"
Husna membuang napas, jengah. "Ini musala A, itu artinya Husna habis salat di sini."
"Kenapa Aa gak sadar kalau ada kamu?"
"Bagaimana bisa sadar, orang dari tadi Aa gak berhenti nangis. Kenapa, masih belum ikhlas atas meninggalnya Nenek?"
Sebisa mungkin Fadhil mengukir senyum di wajah sendunya. "Sulit, Na."
Lagi-lagi napas Husna berembus, pelan. "Meninggalkan, dan ditinggalkan. Lumrah terjadi dalam kehidupan. Keduanya sama-sama berat. Dan dalam waktu yang bersamaan, A Fadhil harus menjalani keduanya. Harus ikhlas ketika ditinggalkan Nenek, dan ikhlas untuk meninggalkan seseorang."
Fadhil tercengang. "Kamu...."
"Ya, Husna tau, semuanya." Suara Husna mulai bergetar, tak pelak matanya pun ikut berkaca-kaca.
Tepat ketika air yang membendung di pelupuk mata menetes, Fadhil segera merengkuh tubuh bergetar Husna. Bersamaan dengan itu, tangis yang Husna tahan sedari tadi pecah. Ia peluk dengan erat tubuh sang kakak, mencari kekuatan yang ditransfer melalui pelukan. Sementara Fadhil, berusaha tegar, dengan tangan mengusap lembut punggung Husna.
"Husna tau, A. Husna tau, kalau A Fadhil masih mengharapkan Teh Shila. Husna juga tau, Teh Shila udah tunangan, dan yang jadi tunangannya itu Bang Deri, kakak kita sendiri." Isakan yang keluar dari bibirnya semakin tak terkendali. "Jadi ... itu alasan A Fadhil gak mau lagi berharap sama Teh Shila?" Menjawab pertanyaan Husna, Fadhil mengangguk kelu. "Waktu A Fadhil bilang mau cari pengganti Teh Shila, apa saat itu Aa tau kalau Bang Deri tunangannya?"
"Enggak, Aa baru tau semalam." Senyap, hanya terdengar isakan kecil yang masih mengiringi tangisan Husna. "Kamu sendiri, tau dari mana kalau Bang Deri tunangannya Shila?" Tanya Fadhil setelah memastikan adiknya baik-baik saja.
"Husna gak sengaja dengar percakapan Mama sama Bang Deri." Baru juga berhenti, Husna sudah harus menangis lagi. "Kenapa A, padahal Husna pengen banget bisa punya kakak seperti Teh Shila."
"Udah, kita harus sama-sama ikhlas. Nyatanya, apa yang A Fadhil harapkan, dan apa yang kamu inginkan, berbanding terbalik dengan keinginan Allah. Semua memiliki jalannya masing-masing. Kita harus tetap bahagia, meskipun Aa gak bisa mendapatkan Shila, setidaknya Abang kita masih memiliki kesempatan itu, dan Shila akan tetap menjadi kakak kamu."
Tanpa sepengetahuan Husna, Fadhil turut beruraikan air mata. Berkali-kali ia harus mengusap pipinya yang basah, takut kalau Husna akan melihatnya.
"Kamu bilang Shila itu wanita yang baik, kan. Makanya Allah mau dia bersatu dengan orang yang baik juga. Seperti Bang Deri."
Ketika itu, wajah Husna menengadah, demi melihat raut wajah kakaknya. "Memangnya A Fadhil gak baik?"
"Enggak, Aa jahat. Apalagi sama Shila, Aa udah sering sakiti dia."
Dahi Husna berkerut, tak yakin. "Menyakiti seperti apa maksud Aa?"
"Kalau harus Aa ceritakan, terlalu panjang. Biarkan itu menjadi rahasia Aa sama Shila aja. Semuanya terlalu rumit, kamu gak akan paham." Husna bergeming, mencoba menelaah maksud dari kalimat yang diucapkan Fadhil. "Sekarang, fokus aja pada masa yang akan datang. Allah membuat Aa gak bersatu sama Shila, karena Allah tau, ada orang yang jauh lebih baik, dan lebih berhak mendapatkannya, yaitu Bang Deri," imbuh Fadhil sebelum bangkit.
"Terus A Fadhil bagaimana?"
"Kamu harus yakin, kalau Allah juga udah menyiapkan seseorang yang pas untuk Aa." Walaupun aku tidak tahu kapan akan mendapatkannya, lanjutnya dalam hati, begitu melas.
"Sebentar, A." Tangan Fadhil dicekal supaya ia tak buru-buru pergi. "Semudah itu A Fadhil mengikhlaskan Teh Shila?"
"Belum, tapi masih berusaha." Dua pasang mata itu saling menatap lekat-lekat. "Tidak ada kebahagiaan yang lebih indah, selain melihat dia bahagia dengan pilihannya. Dan Aa, akan semakin bahagia, jika Bang Deri bisa membahagiakannya."
"Bang Deri sepupu kita, A, itu artinya Teh Shila akan menjadi bagian dari keluarga kita. Apa A Fadhil sanggup?"
"Insya Allah, harus sanggup. Aa yakin, kalau udah waktunya, Aa akan bisa melupakan rasa itu," kata Fadhil berusaha mengulas senyum setulus mungkin.
"Husna bangga punya A Fadhil." Sekali lagi, Husna memeluk tubuh tegap Fadhil. "Semoga takdir membawa Aa pada satu masa, di mana A Fadhil benar-benar dibersamakan dengan orang yang tepat. Menurut Allah," imbuhnya setelah melepas pelukan.
"Aamiin." Sebelum Husna berdiri, Fadhil sempat mengusap puncak kepala adiknya. "Pulang yuk, Aa masih ngantuk nih, mau tidur lagi, mungpung subuh masih lama."
Husna mengangguk. Lantas, keduanya berjalan beriringan menuju rumah yang sebagian lampunya sudah tampak menyala. Sekarang, perasaan Fadhil sudah jauh lebih lega. Bersyukur, Allah membuatnya tenang, meski untuk sementara.
💞💞💞
Satu minggu tidak masuk kuliah, banyak tugas yang terbengkalai. Mata kuliah yang Husna tinggalkan selama satu minggu pun harus ia ganti dengan mengikuti kelas di saat dosen pengampu pelajarannya mengajar di kelas lain. Namun, sepertinya Husna akan melakukan itu nanti, setelah otaknya sudah benar-benar fresh.
Untuk saat ini, Husna tidak ingin memikirkan urusan pelajaran dulu. Terlalu lelah baginya kalau baru pertama masuk lagi, sudah dibebani dengan berbagai macam tugas yang belum ia tuntaskan.
Sebenarnya hari ini juga Husna masih malas masuk kuliah, tapi Bu Fitri tetap memaksanya berangkat, meski keadaan Husna sedang tak bergairah sama sekali. Alhasil, karena keberangkatannya yang dibarengi dengan hati tidak ikhlas, membuat ia malas untuk belajar.
Terbukti, setelah mata kuliah pertama selesai, Husna tidak berdiam diri di kelas. Melainkan pergi ke kantin kampus, hanya untuk numpang melamun di sana.
Sungguh, saat ini dirinya benar-benar berada dalam mode malas melakukan segala hal. Entahlah. Semenjak tahu kalau Shila tunangannya Deri, Husna menjadi kehilangan separuh semangatnya.
"Assalamu'alaikum, Husna."
Kedatangan Reva yang tiba-tiba berhasil membuyarkan lamunan Husna. Dengan malas, ia menjawab salam. Kalau saja menjawab salam bukan suatu kewajiban, mungkin ia lebih memilih bungkam daripada harus menggerakkan bibirnya.
"Kamu gak ada kelas, Na, kok jam segini udah nongkrong di kantin?"
"Malas."
"Lah, tumben, gak biasanya kamu...."
"Bang Deri sepupu aku, apa kamu tau?" Tiba-tiba Husna menyela.
"Tau."
"Tau dari mana?" Tanya Husna dengan tatapan intimidasi.
"Kan waktu itu kamu sendiri yang bilang."
"Terus Teh Shila tunangannya, benar?"
"Benar sekali," kata Reva menjentikkan jari di hadapan Husna. "Dan itu artinya, kita akan jadi kerabat." Saking senangnya, Reva sampai meraih tangan Husna yang berada di atas meja.
"Teh Shila sama A Fadhil, mereka adalah teman sejak SMA. Kamu tau itu, kan?"
"Jelas aku taulah."
"Tapi kamu gak tau kalau A Fadhil suka sama Teh Shila."
Saat itu juga, air muka Reva berubah tegang. Ia tak bisa berkata lagi, bibirnya seolah di beri perekat agar tetap bungkam. Reva meringis, tatkala menatap lurus ke dalam bola mata Husna. Kosong, ia tidak tahu ke mana arah pembicaraan Husna selanjutnya.
"Saat bertemu Teh Shila, aku senang karena mendapat partner yang baik seperti dia. Apalagi setelah tau kalau dia itu temannya A Fadhil. Di sana aku berencana untuk mencomblangkan mereka. Tapi ternyata ... takdir berkata lain. Allah udah lebih dulu mengikat Teh Shila dengan Bang Deri."
Setelah napasnya berembus, Husna langsung menyembunyikan wajahnya di antara tangan yang ia lipat di atas meja. "Pengen protes, tapi gak bisa. Bang Deri terlalu baik, aku gak bisa egois dalam hal ini. Apalagi kalau tanggal pernikahan mereka udah ditentukan." Usai mengatakan itu, Husna mendongak. "Kenapa sih Re, aku gak bisa terima kenyataan ini? Padahal Bang Deri itu sepupu aku. Meskipun Teh Shila gak jadi sama A Fadhil, setidaknya aku harus bahagia. Tapi kenapa aku gak bisa, Re?"
Dengan penuh pengertian, Reva mengusap bahu Husna. "Sabar, Na. Semua butuh proses. Mungkin kamu terlalu berharap lebih sama Teh Shila, makanya sulit bagi kamu untuk menerima kenyataan."
"Salah ya Re, kalau aku berharap bisa punya kakak perempuan sebaik Teh Shila?"
Reva menggeleng, lalu mencengkeram tangan Husna semakin erat. "Enggak Na, kamu gak salah, tapi cara berharapnya yang kurang tepat. Seandainya dari awal kamu gak terlalu muluk-muluk mengharapkan Teh Shila, pasti gak akan sesulit ini."
Suasana hening begitu terasa, terlebih setelah menyadari bahwa di kantin hanya ada mereka berdua. Tak ingin berlama-lama dalam keheningan, Reva berinisiatif untuk melanjutkan ucapannya, "Di luar sana, masih banyak orang yang lebih baik dari Teh Shila, kamu minta sama Allah supaya disisakan satu untuk A Fadhil. Dan kamu harus yakin, kalau A Fadhil bisa bertemu dengan jodoh terbaiknya."
"Baru sebentar kenal Teh Shila, tapi aku udah yakin banget dia itu perempuan baik. Beda dari yang lain."
"Yah, padahal sebenarnya dia itu jahat."
"Oh ya?" Husna yang awalnya murung, mendadak penasaran karena ungkapan Reva.
"Kamu gak tau, kan?" Dengan mata melotot, Husna menggeleng. "Coba kalau kamu sering ketemu dia, pasti akan jadi korban ceramahannya tiap hari, jahat banget kan dia?"
Dengan raut kembali suntuk, Husna melengos. Lantas berkata, "Itu mah bukan Teh Shila yang jahat, kamunya aja yang gak bisa diatur."
"Lagian dia siapa sih, main atur kehidupan orang terus. Padahal hidupnya aja gak pernah beres."
"Tuh kan, mulai lagi deh."
Tak mengerti atas ucapan Husna, alis Reva tertaut. "Apa?"
"Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik." Dengan lantang, Husna membacakan sepenggal terjemahan dari surah Al Hujurat ayat 12.
"Ya maaf, aku kan cuma bilang yang sebenarnya."
"Membicarakan kebenaran tentang saudaramu, itu ghibah. Membicarakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatan saudaramu, itu fitnah. Sama-sama dosa."
"Ya udah iya, maaf," kata Reva sambil memutar bola mata.
"Aku jadi curiga, jangan-jangan di belakang aku kamu juga sering membicarakan aku," sergah Husna penuh selidik.
"Kamu suuzon sama aku?"
"Bukan suuzon, tapi sikap kamu itu yang membuat aku berpikiran seperti itu. Kakak sepupu kamu aja digibahin, apalagi aku, yang cuma sebatas teman kamu?"
Kalimat itu, menjadi penutup topik pembicaraannya dengan Reva. Setelah meyakini Reva tak akan menyangkal ucapannya, Husna bangkit. Berlalu pergi, meninggalkan Reva yang masih asyik mengumpat dalam hati.
💞💞💞
21 Syawal 1441 H
Assalamualaikum flen..
Author balik lagi nih😁
Sekarang mah bukan bawa Shila, tapi bawa Fadhil.
Siap menyambut kejutan selanjutnya?
Stay tone terus makanya...
Salam
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro