Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Terungkap 2

Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.

Bila cinta yang kau miliki, mampu mengantarmu pada satu kebaikan dalam meraih ridha Allah, maka jangan kau nodai kesuciannya. Sejatinya, cinta itu fitrah. Dan akan menjadi fitnah, jika kau tak mampu mengolahnya.

~Takdirku~

***

Semilir angin yang berembus pelan sama sekali tak mengusik pikiran Shila. Sudah terlalu lama, tapi ia masih enggan mengalihkan pandangan dari sosok yang berada dua meter dari tempatnya berdiri. Ingin berkata, tenggorokannya seperti tercekat.

"Dia siapa, Shil?" Lagi-lagi Elsa bertanya.

Seperti sebelumnya, Shila hanya bergeming tanpa menjawab tanya Elsa. Berkali-kali matanya mengerjap, memastikan kalau penglihatannya tidak salah mengenali orang.

"Teh, itu kok seperti...."

Diliriknya Reva yang berada di samping Husna. Shila menggeleng ketika raut bingung tercetak di wajah adik sepupunya. Ia juga tidak mengerti, kenapa orang itu bisa hadir di sini?

"Na? Kamu ... kenal sama ... lelaki yang sedang ikut menguburkan jenazah Nenek Khadijah?" Sebenarnya ragu, tapi Reva tetap bertanya demikian.

"Dia Bang Deri, anak dari Tante Vera, kakaknya Papa aku," jelas Husna dengan suara parau.

"Itu artinya ... dia, kakak sepupu kamu?"

Anggukan dari Husna telah mengunci seluruhnya setiap persendian Shila. Kenyataan yang baru ia ketahui membuatnya harus kehilangan kosa kata yang dimiliki. Sulit dipercaya, memang, tapi itulah kenyataannya.

Setelah ini kejutan apalagi ya?

Gak tau, tapi aku akan selalu menunggu.

Penggalan kalimat saat dirinya mengobrol dengan Fadhil kembali melintas. Ini kejutan. Ya, ternyata seseorang yang akan menjadi suaminya masih terikat darah dengan orang yang pernah ia kagumi.

Apa Fadhil tahu tentang ini? Sepertinya tidak, tentang pertunanganku saja dia tidak tahu.

"Kamu kenal sama orang yang ada di sana?"

Pertanyaan Elsa membawa pandangan Shila mengarah mpadanya. "Mmmm, dia itu ... ah, nanti deh aku ceritain sama kamu."

"Kenapa gak cerita sekarang aja?"

"Kita masih ada pemakaman, El. Gak baik kalau harus ngobrol."

Meski kesal, Elsa tetap menurut juga. Ia pun berusaha meredam rasa penasarannya, sampai proses memakamkan jenazah Nenek Khadijah selesai.

###

Selepas berdoa, seluruh pengantar mulai pergi meninggalkan gundukan tanah merah yang masih basah. Begitu pula dengan Husna, yang langsung berjalan menjauh dari area pemakaman dengan dipapah oleh Reva.

Sebelum mengikuti langkah Husna, terlebih dahulu Shila melirik Deri. Ingin menyapa, tapi malu. Tidak! Lebih tepatnya ia kesal. Sudah hampir satu bulan Deri menghilang tanpa kabar, dan sekarang, ia sudah ada di sini. Mengungkap segala rahasia yang ada di antara mereka.

Tanpa bisa diduga, sepasang mata milik Deri tertuju padanya. Beberapa saat, pandangan mereka bertemu. Saling bersitatap dari jarak cukup jauh. Hanya untuk mengutarakan sebuah rasa yang tak pernah terucap, bernama rindu.

Menyadari kesalahannya, lantas Shila memutus kontak mata lebih dulu. Kakinya mulai melangkah, menyusul Husna, Reva dan Elsa yang sudah berjalan jauh di depannya.

"El, tunggu!" Seruan Shila menghentikan langkah Elsa yang sedang berjalan seorang diri. "Yuk," ajaknya setelah berhasil menyusul Elsa.

Baru saja kakinya hendak melangkah, panggilan dari seseorang memaksa Shila dan Elsa untuk diam di tempat.

"Assalamu'alaikum, Shila," salam Deri setelah mendekati Shila yang tengah berdiri di pinggir jalan.

Bukannya menjawab, Shila malah melengos. Memilih untuk menjawab salam Deri dalam hati. Entahlah, ingin bersikap biasa saja, tapi Shila tidak bisa. Rasa kesalnya pada sosok satu ini seperti enggan untuk pergi. Bayangkan saja, berminggu-minggu ia khawatir karena memikirkan keadaan lelaki itu. Namun dengan tenangnya, Deri datang, seolah semua baik-baik saja.

Seandainya Deri tahu bahwa Shila berkali-kali datang ke apartemennya, pasti dia tidak akan menyangka. Secara apartemen tempat Deri tinggal sangat jauh dari kampus. Membutuhkan waktu dua jam agar bisa sampai sana.

Menyebalkan!

"Assalamualaikum, Shila." Sekali lagi, Deri mengucap salam, sebab tak ada jawaban dari Shila.

"Wa alaikumsalam," jawab Shila, malas.

"Kenapa malah pada bengong?"

Tatapan Shila dan Elsa beradu. Elsa tidak tahu pada lelaki di depannya, sementara Shila enggan berbicara dengannya.

"Gak papa." Setelah mengatakan itu, wajah Shila tertunduk.

"Kamu ... kenapa?"

"Gak papa."

Deri mendesah, menyadari ada yang tidak beres dengan calon istrinya. "Kamu marah sama saya?"

Ingin menjawab tidak, Shila memang agak marah pada Deri. Ingin menjawab iya, tapi tidak mampu. Maka, ia memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan Deri yang satu itu.

"Saya tahu, kamu pasti kesal karena saya gak ada kabar beberapa Minggu ini."

"Kalau udah tau, kenapa masih nanya," timpal Shila dengan suara pelan.

Mendengar jawaban Shila, ingin sekali Deri memeluk tubuh mungil gadis itu. Terlalu menggemaskan jika Shila harus marah seperti sekarang. Caranya dalam mengekspresikan perasaan, benar-benar seperti anak kecil.

"Kamu lucu kalau lagi marah."

Kelopak mata Shila membeliak. Ia sedang marah, tapi bisa-bisanya Deri berkata kalau ia lucu. Jika saja Shila tidak ingat siapa Deri sekarang, pasti ia sudah mengumpatnya habis-habisan. Masih dalam keadaan kesal, Shila melerik Deri sebentar. Melihat wajahnya yang berseri, semakin menambah rasa kesal di hati.

"Bapak sama sekali gak merasa bersalah ya? Gak pernah memikirkan bagaimana perasaan saya ketika Bapak gak ada? Saya khawatir, Pak. Berminggu-minggu otak saya dipenuhi oleh berbagai pikiran buruk tentang Bapak. Sampai saya rela bolak-balik ke apartemen demi mencari info keberadaan Bapak. Dan sekarang, Bapak kembali dengan tampang gak berdosa. Iya, lucu. Memang. Saya terlalu bodoh karena mengkhawatirkan orang yang gak peduli sama saya."

Bibir Deri tersungging, manis. "Saya kira, kamu yang gak pernah peduli sama saya, makanya saya gak kabari kamu."

"Maksud Bapak apa? Bapak anggap saya apa selama ini?" Kekesalan Shila semakin tersulut. Sampai ia tak sadar dengan suaranya yang mulai meninggi.

"Ya ... kan selama ini kamu gak suka sama saya. Jadi saya rasa...."

"Bapak harus tanggung jawab." Dengan cepat, Shila menyela ucapan Deri. "Bapak udah bikin saya jatuh cinta, jadi saya mohon, jangan pergi sampai gak ada kabar sama sekali. Saya gak suka kalau harus khawatir terlalu berlebihan."

Kejujuran yang tidak Shila sadari. Bukan hanya Deri saja yang terkejut, Elsa pun demikian. Sudah banyak pertanyaan yang menggelayuti benak, tapi Shila seolah tak memberi Elsa kesempatan untuk melontarkannya.

Siapa sih orang ini, kok Shila memanggilnya Bapak? Lalu, siapa orang yang membuat Shila jatuh cintai?

"Saya benar-benar terharu mendengar ungkapan kamu."

Shila menatap Elsa sekali lagi. Bibirnya terkatup rapat, setelah menyadari perkataannya tadi. Mendadak, wajahnya berubah pucat. Sungguh, ia tidak bermaksud mengumbar apa yang ia pendam selama ini. Hanya ingin meluapkan emosi, ia tidak tahu kalau bibirnya malah mengatakan hal itu.

"Maaf, Pak, saya...."

"Oke, gak papa. Kamu ... kenal sama salah satu anggota keluarga Nenek Khadijah?"

Shila bersyukur karena Deri tak membahasnya lebih lanjut. "Mmm, iya, Pak. Kebetulan Reva sama Husna, mereka itu ... teman satu kampus, jadi ... saya juga kenal sama Husna."

"Oh, kok bisa kebetulan ya, saya benar-benar gak nyangka kalau ternyata adik sepupu saya mengenal kalian."

Meski canggung, Shila berusaha mengukir senyum. "Oh iya Pak, perkenalkan, ini Elsa, teman saya. Dan ... Elsa, ini Pak Deri."

Deri menangkupkan kedua tangannya di depan dada, sebagai tanda perkenalan. Begitu juga dengan Elsa yang mengikuti gaya Deri. Sekarang ia tahu, Deri termasuk orang yang sangat menjaga jarak dengan wanita, makanya cara bersalamannya pun seperti itu. Lantas, keduanya saling melempar senyum, hanya untuk mencairkan kebekuan yang ada.

"Dia ini ... calon suami aku, El," imbuh Shila selanjutnya.

"Ya Allah, Shil." Mata Elsa tak berkedip beberapa jenak. "Jadi ini calon suami kamu? Masya Allah, tapi kok ... kamu memanggil dia Bapak sih?"

"Mmm, sebenarnya ... Pak Deri ini...." Sebelum menjawab lebih lengkap, Shila melirik Deri barang sebentar. "Dosen aku di kampus," katanya dengan suara yang dibuat sepelan mungkin.

Kelopak mata Elsa semakin melebar. Lantas, ia berbisik, "Kok bisa sih dapat calon suami dosen sendiri, mana ganteng lagi. Gimana caranya? Kalau tau di kampus kamu ada dosen ganteng seperti Pak Deri, pasti aku mau lanjut kuliah, Shil. Hitung-hitung cuci mata."

Refleks, Shila memukul pelan tangan Elsa. "Hush, kamu udah punya suami, gak baik ngomong seperti itu."

"Lagi pula saya sekarang sudah tidak jadi dosen lagi."

Air muka Elsa berubah tegang. Wajahnya tertunduk dalam, hanya untuk menutupi salah tingkahnya. Sial sekali rasanya, padahal tadi Elsa sudah berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh Deri. Namun rupanya pendengaran Deri terlalu tajam, sampai suara bisikan pun masih dapat ia dengar.

"Mau jalan bareng sama saya?"

Awalnya Shila ingin bertanya lebih lanjut mengenai ucapan Deri barusan, tapi saat lelaki itu menawari hal lain, fokus Shila tiba-tiba pecah. "Hah?"

"Kalau gak mau, saya jalan duluan."

Raut bodoh semakin kentara di wajah Shila. Di jawab juga belum, main menyimpulkan gitu aja. Ngapain nawarin kalau ujung-ujungnya dia sendiri yang menyimpulkan? rutuknya dalam hati.

"Karena saya tahu, jawaban kamu pasti tidak mau."

Shila semakin tidak mengerti dengan jalan pikiran orang di hadapannya. "Bapak ini, bisa baca pikiran orang ya?" Bukannya menjawab, Deri malah terkekeh sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. "Lalu kenapa Bapak bisa tau apa yang saya pikirkan?"

"Mungkin mimik wajah kamu terlalu mudah untuk ditebak, makanya saya tahu apa yang kamu pikirkan. Karena biasanya raut wajah seseorang itu sesuai dengan apa yang dipikirkannya."

"Oh, gitu ya, saya baru tahu loh."

"Saya pergi dulu ya, assalamualaikum."

"Wa alaikumsalam." Leher Shila rasanya kebas karena terlalu lama menunduk, tapi jika mendongak, ia takut senyum Deri membius kesadarannya.

"Oh iya,  bilangin juga sama teman kamu, bibirnya jangan menganga terus. Takutnya ada lalat yang masuk."

Merasa tersindir, Elsa langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Setelah Deri benar-benar menjauh dari tempatnya berdiri, Elsa memberengutkan wajah.

"Calon suami kamu ngeselin ya?"

Kedua bahu Shila terangkat. "Begitulah. Itu sebabnya kenapa tadi aku marah sama dia, karena dia itu memang mengesalkan. Yuk, jalan."

Setelahnya, Shila mengambil langkah cepat. Meninggalkan Elsa yang masih bertahan di sana, dengan kondisi wajah tertekuk, kesal.

💞💞💞

Sang raja siang telah kembali ke peraduannya. Memberi kesempatan pada sang rembulan untuk menjalankan perannya. Hawa panas yang ia rasakan membuat Shila duduk sendiri di kursi yang terdapat di beranda rumah Fadhil. Sekadar mencari angin malam untuk menyejukkan tubuh yang belum disirami air kembali.

"Belum pulang?"

Suara bariton itu memaksa Shila untuk mengangkat kepalanya. "Ini juga mau pulang, tapi masih nungu Reva."

"Dia di mana?"

"Di kamar Husna."

Entah hanya perasaannya saja, atau memang suasananya seperti ini. Yang jelas sekarang Fadhil merasa kalau interaksi antara dirinya dan Shila sedikit lebih canggung dari sebelum-sebelumnya. Shila juga terlihat murung, seperti ada hal yang mengganjal pikirannya.

"Mmm, bawa motor gak?"

Memang, pertanyaan itu tidak penting, tapi setidaknya Fadhil sudah berusaha untuk menyingkirkan keheningan di antara mereka. Shila tak bersuara, hanya gelengan kepala saja yang mewakili kata untuk menjawab pertanyaan Fadhil.

"Kalau gitu, biar aku yang antar kamu sama Reva pulang."

"Eh, gak usah Dhil, aku bisa pesan ojek online nanti."

"Enggak Shil, kamu udah mau bela-belain diam di sini sampai malam, jadi aku harus tanggung jawab untuk antar kamu. Lagian aku takut terjadi apa-apa sama kamu." Kalimat terakhir yang keluar dari bibir Fadhil membuat alis Shila tertaut. Spontan, Fadhil langsung gelagapan. "A--mmm maksudnya, ini udah malam, jadi ... gimana ya." Digaruknya ujung alis Fadhil dengan asal. "Bukannya aku mau suudzan ya, tapi ... untuk meminimalisir terjadinya sesuatu yang gak diinginkan, alangkah baiknya biar aku yang antar kamu pulang," ralatnya seraya tersenyum kikuk.

Siapa sangka, karena gelagat Fadhil yang mengherankan, Shila sampai harus menahan senyum. "Kamu ini ngomong apa sih? Sekarang masih jam 7 lewat 15, azan Isya aja baru berkumandang, jadi masih belum terlalu malam."

"Enggak, pokoknya aku yang akan antar kamu. Udah gak usah protes," pungkasnya tetap kukuh.

"Ya udah, terserah kamu aja." Shila hanya bisa pasrah.

Fadhil menarik ujung bibirnya semakin lebar. "Oke, kalau gitu aku ambil kunci mobil dulu."

"Mau pulang, Shil?"

Belum sempat Fadhil bangkit dari duduknya, kedatangan Deri membuat ia mengernyit, heran. Ralat, lebih tepatnya pertanyaan Deri untuk Shila yang membuat dahi Fadhil mengernyit.

"Loh, Bang, lu kenal sama Shila?"

"Lu juga kenal sama Shila?"

Shila yang nyatanya jadi objek pertanyaan kedua pemuda itu, hanya bisa menatap Fadhil dan Deri secara bergantian.

"Shila ... dia, teman SMA gua, Bang."

Deri bukan main terkejutnya. Kebenaran yang baru ia tahu, membuatnya merasa semakin senang. "Masya Allah, sebuah kebetulan yang benar-benar manis. Tadi siang gua baru tau kalau Husna sama Reva yang temenan, dan sekarang, ya Allah, Dhil, ternyata lu juga temannya Shila?"

Fadhil seolah ikut merasakan euforia yang dirasakan Deri. Tak tanggung-tanggung bibirnya pun ikut menampilkan garis manis yang sama persis seperti yang Deri punya.

"Terus, kenapa lu bisa kenal sama Shila, Bang?"

Sebelum menjawab, terlebih dahulu manik mata Deri melirik Shila yang tengah menunduk. "Dia ini ... Mahasiswi gua, sekaligus orang yang selalu membuat lu penasaran."

"Maksudnya?"

"Perkenalkan, dia, Shila Wardatul Azizah, calon bidadari gua."

Deg!

Sirna sudah senyum yang sedari tadi terbit di wajah Fadhil. Sorot matanya berubah sendu, kosong dan tak berbinar seperti tadi. Mimpi. Fadhil berharap kejadiannya kali ini tidak nyata.

Sayang, semuanya nyata. Bahkan kenyataan yang  baru ia tahu membuat dadanya terasa sesak. Pasokan oksigen di sekitarnya seolah tak berarti apa-apa. Jantung Fadhil bergemuruh, menahan gejolak yang timbul di dasar hati.

Calon bidadari? Ya Allah ... kenapa harus dia?

"Hei, jangan bengong. Kenapa sih, kaget ya karena calon istri gua, adalah teman lu?"

"A--" senyum Dhil, senyum. "I-iya Bang, sumpah, gua, gua kaget banget. Ternyata ... orang yang sering lu ceritain selama ini, adalah teman gua sendiri." Fadhil tertawa hambar. 

"Pak, saya mau pulang." Ucapan tiba-tiba dari Shila setidaknya bisa menutupi kekakuan yang Fadhil rasakan.

"Oh iya, biar saya yang antar kamu pulang. Dhil, gua pinjam mobil lu ya?"

"Emangnya lu gak bawa mobil?"

"Lu kan tau sendiri, dari Bali gua langsung terbang ke sini. Jadi gak sempat bawa mobil."

"Oh iya ya. Ya udah, lu ambil aja kuncinya, gua simpan di laci lemari, samping nakas."

Deri pun melenggang masuk, hendak mengambil kunci di tempat yang dikatakan Fadhil. Setelah Deri benar-benar menghilang dari pandangan, suara Shila kembali menyapa indra pendengaran Fadhil.

"Jadi yang mau kamu temui waktu di kampus itu Pak Deri?" Fadhil mengangguk lesu, sementara Shila, tersenyum bahagia. "Aku gak tau harus ngomong apa, rasanya ... masih gak nyangka dengan semua ini."

"Ya, aku juga sama." Hening sesaat, Fadhil kembali bersuara, "Entah kamu yang beruntung karena bisa mendapatkan Bang Deri, atau dia yang beruntung karena bisa menaklukkan kamu. Yang jelas, aku ikut senang karena yang jadi tunangan Bang Deri adalah kamu." bohong Dhil! Kamu bohong! Bukan itu yang ada di hati dan pikiran kamu! Satu sisi hati Fadhil tak berhenti mengumpat. "Aku berharap ... semoga kalian bisa menjadi pasangan yang Allah ridhai." Meski sakit, entah kenapa rasanya bibir Fadhil ingin mengucapkan kalimat itu.

"Iya, aamiin. Makasih Dhil, doanya."

"Waktu aku mendengar Bang Deri mau mengkhitbah seseorang, saat itu aku senang banget. Karena akhirnya, dia bisa menemukan pilihan yang tepat setelah sekian lama dia menutup hati, menghindar dari setiap perempuan yang mendekatinya."

Shila tak menyela ucapan Fadhil. Pikirannya masih dilanda kebingungan, sebab Fadhil melihatnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aku mohon La, jaga perasaan Bang Deri, jangan buat dia sakit hati. Dia gak pantas untuk disakiti." Fadhil bangkit dari duduknya, berjalan ke depan, dan berdiri tepat di ujung teras. Kedua tangannya terlipat di depan dada sambil kembali berkata, "Bang Deri, dia itu orang yang baik, dan saking baiknya, orang-orang yang gak bertanggung jawab selalu menyalahgunakan kebaikannya. Untuk itu, aku mohon sama kamu supaya menjaga perasaan Bang Deri."

Fadhil memutar badannya menjadi berhadapan dengan Shila. "Kamu tau La, selain baik, Bang Deri itu lelaki saleh, agamanya baik, akhlaknya juga baik, ditambah dia seorang hafiz, sempurna banget, kan dia? Pokoknya kamu beruntung karena bisa meluluhkan hatinya."

Bibir Shila menganga tak percaya. "Pak Deri ... seorang hafiz?"

"Iya, kamu gak tau?" Melihat Shila menggeleng, ujung bibir Fadhil terangkat sebelah. "Kebiasaan. Udahlah, aku lihat Bang Deri dulu ke dalam ya. Sepertinya dia gak menemukan kunci mobil yang aku maksud, sekalian aku panggil Reva."

"Iya."

Bersamaan dengan masuknya Fadhil ke dalam, embusan napas berat lolos dari bibir Shila. Dua fakta sekaligus terkuak di hari ini. Setelah ini apa lagi?

Kakak sepupu? Seorang hafiz? Ah, ya Allah. Shila menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rasanya ia ingin segera pulang ke rumah, dan menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Kepalanya sudah terlalu pening akibat memikirkan fakta yang begitu mengejutkan baginya.

💞💞💞

20 Syawal 1441 H

Up lagi...

Akhirnya terkuak juga..

Tapi belum tahu kan, Deri dari Bali habis ngapain? Oke, tunggu part selanjutnya ya😉

Salam

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro