20. Terungkap
Allahumma shalli'ala sayyidinaa Muhammad wa'ala aali sayyidina Muhammad.
Banyak-banyaklah bersyukur, agar hatimu tak kufur. Tak merasa bahagia bukan karena kau tak punya apa-apa. Terlalu banyak menuntut, banyak mengeluh, dan banyak membanding-bandingkan keadaan dengan orang lain. Itulah yang membuatmu tak bahagia. Merasa hidup paling sengsara, padahal kau masih punya.
~Takdirku~
***
Angin malam yang berembus kencang tak membuat Fadhil merasa terganggu dalam kesendiriannya. Sarung yang ia gunakan waktu salat Isya tadi masih terpasang. Membiarkan angin meniupnya sampai terlihat melambai-lambai.
Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Matanya menatap lurus ke atas sana. Melihat gumpalan awan yang menggantung di langit, dan siap menumpahkan cairan bening berupa hujan.
Ah, alam seolah berkonspirasi dengan perasaannya. Mereka sepertinya tahu kalau malam ini perasaan Fadhil tengah kalut. Bolehkah ia mengatakan sesuatu pada sang pemilik hujan? Agar hatinya bisa sedikit lebih tenang. Bila pun ia harus merelakan, tak apa, setidaknya segala hal yang mengendap dalam hati itu, sudah ia bebaskan lebih dulu.
Allah, semoga dia bahagia. Bersama lelaki pilihannya.
Fadhil menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Rumit sekali kehidupan yang ia jalani. Harus terjebak dalam masa lalu, bersama perasaan yang tak kunjung berbalas. Apakah setiap masalah yang dihadapi orang dewasa seperti Fadhil memang serumit ini?
Sungguh, Fadhil tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi dalam hidupnya. Mungkin saat remaja, masalah cinta masih dianggap sebuah permainan, tapi sekarang sudah bukan saatnya lagi untuk bermain-main.
"Ya Allah, A Fadhil, dari tadi Husna cari-cari, ternyata Aa di sini."
Spontan, Fadhil menoleh ke arah suara tadi berasal. "Ada apa?" Tanyanya begitu mendapati Husna berjalan mendekat.
"Gak ada apa-apa, Husna hanya ingin menemani A Fadhil aja di sini." Husna langsung berdiri tepat di samping Fadhil. Menatap langit malam, sama seperti yang dilakukan kakaknya. "A Fadhil kenapa, akhir-akhir ini suka banget menyendiri di atas balkon?"
Sebisa mungkin Fadhil mengukir senyum. "Gak kenapa-napa, Aa cuma lagi senang menyendiri."
Beberapa detik suasana terasa sepi, sebelum akhirnya Husna kembali bersuara. "A, besok akan ada teman Husna yang mau main ke rumah. A Fadhil mau gak, Husna kenalin sam---"
"Gak mau," potong Fadhil dengan cepat.
"Ih, A Fadhil." Seperti biasa, Husna mulai merajuk. "Husna belum selesai bicara juga, udah dipotong gitu aja."
"Ya karena Aa tau, kamu pasti akan mengenalkan Aa sama teman kamu itu, iya kan?"
"Iya, tapi bukan sama teman Husna, melainkan sama ka-kak se-pu-pu da-ri te-man Husna," ungkap Husna, mengeja empat kata terakhir.
"Aa tetap gak mau," tandas Fadhil sedikit tegas.
"Kenapa, Aa kan belum kenal sama dia, kok udah bilang gak mau aja? Asal A Fadhil tau ya, kalau besok A Fadhil ketemu sama dia, pasti akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Soalnya pesonanya itu benar-benar kuat. Selain baik, dia itu perempuan yang cerdas, kritis, energik. Terus juga penampilannya tertutup, sangat menjaga batasan dengan lawan jenis. Pokoknya beda dari kebanyakan perempuan di luar sana. Husna aja langsung suka sama dia waktu pertama kali ketemu, apalagi Aa yang cowok."
Fadhil masih belum bereaksi apa-apa, bahkan wajahnya semakin suntuk mendengar penuturan Husna.
"Oh iya satu lagi, dia juga memberi Husna buku baru, bagus banget. Ah, pokoknya belum pernah Husna ketemu perempuan sebaik dia. Coba kalau Husna laki-laki, pasti akan sayang banget kalau gadis seperti dia disia-siakan," sambungnya masih belum menyerah mempromosikan gadis kenalannya yang tak lain adalah Shila.
Satu embusan napas berat berhasil Fadhil loloskan. Baik, ia hargai usaha adiknya yang sudah berusaha mencarikan seseorang untuk mengganti nama gadis dambaannya. Yang jadi masalahnya di sini, bagaimana jika yang dikatakan Husna tentang gadis itu, tidak bisa Fadhil rasakan? Tentu itu akan menambah beban dalam hidupnya.
"Oh iya, ada satu lagi. Ternyata kakak sepupunya teman Husna itu adalah perempuan yang gak sengaja Husna tabrak waktu di depan kedai, yang minumannya tumpah itu. Ya Allah, Husna benar-benar gak nyangka. Pantas, waktu ketemu wajahnya seperti gak asing, karena Husna memang pernah lihat fotonya di ponsel teman." Sebelum mengakhiri ucapannya, napas Husna berembus. "Jadi mau ya A? Kenalan aja dulu, gak perlu buru-buru," bujuknya sekali lagi.
"Ya udah terserah kamu, besok juga Aa ada di rumah, jadi kamu tinggal kenalin aja Aa ke dia."
"Beneran, A?"
Setelah Fadhil mengangguk, Husna langsung menjerit histeris. Tanpa bisa dikendalikan, tubuh kakaknya ia tubruk dengan keras. Sampai Fadhil hampir kehilangan keseimbangan karena mendapat pelukan mendadak dari sang adik.
"Makin sayang deh sama A Fadhil."
Fadhil menepuk-nepuk puncak kepala Husna. Semoga saja ini menjadi langkah awal dirinya mencari pengganti masa lalu. Sudah saatnya juga ia membuka hati untuk gadis lain. Begitu pikirnya.
"Udah ah, Aa mau ke bawah, ini udah malam. Kamu mau ikut, atau masih mau di sini?"
"Ikutlah A, lagi pula Husna gak berani kalau harus diam di sini sendirian."
Sebelum kaki Fadhil melangkah, Husna sudah berjalan mendahuluinya. Ia takut kalau Fadhil akan benar-benar meninggalkannya di atas balkon seorang diri.
💞💞💞
Sebuah motor matic dengan warna biru-putih mulai memasuki pekarangan rumah yang begitu luas. Kesan pertama yang Shila tangkap saat melihat rumah besar di depan sana adalah mewah, namun tidak menghilangkan unsur sederhananya.
Berbagai jenis tanaman bunga tampak berjejer di setiap ruas kiri dan kanan jalan. Bunga anggrek menjadi tanaman yang paling dominan di antara tumbuhan lainnya. Shila dapat memastikan kalau si pemilik rumah ini pasti sangat menyukai bunga dengan nama latin Orchidaceae itu.
"Kamu yakin ini rumahnya?" Dengan mata yang terus menelisik sekitaran halaman, Shila menghentikan motornya tepat di depan rumah tersebut.
"Yakin Teh, masa sih Husna kasih alamat palsu, yang ada nanti kita malah jadi Ayu Ting-ting." Selorohan Reva sama sekali tak dihiraukan Shila. "Nih, coba Teh Shila lihat lagi alamatnya," lanjut Reva ketika Shila masih saja menatap jengkel ke arahnya.
Shila menerima secarik kertas yang disodorkan Reva. Setelah yakin kalau alamat rumahnya sesuai dengan yang terdapat pada kertas, barulah Shila turun dari motor. Lalu berjalan menaiki teras rumah, diikuti Reva di belakangnya.
Beberapa kali Reva beruluk salam, tapi masih belum ada jawaban. Penasaran, ia coba memencet bel yang terdapat di samping pintu. Hingga akhirnya si empunya rumah membukakan pintu.
"Assalamualaikum, Bu," salam Reva pada seorang wanita paruh baya di depannya.
"Wa alaikumsalam, cari siapa ya?" tanyanya dengan seulas senyum yang terpahat manis di bibir.
"Re, sepertinya kita salah alamat."
Mendengar itu, tentu Reva kelabakan. "Masa sih Teh, bukannya tadi Teteh udah cek sendiri kalau alamatnya benar, kok sekarang Teteh malah bilang salah alamat sih," bisiknya mulai cemas.
"Cari siapa?" Tanya ibu paruh baya sekali lagi saat melihat gelagat tamunya seperti kebingungan.
"Mmm Bu, maaf, apa benar ini ... rumahnya Husna?" Dengan ragu Shila bertanya.
"Betul, ini memang rumahnya Husna."
"Tuh kan Teh, bener."
Shila menggaruk pipinya asal. "Ibu ini ... mamanya Husna?"
"Betul sekali. Kalian ini temannya Husna?"
"Iya Bu, kami temannya Husna." Sekarang, Reva yang menjawab.
"Oh Masya Allah, mari masuk." Si pemilik rumah yang tak lain adalah Bu Fitri, segera memberi jalan untuk Reva dan Shila agar keduanya bisa masuk. "Husnanya baru mau mandi, kalian tidak apa-apa, kan kalau menunggu sebentar?"
"Tidak apa-apa, Bu," timpal Reva sambil mengikuti langkah Bu Fitri. "Ayo Teh." Ditariknya tangan Shila yang masih saja berdiri di tempat.
"Ayo, silakan duduk dulu. Jangan sungkan-sungkan ya, anggap saja rumah sendiri. Nah, di sini juga ada camilan, tapi tidak banyak, ayo dimakan." Bu Fitri mulai membuka tutup toples berisi camilan itu dengan semangat. "Tunggu sebentar ya, Ibu ke belakang dulu."
"Iya Bu." Mata Reva mengikuti arah ke mana Bu Fitri pergi. Setelah Bu Fitri benar-benar menjauh dari ruang tamu, Reva menelisik wajah Shila yang dari tadi hanya diam. "Teh, kenapa sih, kok liatin mamanya Husna sampai gitu banget?"
Shila melirik sekilas pada Reva. Saat dia hendak menjawab, Bu Fitri sudah kembali dengan membawa dua gelas air di nampan untuk dihidangkan pada tamunya.
"Nah, silakan diminum dulu, ayo, jangan malu-malu." Sekarang Bu Fitri ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Reva dan Shila. "Oh iya, kalau boleh tahu, kalian namanya siapa?"
"Nama saya Reva, Bu, dan ini kakak sepupu saya, Teh Shila."
Shila hanya tersenyum canggung saat Bu Fitri mengalihkan pandangan padanya. "Oh, jadi Shila ini kakak sepupu Reva. Tapi usia kalian sama?"
"Tidak Bu, selisih empat tahun."
"Masya Allah, tapi kok seperti seumuran saja ya." tawa renyah dari Bu Fitri memancing Reva untuk ikut tertawa. "Nak Shila baik-baik saja?"
"Mmm, Allhamdulillah, Bu, saya ... baik-baik saja."
"Oh, syukurlah kalau begitu. Soalnya dari tadi Ibu perhatikan kamu bengong terus, Ibu kira kamu kenapa."
Shila berpura-pura membenahkan hijab untuk menutupi kecanggungannya. Karena tak ada yang kembali bersuara, Bu Fitri pun memutuskan hengkang dari hadapan Shila dan Reva. Menyambung kegiatan memasaknya yang sempat tertunda.
Setelah kepergian Bu Fitri, Shila langsung berujar, "Wajah mamanya Husna kok mirip sama ibunya Fadhil ya?"
Reva langsung memandang sepenuhnya pada Shila saat mendengar penuturan yang entah itu berupa pertanyaan, atau pemberitahuan. "Emang Teteh tau sama ibunya A Fadhil?"
Shila mengangguk. "Mirip banget sama mam---"
"Assalamualaikum."
"Wa alaikumsalam." Shila dan Reva kompak menoleh ke arah suara bass itu berasal.
Tanpa bisa dicegah, dua wanita yang masih duduk di sofa langsung berdiri tatkala melihat sosok yang baru saja dibicarakannya.
"Shila?" Fadhil masuk rumah dengan langkah ringan.
"Fadhil, kamu kok, bisa ... ada di sini?"
"Kamu sendiri kenapa bisa ada di sini?" Sengaja Fadhil balik bertanya, karena ia ingin tahu lebih dulu apa yang dilakukan Shila di rumahnya.
"Aku lagi main aja di sini, nemenin Reva, kebetulan Reva temannya Husna."
Deg!
Seolah dihempaskan ke dasar jurang, rasanya seluruh tulang dalam tubuh Fadhil remuk tak berbentuk. Kini, ia hanya diam memaku. Kalimat demi kalimat yang diucapkan Husna tadi malam, sudah seperti kaset yang disetel secara berulang-ulang.
kalau besok A Fadhil ketemu sama dia, pasti akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Mau ya A, kenalan aja dulu, gak perlu terburu-buru.
Jadi dia, perempuan yang hendak Husna kenalkan padanya? Kenapa ... harus dia, kenapa tidak yang lain saja? Padahal sebelumnya Fadhil sudah berharap lebih pada perkenalan ini. Sayang, semua harus runtuh di tengah angan yang belum utuh.
Ah, selalu saja begini. Hidup yang dijalaninya seolah tidak bisa lepas dari gadis satu ini. Bagaimana Fadhil bisa melupakan perasaannya, jika baru saja ia melangkah, gadis itu sudah selangkah lebih dulu di depannya.
"Dhil, kok bengong? Kamu belum jawab pertanyaan aku loh."
"O-oh, pertanyaan ... yang mana ya?"
"Kenapa kamu bisa ada di sini?"
Sebelum menjawab, Fadhil memejamkan mata sebentar. "Aku ... kakaknya Husna," jawabnya berusaha tetap tenang.
"Oh, iyakah? Masya Allah ... kok bisa kebetulan gini ya."
Mendengar Shila tergelak, bahu Fadhil mengendur, lega. Lagi-lagi harus gadis itu yang memulainya lebih dulu. Entah kenapa, ia seperti sulit membangun keakraban dengan Shila. Padahal dulu, dirinya amat sangat dekat.
"Semenjak pertemuan kita di acara kondangan itu, kita jadi sering ketemu ya." Fadhil memilih duduk sebentar, sekadar mengobrol ringan dengan Shila. "Waktu itu di kampus, dan sekarang di sini. Sampai kita tau kalau adik kita ternyata temenan juga. Benar-benar kejutan yang gak disangka-sangka."
"Iya," timpal Shila bersamaan dengan helaan napas yang lolos dari bibirnya. "Setelah ini kejutan apalagali ya?"
"Gak tau, tapi ... aku akan selalu menunggunya."
Keadaan hening. Shila dan Fadhil memutuskan diam, meski berbagai pertanyaan masih banyak yang belum diutarakan. Sementara Reva, dari tadi hanya menyimak percakapan dua orang di depannya. Sampai suasana kembali berubah setelah kedatangan Husna di tengah-tengah mereka.
"A Fadhil, kok kelihatannya udah akrab aja sama Teh Shila?" Tanya Husna begitu menyadari sesuatu yang menurutnya janggal.
"Bagaimana gak akrab, orang mereka pernah sama-sama selama tiga tahun."
Tentu saja Husna mengernyit, karena tidak paham dengan apa yang dimaksud Reva. "Sama-sama selama tiga tahun? Maksudnya?"
Bukannya menjawab, Shila dan Reva malah saling berpandangan. "Shila ini teman SMAnya Aa, Na."
Tertegun. Husna tak mampu berucap sedikit pun setelah kakaknya berkata demikian. Fadhil sendiri tampak mendesah, karena risi ditatap tidak biasa oleh Husna. Dari tatapan itu, Husna seolah berkata 'jadi dia, Shila yang kamu maksud?'
Tak ingin berurusan lebih jauh dengan adik perempuannya, buru-buru Fadhil beranjak. Takut kalau Husna akan memaparkan segala hal yang pernah dirinya katakan dulu. Siapa sangka, setelah Fadhil berjalan agak jauh, Husna malah mengikutinya, dan melontarkan pertanyaan yang sangat ingin ia hindari saat ini.
"A, A Fadhil, tunggu!" Diraihnya tangan Fadhil agar mau berhenti sejenak.
"Apa sih, Na. Kamu mau ke mana? Itu Shila sama Reva dari tadi udah nungguin, masa mau ditinggalin lagi."
"Jadi dia, perempuan yang selama ini A Fadhil sukai?"
Fadhil tak menggubris tanya Husna. Ia memilih meneruskan langkah, dan berusaha sebisa mungkin menjauh dari Husna.
"Ih, A Fadhil! Jawab dulu dong." Kembali, Husna mengikutinya. "A Fadhil! Husna gak akan berhenti ikuti Aa, sebelum Aa bilang yang sejujurnya."
Bola mata Fadhil berputar, jengah. "Iya, terus kamu mau apa?"
"Masya Allah." Kali ini tangan Husna membekap mulutnya sendiri yang menganga. "Bagus dong A. Berarti Husna gak sia-sia bawa Teh Shila ke sini. Karena akhirnya kalian bisa ketemu. Terus A Fadhil bisa bilang tentang perasaan Aa selama ini. Kalau udah gitu, A Fadhil tinggal khitbah Teh Shila, menikah, bersatu deh."
"Jangan ngaco kamu."
Kalimat tersebut berhasil meruntuhkan daya khayal Husna akan masa depan sang kakak. "Kok A Fadhil bilangnya gitu, Husna gak ngaco. Mungkin udah saatnya juga A Fadhil jujur, Allah udah kasih kode dengan cara mempertemukan kalian kembali. Jadi apalagi?"
"Allah mempertemukan kembali Aa sama Shila, itu hanya untuk menyelesaikan masalah yang ada di antara kita, bukan untuk membuat Aa dan dia bersatu seperti yang kamu inginkan."
Diam sejenak, lantas bertanya, "Kenapa? Katanya A Fadhil suka sama Teh Shila, tapi kenapa A Fadhil gak mau memperjuangkannya?"
"Aa bukan gak mau memperjuangkan, tapi keadaan yang memaksa Aa untuk berhenti memperjuangkan dia," tandas Fadhil sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar.
"Kenapa, A?"
Berkali-kali Fadhil menghela napas. Merasa jengkel pada Husna yang tidak berhenti mencercanya dengan pertanyaan yang sama. "Gak bisa, Na. Seberapa kuat pun kamu menginginkan Aa bersatu dengannya, jika takdir berkata enggak, apa yang bisa Aa perbuat?"
"Ya A Fadhil bilang sama Husna, apa yang membuat kalian gak bisa bersama?"
Belum ada tanggapan apa pun. Fadhil masih diam, dengan tangan memijat pelan bagian pelipis. Merasa semakin pening, ia pun menghempaskan tubuh di atas kasur. Tepat di menit ke tiga, barulah suaranya mengudara.
"Apa yang membuat kamu sangat ingin Shila bersatu dengan Aa?"
"Seperti yang Husna bilang tadi malam, Teh Shila itu perempuan baik. Husna nyambung ngobrol sama dia. Dia perempuan langka, dan ... Husna rasa, dia cocok sama Aa."
Fadhil mengubah posisi berbaringnya. "Ada banyak perempuan baik di dunia ini, tapi kenapa malah Shila yang kamu pilih?"
"Karena gak ada lagi perempuan baik yang Husna kenal selain dia, A."
"Kalau alasan kamu cuma karena itu, Aa juga bisa mendapatkan seseorang yang lebih baik dari Shila."
Tatapan sengit mulai dilayangkan Husna pada sang kakak. "Terus sekarang mana? Bahkan selama ini A Fadhil selalu aja berharap sama Teh Shila. Sampai A Fadhil rela menjomblo demi mendapatkan Teh Shila. Tapi sekarang, di saat Teh Shila udah ada di sini, A Fadhil malah bersikap seolah gak menginginkan kehadirannya."
Menyibukkan diri dengan apa pun di dalam kamarnya, menurut Fadhil akan jauh lebih baik. Daripada sekarang ia berdebat dengan Husna, yang tidak akan pernah menemukan ujung.
"A, kesempatan itu gak datang dua kali. Aa jangan membodohi diri sendiri seperti ini."
Aku tidak bodoh. Justru semua ini kulakukan demi menjaga perasaan semua orang.
"A Fadhil?"
Husna mendengus. Kesal dengan sikap Fadhil yang semakin tak acuh padanya. "Oke, kalau A Fadhil bisa mendapatkan seseorang seperti yang A Fadhil bilang, buktikan," pungkasnya sebelum ia keluar, meninggalkan Fadhil dengan segala rasa yang semakin campur aduk.
💞💞💞
18 Syawal 1441 H
Semakin rumit. Oke, semakin dalam, semakin tak mengerti. Sebentar lagi, kejutan siap menyapa pembaca sekalian.
Stay tone ya😉
Salam
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro