Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Lewat Sebait Doa

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Di saat mata tak lagi dapat menjumpainya, hanya doa, cara paling ampuh untuk menggapainya.

***

Rintikan hujan yang mengguyur bumi membuat laju mobil bus di jalanan sedikit lebih pelan. Mungkin, sang sopir takut mencelakakan para penumpangnya kalau harus membawa kendaraan secara ugal-ugalan.

Fadhil, yang menjadi salah satu penumpang bus pariwisata itu, kini sedang terlelap mengarungi mimpi. Sesaat kemudian, matanya terbuka lebar. Setelah seluruh nyawanya berkumpul dalam satu raga, Fadhil mengusap wajahnya pelan. Lalu, ia edarkan pandangan pada penumpang lain yang masih setia dalam lelapnya.

Satu embusan napas keluar dari hidung mancung Fadhil. Kelopak matanya tertutup, dan kembali terbuka di detik berikutnya. Apa perlu aku menemuimu, agar keresahan ini segera enyah? Rasanya aku sudah tidak sanggup jika harus memendam rasa ini semakin lama lagi. Fadhil membatin sambil menatap ke luar lewat jendela mobil.

Lalu, tangannya terangkat, meraba permukaan jendela yang berembun. Kilatan cahaya yang menjadi teman hujan malam ini, sama sekali tak membuat pemuda berusia 25 tahun itu merasa terganggu. Ia malah semakin asyik dengan dunianya, bermunajat di tengah derasnya hujan, dan angin kencang.

Allah, aku tahu, Engkau tidak suka melihatku seperti ini. Memikirkan orang yang bisa saja membuatku lalai menjalankan perintah-Mu, bukan satu hal yang baik. Maka dari itu, tolong jangan membuatku terus berlarut-larut dalam masalah ini. Segeralah beri aku jalan keluar, agar aku bisa kembali menjalani hari seperti dulu.

Aku sama sekali tidak menyadari sejak kapan rasa itu hadir. Kedatangannya sungguh sangat tidak bisa diprediksi. Aku takut rasa yang tumbuh saat ini, malah semakin menjauhkanku dari-Mu. Jika seandainya dia bukan yang terbaik untukku, maka redamlah rasa ini. Hapuslah segala kenang tentangnya.

Wahai Dzat yang maha membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.

"Tidak bisa tidur, Pak Fadhil?" Fadhil terperanjat, saat Pak Rio--salah satu guru yang satu jok dengan Fadhil--menyadarkannya dari lamunan.

"Ah, iya, Pak." Keduanya saling melempar senyum.

"Kelihatannya Bapak sedang gelisah, ada apa?"

"Di luar hujan sangat deras, semoga tidak terjadi sesuatu ya, Pak."

"Iya, aamiin. Kita serahkan saja semuanya sama Allah, Dia yang mengatur segalanya. Di mana pun kita berada, bagaimana pun keadaannya, semoga Allah senantiasa melindungi kita. Asalkan kita selalu mengingat-Nya dan yakin akan kekuatan doa, Insya Allah, Allah tidak akan pernah membiarkan kita berada dalam kesulitan dan musibah terlalu lama."

Fadhil hanya mengangguk. Setelah mengatakan itu, Pak Rio kembali diam. Kesunyian yang menyapa membuat Fadhil kembali terlelap dalam tidurnya. Begitu pun dengan teman satu joknya.

💞💞💞

Alarm berbunyi nyaring dari sebuah kamar seorang gadis. Sekian menit kemudian, tangannya keluar dari gulungan selimut yang membungkus sekujur tubuhnya. Lalu, tangan itu terulur ke arah ponsel yang terus membunyikan alarm dengan sangat nyaring.

Setelah alarm berhasil dimatikan, dia kembali memejamkan mata. Rasanya masih terasa berat jika harus terbangun sedini ini. Namun, apa boleh buat, jam di smartphone-nya sudah menunjukkan pukul 02.35. Itu artinya, mau tidak mau ia harus tetap bangun.

Si gadis yang tak lain adalah Shila, segera mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Sebelum beranjak, terlebih dahulu ia meminum segelas air putih yang selalu tersedia di atas nakas samping tempat tidurnya. Sekadar menetralisir racun yang mengendap dalam tubuh selama ia tertidur.

Setelah merasa lebih baik, Shila bangkit dari kasurnya dan langsung menuju kamar mandi. Dengan perlahan, ia basuh setiap anggota wudu dengan begitu apik dan tertib. Setiap percikan airnya membawa kedamaian dalam hati Shila. Rasa kantuk yang semula mendera pun tak ia rasakan lagi.

Begitu besar efek dari sebuah air wudu. Bagi Shila, wudu tidak hanya sekadar untuk menyucikan diri, tetapi juga untuk menjernihkan hati dan pikiran dari kemelut dunia yang fana ini.

Usai berwudu, Shila segera menggelarkan sajadah di samping tempat tidur. Lantas bersiap hendak menjumpai Sang Pencipta di malam yang sunyi ini. Baru saja tangannya terangkat, Shila langsung menghentikan bacaan salat.

Ia melupakan sesuatu. Ternyata masih ada orang yang Shila lupa tidak membangunkannya. Ia pun bergegas menghampiri tempat tidur. Hendak membangunkan orang yang masih tertidur pulas di sana.

"Re, bangun. Waktunya salat malam," ucap Shila pelan sambil menggoyang-goyangkan tubuh Reva. "Reva, ayo bangun. Katanya mau ikut salat malam. Re, Reva! Ayo bangun."

"Engghh." Reva menggeliat. Dengan mata yang masih tertutup, Reva bertanya, "jam berapa, Teh?"

"Jam tiga. Ayo bangun."

Sambil mengerjapkan mata beberapa kali karena silau dengan cahaya lampu kamar, Reva menguap. "Hoaaaaheeemmm."

"Hus, kalau nguap itu ditutup," ingatkan Shila.

"Hehehe, iya Teh, maaf, aku lupa."

"Lupa, lupa. Kamu mah bukan lupa, tapi kebiasaan."

Bibir Reva mengerucut, sebal. "Lupa Teh, beneran. Aku ini manusia, dan udah jadi tempatnya kalau manusia itu selalu salah dan lupa."

"Kamu jangan membela diri dengan dalih kalau manusia itu tempatnya lupa, Re." Shila bangkit dari ranjang, lantas menghampiri lemari untuk mengambil mukena beserta sajadah. "Manusia emang tempatnya salah dan lupa, tapi kalau kita gak berusaha untuk menghilangkan kebiasaan buruk itu, ya selamanya akan terus seperti itu.

Dari riwayat Tirmidzi, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda; "Bersin itu dari Allah, sedangkan menguap itu dari setan. Maka, jika salah seorang di antara kamu menguap, hendaklah dia meletakkan tangan di mulutnya, dan kalau dia bersuara 'aaahh ... aaahhh ...' ketika menguap, setan akan menertawakannya dari dalam perutnya. Sesungguhnya Allah senang kepada bersinnya orang yang bersin, tapi benci kepada orang yang menguap."

Kamu mau, jadi bahan tertawaannya setan dan dibenci sama Allah?"

"Ih, ya enggaklah, masa cantik-cantik gini malah diketawain setan sih, gak lucu dong."

"Makanya kalau punya ilmu itu diamalkan, biar berkah. Setidaknya kalau kamu menguap pun, mulutnya ditutup, dan jangan sampai mengeluarkan suara. Ayo cepat sekarang kamu bangun, ambil wudu. Udah jam tiga lebih tuh."

"Hmmm iya Teh iya. Makasih loh ceramahnya. Teteh hebat, baru bangun tidur aja udah bisa ngomong panjang lebar. Jagoan," tutur Reva gemas.

Setelahnya, dia langsung melenggang keluar dari kamar setelah melihat gelagat Shila yang tampak seperti orang menahan amarah.

###

Sekarang, Shila dan Reva sudah menuntaskan salat malamnya. Usai berdoa, Reva memutuskan untuk kembali tidur, padahal waktu Subuh tidak lama lagi. Sementara Shila, memilih untuk mengulang kembali hafalannya, sambil menunggu waktu Subuh tiba.

Selesai mengulang, Shila mengambil ponsel. Mengaktifkan data, lalu membuka salah satu aplikasi yang ada di sana. Mulanya ia ingin membaca Al-Quran, tapi entah kenapa godaan setan yang satu ini malah membelokkan niat awalnya. Maksud hati ingin beramal soleh, Shila malah membuang-buang waktu dengan menggeser layar ponsel yang menjemukan.

Karena tidak ada yang aneh, Shila pun kembali menyimpan telepon genggamnya. Namun, belum juga tersimpan, ia harus kembali melihat ponselnya saat satu panggilan dengan nama 'Mincreung' masuk.

"Sepagi ini? Tumben."

Cukup lama Shila bergeming, memerhatikan layar ponsel yang masih menyala. Setelah sadar, barulah ia menggeser panel jawab, dan menempelkan ponsel di telinga.

"Halo, Ass---"

"Ya ampun Shila, kamu lama banget sih angkat teleponnya." Refleks, Shila agak menjauhkan benda persegi panjang itu dari telinganya ketika suara cempreng sang sahabat mulai menyapa.

"Assalamualaikum, Najma."

"Wa alaikumsalam. Kamu dari mana sih, dari tadi ditelepon, angkatnya kok...."

"Ada apa telepon aku pagi-pagi?"

"Gak sopan ya kamu, main potong ucapan orang gitu aja."

"Kamu sendiri, tadi juga potong ucapan aku yang mau kasih salam." Hening. Suara Najma seperti menghilang. Padahal telepon masih tersambung. "Ma? Halo?"

"Iya, ada nih."

"Tumben jam segini udah bangun, biasanya kan jam enam kamu baru turun dari ranjang."

Terdengar embusan napas yang dipaksakan. "Kamu ini sahabat macam apa sih, masa sama teman sendiri bilangnya gitu? Sebagai teman yang baik, seharusnya kamu dukung aku, doain semoga aku istiqomah, jangan malah dibilang tumben. Heran deh, kesiangan, jadi korban ceramahan. Bangun pagi , malah dibilangnya tumben. Manusia maunya apa sih? Serba salah mulu."

Mendengar Najma menggerutu panjang lebar, Shila hanya bisa terkikik geli. "Iya deh iya, aku minta maaf." Diam sejenak, sebelum akhirnya ia mengulang pertanyaan yang belum sempat terjawab.  "Ada apa Ma, jam segini udah telepon aku?"

"Aku cuma mau kasih tau, kalau pagi ini kamu harus ke kampus."

"Hah? Mau apa?"

"Dosen idaman kamu tuh yang nyuruh."

"Mak-sud-nya?" Nada bicara Shila berubah kesal.

"Bapak Deri Bambang Khairuman, katanya dia mau ketemu kamu." 

Sebelum menanggapi perkataan Najma, Shila sempat menghela napas.
"Mau ngapain dia ketemu aku?"

"Mau melepas rindu kali," ujar Najma disusul gelak tawa di ujung sana. "Kalian kan udah dua hari gak ketemu tuh, jadi ada kemungkinan Pak Deri kangen sama kamu."

Wajah Shila semakin suntuk tatkala tawa Najma kembali berderai. "Gak lucu."

"Yah ngambek dia. Canda kali, Shil."

"Becandamu itu kebangetan, Ma."

"Gak papa, kali-kali bikin Shila kesal, boleh, kan? Oh iya, kamu jangan lupa ya, pokoknya hari ini kamu harus ke kampus."

"Kalau aku gak mau gimana?"

Dengusan kasar mulai dilakukan Najma. "Kalau seandainya bukan nomor aku yang Pak Deri simpan, terserah kamu mau ke kampus atau enggak. Tapi ini kan ... ah, Shilaaaa ... kamu tega biarin temanmu ini jadi korban kemarahannya Pak Deri?"

"Emang mau apa dia nyuruh aku ke kampus?"

"Mana kutahu, aku kan cuma menyampaikan amanat aja. Soal mau apa, kamu tanya aja langsung sama orangnya."

"Malas tau, masa baru dua hari yang lalu ketemu, sekarang harus ketemu lagi. Bosan."

"Makanya kalau udah bosan, cepet kelar dong nyusun skripsinya, aku juga udah capek nih jadi kacung kamu terus. Masih mending kalau dibayar, lah ini, suka rela."

Kali ini giliran Shila yang tertawa. "Jahat gak ya bikin sahabat sendiri menderita? Gak papa deh kali-kali, dan semoga Allah balas semua kebaikanmu ya sahabatku."

"Aamiin. Untung sayang, kalau enggak, gak sudi aku sekontak sama dosen killer itu. Udah ah bentar lagi subuh, aku tutup ya. Jangan lupa, jam tujuh udah harus ada di kampus. Assalamualaikum."

Setelah menjawab salam, panggilan pun berakhir. Shila tersenyum saat mengingat awal ia membujuk Najma agar mau memberikan nomor ponselnya pada Deri. Dengan alasan tidak ingin berhubungan dengan dosen yang dianggapnya kurang baik itu, Shila sampai rela mengorbankan sahabatnya sendiri.

Beruntung, Najma mau mengerti. Meski selalu dibuat kesal atas sikap dosennya yang harus serba gerak cepat, tapi demi sahabat, Najma bertahan menjadi perantara Shila dan Deri. Sementara Deri, tentu ia tidak tahu jika selama ini nomor yang disimpannya bukan punya Shila.

Dulu, Shila sempat ingin protes agar dosen pembimbingnya diganti. Namun, apa kata dunia jika ia melakukan hal itu? Pasrah. Ya, itulah jalan satu-satunya. Mungkin sudah menjadi jatahnya, jika Shila harus dibersamakan dengan manusia paling kaku di sepanjang sejarah.

Seumur-umur, baru kali ini Shila dipertemukan dengan pria seperti Deri. Pria paling dingin seantero kampus, dan paling kaku sejagat raya. Selama mengajar di kelas, belum pernah Shila melihat orang itu tersenyum barang segaris pun.

Shila kira, pria macam itu hanya bisa dijumpai dalam novel-novel yang sering ia baca. Rupanya, di dunia nyata pun ada, dan Shila sudah menemukannya.

"Hah, dasar nasib."

Shila menatap jam di atas nakas. Azan subuh sebentar lagi berkumandang, tapi ia masih betah menjelajahi setiap aplikasi yang ada di ponselnya. Sampai salah satu postingan yang baru diunggah masuk, dan membuat Shila terkejut sesaat.

Cukup lama, Shila mengamati foto seorang pria yang bersembunyi di balik indahnya senja. Meski sosok di foto itu tampak gelap, tapi Shila mampu mengenalnya dengan baik. Dia, adalah pria yang memiliki pengaruh besar dalam kelangsungan hidup Shila. Pria yang ia jauhi di detik-detik perpisahannya, dan ia hindari selama ini.

"Loh, itu kan fotonya si...."

"Reva?" Secepatnya Shila menyembunyikan ponsel di balik mukena yang ia kenakan. "Udah bangun?"

Tatapan Reva semakin intens saat melihat gelagat Shila yang panik. "Katanya udah gak ada rasa, tapi kok masih dikepoin aja akun sosmednya?"

"Kamu ngomong apaan sih, siapa yang ngepoin akun sosmed orang? Ini mah cuma kebetulan lewat aja."

"Coba, sini lihat."

Dengan tangan gemetar, Shila memberikan ponselnya pada Reva. Seharusnya ia tidak perlu secemas ini, karena apa yang dikatakannya sama sekali tidak bohong. Namun, rasa takut itu semakin kentara. Ya, Shila takut jika dengan melihat foto itu, rasa yang telah lama mati akan hidup kembali.

"Teteh masih suka sama dia?" Tanya Reva sambil mengembalikan ponsel di tangannya.

"Enggak."

"Jangan bohong."

"Demi Allah Re, semenjak Teteh memutuskan untuk masuk pesantren enam tahun yang lalu, rasa itu hilang begitu aja."

Reva menatap lurus ke dalam bola mata Shila. Mencari kebenaran dari apa yang baru saja diucapkannya. "Masih naruh rasa juga gak papa, aku dukung kok kalau seandainya kalian berjodoh."

"Ngomong apa sih kamu, ngaco! Jodoh itu gak bisa diandai-andai."

"Tapi Teteh senang kan, kalau misalnya semua itu terjadi?" Reva mulai memasang senyum jahil.

"Udah ah, sana ambil wudu. Bentar lagi azan tuh. Mata kamu juga jijik, banyak cileuhna (kotoran di mata)."

"Yah, ngeles dia. Ketauan banget masih nyimpen rasa sama A Fadhil."

"Gak ada yang kayak gitu. Udah, cepetan sana ambil wudu." Shila menarik tangan Reva cukup kencang agar adiknya mau bangkit.

Sambil bersungut-sungut, Reva pun beranjak dari kasur. Namun, sebelum benar-benar keluar dari kamar, Reva sempat menatap nyalang sang lawan bicara.

"Apa lihat-lihat," kata Shila seraya memelototkan mata sipitnya.

"Dih, suka-suka aku dong, punya mata ini, kok situ sewot sih." Pintu kamar sudah terbuka, tapi Reva masih bertahan di bibir pintu, dengan pandangan mengarah pada Shila yang tengah sibuk membereskan tempat tidur. "Teh," panggil Reva selanjutnya.

"Apa," jawab Shila tanpa menghadapkan tubuhnya pada Reva.

"Aku doain semoga Teteh berjodoh sama dia ya."

"Jangan sampai," tukas Shila sambil melempar bantal ke arah Reva.
Dengan sigap Reva menutup pintu kamar, dan berlari menuju kamar mandi.

Beberapa kali Shila menarik napas hanya untuk menghilangkan segala kekesalan dalam dadanya. Adik sepupunya tidak tahu apa-apa mengenai kisah kelam yang ia lewati bersama pria itu. Jadi wajar kalau Reva malah membahas hal yang paling sensitif bagi Shila. Yang Reva tahu, Fadhil adalah pria tampan, dengan segudang pesona yang dimiliki.

Shila bukan takut dirinya berjodoh dengan seseorang yang Reva maksud. Ia hanya tidak ingin menggali lagi sesuatu yang sudah susah payah dikuburnya selama ini. Biarkan masa lalu itu menjadi kenangan, dan cukup masa depan yang menjadi tujuan.

Jikalau apa yang Reva katakan terjadi, Shila tidak masalah. Mungkin itu sudah menjadi takdirnya. Hanya saja, untuk sekarang ia tidak mau lagi berharap. Apalagi mengharapkan seseorang yang jauh dari pandangan. Itu hanya akan membuatnya kecewa, pada orang yang sama, jika harapannya tak sesuai kenyataan.

Cukup Allah, sebaik-baiknya tempatku berharap.

💞💞💞

13 Ramadhan 1441H

Beri tanggapan untuk part ini.

Bisakah kalian menebak bagaimana kelanjutan kisah Shila ke depannya?

Stay tone😉

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro