Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Bertemu

Allahumma shalli'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala aali sayyidina Muhammad.

Jadilah orang yang bermanfaat di dunia, agar hidupmu tidak sia-sia. Menjadi manfaat untuk orang lain, tidak perlu menunggu kaya. Selama banyak orang yang termotivasi dengan kisah kita, setidaknya kita telah memberi manfaat untuk mereka.

~Takdirku~

***

Wajah Shila tertunduk dalam, berusaha mengusir segala kemungkinan buruk jika ia kembali bertegur sapa dengan orang di depannya. Takut dengan perasaan sendiri, Shila pun mengurungkan niat untuk menghampiri orang itu. Namun, baru juga badannya berbalik, dia sudah lebih dulu menyadari kehadiran Shila.

"Shila?"

Dengan amat sangat terpaksa, Shila kembali menghadap ke arahnya. Sekilas, orang itu tampak mengernyitkan dahi, mungkin heran karena bisa bertemu dengan Shila di sini. Tak lama, Shila pun menyunggingkan senyum.

"Assalamu'alaikum, Fadhil."

"Wa-wa alaikumsalam." Fadhil balas tersenyum. "Kamu ... kok bisa ada di sini?"

Shila berjalan beberapa langkah, agar bisa lebih dekat dengan Fadhil. "Aku kuliah di sini."

"Oh, aku baru tau loh. Pasca sarjana?"

"Bukan, aku ... masih harus menyelesaikan strata satu," kata Shila diiringi senyum melegakan.

"Oh, kok bisa?"

Iya, Shila tahu, Fadhil pasti bingung karena dirinya belum lulus kuliah, sedangkan teman satu angakatannya sudah bekerja. "Mmmm, jadi gini. Pas lulus dari SMA ... aku gak langsung masuk kuliah. Melainkan diam dulu di pondok selama dua tahun. Baru setelah itu, aku memutuskan kuliah. Jadi ... kamu jangan heran kalau aku ketinggalan rombongan," jelas Shila sambil tergelak.

"Oh, begitu. Iya-iya, aku paham. Terus sekarang semester berapa?"

"Alhamdulillah, udah nyusun skripsi, dan ... sekitar dua Minggu lagi aku sidang."

"Masya Allah, kok aku bisa ketinggalan berita sejauh ini ya?"

Shila terkekeh pelan. "Makanya harus sering update, biar gak ketinggalan informasi."

Fadhil ikut terkekeh saat mendengar kalimat Shila. "Iya maaf, aku terlalu sibuk."

"Sibuk apa?"

"Menata masa depan."

Shila hanya menggeleng pelan. Entah kenapa setelah memulai percakapan dengan Fadhil, ketakutan yang ia rasakan tadi, tiba-tiba menguap begitu saja. Cukup lama dalam hening, keduanya hanya bisa saling melempar senyum. Lalu mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah.

"Mmmm, Fadhil?"

"Ya?"

Shila berpura-pura sibuk menatap sekitaran saat mata Fadhil tertuju padanya. "Dulu aku pernah kirim pesan ke akun kamu, apa ... kamu baca pesannya?"

Pandangan Fadhil berubah nanar. Pikirannya menerawang pada kejadian di mana ia membaca pesan itu. Tak lama, tiga kata meluncur dari bibirnya, "iya, kenapa memangnya?"

"Mmmm, berhubung waktu itu kamu gak balas pesan aku, sekarang ... aku mau minta maaf lagi sama kamu. Maaf ya, tentang semua yang udah aku lakukan dulu sama kamu. Aku sadar kalau perlakuan aku waktu itu benar-benar gak baik. Gak seharusnya aku menghindari masalah yang terjadi di antara kita. Kalau aja dulu aku mau lebih bijak, pasti aku gak akan merasa bersalah seperti sekarang."

Hening. Fadhil belum menanggapi perkataan Shila yang cukup panjang itu. Dirinya seperti sedang menimang sesuatu.

"Dhil, kamu mau, kan maafin aku?" Tanya Shila pada akhirnya.

Setelah menghela napas, barulah Fadhil bersuara. "Iya, gak papa, aku udah maafin kamu kok. Harusnya aku yang minta maaf sama kamu. Karena sikap aku, kamu sampai harus merasakan sesuatu yang mungkin membuat kamu benci. Aku ... sama sekali gak tau kalau efeknya akan sebesar itu bagi kamu. Maaf, dulu aku gak peka. Tapi ... sepertinya itu jauh lebih baik, karena jika aku tau mengenai perasaan kamu, mungkin kita akan semakin jauh melangkah dalam perbuatan dosa."

Semakin jauh melangkah dalam perbuatan dosa? Maksudnya? Pikiran Shila terganggu oleh kalimat itu. Ingin bertanya, tapi ia takut jawaban Fadhil malah menggoyahkan keyakinannya.

"Mulai sekarang, kita bebaskan. Anggap aja kalau dulu kita gak pernah mengalami hal rumit itu," lanjut Fadhil setelah memastikan hatinya akan baik-baik saja jika mengatakan itu.

"Makasih," kata Shila lirih. "Oh iya, kamu sendiri ada perlu apa di sini?"

Jika dulu, Fadhil akan menatap sang lawan bicara dengan lekat. Sekarang, dia sangat menghindari hal itu. Selain yang jadi lawan bicaranya saat ini adalah orang yang sangat berpengaruh untuk hati dan perasaannya, memandang orang yang bukan mahram juga tidak diperbolehkan. Apalagi kalau sampai mengundang syahwat, hal itu wajib dihindari. Karena itu bisa jadi malapetaka bagi siapa pun yang merasakannya.

"Aku mau ketemu sama sepupu aku, kebetulan dia dosen juga di sini. Tadinya aku malas datang ke sini, tapi karena teleponnya gak aktif terus, ya udah aku samperin dia ke sini. Pas di sini, eh malah ketemu kamu."

"Memangnya sepupu kamu dosen fakultas apa?"

"Manajemen."

"Namanya siapa, kebetulan aku dari fakultas manajemen juga."

"Namanya it--"

"Shila!"

Panggilan dari Najma membuat Fadhil tak melanjutkan ucapannya. Shila menoleh ke belakang, dan mendapati Najma sudah nangkring di atas motornya.

"Ayo, kita cari apartemennya, aku udah dapat alamatnya," ungkap Najma sedikit berteriak karena jaraknya yang terlalu jauh dengan Shila.

"Sebentar, Ma." Shila kembali memutar kepalanya ke depan. "Dhil, aku pergi dulu ya, assalamu'alaikum."

"Oh iya, wa'alaikumsalam."

Baru saja menjauh beberapa langkah, Shila kembali mendekati Fadhil. "Ini." Disodorkannya rantang yang sedari tadi ia pegang ke arah Fadhil.

"Itu apa?"

"Makanan. Tadinya aku mau kasih ke seseorang, tapi dianya gak ada. Daripada aku bawa lagi ke rumah, ya udah buat kamu aja. Sekali-kali kamu juga nyicipin makanan aku."

"Kamu yang masak?" Shila mengangguk cepat. "Makasih ya?"

"Sama-sama, kalau gitu aku pergi, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Fadhil menatap kepergian Shila yang semakin jauh. Ditatapnya rantang yang kini berada di tangan. Harusnya ia senang saat Shila memberinya makanan, secara cuma-cuma pula. Namun entahlah, hatinya sedikit tak terima saat Shila mengatakan kalau makanan itu untuk seseorang.

Apakah seseorang itu adalah tunangannya?

Fadhil hanya mengangkat bahu tak acuh. Lantas, ia menganggukkan kepala seraya tersenyum ketika motor yang Shila tumpangi melewatinya.

"Shil," panggil Najma setelah keluar dari area kampus.

"Hmmm?"

"Bekal untuk Pak Deri kamu kasih ke orang yang tadi?"

"Iya, kenapa?"

"Tadinya aku mau, tapi ya udahlah, nanti mampir ke rumah makan aja." Selang beberapa detik, Najma kembali bersuara, "emang dia siapa sih?"

"Teman SMA aku."

"Oh," sahut Najma singkat.

"Kenapa, kamu suka?" Shila melihat Najma seperti sedang menahan senyum dari pantulan kaca spion.

"Boleh emangnya?"

"Boleh-boleh aja sih." Terdiam sebentar, lalu melanjutkan ucapannya, "eh, tapi jangan deh."

"Kenapa?"

"Sepertinya dia udah ada yang punya."

"Yah sayang dong, padahal dia keren banget loh. Ganteng lagi."

Ungkapan Najma barusan berhasil membuat hati Shila tersentil. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Najma benar-benar menaruh minat pada Fadhil, dan meminta Shila untuk dikenalkan padanya. Lalu Fadhil juga sama halnya dengan Najma.

Ah, kuat gak ya? Iya sih aku udah gak ada rasa sama Fadhil, tapi kalau harus jadi Mak comblangnya Najma, nyesek juga sih bayanginnya. Eh, bukannya aku harus senang ya? Kalau masih sakit, itu artinya aku belum move on beneran dong.

"Shil, are you okay?"

Shila terkesiap saat Najma menegurnya. "Iya, Ma?"

"Syukurlah masih ada, kirain aku, kamu nyangkut di lampu merah tadi. Ayo turun, udah sampai."

Shila melongo, karena Najma tidak membawanya ke apartemen Deri, melainkan berhenti di depan toko buku. "Mana apartemennya?"

"Bentar, ada buku yang mau aku beli, jadi mampir dulu ke sini," jelas Najma dengan cengiran khasnya.

Setelah bola matanya berputar, Shila pun mengikuti langkah Najma. Menyusuri setiap rak yang berjejer rapi dengan buku-buku menggugah selera. Sampai di rak khusus non fiksi, Shila tertarik membeli salah satu buku yang ada di sana.

Cocok nih untuk Reva, gumamnya dengan alis naik sebelah.

💞💞💞

"Assalamu'alaikum." Shila masuk sambil celingukan. "Pada ke mana sih, kok sepi banget? Assalamu'alaikum." Sekali lagi Shila beruluk salam, dan kali ini ada seseorang yang menyahut.

"Wa'alaikumsalam."

Saat melewati ruang keluarga, Shila melihat seorang gadis tengah duduk dengan mata fokus menatap layar ponsel. "Eh, ada tamu rupanya," sapanya sambil berjalan mendekat.

Begitu mendongak, alis si gadis langsung tertaut ketika netranya melihat Shila. Entah bingung atau kenapa, yang jelas matanya tak lekang dari menatap Shila dengan intens.

Merasa risi karena dilihat dengan pandangan berbeda, Shila pun berusaha bertanya, "Kenapa ya?"

"Mmmm, Teteh yang kemarin itu, kan?"

Sekarang, giliran Shila yang mengernyit tak mengerti. "Maksudnya?"

"Teteh lupa ya, beberapa hari yang lalu kita ketemu waktu insiden tabrakan itu."

Belum ada tanggapan. Shila masih berusaha mengingat-ingat orang yang ditemuinya saat itu. Setelah agak lama, barulah ia bersuara, "oh iya aku ingat. Yang waktu di depan kedai itu, kan?" Dia terlihat mengangguk berkali-kali. "Kamu temannya Reva?"

"Iya Teh, kenalkan aku Husna."

Shila menyambut uluran tangan dari Husna seraya tersenyum lebar. "Masya Allah, ternyata dunia ini emang beneran sempit ya, baru juga dua hari yang lalu gak sengaja ketemu, eh sekarang kita ketemu lagi. Bisa kenalan juga." Tawa renyah Shila mulai terdengar, membuat Husna ikut tertawa juga. "Eh, sampai lupa, kenalkan aku Shila, kakak sepupunya Reva."

Mata Husna membulat waktu mendengar nama Shila. "Jadi ini yang namanya Teh Shila? Masya Allah, cantiknya, sama persis seperti di foto. Pantesan waktu ketemu kayak gak asing gitu mukanya. Rupanya Teteh yang sering diceritain sama Reva."

Sekarang dahi Shila semakin mengernyit dalam. Sebelum berucap, terlebih dahulu ia duduk--tepat--di dekat Husna. "Jadi selama ini Reva sering membicarakan Teteh?"

"Iya, dia sering cerita tentang Teteh. Sampai-sampai aku penasaran, mau tau sosok Teteh itu seperti apa. Hari Minggu kemarin aku juga main ke sini, tapi katanya waktu itu Teteh lagi gak ada di rumah."

"Oh, Teteh lagi pergi kondangan. Eh, Reva sering cerita apa tentang Teteh?" Shila mengubah posisi duduknya jadi menyamping--menghadap pada Husna.

"Banyak Teh, tentang hobi Teteh sebagai penulis blog. Terus juga kesibukan Teteh sebagai motivator, pokoknya aku ngefans sama Teteh. Lebih kocak lagi kalau Reva curhat tentang Teteh yang gak pernah berhenti ceramahin dia." Husna tak kalah antusiasnya dari Shila.

Kini, keduanya tampak asyik bercengkerama, melupakan bahwa mereka baru saja berkenalan. Beberapa menit yang lalu.

"Revanya mana, kok kamu ditinggal sendirian sih?"

"Katanya dia lagi ke warung dulu, Teh."

Tak lama dari itu, suara seseorang yang tadi Shila tanyakan sudah menyapa indra pendengarannya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Shila dan Husna kompak menolehkan kepalanya ke arah Reva datang. Satu kantong keresek besar ia jinjing dengan sedikit kesusahan.

"Bawa apa sih, kok keliatannya berat banget?"

"Kepo luh."

Sahutan dari Reva sukses memancing kekesalan Shila. Alhasil, satu timpukan bantal mendarat mulus tepat di wajah Reva.

"Ih gak sopan kamu ya."

Reva sudah hendak membalas, namun urung saat Shila menahannya. "Awas kalau berani, Teteh timpuk balik pakai uang sekarung!"

"Bagus dong, aku malah sen--"

"Tapi uang logam semua," sambung Shila disusul tawa puas.

Krik krik krik krik krik krik krik krik...

Reva menatap datar ke arah Shila, merasa kalau apa yang dikatakan kakaknya barusan sama sekali tidak lucu. Sementara Husna, malah keheranan sendiri karena melihat Shila yang masih saja tertawa.

Menyadari leluconnya tidak lucu, Shila langsung menghentikan tawa. "Gak lucu ya?" tanyanya kikuk.

"Udah tau nanya," timpal Reva, ketus.

Shila mulai menggaruk alis, padahal semua orang juga yakin kalau itu tidak gatal. Husna yang sedari tadi berusaha mati-matian menahan tawa pun, akhirnya hanya mampu terkikik geli.

"Re, buatkan minuman untuk Husna. Kasihan, dari tadi dia nganggur."

"Oh iya lupa, maaf ya."

Sepeninggal Reva, keadaan kembali hening. Husna jadi bingung bagaimana memulai percakapannya dengan Shila. Saat asyik berpikir, Shila malah lebih dulu membuka suara dengan mata menatap lurus layar televisi yang sedang menayangkan berita.

"Zaman sekarang, pergaulan bebas memang gak bisa dielakkan lagi ya. Coba deh kamu lihat, Na, dua sejoli itu berani mengubur hidup-hidup anaknya yang baru lahir hanya karena si bayi merupakan hasil dari hubungan gelapnya selama ini. Mana status mereka masih tercatat sebagai siswa SD lagi. Miris Teteh lihatnya."

Husna ikut menyimak siaran tv kali ini dengan saksama. "Iya Teh, kurangnya pengawasan dari orang tua membuat si anak merasa bebas. Apalagi sekarang banyak situs-situs yang memuat video  gak layak tonton. Si anak yang pemikirannya masih dangkal pasti akan dengan mudahnya menerima hal itu, tanpa disaring lebih dulu.

Terus juga benar apa kata Teh Shila, pergaulan bebas. Itu bisa jadi pemicu utama terjadinya tindakan kriminal. Padahal Allah benar-benar udah membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, tapi kebanyakan dari mereka memilih untuk menutup telinga daripada menjauhi larangan-Nya. Mereka memilih untuk berpaling daripada taat sama perintah-Nya."

Shila mengangguk setuju. "Allah memang lebih tau mana yang terbaik untuk hamba-Nya, Na. Allah melarang seorang hamba melakukan suatu perkara, bukan semata-mata Dia ingin mengekang hamba-Nya sampai merasa gak bebas, tapi karena Dia ingin melindungi makhluk-Nya dari hal-hal yang bisa merusak moral. Karena masalah sepele, akibatnya bisa fatal kalau setan ikut terlibat di dalamnya.

Ketika iman seseorang berada dalam titik terendah, di situlah setan menjalankan aksinya untuk menjerumuskan manusia. Enggak langsung melakukan dosa besar, tapi dimulai dulu dari yang paling kecil. Itulah sebabnya kita harus selalu waspada dalam setiap keadaan. Jangan menganggap sepele dosa kecil, karena kalau dilakukan berulang-ulang, dosa kecil juga bisa menjadi besar."

"Iya, aku setuju dengan pemikiran Teteh."

"Lagi pada ngomongin apa nih, serius amat kelihatannya." Reva datang membawa tiga gelas minuman dingin, dan beberapa camilan.

"Itu minuman untuk Teteh satu, kan?" tanya Shila tanpa menimpali ucapan Reva sebelumnya.

"Bukan, ini untuk si Jerry."

Shila tak mengindahkan ucapan Reva. Ia tetap meminum air di hadapannya setelah menawarkannya pada Husna lebih dulu.

"Ih, Teh Shila, dibilangin itu untuk si Jerry."

Sambil berdecak kesal, bola mata Shila berputar. "Masa kucing mau kamu kasih minum ini sih, kurang kerjaan. Udah ah, Teteh mau pulang aja, mau mandi." Sebelum bangkit, Shila mengambil beberapa buku dari tasnya. "Nih, buat kamu." Satu buku dengan judul 'Jangan Jadi Bucin' itu diberikan pada Reva.

"Judulnya kok gak enak banget," protes Reva setelah membaca judul buku yang ia pegang.

"Cocok itu," timpal Shila menahan tawa. Lantas, ia kembali menyodorkan satu bukunya lagi pada Husna. "Dan ini untuk kamu."

Husna belum menerima buku yang disodorkan Shila. Ia masih tertegun saat orang yang baru dikenalnya itu memberikan sebuah buku bestseller. "Itu buku baru, Teh?"

"Iya."

"Aduh gak usah, Teh," tolak Husna merasa tak enak.

"Gak papa, anggap aja ini sebagai tanda pertemanan kita." Senyuman lebar terus terpahat di wajah Shila.

Husna melirik sebentar pada Reva yang tengah menatapnya. Seolah mengerti dengan lirikan yang Husna berikan, Reva pun mengangguk sekali. Setelah itu, barulah Husna menerima pemberian Shila.

"Makasih ya, Teh."

"Sama-sama. Teteh pulang dulu ya, kalau mau mampir ke rumah, datang aja, rumah Teteh ada di belakang rumah Reva. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Mata Husna tak lepas dari menatap kepergian Shila. Rasa takjub dirinya terhadap sosok yang ia idamkan pertemuannya itu semakin membumbung. Tidak sia-sia hari ini ia mau diajak Reva ke rumahnya.

La Tahzan, sesungguhnya Allah sedang mengangkat derajatmu.

Spontan, sudut bibirnya tersungging kala membaca judul dari sampul buku yang telah menjadi miliknya. Buku yang dikonsumsi Shila benar-benar akan sangat memotivasi. Insya Allah, bermanfaat.

💞💞💞

16 Syawal 1441 H

Alhamdulillah...

Puji syukur harus selalu diucapkan, karena setiap saat, nikmat itu selalu kita rasakan. Aku juga bersyukur, karena bisa lebih cepat merevisi cerita ini.

Biar cepat tamat juga ya, biar cepat dicetak☺️

Iya tuh, kira-kira kalau kisah Shila diterbitkan, bukunya ada yang mau beli gak nih?

Bersuara ya? Biar aku gak sia-sia bikin cerita😅

Semoga bermanfaat..

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro