17. Sebuah Kebenaran
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Berbuat baik itu tidak perlu menunggu waktu yang tepat. Selagi hari ini ada kesempatan, kenapa harus disia-siakan? Sebab Allah yang mengetahui segalanya, maka lakukan kebaikan sekarang juga. Bisa meringankan beban sesama saudara, adalah satu kebaikan kecil yang begitu bermakna.
~Takdirku~
***
Sudah separuh perjalanan, tapi Fadhil sama sekali tidak tahu menahu ke mana dirinya akan pergi. Berkali-kali ia bertanya, dan berkali-kali pula tanyanya tak digubris oleh Fahmi. Temannya itu seolah tuli, lebih tepatnya berpura-pura tuli, demi menghindari pertanyaan Fadhil.
"Mi, kita mau ke mana sih?" Lagi-lagi Fadhil bertanya, dan Fahmi hanya menjadikan pertanyaan itu sebagai angin lalu. "Mi, lu budek ya," umpat Fadhil mulai kesal.
"Gua mau ajak lu ke tempat yang bisa menjawab setiap pertanyaan lu kemarin," jawab Fahmi agak berteriak, namun tetap berusaha santai.
Saat itu juga alis Fadhil tertaut. "Pertanyaan yang mana?"
"Tentang status Shila."
"Terus lu mau bertanya sama siapa?"
"Sama orangnya langsung, lah."
"Apa?" Suara Fadhil semakin bertambah satu oktaf. "Itu artinya kita mau ke rumah Shila? Mi, lu jangan main-main ya, nanti kalau cowok yang gua temui itu benar suaminya bagaimana?"
"Ya makanya kita perlu bertanya, biar gak salah paham."
"Sumpah ya Mi, lu jangan nekat. Udah, mending kita putar balik aja. Lagi pula lu belum istirahat, kan, kenapa lu malah bela-belain ke rumah dia sih."
Motor yang dibawa Fahmi sudah memasuki wilayah di mana Shila tinggal. Saat itu juga, Fadhil semakin ketar-ketir. Mencoba mempersiapkan hati kalau-kalau niatan temannya itu akan benar dilakukannya.
Begitu sampai di persimpangan jalan, motor itu malah belok kanan, hingga membuat Fadhil kembali berkoar-koar. "Loh, Mi, lu salah jalan. Harusnya lu ambil jalan yang lurus, bukan malah belok."
"Lu cerewet banget sih jadi cowok, tinggal diam, duduk manis apa susahnya sih? Lu tau gak, protesan lu itu bisa membuyarkan fokus gua. Nanti kalau gua gak fokus, terus celaka, siapa juga yang repot?"
Melihat jalanan beraspal yang tidak semulus di jalan raya, Fahmi pun memelankan laju motornya. Tampak beberapa orang yang tengah berjalan, atau hanya sekadar diam di balkon rumah menatap heran kepada dua pemuda yang tengah adu mulut di atas motor.
"Tapi kan rumah Shila bukan lewat sini, Mi. Lu gimana sih, katanya tadi mau ke rumah Shila, tapi lu malah nyasar ke sini."
"Protes lagi, gua turunin lu di sini." Seketika Fadhil bungkam. "Nyadar gak sih dari tadi itu kita jadi pusat perhatian orang? Gara-gara suara bass lu yang menggelegar itu, bukan cuma gua aja yang terganggu, tapi mereka juga."
Fadhil tak menyahut. Ia kapok karena disalahkan terus oleh Fahmi jika dirinya banyak bicara. Tidak biasanya juga Fahmi terus menggerutu, apalagi sampai membentak menyalahkannya. Kurang tidur tuh, pasti.
Tepat di depan sebuah gang, motor Fahmi berhenti. "Turun, Dhil."
Setelah turun, Fadhil malah celingukan layaknya orang yang hendak menyusup. "Ini kan jalan menuju rumah si Elsa?" Tanyanya begitu ia sadar.
"Tepat."
"Tadi katanya kita mau ke rumah Shila."
Tawa Fahmi berderai saat itu juga. "Lu mau banget sih ke rumah Shila. Ngapain, mau ngapelin istri orang lu?"
Sekarang Fadhil benar-benar kesal. Baru kali ini dirinya dibodohi oleh temannya sendiri. Memalukan!
"Lu sendiri yang ngomong, kenapa jadi gua yang disalahin," gerutu Fadhil masih tak terima atas perlakuan Fahmi.
"Udah, gak usah kesal gitu, yuk jalan."
Meski kesal itu masih bercokol, Fadhil tetap mengikuti langkah temannya. "Kita datang ke sini mau ketemu sama siapa, si Elsa kan lagi di luar kota."
"Semalam dia baru aja datang, makanya gua mau temui dia. Sekalian kita cari tau kebenaran tentang Shila."
"Lu tau dari mana dia udah pulang?"
"Biasa, status dia di sosmed."
Bibir Fadil hanya mengulas senyum, samar. Sesampainya di depan rumah Elsa--teman satu kelasnya sekaligus teman satu ekstrakulikuler dulu--Fadhil langsung mengucap salam.
"Wa alaikumsalam," jawab seseorang dari dalam. "Hai kalian, jadi juga datang ke sini, Wellcome in my kingdom." Kedua tamunya sempat tersenyum kala Elsa menyambutnya seperti itu. "Ayo masuk."
Setelah menyuruh Fadhil dan Fahmi duduk, Elsa secepatnya pergi ke dapur. Hendak mengambilkan air khusus untuk kedua temannya yang tidak tahu diri--begitu Elsa menyebutnya.
"Sebelum ngobrol, ada baiknya kalian minum dulu, biar gak tegang." Elsa mulai memindahkan dua cangkir teh dan beberapa toples beirsi cemilan ke atas meja.
"Eh, laki lu di mana?"
"Dia masih tidur, katanya capek." Usai menghidangkan semuanya, Elsa turut duduk di sofa sebelah Fahmi. "Sebenarnya gua juga berniat untuk tidur lagi, tapi setelah ingat sama kalian yang katanya mau datang ke sini, gua harus bela-belain nahan kantuk demi menyambut kedatangan kalian berdua."
"Gua benar-benar merasa terhormat sekaligus tersanjung karena lu mau menerima kita, El," kata Fahmi begitu bangga. "Benar-benar memuliakan tamu. Gua minum ya, tehnya." Setelah menghidu aroma yang menguar dari teh tersebut, Fahmi mulai menyeruputnya.
"Oh iya, lu kok masih pakai baju dinas, mau berangkat kerja?"
"Justru ini gua baru pulang kerja. Beres dari kantor, tanpa mandi dulu, gua secepatnya jemput si Fadhil di rumah sakit, terus meluncur ke sini."
Tampang Elsa terlihat seperti orang yang mengkhawatirkan. "Lu gak niat banget sih mau ketemu gua, sampai gak sempat mandi."
"Ya gimana lagi, ini keadaannya darurat banget. Nih bocah udah gak sabar mau ketemu lu, kangen katanya."
Elsa tampak cengo. "Hah, Fadhil?"
Merasa namanya disebut, Fadhil yang tengah asyik menelisik sekitar ruangan langsung memberi tatapan nyalang pada Fahmi. "Kok lu jadi nuduh gua sih, yang ngebet banget mau ketemu Elsa kan elu. Malahan tadi gua kira lu beneran mau ke rumah Shila, taunya malah nyasar ke sini."
"Tuh, lu lihat sendiri kan, El? Gua gak tau lagi harus ngomong apa sama nih bocah. Dia benar-benar udah kangen berat sama Shila."
"Lu jadi cowok ember banget sih." Tangan Fadhil terus berusaha membekap mulut Fahmi yang hendak kembali bersuara. "Bisa diam gak lu?"
Menyaksikan dua temannya yang terlibat cekcok, Elsa hanya menggeleng, maklum. Aneh juga sebenarnya, mereka berdua datang ke rumah Elsa, tapi yang dibicarakan sejak tadi malah sahabatnya.
"Eh Dhil, lu jangan bersikap seperti ini, nanti si Elsa bisa tau kalau lu emang beneran kangen sama Shila."
"Mana mungkin gua kangen sama cewek yang udah bersuami!" Saking kesalnya, Fadhil sampai harus teriak-teriak agar temannya tidak terus mengatakan hal rancu.
"Eit, tunggu, tunggu, tunggu." Elsa berusaha melerai setelah situasi semakin tak terkendali. "Sebenarnya yang kalian bicarakan itu siapa, Shila, atau orang lain?" Tanyanya ketika dua pemuda itu berhenti berulah.
"Shila/orang lain!"
Mendengar jawaban Fahmi dan Fadhil yang tak meyakinkan, semakin menambah kecurigaan Elsa. "Jadi mana yang benar?"
"Kita lagi membicarakan Shila," kata Fahmi pada akhirnya.
"Terus, kenapa tadi Fadhil malah bilang kalau dia udah bersuami?"
"Lu tanya aja sama dia." Fahmi menunjuk Fadhil yang sedang menunduk dalam.
"Dhil?"
"Emang bener dia udah bersuami. Buktinya kemarin gua lihat dengan mata kepala gua sendiri, dia pergi kondangan sama cowok. Serasi banget, pakai baju yang sama, terus gua juga lihat Shila pakai cincin. Persis seperti cincin tunangan atau sejenis cincin kawin," jelas Fadhil tak menyia-nyiakan kesempatan.
"Kenapa lu bisa seyakin itu kalau Shila udah nikah? Kalau pun benar dia udah nikah, pasti gua tau, secara gua ini adalah sahabatnya dari kecil. Bahkan dari orok kita udah sama-sama. Masuk SD, SMP, sampai SMA pun di sekolah yang sama. Terus giliran nikah dia gak kasih kabar, tega dong kalau gitu."
"Kok lu jadi sewot ke gua sih? Kalau lu masih gak percaya, nih lu bisa lihat ini."
Fadhil membuka layar kunci di ponselnya. Menjelajahi galeri foto, hingga ia menemukan satu potret yang menampilkan kebersamaan Shila dengan seorang pria di tengah-tengah pesta. Elsa mendengus kencang. Ia tidak bisa melihat jelas siapa pria itu. Fotonya diambil dari arah belakang si pria.
"Kalau dia bukan saudaranya, gak mungkin Shila bisa sedekat ini selain sama orang yang halal bagi dia. Sementara kita tau kalau Shila itu sangat menjaga batasan dengan lawan jenis."
Elsa tak mampu lagi berkata-kata. Ini terlalu rumit untuk ia cerna. Jika berita yang dibawa Fadhil benar, Elsa akan benar-benar marah pada Shila karena menikah tanpa sepengetahuannya. Tanpa menunggu lagi, Elsa segera meminta izin pada suaminya untuk pergi ke rumah Shila.
Karena Fahmi dan Fadhil memilih pulang, Elsa pun memutuskan menemui Shila seorang diri.
Lihat apa yang akan aku lakukan ke kamu, Shila.
💞💞💞
Di balkon rumah yang menghadap kolam ikan, Shila diam termangu. Sesekali, pandangannya beredar, mencari keberadaan keponakannya yang tengah ia asuh. Setelah memastikan Zulfa aman, Shila kembali meneruskan aktivitas melamunnya.
"Dasar gak becus! Disuruh jagain ponakan malah melamun di sini."
Shila benar-benar kaget ketika ada seseorang yang memarahinya. Namun, setelah menyadari siapa orang itu, tanpa diperintah, senyum di bibirnya mulai terbit.
"Masya Allah, Elsa?"
Elsa tergelak. Setelah menurunkan Zulfa dari pangkuan, secepatnya ia merangkul tubuh Shila. Keduanya sama-sama tertawa, melepas rindu karena berbulan-bulan tak bertemu.
"Ya ampun, kamu kapan pulang?"
"Semalam."
"Tega, mau pulang gak bilang-bilang dulu." Shila memukul pelan lengan atas Elsa.
"Biar jadi kejutan dong."
"Bentar ya, aku kasih Zulfa dulu ke Teh Intan."
Sambil menunggu Shila kembali, Elsa memilih untuk melihat sekitaran rumah Shila yang dikelilingi sawah. Melihat itu, pikirannya langsung tertarik pada kejadian masa lalu di mana ia masih senang bermain di sawah, bersama sahabatnya--Shila.
"El, ayo sini." Begitu Elsa mendekat, Shila langsung mengajaknya menuju halaman depan. "Kamu kok gak berubah sih?"
"Berubah jadi apa, jadi Ultraman?"
Tawa Shila kembali berderai. "Maksudnya kamu masih tetap kurus, gitu."
"Bukan kurus, tapi langsing."
"Hmm iya deh iya. Eh, mau minum apa?" Tanya Shila ketika Elsa duduk di beranda.
"Gak usah, takut beser kalau kebanyakan minum."
Lagi-lagi Shila harus tertawa. Temannya yang satu ini memang hobi sekali membuat orang bahagia. Seruwet apa pun masalah, semua bisa sedikit terlupakan jika ada Elsa di dekatnya.
"Ada-ada aja, kamu. Oh iya hampir lupa, gimana rahimnya, udah isi belum?"
"Belum nih, masih butuh percobaan. Doanya aja ya."
"Pasti, akan selalu aku doain." Meski Elsa tak mau dijamu, setidaknya Shila harus tetap memberikan suguhan pada tamunya. "Sambil nyemil ya, biar cepat besar," kata Shila mengeluarkan beberapa toples berisi makanan ringan dari dalam rumah.
"Tuh kan jadi ngerepotin."
Memang dasarnya Elsa, pandai berbahasa-basi. Ketika semua toples telah berjejer di depannya, segera saja tutup toplesnya ia buka. Mencicipi satu persatu makanan, yang sama sekali tidak ia jumpai di luar kota.
"Eh iya Shil, kemarin kamu pergi sama siapa ke acara nikahannya Hani?"
"Sama A Ghani," jawab Shila setelah duduk di samping Elsa.
"Serius?"
"Iya, kenapa emangnya?"
Keterlaluan si Fadhil, bisa-bisanya dia mengira A Ghani sebagai suami Shila.
"Hei, El, kenapa sih?"
Terkesiap, gara-gara Shila menepuk bahunya. Sambil terus menguyah, Elsa tersenyum kikuk. "Gak papa, aku kira kamu pergi sama orang spesial."
"Orang spesial seperti apa yang kamu maksud?"
"Ya ... seperti calon suami misalnya." Tangan Elsa memang fokus memasukkan makanan ke dalam mulut, tapi matanya sama sekali tak jemu memandang cincin yang tersemat di jari manis Shila.
Bibir Shila terkulum. "Orangnya masih di perjalanan, menunggu kata sah terucap."
"Kapan?"
"Insya Allah, satu Minggu setelah aku wisuda. Doain ya, semoga semuanya lancar."
Elsa tiba-tiba terbatuk kala merasakan perih di bagian tenggorokannya. Pandangannya pun mulai beredar, mencari satu gelas air yang bisa ia minum.
"Aduh seret banget," ujar Elsa karena Shila masih belum peka dengan kode yang ia berikan.
"Nih, udah aku siapin, untuk jaga-jaga kalau kamu minta minum."
Elsa hanya mampu menyunggingkan senyum lebar. "Eh, yang kamu bilang tadi itu, beneran, kan?"
"Iyalah, masa bohongan sih."
"Ya Allah, beneran?" Shila cukup mengangguk, pasti.
Tanpa bisa dicegah, Elsa berteriak kegirangan sambil meloncat-loncat. Kali ini, raut wajahnya benar-benar memancarkan kebahagiaan. Shila yang melihat itu pun hanya bisa tersenyum penuh haru.
"Lisna udah tau soal ini?"
"Belum."
"Kita ke rumah dia sekarang, sekalian aku mau ketemu dia. Katanya usia kandungan dia juga udah masuk bulannya, itu artinya bentar lagi kita akan punya keluarga baru."
Selagi Shila membenahkan beberapa toples, dan kembali mambawanya masuk, Elsa tak henti berbicara. Sikap cerewetnya tidak berkurang sama sekali. Shila kira setelah menikah, temannya itu akan sedikit lebih kalem, nyatanya tak ada yang berubah. Entah Shila harus bahagia, atau kasihan pada suaminya karena mendapat istri yang super cerewet macam Elsa.
💞💞💞
3 minggu sudah Nenek Khadijah dirawat di rumah sakit. Namun, keadaannya masih tetap sama, belum ada perkembangan yang signifikan. Apalagi, tadi pagi kondisinya sempat menurun, sampai membuat semua orang putus asa atas kesembuhan nenek Khadijah.
Husna dan Fadhil, siang ini mereka bermaksud kembali menjenguk sang nenek. Sebelum berkunjung ke rumah sakit, terlebih dahulu Husna mampir ke sebuah kedai yang menjual berbagai jenis makanan dan minuman. Saat berjalan menuju kedai, sebuah insiden kurang mengenakkan menimpa dirinya.
Brukkk
"Astaghfirullahal'adzim."
Husna kaget ketika ia tak sengaja menabrak seseorang. Lebih kaget lagi setelah menyadari minuman yang dibawa orang tersebut tumpah, hingga mengenai bajunya.
"Innalillahi, aduh Teh, maaf saya gak sengaja." Husna mulai panik. Wajahnya tegang, takut kalau orang yang ada di hadapannya marah.
"Harusnya saya yang minta maaf, tadi saya kurang hati-hati. Maaf, ya."
"Enggak Teh, saya yang minta maaf. Saya gak lihat-lihat pas jalan, sampai akhirnya nabrak Teteh, terus minuman Teteh tumpah."
Dia menyunggingkan senyum. "Gak apa-apa, saya bisa beli lagi nanti."
"Tapi baju Teteh kotor." Mata Husna tampak berkaca-kaca.
"Apalagi itu, saya bisa mencucinya, kamu gak usah khawatir ya. Kebetulan baju yang saya pakai juga sudah kotor."
Husna berdecak kagum melihat sosok wanita yang kini bersamanya. Sikap ramahnya benar-benar membuat ia tersanjung.
"Teh, maaf ya." Sekali lagi Husna meminta maaf dengan raut melas.
"Iya gak apa-apa, kamu tenang saja."
"Aduh, itu minuman yang tumpah saya ganti ya."
"Gak perlu, sudah biarkan saja, mungkin itu bukan rezeki saya. Sudah ya, saya pergi dulu."
Sebelum orang itu pergi, Husna kembali menahannya. "Maaf ya Teh, ayo saya ganti minuman Teteh."
"Sekali lagi kamu meminta maaf, saya kasih piring cantik loh," selorohnya diiringi tawa kecil yang membuat Husna tersenyum kikuk. "Saya kan sudah bilang, gak apa-apa. Jadi kamu jangan merasa bersalah seperti itu. Sudah ya, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Tanpa beralih sedikit pun, Husna terus menatap kepergian si wanita yang berjalan dengan tergesa. "Sepertinya aku pernah melihat wanita itu? Tapi di mana," gumamnya pelan.
"Kenapa, Na?"
"Aa ih, ngagetin aja." Dipukulnya lengan Fadhil yang sudah berdiri di sampingnya cukup keras.
"Habisnya kamu malah melamun di sini, disuruh masuk juga. Liatin apa sih?"
"Enggak A, Husna cuma lagi liatin orang yang tadi Husna tabrak."
"Kenapa diliatin? Loh, ini minuman siapa yang tumpah?" Tanya Fadhil setelah menyadari tempat yang dipijak Husna kotor.
"Ya ... itu minuman orang yang Husna tabrak, A."
"Terus kamu ganti?" Husna menggeleng lemah. "Kenapa?"
"Tadi Husna udah tawari, tapi dia gak mau."
Fadhil mengusap puncak kepala Husna. "Ya udah kalau dianya gak mau, biarin aja, berarti dia udah ikhlas. Yang penting kamu juga udah menawari dia untuk mengganti minumannya."
"Tapi Husna merasa gak enak sama dia, A." Bibir Husna melengkung ke bawah, matanya kembali menatap ke arah di mana orang tadi berjalan.
"Udah gak usah sedih gitu, ayo masuk, Mama sama Papa udah nungguin kita."
Fadhil segera menarik tangan Husna yang tetap berdiri di tempat. Adik perempuannya itu memang tipikal orang yang perasa. Sekali pun bukan dia yang berbuat salah, dia akan tetap menjadi orang yang paling sering meminta maaf.
Ah, dasar Husna. Kamu itu terlalu polos. Meski keras kepala, tapi hatimu tetap lembut.
💞💞💞
13 Syawal 1441 H
Assalamualaikum...
Sejauh ini... Bagaimana tanggapan kalian tentang cerita ini?
Plisss komen, jangan jadi SIDERS semua🥺
Oiya, kalian siap menyambut konflik?😅
Stay tone ya😉
Aku padamu😘
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro