Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Mencari Keikhlasan

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Biarkan semua berjalan sesuai alur yang telah Allah tentukan. Kita memang harus berusaha, tapi tidak diperintahkan untuk memaksa. Sehingga kita lupa, berapa porsi kita dalam mengusahakan sebuah realita, agar tak sekadar menjadi cerita.

~Takdirku~

***

Bunyi detakan dari sebuah monitor EKG, terdengar begitu nyaring di tengah sunyinya malam. Terlebih waktu sudah menunjuk pada angka 12 lewat 15 menit. Hal itu tentu semakin menambah kesan berbeda bagi Fadhil, yang tengah menunggui neneknya di rumah sakit.

Malam ini Fadhil tidak bisa memejamkan mata, entah kenapa. Pertanyaan itu sepertinya sudah terlalu mengganggu. Benarkah ia sudah menikah? Begitu kira-kira kalimat tanya yang terus saja melintas di benaknya.

"Lu tau dari mana Shila udah nikah, kalau lu sendiri gak mau bertanya?" Itulah pertanyaan yang terlontar dari bibir Fahmi tatkala Fadhil menceritakan semua yang dilihatnya kemarin siang.

See, Fahmi saja tidak percaya kalau gadis itu sudah berumah tangga, bagaimana Fadhil bisa seyakin itu?
Apa mungkin semua itu Fadhil lakukan semata-mata karena ia tidak ingin lagi berharap pada sesuatu yang belum pasti? Jika iya, itu lebih bagus.

Memang, Shila bisa saja sudah menikah, tapi tidak mungkin Fadhil sampai tidak mengetahui pernikahannya. Kecuali jika Shila sengaja tidak memberi tahu Fadhil sebab perkara di masa lalu itu.

Tega sekali jika itu alasan yang membuat dia tidak diundang.

Untuk yang ke sekian kalinya, hidung Fadhil mendenguskan napas. Duduk di kursi dekat ranjang, lalu mengusap tangan sang nenek yang tertancap jarum infus. Merasa terusik, Nenek Khadijah sampai terbangun dari tidurnya.

"Fadhil," panggilnya begitu lemah.

Kepala Fadhil yang disimpan di atas ranjang terangkat seketika. "Masya Allah, Nenek, Fadhil mengganggu Nenek ya? Maaf ya Nek, Fadhil sama sekali tidak bermaksud untuk--"

"Kamu tidak tidur?" Tanpa permisi, Nenek Khadijah memotong ucapan Fadhil begitu saja.

"Fadhil ... kan sedang jagain Nenek."

Perlahan, sudut bibir Nenek Khadijah tertarik ke samping. "Nenek tidak akan ke mana-mana, jadi kamu tidak perlu khawatir."

"Mmmm, Nenek mau minum?"

Gerak tangan Fadhil yang hendak mengambil gelas terhenti saat Nenek Khadijah menahannya. "Ada apa, ada yang sedang kamu pikirkan?"

Fadhil tertegun. Sebisa mungkin ia hindari tatapan neneknya yang terus saja menyorot intens. Setelah berusaha menghindar, akhirnya ia kalah. Fadhil tidak tahan jika harus mendapat tatapan yang seolah mengintimidasinya.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Cu?"

"Tidak ada, Nek, Fadhil hanya rindu Nenek, makanya Fadhil menunggu Nenek sampai Nenek bangun," alibinya setelah menundukkan wajah.

"Tidak usah berkelit. Sejak kecil Nenek tahu seperti apa kamu. Kamu itu ... cucu pertama Nenek, setiap perkembangannya selalu Nenek pantau dengan baik. Jadi kamu tidak usah repot-repot mencari alasan supaya Nenek tidak tahu apa yang terjadi padamu."

Helaan napas pasrah dilakukan Fadhil. Neneknya benar, sepintar apa pun ia dalam menyembunyikan sesuatu, pasti akan selalu kedapatan.

"Ada satu kata yang akhir-akhir ini mengusik pikiran Fadhil."

"Apa itu?"

"Ikhlas. Bagaimana cara kita agar bisa mengikhlaskan sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain?"

Nenek Khadijah mulai tersenyum lembut. "Apa kamu sedang patah hati?" Begitulah kebiasaan orang Indonesia, di mana sebuah pertanyaan, dijawab dengan pertanyaan.

"Tidak Nek, Fadhil hanya sedang mempersiapkan hati, bila nanti apa yang Fadhil tanyakan terjadi, Fadhil tidak akan risau lagi." Padahal semuanya sudah terjadi, sambung Fadhil dalam hati.

"Kamu tinggal ingat saja, bahwa segala sesuatu yang melewatimu, tidak akan pernah menjadi bagian dari takdirmu. Namun jika itu takdirmu, maka ia tidak akan pernah melewatimu, meski akan begitu banyak rintangan yang harus kamu taklukkan."

Hening pun datang. Fadhil seolah memberi kesempatan pada neneknya untuk mengutarakan apa pun yang bercokol dalam hati. Tak ada sahutan dari Fadhil, nenek Khadijah pun menyambung ucapannya.

"Memang, ikhlas itu tak semudah kita dalam mengucapkannya. Tapi yang perlu kamu ketahui, apa pun yang sudah Allah gariskan untukmu, itulah yang terbaik. Logikanya begini, kamu dihadapkan pada satu pilihan, antara berlian, atau batu koral. Kamu pun memilih berlian, karena kamu pikir berlian jauh lebih berharga. Tapi sayang, kamu tidak mampu membeli berlian tersebut. Alhasil, meski tidak suka kamu mengambil batu koral.

Saat itulah, ikhlas berperan penting dalam kehidupanmu. Sekuat apa pun kamu dalam memperjuangkannya, jika Allah bilang tidak, ya tidak. Karena tanpa kamu ketahui, ada segerombol perampok yang tengah mengintai berlian itu. Namun, karena kamu hanya memiliki batu koral yang dianggap tidak berharga, kamu pun selamat dari intaian para perampok.

Kamu lihat, sungguh Allah lebih tau apa yang terbaik untukmu. Seandainya kamu tetap memaksa untuk memiliki berlian tersebut, bukan hartamu saja yang akan hilang, tapi nyawamu pun bisa menjadi taruhan. Kalau sudah begitu, untuk apa kamu susah payah, memaksakan kehendak, padahal kamu sudah tau kalau kamu tidak mampu. Buang-buang energi saja, benarkan?" Fadhil mengangguk kelu.

"Jadi, tidak ada cara lain selain ikhlas. Awalnya memang terlihat seperti terpaksa, tapi percayalah, seiring kita terbiasa dalam hal itu, semuanya akan jauh lebih ringan. Kita bisa, karena terbiasa. Meski kamu pikir dia baik untukmu, belum tentu baik menurut Allah. Meski kamu percaya dia orang yang sangat berarti dalam hidupmu, tapi kamu tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan kamu jalani selanjutnya.

Biarkan semua berjalan sesuai alur yang telah Allah tentukan. Kita memang harus berusaha, tapi tidak diperintahkan untuk memaksa, sehingga kita lupa berapa porsi kita dalam mengusahakan hal tersebut. Sudah ya, Allah membuatnya menjadi milik orang lain, berarti orang itu lebih mampu memberikan segalanya dibanding kamu."

Lagi-lagi Fadhil hanya bisa mengangguk. Lidahnya terlalu kelu hanya untuk menanggapi penuturan sang nenek. Untuk sekarang, perasaannya sudah jauh lebih tenang. Makna ikhlas yang dipaparkan neneknya sungguh sangat sederhana, dan ia harus bisa menerapkannya.

"Terima kasih, Nek, karena sudah bersedia menjadi penasihat yang baik untuk Fadhil. Walaupun keadaan Nenek masih jauh dari kata baik, tapi Nenek selalu berusaha membuat Fadhil, dan cucu Nenek yang lainnya agar tetap berada pada jalur yang baik."

Tangan Nenek Khadijah terulur, hendak mengusap kepala Fadhil. Mengerti, Fadhil pun segera mendekatkan kepalanya agar bisa dijangkau oleh Nenek Khadijah.

"Salat ya, biar hati kamu semakin tenang."

Begitu akan beranjak, terlebih dahulu Fadhil melihat jam. Sebentar lagi pukul satu dini hari. Sebelum tidur, ada baiknya ia mengerjakan salat dua rakaat dulu. Takut jika memilih tidur dulu, Fadhil akan lupa waktu.

Setelah memastikan neneknya kembali terlelap, barulah Fadhil bangkit, dan langsung menuju toilet untuk berwudu.

💞💞💞

"Sekali lagi aku bertanya, apa yang membuatmu berubah, Shila!"

"Bukan urusanmu aku mau berubah atau enggak."

"Tentu ini jadi urusanku, karena aku temanmu. Aku berhak tau apa yang membuatmu menghindar akhir-akhir ini."

"Sekali lagi, ini bukan urusanmu. Terserah aku mau menghindar, menjauh, atau menghilang sekali pun. Karena bagiku itu akan jauh lebih baik dibanding harus dekat dengan teman sepertimu."

"Apa kamu menyesal telah mengenalku?"

"Enggak, aku sama sekali gak menyesal. Aku hanya kecewa. Kecewa pada diri sendiri karena gak bisa menjaga hati. Kecewa karena terlalu berlebihan dalam menganggapmu yang hanya sebatas teman. Kecewa karena aku udah berani membuka celah yang dapat menghancurkan hidupku sendiri."

"Maksudmu?"

"TIDAK!

Shila tampak terengah. Deru napasnya pun terdengar tak beraturan. Dalam sekali teriakan, ia berhasil bangun dari mimpi yang selalu saja mencekamnya erat.

Dengan tangan gemetar, Shila meraih gelas yang tersimpan di atas nakas. Meminum isinya hingga tandas, lalu menyenderkan kepala setelah gelas itu berada di tempat semula.

Pendengarannya menajam, ketika pintu kamar diketuk.

"Teh, Teh Shila?"

Reva? Buru-buru ia bangun dari kasur, dan berjalan lunglai menggapai pintu. "Ada apa?"

"Teh Shila kenapa?"

Mata Shila terpejam sejenak. "Kamu kebiasaan, kalau Teteh nanya itu dijawab, bukan malah balik tanya," protes Shila tidak terima.

"Abisnya aku kaget, pas masuk rumah langsung dengar orang teriak, aku kira ada apa." Reva mulai berjalan masuk, mengikuti langkah Shila.

"Tadi ada kecoa, makanya Teteh teriak." Astagfirullah, aku bohong! "Kamu tumben, pagi-pagi buta begini udah ke sini?" Tanya Shila sambil merapikan ranjang.

"Mau tahajud bareng," kata Reva diiringi senyum.

Dahi Shila mulai berkerut. "Tumben?"

"Jangan mulai deh."

Melihat Reva yang sudah menekuk wajahnya, Shila hanya tersenyum sekilas. "Kamu udah wudu?"

"Lihat aku pakai mukena gak?"

Ya, Shila baru menyadari kalau mukena Reva sudah terpasang. Alhasil, ia hanya ber'oh' saja tanpa berniat menimpali Reva dengan ucapan yang lebih panjang. Karena waktu tahajud semakin berkurang, segera saja ia keluar kamar, pergi ke kamar mandi, lantas bersuci.

###

Usai melaksanakan salat--sambil menunggu azan subuh--seperti biasa, Shila selalu membaca mushaf. Murajaah, lalu mentadabburi setiap isi yang terkandung dalam setiap ayatnya. Jika Shila sibuk dalam kebaikan, beda lagi dengan Reva, yang memilih berbaring di atas ranjang, dengan tangan mengotak-atik layar ponsel.

"Teh, kemarin pulang kondangan jam berapa?"

Shila menghentikan sejenak bacaannya, hanya untuk menjawab pertanyaan Reva. "Sebelum Zuhur."

"Lama banget, ngapain aja sih?"

"A Ghani yang lama, pergi kondangan pakai acara sakit perut segala."

Bibir Reva mengerucut. "Teman aku titip salam buat Teteh," ujarnya demikian.

Shila memutuskan mengakhiri bacaan, karena fokusnya mulai bercabang. "Cowok?"


"Mau banget sih ada cowok yang titip salam."

"Ya siapa tau aja, kan?"

"Cewek, Teh."

"Siapa?"

"Ada, lah teman aku. Nanti deh kalau dia ke sini lagi aku kenalkan. Kebetulan dia juga penasaran banget sama Teteh."

Seketika wajah Shila berubah heran. "Emang dia tau dari mana soal Teteh?"

"Awalnya aku suka sebut-sebut nama Teteh, tapi dia malah ikut penasaran. Katanya dia juga lagi cari seseorang yang namanya Shila."

"Untuk apa cari-cari orang yang namanya Shila?"

"Mana kutahu, aku kan gak kepo seperti Teteh, banyak tanya."

Shila melengos, kesal. "Oh iya, kemarin waktu di kondangan Teteh ketemu sama Fadhil."

Tangan yang sedang sibuk mengetik sesuatu, terhenti ketika tak sengaja Reva melempar gawainya ke sembarang arah. "Apa Teh, ketemu sama A Fadhil?" Suara Reva mulai menggema, tapi dengan santainya Shila mengangguk. "Terus gimana?"

"Gak gimana-gimana, ya ... kita ketemu aja."

"Cuma ketemu aja, gak ada ngobrol-ngobrol sedikit pun?"

"Paling saling bertanya kabar."

"Habis itu?"

"Selesai."

Reva menggeleng tak paham. "Gak berkesan banget ya pertemuan kalian. Enam tahun gak ketemu, sekalinya ketemu malah gak ngobrol apa-apa. Tanya kek apa kesibukannya, terus udah punya apa aja, kerja di mana, udah punya calon atau belum." Saking gemasnya, Reva sampai tak sadar kalau ponsel yang sudah ia pegang malah ia pukul-pukulkan pada kepala ranjang.

"Teteh juga maunya begitu, Reva. Tapi coba kalau kamu yang ada di posisi Teteh, yakin, canggung tau gak."

"Kalau aku berada di posisi Teteh, aku pasti akan melakukan apa yang aku sebutkan tadi."

"Yah, karena kamu gak mengalaminya, makanya kamu bisa bilang begitu."

Reva mendesah. Lalu kembali berbaring, menatap langit-langit kamar. "Bagaimana perasaan Teteh setelah ketemu dia?"

"Makin kacau. Teteh sepertinya perlu minta maaf lagi. Secara langsung kalau perlu."

"Bagus. Itu yang harus Teteh lakukan, biar gak terus dihantui rasa bersalah."

Benar. Sepertinya Shila memang perlu melakukan itu. Agar mimpi yang sama tidak datang terus-menerus.

💞💞💞

Pulang Nak, untuk kali ini saja bantu papamu. Dia membutuhkanmu sayang, kami membutuhkanmu.

Untuk kali ini saja, turunkanlah egomu. Demi kami.

Tolong, jangan menunggu papamu pergi, baru setelah itu kamu sadar. Kamu tidak ingin membuat Mama sedih, kan?

Baru bangun tidur, tapi Deri sudah dihadapkan pada masalah yang begitu pelik. Berkali-kali ia menarik napas, hanya untuk menenangkan pikirannya agar tidak kalap. Pesan bertubi-tubi dari mamanya, sudah berhasil membuat Deri bimbang.

Haruskah ia pergi? Jika begitu, Deri harus rela meninggalkan semuanya, termasuk meninggalkan calon istrinya. Sungguh, ini berat bagi Deri. Bukan sesuatu yang mudah mengikhlaskan apa yang ia sukai selama ini.

Jika ia pergi, kemungkinan besar masa depannya akan berubah. Tak seperti apa yang sudah ia harapkan jauh-jauh hari.

Maaf, Shila. Sepertinya saya tidak bisa memenuhi keinginan kamu.

Tanpa diperintah, secepatnya Deri mengemasi barang-barang yang memang akan selalu ia butuhkan. Orang tuanya telah menunggu, terlebih papanya. Ia harus cepat bertindak.

💞💞💞

11 Syawal 1441 H

Oke kawan-kawan, seperti biasa, vote, komen, kritik, sama sarannya untuk mengingatkan author kalau di cerita ini banyak thypo, atau ada yang kurang.

Udah gitu aja, Syukran katsiran bagi yang udah baca....

See you next part..

Aku padamu😘

Selamat menjalani hari ini...

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro