13. Takut
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidina Muhammad.
Perlu keberanian untuk meyakinkan diri sendiri, bahwa kita mampu menghadapi dunia hari ini. Kita bisa melewati gelombang yang datang dalam melayarkan sebuah kapal agar tak karam. Karena sesungguhnya, badai itu hanyalah setitik ujian bagi para pelayar.
***
Alunan murrotal surah Yusuf dari Qori ternama--Mishary Rasyid--yang diputar melalui radio, terdengar menggema di sebuah kamar berukuran 4x4m. Sesekali, si empunya kamar ikut melantunkan surah tersebut sambil sibuk memasangkan dasi.
"A, ayo makan, kata Mama nanti habis ma ... Masya Allah si Aa udah ganteng aja pagi-pagi, mau ke mana?" Tanya Husna tak meneruskan ucapan sebelumnya.
Kehadiran Husna membuat Fadhil menghentikan aktivitas sejenak. Setelah menengok sekilas pada Husna, ia kembali sibuk memasukkan beberapa berkas yang akan dibawanya hari ini untuk rapat tahunan di kabupaten.
"A, Husna nanya loh, kok gak dijawab?"
"Ke mana aja boleh."
Membelalakkan mata seraya menurunkan tangan yang sebelumnya ia lipat di depan dada. "Mulai ngeselin ya rupanya," kata Husna berubah dongkol.
Melihat wajah Husna ditekuk, Fadhil segera menghampirinya. "Aa ada tugas dari sekolah, adek manis," jawabnya sambil mengacak rambut Husna yang masih basah karena habis keramas.
Husna mendengus kesal. "A Fadhil kebiasaan deh, sukanya ngacak-acak rambut orang. Sekarang, kan rambut Husna jadi berantakan lagi."
Tanpa menimpali ucapan sang adik, Fadhil berlalu begitu saja. Mau tidak mau, Husna yang masih kesal pun harus menyusul kakaknya itu menuju meja makan.
"Assalamu'alaikum." Terdengar seseorang beruluk salam dari luar.
"Siapa ya?" tanya Bu Fitri.
"Tamu, Ma," jawab Husna masih sibuk mengambil beberapa menu sarapan di meja.
Bu Fitri mengulas senyum. "Maksud Mama, siapa yang bertamu pagi-pagi begini?"
"Kalau Husna tau, pasti udah Husna kasih tau dari tadi. Ini kan, Husna gak tau apa-apa."
"Anak Mama yang satu ini pintar sekali jawabnya," tutur Bu Fitri menjawil dagu Husna.
Tak ingin membuat tamunya menunggu, Bu Fitri pun harus meninggalkan sejenak kesibukannya yang sedang melayani Pak Firman untuk membuka pintu utama. Di saat Bu Fitri hendak melenggang pergi, dengan cepat Fadhil mencegah.
"Biar Fadhil saja yang bukain, Ma."
Bu Fitri tersenyum hangat ke arah Fadhil. "Terima kasih, ya."
Fadhil balas tersenyum, dan segera pergi menuju pintu.
"Husna anak perempuan, harusnya Husna lebih peka terhadap sekitar. Lain kali kalau ada tamu, Husna harus cepat bertindak, jangan menunggu disuruh dulu," ingatkan Pak Firman pada anak perempuan satu-satunya.
Diingatkan seperti itu, Husna menyunggingkan bibir, lantas berkata, "Iya Pa, maaf, tapi bukannya Husna gak peka atau apa. Husna hanya ingin menjaga sesuatu yang sudah seharusnya Husna jaga. Husna takut tamu yang datang saat ini adalah seorang laki-laki, dan hal itu malah menyebabkan Allah marah sama Husna karena berani menampakkan sesuatu yang semestinya Husna tutupi. Husna gak mau Allah sampai harus menghukum Husna, atau bahkan menghukum Papa, A Fadhil, juga Akmal, hanya karena Husna menampakkan aurat di depan laki-laki bukan mahram."
Pak Firman dan Bu Fitri tercengang mendengar penuturan anaknya. Setelah itu, barulah mereka mengerti ke mana arah pembicaraan Husna tadi. Saat ini Husna tak memakai jilbab, itulah yang menyebabkan ia enggan membuka pintu.
Sementara di ruang tamu...
"Wa'alaikumsalam." Fadhil menjawab salam yang terus-menerus diucapkan si tamu. "Masya Allah Bang, tumben masih pagi udah ke sini, ada apa?" Tanya Fadhil saat daun pintu terbuka, dan menampakkan Deri yang sudah berdiri di depannya.
"Boleh masuk dulu gak?"
"Eh iya Bang, sorry. Yok masuk. Lu udah sarapan belum, kebetulan yang lain lagi pada sarapan, lu mau gabung?"
"Loh, gak jagain Nenek di rumah sakit?" Deri malah balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Fadhil.
"Giliran Bang, sekarang yang jaga bagian adiknya Mama." Deri hanya mengangguk beberapa kali. "Jadi mau ikut sarapan gak?"
"Gak usah Dhil, gua udah sarapan tadi sebelum ke sini." Deri mendudukkan pantatnya di sofa ukuran single.
Sekarang, giliran Fadhil yang mengangguk, lantas ikut duduk di sofa panjang sebelah kanan Deri.
"Lu mau ke mana, kok masih pagi tampilannya udah formal gitu?"
"Gua disuruh kepala sekolah mewakili guru untuk rapat tahunan di kabupaten. Kenapa emangnya?"
"Gak papa, gua kira lu gak ada acara. Tadinya sih gua mau ajak lu ke Jakarta, bareng sama calon istri gua. Mama nanyain dia terus, katanya kangen mau ketemu." Deri beranjak dari duduknya. "Eh, yang lain pada ke mana?"
"Tuh, di ruang makan."
Deri pun langsung menuju tempat di mana keluarga Fadhil tengah menyantap sarapan pagi. Sementara Fadhil, masih diam mematung. Ada rasa sesal menyeruak ke dasar hati saat ia tidak bisa ikut dengan Deri.
Sudah dua kali, dan selalu saja ada halangan setiap kali Bang Deri mengajakku untuk menemui calon istrinya. Haah, mungkin belum waktunya.
Seandainya Fadhil tidak ada acara yang mengharuskannya pergi, mungkin ia akan dengan senang hati ikut Deri ke Jakarta. Hitung-hitung liburan, sekalian me-refresh otaknya yang sudah suntuk. Fadhil juga penasaran pada sosok yang membuat Deri berani melabuhkan hatinya. Seorang yang begitu sempurna di mata sang sepupu.
💞💞💞
"TETEH!"
Shila yang tengah mengemas barang ke dalam tas diam sejenak saat gendang telinganya menangkap satu suara yang membuat pengang. "Bentar, Re," jawab Shila santai.
"CEPETAN, UDAH SIANG NIH!"
Mendengus kesal karena ulah adiknya yang masih saja berteriak. Reva itu cantik, tapi terkadang Shila selalu tidak habis pikir jika sudah menghadapi wataknya yang mendadak barbar seperti sekarang. Anehnya, di depan lelaki Reva akan tampak anggun. Namun jika sudah masuk kandang pribadi, kebiasaan buruknya akan kumat.
"TETEH IH, BURUAN! AKU UDAH LUMUTAN NIH DARI TADI NUNGGUIN!"
Tidak kuat mendengar ocehan Reva, Shila sampai harus menutup telinganya rapat-rapat. "Heran deh sama anak satu itu, bisanya teriak-teriak mulu. Gak takut apa pita suaranya putus? Orang-orang juga kenapa gak ada yang inisiatif tegur dia sih?"
"TETEH INI MAS DERI UDAH DATANG, CEPETAN KATANYA, TAKUT JALANAN MACET!"
Mendengar nama Deri disebut, secepatnya Shila bergegas. Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya terlebih dahulu, Shila langsung menjinjing tas berukuran besar keluar.
Begitu sampai di teras depan, Shila mengedarkan pandangan. Mencari sosok Deri yang katanya sudah datang. Namun, sejauh mata memandang, Shila sama sekali tak menjumpai Deri di sana.
Tatapan sengit mulai dilayangkan Shila pada Reva. Sementara yang ditatap, malah menampilkan senyum tak berdosa.
"Berani-beraninya ya kamu bohongin Teteh." Tangan Shila sudah terulur, hendak menggelitik tubuh Reva.
Belum juga rencananya berjalan, sebuah mobil berwarna hitam tampak memasuki pelataran rumah. Alhasil, Shila mengurungkan niat karena kehadiran yang ia tunggu sejak tadi.
"Assalamualaikum, sudah menunggu dari tadi?" Tanya Deri begitu keluar dari mobil.
"Wa alaikumsalam warahmatullah, Mas. Enggak kok, kita juga baru selesai kemas barang."
Hanya Reva saja yang menjawab salam Deri, sebab Shila malah tak berkutik dengan pandangan lurus ke depan. Terpana pada sosok pria yang berdiri tepat di hadapannya. Melihat Deri dengan tampilan non formal seperti itu, membuat Shila kehilangan kesadaran.
"Teh, kalem atuh ningalina (Teh kalem dong liatinnya). Iya tau kok Mas Deri ganteng, tapi tatapannya gak usah berlebihan gitu, sampai lupa jawab salam segala." Reva berbisik tepat di telinga Shila.
Astaghfirullahal'adzim! Tundukan pandanganmu, Shila!
Saat itu juga wajahnya tertunduk. Menyadari kalau perbuatannya tadi sudah melampaui batas.
"Kenapa Shil, kamu terkesima melihat saya?"
"Emmm, maaf, Pak. Saya ... emmm, buk-kan, eh, saya...."
"Tuh kan, tuh kan, gugup, kan. Alah si Teteh baru dihadapkan sama yang beginian aja sampai gak bisa ngomong. Tinggal bilang aja yang sejujurnya kalau hari ini Mas Deri itu ganteng banget, apa susahnya sih."
Ingin sekali Shila menjitak kepala Reva saat itu juga. Namun rasanya tidak pantas jika harus berkelahi di depan orang lain. Selain barbar, Reva juga tipikal orang yang sok tahu, jangan lupakan bibirnya yang seperti panci bocor itu.
"Sudah, jangan dibahas." Deri tersenyum penuh arti. "Jadi sekarang bagaimana, semuanya sudah siap?"
"Sudah, Pak."
"Baik, tapi sebelum berangkat, boleh saya bertemu Bapak sama Ibu? Saya ingin pamit pada mereka."
Shila mengangguk. Lantas, secepatnya ia membawa Deri masuk agar bisa bertemu dengan kedua orang tuanya.
💞💞💞
Malam kembali menyapa, memberikan kesempatan pada setiap insan untuk beristirahat menghilangkan penat. Menggiring rembulan beserta para pengikutnya yang siap menghiasi langit malam.
Di pinggiran kota Bandung yang jauh dari keramaian, Fadhil duduk di teras rumah dengan pandangan menerawang ke atas sana. Jiwanya seolah kosong. Namun, benaknya tak pernah kosong dari memikirkan hal yang membuatnya jenuh.
"Jadi ceritanya lu gak mau pulang, Dhil?"
Fadhil menengok sekilas ketika Fahmi duduk di sampingnya. "Gua masih malas pulang. Kalau gua pulang, Mama pasti akan kembali mendesak gua untuk secepatnya mencari calon istri."
"Ya gak papa kali Dhil, hal yang normal kalau orang tua memaksa anaknya untuk segera menikah. Apalagi kalau melihat anaknya udah mapan, seperti lu. Pasti mereka akan bawel setengah mati."
Dengan sengaja, Fadhil mengacak rambutnya frustrasi. Lalu, dengusan napas melelahkan lolos dari hidungnya.
"Kadang gua suka heran sama nyokap, apa maksudnya coba dia memaksa gua untuk menikah cepat-cepat?"
"Mungkin ibu lu udah bosan kali melihat anak sulungnya ngejomlo sepanjang tahun," kata Fahmi berusaha menahan tawa.
"Maksud lu?" Wajah Fadhil berubah sangar.
"Iya coba aja lu bayangin, bertahun-tahun lu ngejomlo, gak pernah dekat sama satu cewek pun, dan gak mau buka hati untuk cewek mana pun. Itu bisa jadi membuat ibu lu dihantui pikiran-pikiran buruk tentang lu. Lebih lagi saat kerabat bertanya tentang hal paling sensitif seperti pernikahan, pasti ibu lu bingung harus jawab apa."
Kali ini, Fadhil malah memberengutkan wajah. "Anaknya Mama, kan bukan cuma gua doang, masa gua terus yang jadi sasaran."
"Masa harus Husna yang jadi sasaran? Semua orang, kan tau dia masih kuliah. Lagi pula, emangnya lu mau dilangkahi sama adik cewek lu? Terus si Akmal. Dia lebih jauh lagi. Masa masih SMP harus ditanya 'kapan nikah?' kan gak cocok."
Fadhil tertawa kecil karena Fahmi mulai jengkel menghadapi sikapnya. Perlahan, tangannya terulur. Hendak merangkul Fahmi yang selama ini sudah setia mendengar setiap keluh kesah dirinya dalam mengarungi kehidupan.
"Mi, lu kan juga udah mapan. Apalagi kerjaan lu gajinya lebih besar daripada gua. Apa nyokap lu pernah memaksa lu untuk menikah secepatnya?"
Sebelum menjawab, Fahmi menatap sahabatnya lebih dulu. Lantas, ia beranjak. Karena ingin meminum kopi yang sengaja ia simpan di atas meja.
"Kadang kalau penyakit cerewetnya kumat, Ibu juga suka begitu. Tapi sebisa mungkin gua beri dia perhatian. Kalau gua belum mau menikah, dikarenakan masih banyak hal yang belum bisa gua capai. Lebih lagi kerjaan gua gak kenal waktu. Gua perlu mencari cewek yang bisa mengerti kesibukan gua."
Fadhil cukup mengangguk untuk menanggapi perkataan Fahmi yang panjang. Karena sekarang Fahmi sudah duduk di kursi, Fadhil pun harus menghampirinya, agar ia bisa lebih jelas dalam mendengar cerita sang sahabat.
"Kata orang, jadi polisi itu enak. Ya, enak. Karena mereka taunya jadi polisi itu banyak uang. Tapi bagi gua, menjadi bagian dari aparat negara, tanggung jawabnya besar. Bahkan nyawa bisa jadi taruhannya. Lu tau kan, Dhil, kalau gua itu bukan tipikal orang yang suka makan gaji buta? Sebelum masalah tuntas, selama itu gua gak bisa tenang, dan selama itu pula gua harus bekerja keras demi menguak sebuah kasus."
Bibir Fadhil tersungging manis. "Semoga kerja keras lu selama ini mendapat imbalan lebih dari Allah, Mi," ujarnya membuat Fahmi mengucapkan kata amin, diiringi ulasan senyum.
"Semoga perkara lu sama ibu lu juga cepat kelar ya. Lu anak sulung, jadi lu yang dituntut untuk berumah tangga lebih dulu."
"Lebih parah lagi sama lu, Mi. Anak tunggal. Jadi ibu lu cuma bisa memaksa lu."
"Biarkan itu jadi urusanku," kata Fahmi dengan suara gagahnya, sampai mengundang gelak tawa dari Fadhil.
Setelah puas, Fadhil terdiam. Begitu pula dengan Fahmi. Keduanya sama-sama bergeming, sibuk memikirkan apa saja yang ada dalam benak. Sampai keadaan menghening, dan hanya bunyi hewan malam yang terdengar saling bersahutan.
"Eh iya, Dhil, sejak kapan ibu lu memaksa lu untuk mencari calon istri? Setau gua, kan beliau itu salah satu ibu yang selalu mengikuti setiap keinginan anaknya, bukan tipe orang tua pemaksa gitu?" Hingga pada akhirnya, Fahmi mengajukan deretan pertanyaan.
"Udah lama, tapi gak tiap saat juga sih. Dia akan memaksa hanya di waktu-waktu tertentu aja. Seperti sekarang, lu tau apa yang membuat Mama terus mendesak gua supaya cepat menikah?"
"Apa?"
"Karena sepupu gua."
"Maksud lu?"
"Cuma gara-gara Mama mendengar cerita Bang Deri yang mau bawa calon istrinya ke Jakarta untuk ketemu keluarganya, dia jadi ikut-ikutan mau seperti itu, Mi. Katanya kapan gua bawa calon istri ke rumah, terus dikenalin sama Mama? Kapan gua nikah, terus kasih cucu buat Mama, dan segala pertanyaan yang jawabannya sama, yang bikin isi kepala gua serasa mau keluar semua. Parahnya lagi hal itu gak berlangsung sebentar, melainkan lama. Sampai sekarang juga kalau gua ada di rumah pasti Mama akan kembali mengajukan pertanyaan yang sama."
Sekarang, giliran Fahmi yang menyimak setiap curahan Fadhil tanpa berniat menyela. Saat ini, sahabatnya itu hanya perlu didengarkan, bukan diberi petuah, apalagi jika harus disangkal.
"Lu tinggal jawab aja kalau calonnya belum ada."
"Kalau gua jawab begitu, yang ada Mama akan menjodohkan gua dengan anak dari teman-teman bisnis Papa."
"Itu lebih bagus lagi." Dengan entengnya Fahmi menimpali.
Pandangan Fadhil sayu seketika. Langit malam bertabur bintang menjadi objek penglihatannya kali ini. Kembali pada adegan sebelumnya, di mana ia menerawang jauh, memikirkan hal yang masih mengganjal dalam benak.
"Dhil, hei." Fadhil terkesiap saat Fahmi menepuk bahunya. "Kenapa sih, kok jadi bengong?"
"Gak papa, gua cuma lagi memikirkan ucapan lu tadi."
"Yang mana?" Bingung, alis Fahmi hampir tertaut.
"Kalau gua dijodohkan sama anak dari temannya Papa, kata lu itu jauh lebih bagus."
"Ya, emang itu lebih bagus. Daripada sekarang lu harus susah cari cewek yang lu sendiri gak dapat-dapat, mending terima aja yang dikasih sama orang tua lu."
Tangan Fadhil mulai menjambak rambutnya yang sudah kusut. "Ini bukan soal susah, atau gampang, Mi. Ini soal perasaan. Gua gak mau kalau seandainya gua harus nikah sama cewek yang gak gua sukai."
"Semua, kan butuh waktu, kalau lu udah terbiasa dekat, rasa itu akan hadir dengan sendirinya. Seperti halnya rasa yang lu miliki untuk si ... Shila. Semuanya hadir tanpa lu sadari, kan, dan rasa itu datang akibat lu yang terbiasa dekat sama dia."
Mendengar nama itu disebut, tak pelak jiwa Fadhil terguncang. Pikirannya pun turut melanglang buana pada setiap kejadian yang sudah menjadi kenangan. Tentang pertemanan, yang berujung tak saling kenal.
"Sampai kapan ya Mi, dia jadi bayang-banyang gua?"
"Lu masih mengharapkan dia?"
Fadhil menyeringai, karena pertanyaannya malah dijawab dengan pertanyaan. "Mengharapkan. Apa yang bisa gua harapkan dari dia? Cintanya? Gak mungkin." Senyumnya berubah kecut, lalu, diminumnya air yang masih penuh dalam gelas. "Dia udah banyak menderita gara-gara gua, jadi gua cukup tau diri. Sebesar apa pun rasa yang gua miliki untuk dia, itu gak cukup untuk mendapatkannya, dan gak cukup untuk menebus segala kesalahan yang gua perbuat ke dia."
"Kalau lu udah tau akan seperti itu, kenapa lu masih menjadikannya sebagai tujuan?"
"Gua gak pernah menjadikan dia sebagai tujuan, Mi. Gua cuma bingung gimana caranya gua mengakhiri semua ini. Rasa bersalah, menyesal, rindu, bahkan rasa yang gak gua inginkan untuk hadir, bersatu di sini." Dengan kuatnya Fadhil menunjuk dada. "Sekarang gua tanya sama lu, apa lu bisa bantu gua untuk menghilangkan semuanya?"
Sepasang mata Fahmi menatap lurus ke dalam bola mata Fadhil. "Yakin, Dhil. Itu yang harus lu lakukan. Kalau lu bisa yakin sama diri lu sendiri, semua rasa yang lu miliki akan hilang secara perlahan."
"Sayangnya apa yang lu katakan itu gak semudah memakan kue ini," kata Fadhil seraya memasukkan kue ke dalam mulut. "Berapa tahun sih, gua gak ketemu sama dia? Bertahun-tahun, Mi. Itu harusnya cukup membuat gua lupa sama kejadian-kejadian yang gua lewati bersama dia. Nyatanya, semakin ke sini, bayangan dia semakin tampak nyata. Apalagi saat beberapa Minggu yang lalu dia malah mengirimi gua pesan, itu semakin membuat perasaan gua gak karuan."
"Dia kirimi lu pesan? Apa isinya, Dhil?" Fahmi bertanya antusias.
"Isinya cuma sebatas minta maaf sih, tapi tetap aja itu mengganggu pikiran gua, dan membuat mimpi itu lagi-lagi datang."
"Gua punya cara supaya lu terbebas dari masa lalu, yang mengungkung lu selama ini," tutur Fahmi yang membuat alis Fadhil terangkat sebelah. "Temui dia, dan luruskan semua kesalahpahaman yang ada. Minta maaf. Kalau perlu utarakan perasaan yang lu pendam selama ini---"
"Lu yang benar aja Mi, masa iya gua harus mengatakan yang sejujurnya."
"Lu dengerin gua dulu," sanggah Fahmi merasa tak terima ucapannya disela. "Ini kesempatan baik untuk lu. Dia berani meminta maaf, itu artinya dia udah menerima semua yang terjadi di antara lu sama dia. Sekarang, giliran lu yang maju, meminta maaf secara langsung. Kalau seandainya dia masih sendiri, sekalian lu bilang tentang perasan lu. Tapi kalau dia udah punya pilihan, ikhlaskan semuanya. Berarti dia bukan jodoh lu."
"Gimana kalau dia gak mau menerima kehadiran gua?"
Embusan napas pasrah keluar dari mulut Fahmi. "Yakin Dhil, jangan pesimis seperti ini. Sekarang lu udah dewasa, bukan saatnya lagi jadi pengecut. Tunjukkan kalau lu bisa jadi Fadhil yang hebat, kuat, dan gak gampang mengeluh seperti sekarang."
Asupan semangat dari Fahmi menjadi penutup pembicaraannya malam ini. Merasa tak ada lagi yang ingin disampaikan, Fahmi lekas masuk ke dalam rumah. Sementara Fadhil, masih betah duduk di sana, dengan berbagai pikiran yang semakin tak terarah.
💞💞💞
5 Syawal 1441H
Setelah sekian hari tak menyapa, akhirnya kalian bisa kembali berjumpa. Dengan Shila yang cantik jelita, dan Deri yang amat memesona.
Lalu Fadhil? Dia mah penulis punya 😂😂
Abaikan kata-kata absurd di atas. Author cuma sekadar iseng.
Oke guys, berhubung sekarang masih suasana lebaran. Maafin author ya.
Pembaca sekalian juga udah author maafin kok😁😁 apalagi yang gak pernah kasih vote sama komen. Gak papa, mungkin lupa. Iya, aku maafin.
Salam
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro