12. Rahasia Gadis Belia
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Cinta tak terbalas itu, bukan karena dia yang tidak peka, melainkan kamu yang terlalu berharap padanya. Ingat kan? Bahwa berharap pada selain Tuhan hanya akan mendatangkan kekecewaan.
***
Di tengah derasnya air hujan yang mengguyur kota Bandung, Fadhil berdiri di balik jendela kamar. Menatap setiap rintikan hujan yang jatuh membasahi halaman rumahnya.
Seharusnya saat ini Fadhil sudah ada di rumah sakit. Namun, karena hujan yang tak kunjung reda, ia harus rela berdiam diri di rumah. Sendirian.
Tatkala sedang asyik bercengkerama dengan hujan, mendadak pikirannya melanglang buana pada kejadian tadi siang. Bibir Fadhil kembali mengembang, merasa aneh karena disebut sebagai 'Pangeran Ar Rahman' oleh orang tak dikenal.
Mengingatnya, membuat Fadhil penasaran. Apa maksud dibalik wanita itu sampai harus memberi landihan 'Pangeran Ar Rahman'? Mungkinkah karena keadaannya yang saat itu tengah melantunkan surah Ar Rahman?
Masuk akal, batin Fadhil, lantas mengangguk pelan.
Berjalan menghampiri meja tempat ia bekerja, dan duduk menghadap laptop yang terbuka. Jarinya mulai menggeser cursor laptop sehingga berjalan ke bawah. Mencari file dokumen yang berisi tugas para siswa.
Baru juga beberapa detik menjelajahi laptop, pikiran Fadhil harus teralihkan pada buku yang tergeletak di atas meja. Membaca judulnya, memancing rasa penasaran itu muncul.
Buku yang berisi petuah-petuah dari seorang imam dalam mengarungi alur kehidupan di dunia. Motivasi dan harapan agar orang-orang yang membaca buku itu bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Buku yang bisa menghibur sekaligus memberi pengertian untuk mereka yang tengah ditimpa suatu musibah dan kesedihan.
LAA tahzan, sesungguhnya kehidupan dunia itu fana, sementara akhirat kekal.
Perlahan, Fadhil mulai membuka setiap lembar buku itu. Sampai pada saat ia hendak membuka bagian tengah, sesuatu tampak menyembul keluar. Sebuah kertas yang dilipat hingga membentuk persegi panjang.
"Teruntuk Pangeran Ar Rahman ku?" Begitulah bunyi tulisan yang tertera di kertas itu. "Pangeran Ar Rahman. Itu artinya ... si pemilik buku ini adalah wanita yang tadi mengintipku saat di masjid. Kalau begitu, wanita yang tadi tertidur dengan wanita yang menabrakku, adalah orang yang sama. Ah, ya Allah." Fadhil mendengkus.
"Kalau tahu dia orangnya, mungkin sudah kukembalikan buku ini." Kali ini rambutnya diacak asal. "Coba kubuka kertasnya, siapa tahu di sini aku bisa menemukan petunjuk tentang gadis itu," kata Fadhil masih bermonolog.
Tak ingin membuang waktu, segera saja Fadhil membuka lipatan kertas tersebut. Tepat setelah kertas terbuka, matanya sudah disambut oleh barisan tulisan tangan yang begitu apik, hingga membuat dirinya sendiri terkesima.
10 September 2012
Dear Pangeran Ar Rahman...
Salam rindu semoga lekas tersampaikan padamu. Dariku, calon pelengkap tulang rusukmu.
Kenapa tulisannya seperti tidak asing? Ini persis seperti tulisan... Menggeleng cepat, hanya untuk menyangkal pikiran absudrnya. Tak ingin larut dalam keadaan yang membuatnya bingung, Fadhil menyambung aktivitas membacanya.
Ya, aku tahu, mungkin tulisan ini terlalu aneh. Sebab aku malah menuliskan sebuah surat untuk seseorang yang belum kuketahui wujud serta keberadaannya.
Meski aneh, tolong jangan menertawakan ku. Di sini aku hanya ingin mencurahkan segala isi hatiku, harapan, serta mimpi yang akan kita bangun bersama kelak.
Seandainya kamu tahu, aku hanyalah gadis belia berusia 18 tahun, yang mendamba cinta dari seorang pria sepertimu. Cinta yang dapat membawaku dekat dengan sang pencipta. Cinta yang bertujuan hanya untuk meraih ridha-Nya.
Aku pernah terluka, akibat kecerobohan dalam mengartikan sebuah kata cinta. Ya, cinta yang kumiliki telah ternoda. Namun harapanku bisa mendapatkan cinta suci darimu. Apakah itu adil?
Mungkin tidak, tapi bersamamu, aku memiliki harapan besar dalam meraih sebuah cita dan cinta. Dan tentang luka yang masih menganga, aku berharap kamu bisa menjadi pengobatnya.
salam,
Wardatul
Fadhil kembali melipat kertas itu dan menyimpannya di tempat semula. Menyugar rambut, kemudian mengembuskan napas yang mendadak terasa berat. Tulisan itu dibuat 6 tahun silam. Khusus dipersembahkan gadis itu untuk imam pilihannya kelak.
Terluka, akibat kecerobohannya dalam mengartikan sebuah kata cinta? Shila...
Gadis itu pun pernah terluka. Karena terlalu berlebihan dalam mengharapkan cinta dari orang seperti Fadhil. Selalu menyamaratakan perempuan, Fadhil sampai tidak menyadari bahwa ada satu orang yang terluka disebabkan perhatiannya yang tak seberapa.
Sekarang, malah dirinya yang mengharapkan cinta dari Shila. Cinta yang mungkin sudah sirna dari hati gadis itu. Terlalu takut dengan segala kemungkinan yang akan ia terima, membuatnya rela memendam rasa selama bertahun-tahun.
Pengecut!
Setelah merasa sedikit lebih tenang, Fadhil membuka lagi buku yang dipegangnya. Begitu sampai pada akhir halaman, ia mendapati sebuah catatan yang ditulis tangan. Mungkin si pemilik buku ini sangat suka merangkai sebuah kalimat. Sampai tulisannya bisa Fadhil jumpai di setiap halaman.
Yang membuatnya penasaran pada tulisan kali ini adalah, setiap kalimatnya yang panjang. Tidak seperti tulisan-tulisan sebelumnya yang hanya tiga atau empat kata. Tulisan ini lebih terlihat seperti curahan si pemilik.
Wahai hati, tolong jangan mudah terpedaya. Aku sudah lelah mengobatimu, jika seandainya kamu terluka. Lagi.
Ingat! Ini salahku, yang terlalu asyik dengan perasaan sendiri. Sampai aku tidak menyadari, kalau aku tengah menggoreskan luka di hati.
Sekarang...
Semuanya berakhir. Aku memutuskan pergi, sebelum perpisahan itu terjadi.
Tepat. 17 Januari 2012. Aku tidak ingin mengenalmu lagi.
FHF. Nama yang dulu selalu kugaungkan dalam setiap bait doa. Menjadi nama yang paling tidak ingin aku menyebutnya.
Berhenti di situ, dengan pandangan menatap lamat-lamat tiga huruf dalam kalimat tersebut.
FHF. Fadhil Haikal Firdaus. Persis seperti inisialku. Tapi apakah mungkin buku ini....
Kembali menggeleng, kemudian menutup buku yang dipegangnya dengan kasar. Deru napasnya semakin tak beraturan. Fadhil merasa dadanya sesak, seolah benda tak kasat mata tengah menghimpitnya tanpa ampun.
Tarikan napas panjang dilakukan Fadhil. Berharap rongga paru-parunya bisa mendapat ruang untuk bernapas. "Ya Allah, kenapa rasanya sakit sekali? Aku tidak tahu siapa pemilik buku ini, tapi semua isi yang ada benar-benar telah menampar kesadaran ku. Aku telah menyakitinya, aku telah menggoreskan luka di hatinya."
Tangan Fadhil sengaja ia gunakan untuk menutupi wajah kusutnya. Sekian menit kemudian, setelah perasaannya jauh lebih tenang, Fadhil bangkit. Menyimpan buku itu di rak, lalu melenggang keluar kamar, hendak pergi ke rumah sakit.
Aku tidak boleh kalah! Aku tidak boleh lemah hanya karena sebuah masalah! Kamu kuat, Dhil! Kamu bisa menyelesaikan semuanya.
Suara hati Fadhil yang memberi semangat pada diri, sedikitnya telah mampu meringankan langkah kaki. Mulai sekarang, ia harus benar-benar menghadapi kenyataan. Bukan Fadhil namanya jika mudah terpuruk dalam setiap keadaan.
💞💞💞
Hari sudah semakin malam, tapi hujan masih menjadi teman setia bagi Shila yang tengah gundah gulana akibat memikirkan bukunya yang hilang. Ia sudah mencoba bertanya pada Najma, barangkali bukunya tertinggal di meja kantin, dan Najma kembali mengambilnya. Namun, Najma sama sekali tidak melihat buku itu, bahkan sampai dirinya pulang.
Itu artinya, buku Shila memang terjatuh. Tepat saat adegan tabrakan di pelataran masjid kampus tadi siang. Bisa jadi, orang yang ia tabrak telah mengambil bukunya, dan membawanya entah ke mana.
Jika iya, kenapa tidak langsung mengembalikannya padaku? Dasar....
Tak terhitung sudah berapa lama Shila mondar-mandir keluar masuk kamar, dan kembali membaringkan tubuh di atas kasur. Perasaannya tak karuan hanya karena sebuah buku. Tidak! Lebih tepatnya hanya karena sebuah catatan yang ada dalam buku itu.
"Bagaimana kalau buku itu tidak bisa kembali?"
Mengerang, lantas mengusap wajahnya kasar. Merasa hatinya semakin kacau, Shila menyambar kerudung yang menggantung di pintu.
"Mau ke mana, Shil?"
Badan Shila berbalik saat mendapat pertanyaan dari Bu Ema. "Mau ke rumah Reva dulu ya, Bu," jawabnya seraya meminta persetujuan.
Setelah mendapat anggukan dari Bu Ema, Shila berjalan gontai keluar rumah.
"Assalamu'alaikum," ucap Shila begitu sampai di depan pintu rumah Reva. Karena tak ada sahutan dari dalam, Shila memutuskan masuk. "Assalamualaikum." Sekali lagi Shila beruluk salam.
"Wa'alaikumsalam. Eh, ada Shila."
Shila menoleh ke arah samping, dan mendapatkan Hera tengah berjalan mendekatinya. "Reva ada, Bi?" Tanya Shila selanjutnya.
"Ada di dalam, lagi main sama Zulfa, ada Teh Intan juga."
"Shila masuk ya."
"Ya udah ayo, Bibi juga mau masuk."
Keduanya sama-sama berjalan menuju ruang tengah. Tanpa berucap sedikit pun, Shila langsung duduk di sofa dengan wajah yang masih suntuk.
"Kamu kenapa, Shil?" Pertanyaan pertama yang Shila dapatkan dari Intan.
"Gak papa," jawab Shila seadanya sambil menelisik ruangan, mencari keberadaan Reva.
"Gak papa, tapi kok mukanya kusut begitu?"
Menghela napas, lantas menimpali ucapan Intan. "Aku lagi gak mood aja. Dan katanya, orang yang lagi gak mood itu gak boleh diberi banyak pertanyaan."
Bibir Intan mengerucut kesal. "Kalau gak mau ditanya, kenapa malah ke sini?"
"Bosan diam terus di rumah, gak ada kerjaan. Oh iya, Reva ke mana sih, kok gak kelihatan?"
"Ada apa nanyain aku, kangen ya?" Tiba-tiba Reva keluar dari kamar, dan langsung duduk di samping Shila.
"Ih, percaya dirimu itu terlalu akut, sayang." Shila mendelik sebal pada Reva.
"Udah, kalau kangen bilang aja, gak usah dipendam gitu. Nanti jerawatan loh."
"Zulfa di mana?" Shila memilih mengalihkan pembicaraan.
"Tidur."
"Jadi ceritanya dia mau nginep di sini?"
Tak ada yang menjawab. Reva malah menatap Intan lama. Sementara Intan, hanya mengangkat bahu tak acuh. Seketika, suasana hening begitu saja. Membuat tetesan air hujan yang jatuh dari atas genting terdengar nyaring.
Kuruyuukk, kuruuyuuukk, kuruuyyuuk.
Reva dan Intan saling berpandangan saat mendengar suara tak asing dari dalam perut seseorang. "Apa?" Dengan polosnya Shila bertanya ketika dua orang itu menatapnya intens.
Tak lama, sudut bibir mulai berkedut. Menahan tawa yang kapan pun bisa saja membuncah.
"Ada yang lapar ya?" Mendadak Hera bertanya setelah dirinya keluar dari kamar.
Saat itulah tawa dari bibir Intan dan Reva berderai. Membuat Shila harus menyembunyikan wajah demi menahan malu.
"Berapa tahun kamu gak makan, Shil?" Tanya Intan disela tawanya yang masih berderai.
Shila tak menjawab, ia malah semakin membenamkan wajahnya yang sudah merah di atas pangkuan Reva. "Teh ih, geli tau." Reva bergeser ke arah kursi yang masih kosong.
Mendongak, dan langsung mengedarkan pandang. "Ada makanan gak, Bi? Shila mau makan," pinta Shila begitu melas.
Sambil mengulum bibir agar tidak tersenyum, Hera berkata, "Ada tuh, di dapur. Sana makan dulu, kasihan itu cacingnya udah pada demo."
Shila pun beranjak menuju dapur. Begitu sampai di depan meja makan, ia segera membuka tudung saji. Mengambil nasi secukupnya, beserta lauk pauk yang ada. Saat tengah asyik memilih lauk, teriakan Reva dari dalam menyapa pendengaran.
"MAKANYA TEH, KALAU PUNYA PIARAAN ITU DIRAWAT, BIAR GAK BIKIN MALU," katanya disusul gelak tawa dari semua orang.
Karena terlalu lapar, Shila tak ambil pusing ucapan Reva. Awas kamu, akan kubalas nanti.
"Siapa yang tadi bilang Teteh punya piaraan?" Tanya Shila sekembalinya dari dapur. Menggunakan isyarat mata, Intan menunjuk pada Reva. "Coba buka mulut kamu, Re."
"Mau ngapain?"
"Kamu itu kan peliharaan Teteh, jadi kamu juga harus Teteh kasih makan, supaya ngomongnya gak melantur ke mana-mana. Ayo sini, buka mulutnya." Satu sendok sambal mulai disodorkan Shila pada Reva.
"Ih, apaan sih, Teh!" Reva hendak beranjak, tapi dengan cepat Shila mengunci tubuh adik sepupunya itu agar tetap berada di tempat.
"Ayo makan kamu, biar otaknya gak korslet."
"Iya kali aku harus makan satu sendok sambal."
"Ini, kan emang makanan kamu. Ayo, sini."
"Gak mauuuuu! Aaaaa, Mama! Tolong aku!"
"Shil, udah dong, katanya mau makan, tapi kok malah becanda gitu?"
Setelah mendapat teguran dari Hera, barulah Shila menghentikan tingkah konyolnya. Tak ingin cari masalah, secepatnya ia melahap makanan yang dibiarkannya sejak tadi.
Baru juga beberapa suapan, fokus Shila harus teralihkan pada seseorang yang mengetuk pintu. "Siapa?"
"Coba aku cek." Reva beranjak. "Teh Shila, coba tebak, siapa yang datang," kata Reva begitu ia kembali.
"Siapa sih?" Tanya Shila dalam keadaan mulut penuh makanan.
"Assalamualaikum."
Seketika Shila tersedak tatkala melihat sosok tegap tinggi berjalan memasuki ruang tengah. Semua orang yang ada di sana kompak menjawab salam. Lain lagi dengan Shila yang malah sibuk mencari air demi mengakhiri rasa perih yang menyerang tenggorokannya.
"Ya Allah, Shila, makanya kalau lagi makan itu jangan sambil bicara."
Mendadak Shila jadi kesal pada Intan. Saat ini dirinya membutuhkan air, bukan ceramahan atau wejangan yang semakin menambah rasa sakit di tenggorokannya.
"Ini, minum dulu."
Tak berpikir panjang, Shila langsung menyambar air yang disodorkan Deri.
"Terima kasih, Pak," kata Shila begitu batuknya reda.
"Makanya jadi orang itu jangan suka usil. Kualat, kan?"
Tatapan sengit Shila layangkan pada Reva. Untung ada Pak Deri, kalau enggak, habis kamu, Re!
"Mau ke mana, Shil?" Tanya Intan saat melihat adiknya beranjak.
"Mau ke dapur, nyimpan piring."
"Makannya gak dilanjut?"
Shila menatap takut pada Deri. Jauh di lubuk hati terdalamnya, ia sangat ingin melahap habis makanan di piring. Namun kedatangan Deri telah berhasil menghilangkan selera makan yang ada.
"Nanti disambung lagi." Hingga akhirnya kata itulah yang meluncur dari bibir Shila.
"Gak papa, Shil. Kamu kalau lagi makan, selesaikan saja dulu makannya. Saya gak papa menunggu."
"Udah malam, Pak. Kasihan kalau Bapak harus menunggu."
Menanggapinya, Deri mengulas senyum penuh arti. Setelah Shila menghilang dari pandangan, kembali ia fokuskan matanya pada orang yang ada di sana.
"Eh iya, duduk dulu, Der." Hera menggiring Deri agar duduk di sofa. "Shila, sekalian bawa minum untuk Deri!"
"Terima kasih, Bi," ungkap Deri setelah mendaratkan tubuh sepenuhnya di sofa.
Kini, Shila sudah kembali. Dengan membawa secangkir teh hangat manis, dan beberapa temannya. "Diminum, Pak." Deri cukup mengangguk sekali. "Oh iya, Bapak tau dari mana kalau saya ada di sini?"
"Masih manggil Bapak aja? Gak mau berubah jadi Mas, gitu," goda Intan membuat Shila mati kutu.
"Gak papa kamu mau panggil saya apa pun, asal kamu nyaman saja." Merasa menang, Shila sampai menjulurkan lidahnya ke arah Intan. "Untuk pertanyaan kamu yang tadi, sebelumnya saya sudah datang ke rumah kamu, tapi kata Ibu, kamu ada di sini. Ya sudah saya langsung ke sini."
Selesai menyimpan camilan di atas meja, Shila ikut duduk. "Ada perlu sama saya, Pak?"
"Iya."
"Kok sampai datang kemari?"
"Loh, memangnya kenapa, gak boleh ya?"
"Mmmm, bukan begitu maksud saya, Pak." Shila mulai gelagapan. "Maksudnya ... sepenting apa urusan itu sampai Bapak rela datang kemari malam-malam? Padahal, kan Bapak bisa hubungi saya via telepon."
"Tidak terlalu penting, hanya saja ... rindu yang membutuhkan temu, itu yang paling penting."
"Hah?" Raut wajah Shila berubah cengo.
"Cieeee, Mas Deri kangen tuh sama Teh Shila."
"Ekhem ekhem ekhem. Cicuit cicuit." Hera turut berpartisipasi.
Godaan demi godaan pun mulai menyapa telinga Shila. Apalagi Reva, tentu dia yang paling senang membuat wajah Shila merah karena malu.
"Jangan terlalu dianggap, Shil, saya hanya bercanda."
"Beneran juga gak papa, Mas. Malahan Teh Shila senang karena bisa digombalin sama Mas Deri. Iya gak, Teh?"
Shila mendelik tajam, tanda ia tidak suka atas sikap Reva yang terlalu vulgar. "Gak usah didengerin, Pak. Kadang si Reva ini emang suka ngaco ngomongnya, perlu dikasih hadiah," katanya geram.
"Reva, Shila, udah gak usah diperpanjang. Kasih kesempatan Deri untuk bicara. Kasihan, sekarang udah malam," tegur Intan yang dibalas anggukan oleh Shila. "Jadi ada apa, Der?"
"Begini Teh, hari Minggu besok, saya mau pulang ke Jakarta. Tapi Mama meminta saya untuk membawa serta Shila, itu pun kalau Shila sedang tidak ada urusan. Kata Mama, beliau rindu ingin bertemu."
"Bagaimana, Shil, mau ikut?"
Shila bergeming sesaat. Lantas, ia bertanya, "hanya kita berdua, Pak?"
"Oh, enggak. Kamu bisa ajak Reva kalau mau, dan saya akan ajak adik sepupu saya yang kebetulan tinggal di Bandung. Jadi kita ramai-ramai pergi ke Jakarta."
"Mau Mas, mau. Mau banget."
Memutar bola mata ketika Reva main menjawab begitu saja. Adik sepupu Shila ini memang selalu banyak tingkah. Setiap hal yang ia putuskan seperti tidak pernah dipikirkan lebih dulu. Yang ditanya siapa, yang jawab siapa.
"Shila bagaimana?"
"Mmmm, saya harus bilang dulu sama Ibu."
"Tadi saya sudah bicara dengan Ibu dan Bapak, kata mereka, semua terserah kamu."
Bibir Shila membulat. "Begitu ya, Pak. Insya Allah saya akan ikut, kalau misalkan Minggu besok saya lagi gak ada acara."
Deri mengangguk. "Baik kalau begitu, saya bisa kasih tahu Mama secepatnya." Menjeda ucapannya, karena hendak melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. "Sudah malam, saya pamit ya."
"Gak diminum dulu Mas, tehnya. Kasihan loh dari tadi dianggurin terus, itu kan spesial buatan Teh Shila untuk Mas Deri."
"Oh iya, saya lupa. Kalau begitu, saya minum dulu ya." Deri kembali duduk, dan mengambil cangkir berisi teh yang sudah tidak terlalu hangat. "Manis, persis seperti yang buat," ungkapnya seraya melihat sekilas pada Shila yang tengah menunduk.
"Aaaaa, aku terbang!" Tiba-tiba Reva menjerit histeris. "Ya Allah, Teh Intan, pegangin Teh, aku masih mau di bumi!"
"Hush, berisik Re, Zulfa sedang tidur."
"Eh, iya Teh, maaf. Saking bapernya aku sampai gak sadar."
Menyaksikan itu, Shila hanya mampu menggeleng maklum. "Maafkan atas kegaduhan yang dibuat Reva, Pak."
"Iya, gak papa. Saya bisa memaklumi." Diam beberapa saat, Deri pun langsung bangkit. "Untuk sekarang, saya benar-benar akan pulang. Tolong sampaikan salam saya pada Bapak dan Ibu ya."
Setelah mendapat anggukan dari Shila, dan pamit pada Intan juga Hera, Deri lekas berjalan keluar. Tentu dengan Shila di belakangnya.
"Pak Deri." Napas Shila tertahan kala tubuh Deri berputar menghadapnya.
"Kenapa?"
Ditanya seperti itu, Shila hanya menyunggingkan bibir. Menggeleng pelan, lalu menunduk, menghindari tatapan Deri.
"Saya pulang dulu ya, kamu cepat tidur. Jangan banyak begadang, itu gak baik untuk kesehatan."
Tak ada yang dapat Shila lakukan selain mengangguk. Ingin menimpali, tapi bingung harus mengatakan apa. Entah kenapa, ia seperti kehilangan cara untuk mengucapkan kata. Terlebih saat menyadari organ pemompa darahnya semakin berdetak tak tenang.
"Assalamualaikum."
"Wa alaikumsalam," jawab Shila teramat lirih.
Tepat ketika Deri masuk ke dalam mobil, barulah ia dapat mengangkat wajah dengan leluasa. "Fii amanillah, Pak."
Meski pelan, Deri mampu mendengar apa yang dikatakan Shila. Namun ia tak menyahut. Hanya tersenyum, dan segera menyalakan mesin mobil.
Fii amanillah, untukmu. Calon bidadari dunia akhiratku, ungkap Deri, bersamaan dengan melajunya mobil, meninggalkan halaman rumah.
💞💞💞
1 Syawal 1441H
Alhamdulillah, tak terasa satu bulan sudah kita menjalankan ibadah puasa di tahun ini.
Meski puasa kali ini tak seperti puasa sebelumnya dikarenakan tengah merebaknya virus mematikan, tapi itu sama sekali tak menyurutkan semangat kita untuk tetap Istiqomah dalam menjalankan setiap kebaikan.
Finally, semoga Allah menerima amal ibadah kita selama ini, menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang taat akan segala perintah-Nya. Dan semoga kita masih diberi kesempatan untuk bertemu di Ramadhan berikutnya. Aamiin.
Terakhir banget, author ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya pada kalian para pembaca yang selalu setia menemani dan memberi dukungan selama ini.
Semoga kebaikan kalian Allah ganti dengan yang lebih baik. Yang paling penting, semoga cerita ini bisa bermanfaat dan memberi inspirasi untuk kalian, pembaca setia TAKDIRKU.
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro