Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Bahagiamu, Bahagiaku Juga

Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.

Bahagia itu...
Ketika hidup mampu mencecap manisnya iman, di tengah godaan yang dapat menggoyahkan keyakinan.

***

Shila berjalan menyusuri koridor kampus dengan tergesa. Harapannya saat ini hanya satu, ia ingin segera sampai di ruangan dosen. Sambil berjalan, matanya tak lekang memerhatikan sekitar. Perasaannya ketar-ketir, takut kalau orang yang saat ini sedang ia hindari akan muncul dengan tiba-tiba.

"SHILA WARDATUL AZIZAH!!!"

Shila memekik saat telinganya menangkap suara yang ia hafal. Bunyi melengking dengan suara khasnya yang riang, derap langkah yang terdengar ringan. Ya, Shila hafal betul siapa pemilik suara itu.

Tanpa menunggu lagi, Shila melangkahkan kakinya semakin cepat. Berharap Najma tidak mengejarnya. Namun sayang, kini Najma sudah berdiri di sampingnya dan berhasil menyamai langkahnya.

"Hai hai hai, Assamalu'alaikum, Shila."

Shila berhenti berjalan. "H--hai Najma. Wa'alaikumsalam." Bibirnya terpaksa ia tarik ke samping agar tersenyum.

"Mau ke mana sih, kok buru-buru banget. Dari tadi aku panggil juga gak nengok-nengok."

"Oh ya? Maaf loh, aku gak dengar tadi." Parah kamu Shil, berani bohong ya sekarang.

"Belum dibersihin ya kupingnya," canda Najma sambil terkikik geli. "Mmmm, kita ke kantin yuk."

"A--engh aku ... gak bisa."

Wajah Najma yang awalnya berbinar ceria, seketika muram saat Shila menolak ajakannya. "Kenapa gak bisa?"

"Aku mau ketemu sama Pak Deri, mau kasih tugas."

"Hah!" Najma terlihat kaget. Tangannya langsung mengambil bundelan kertas yang sedang Shila pegang. "Udah selesai? Aaaa ... akhirnya setelah berkali-kali revisi, kamu bisa menuntaskan tugas kamu juga. Ya Allah, hebat banget kamu."

Shila membuang napas jengah. "Iya, kalau misalnya Pak Deri langsung acc skripsi aku. Kalau nyuruh revisi lagi, itu artinya belum selesai, kan?"

Najma menepuk-nepuk pundak Shila seraya berkata, "semangat terus ya, jangan menyerah."

"Punya kamu udah selesai?"

"Hehehe, belum." Shila membuang napas jengah, lagi. "Tenang aja lah, deadline-nya kan masih sebulan setengah lagi, masih lama. Lebih baik sekarang kita ke kantin dulu, yuk. Aku lihat juga Pak Deri seperti belum ada di ruangannya."

"Tau dari mana kamu?"

"Tadi aku habis dari sana."

Kening Shila berkerut. "Terus kenapa kamu munculnya dari belakang aku?"

"Mmmm, kalau itu ... eh aku lapar banget nih belum sarapan, ke kantin yuk, yuk, yuk, yuk. Kamu tenang aja, nanti aku yang traktir deh kalau kamu mau makan. Kamu juga punya utang sama aku."

"Utang? Utang apaan, perasaan aku gak pernah pinjam uang sama kamu?"

"Bukan utang uang, tapi utang penjelasan. Kamu harus jelaskan maksud dari pesan yang Pak Deri kirim malam itu."

Sudah Shila duga, ujung-ujungnya pasti Najma meminta penjelasan tentang itu. Hah, ceritain jangan ya?

"Shil, ayo ah jangan kebanyakan bengong." Najma menarik paksa tangan Shila.

Meski berat, Shila tetap mengikuti langkah Najma menuju kantin. Untungnya, keadaan kantin pagi ini masih belum terlalu ramai, jadi Shila dan Najma bisa duduk di bangku yang sudah biasa mereka tempati.

Setelah duduk dengan nyaman, Najma langsung mencerca Shila dengan berbagai pertanyaan. Tidak ingin kupingnya pegal karena terus mendengar ocehan sang sahabat, Shila langsung saja menceritakan maksud dari pesan itu.

Dengan wajah yang syok bercampur bahagia, Najma terus mendengarkan cerita Shila dengan saksama. Begitu Shila selesai bercerita, Najma langsung membekap mulutnya yang menganga. Jangan sampai ia berteriak di tempat umum. Jika hal itu terjadi, sudah dapat dipastikan, Najma tidak akan mampu mengontrol suaranya.

"Masya Allah Shila, gak nyangka banget. Kok bisa sih Pak Deri melamar kamu, Ya Allah. Kamu kenapa gak kasih tau aku kalau selasa kemarin kamu mau dilamar sama dia. Kalau tau mah mungkin aku bisa datang, sekalian mau mendengarkan suara yang kata kamu merdu itu. Ih kamu curang ah, tapi aku senang banget mendengarnya. Ternyata dibalik wataknya yang galak, Pak Deri punya kepribadian yang semua orang gak tau. Terus juga tanpa basa-basi dia langsung main lamar kamu gitu aja. Duh, gusti jadi pengen nangis. Terharu Najma."

Najma mengusap air yang keluar dari ujung matanya. "Shil, kalau seluruh kampus tahu kamu udah tunangan sama Pak Deri, pasti akan banyak yang patah hati tuh, terutama para cewek yang diam-diam menyimpan perasaan sama dosen tampan itu." Napas Najma terdengar memburu, saking semangatnya ia berbicara pada Shila sampai tenggorokannya langsung terasa kering.

"Kamu janji ya sama aku, supaya gak kasih tau tentang ini sama semua orang."

Setelah menelan makanan yang dikunyahnya, Najma bertanya, "kenapa? Kan bagus Shil, nanti berita kamu bisa jadi tranding topic di kampus kita."

"Aku sama dia baru tunangan Ma, gak baik dipublikasikan. Nanti kalau misalnya sesuatu yang gak diinginkan terjadi, itu bisa jadi aib untuk keluarga kedua belah pihak."

Najma tampak mengangguk beberapa kali. "Okay, don't worry, i can keep a secret."

"Makasih ya."

"Oh iya, kok Pak Deri bisa tau rumah kamu, dikasih tau sama siapa?"

Shila baru menyadari satu hal itu. Ia dia tidak pernah bertanya perihal dari mana Deri mendapatkan alamat rumahnya.

"Iya juga ya, nanti aku tanyain deh."

"Cieee, sekarang kamu mau ketemu sama dia ya. Berarti kamu udah gak benci lagi dong sama dia."

Shila menggeleng diiringi ulasan senyum. "Semenjak dia berhasil memenuhi syarat yang aku ajukan, entah kenapa ... rasa gak suka aku terhadap dia hilang gitu aja."

"Cieee, mulai suka tuh, pasti. Kapan akad sama resepsinya?"

"Satu minggu setelah aku wisuda."

Dengan mulut yang tak berhenti mengunyah, Najma terus bertanya, "bewtwar lawgwi kawmyu ba--"

"Telan dulu makanannya, gak baik ngomong sambil ngunyah."

Glek, makanan yang sedang Najma kunyah langsung ditelan begitu saja. Lantas, sebelum kembali berbicara, dia minum terlebih dahulu karena merasa tenggorokannya kembali kering. "Sebentar lagi kamu akan disibukkan dengan persiapan pernikahan dong?"

"Heem, makanya aku mau cepat-cepat menyelesaikan tugas, supaya kerjaan gak numpuk."

"Nih." Tiba-tiba Najma menyodorkan sebuah buku berukuran sedang ke arah Shila.

"Kok itu seperti buku aku?"

"Itu memang buku kamu." Mendengar pengakuan Najma, Shila langsung menatapnya nyalang. "Kenapa?" Najma menghentikan sejenak aktivitas makannya karena dipandang tak biasa oleh Shila.

"Kapan kamu pinjam buku ini?"

"Udah lama."

"Kamu gak bilang dulu ya mau pinjam buku ini?"

"Hehehe, aku udah bilang tapi waktu itu kamu gak kasih. Terus pas bukunya kamu geletakin gitu aja, ya udah aku masukin tas."

Diusapnya wajah Shila secara kasar. "Kamu baca semua isi bukunya?"

"Iya. Dan isinya itu Masya Allah, rekomended banget. Itu pokoknya buku paling the best yang pernah aku baca. Motivasi untuk orang-orang yang suka sedih seperti kamu, cocok tuh."

Shila berjengit saat mendengar kalimat terakhir Najma. "Selain itu kamu menemukan apa di sini?"

"Gak ada apa-apa."

"Benar?"

"Iya, emang kenapa sih?"

Shila memeriksa sesuatu yang ia selipkan di sana, dan ternyata masih ada. Ia pun mengembuskan napas lega, lalu menggeleng untuk menjawab pertanyaan Najma.

💞💞💞

Pukul sembilan lebih sepuluh menit. Fadhil memilih untuk segera pulang dari sekolah mengingat neneknya yang masih dirawat di rumah sakit. Kebetulan hari ini ia hanya mengisi dua jam pelajaran, jadi sekarang ia bisa lebih lama menunggui sang nenek.

Baru saja Fadhil hendak pergi meninggalkan parkiran sekolah, sebuah pesan masuk di ponselnya, dan memaksa Fadhil untuk membacanya terlebih dahulu.

Bang Deri:
Dhil lagi sibuk gak, kalau enggak, boleh dong kita ketemuan. Di tempat biasa.

Tanpa membalas pesan itu, Fadhil langsung memasukkan kembali ponselnya, dan segera tancap gas. Pergi ke jalan yang berlawanan dengan arah menuju rumah sakit.

Setelah menempuh kurang lebih 30 menit perjalanan, Fadhil berhenti di sebuah kafe yang biasa dijadikan sebagai tempat pertemuannya dengan sang sepupu. Begitu masuk, matanya langsung menelisik ke setiap penjuru kafe. Mencari sosok Deri yang sepertinya belum datang. Sambil menunggu, ia pun memutuskan untuk memesan minuman terlebih dahulu.

Beberapa menit kemudian, yang ditunggu Fadhil akhirnya datang.
"Assalamu'alaikum Dhil, maaf ya gua telat." Deri langsung mengabil posisi duduk di depan Fadhil.

"Wa'alaikumsalam, iya Bang, gak papa, gua juga baru datang," sahut Fadhil sambil menyeruput kopi pesanannya. "Udah pesan, Bang?"

"Udah, tadi sekalian."

"Gimana Bang, acara lamaran lu, lancar?" Dari raut wajah yang ditunjukkan Deri, Fadhil mampu menebak jawaban dari pertanyaannya. "Lu gak diterima, ya?" Seketika itu juga, Deri langsung menghamburkan tawa. "Loh, kok malah ketawa sih, Bang?" Tanya Fadhil, heran.

"Lu, aduh sumpah muka lu lucu banget, Dhil."

"Gua gak ngelucu, Bang, tapi gua nanya acara lamarannya lancar atau enggak?"

"Ya lu biasa aja dong mukanya jangan tegang gitu."

"Gimana gua gak tegang, muka lu mirip orang yang baru ketiban musibah gitu."

Deri masih berusaha menghentikan tawa, namun gagal karena melihat wajah Fadhil yang ditekuk. Sepertinya ia marah karena Deri sudah berhasil menjahilinya.

"Jangan marah dong Dhil, gua kan cuma becanda."

"Iyalah Bang terserah lu aja, asal lu senang, gua juga senang," tutur Fadhil sebelum ia menyeruput coffelate di depannya. "Jadi gimana?"

Deri menyimpan cangkir kopi yang sedang ia pegang. "Alhamdulillah, lancar, Dhil."

Fadhil kembali tersenyum setelah mendengar jawaban Deri yang memuaskan. "Alhamdulillah, selamat ya Bang, gua ikut senang mendengarnya. Oh iya, bisa lu ceritakan, asal muasal sebelum lu khitbah dia? Kok bisa sih orang secuek, sedingin, segalak Abang gua ini mendapatkan mahasiswinya sendiri?"

Deri terkekeh sambil memukul pelan lengan atas Fadhil. "Ceritanya panjang, lu yakin mau dengar gua cerita?"

"Intinya ajalah Bang, gak usah diceritain detailnya."

Sebelum memulai bercerita, terlebih dahulu Deri menarik napas, dan mengembuskannya pelan. Tak berselang lama, mengalirlah cerita dari mulai Deri menambatkan hatinya pada gadis itu, sampai akhirnya ia bisa mengkhitbah si gadis setelah menunggu bertahun-tahun.

"Kenapa lu gak khitbah dia sejak lu kenal sama dia?"

"Gua juga maunya begitu, tapi asal lu tau, waktu gua ada niat untuk khitbah dia sejak awal gua kenal, ternyata saat itu dia udah punya tunangan, dan berencana untuk nikah. Tapi entah ada masalah apa, gua sendiri juga gak tau, tiba-tiba aja ada kabar kalau pernikahannya batal. Saat itu gua senanglah pas dengar kabar itu, tapi gua juga kasihan sama dia, karena semenjak kejadian itu, dia jadi orang yang pendiam, dan gak banyak bicara. Untungnya dia gak selamanya bersikap seperti itu, setelah beberapa bulan dari musibah yang menimpanya, dia kembali jadi pribadi yang cerewet, tegas, dan jutek. Yang jelas, gue senang karena bisa lihat dia tersenyum dengan lepas lagi."

Senyum manis itu tak pudar dari bibir Fadhil. "Semoga dia jodoh terbaik yang Allah kirim untuk lu, Bang," katanya penuh harap.

Deri pun mengaminkan doa Fadhil sepenuh hati. Setelahnya, keadaan sunyi begitu saja. Ketika Fadhil hendak bangkit untuk membeli air mineral, seseorang yang tidak Fadhil kenal datang menghampiri.

"Deri, rupanya kamu di sini."

"Ada apa?" Deri menoleh ke arah samping, mendapati Dimas yang tak lain adalah teman mengajarnya di kampus.

"Tadi mahasiswi yang kamu bimbing nyari-nyari kamu, sepertinya dia mau memberikan tugas akhirnya." Setelah mengatakan itu, Dimas langsung pergi meninggalkan bangku tempat Deri dan Fadhil duduk.

"Dhil, gua ke kampus dulu ya. Ada mahasiswi yang mau ketemu gua. Gak papa, kan?"

"Oh, ya udah, gak papa Bang, duluan aja."

Saat Deri sudah berdiri, ia kembali duduk dengan raut wajah tegang. "Dhil, lu doain gua ya, moga-moga jantung gua gak degdegan kalau nanti gua ketemu dia."

Fadhil mengernyitkan dahi, heran. "Emangnya kenapa Bang, kan lu cuma mau ketemu mahasiswi bimbingan lu. Kok gua sampai harus doa begituan?"

Deri menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Iya, tapi ... asal lu tau, Dhil, mahasiswi yang gua bimbing itu adalah ... tunangan gua," ucapnya dengan nada lirih diakhir kalimat.

"Apa lu bilang?" Fadhil terkejut, sampai ia memekik kuat.

Setelah menyadari bahwa semua pasang mata melihat ke arahnya, Fadhil kembali memelankan suara. "Rupanya tunangan lu itu sekaligus mahasiswi bimbingan lu, menang banyak dong."

Deri terkekeh sebentar. "Biasa, rezeki anak soleh."

"Lu mah anak Ferdi, Bang, bukan anak Soleh," seloroh Fadhil memancing Deri untuk tertawa.

"Bisa ae lu kaleng kerupuk. Udah ah, gua cabut ya. Assalamu'alaikum."

"Iya, wa'alaikumsalam. Awas Bang jangan nyosor, belum halal lu!" teriak Fadhil yang direspons Deri dengan sunggingan di bibir.

Sepertinya Fadhil harus berterima kasih pada orang yang sudah membuat hidup Deri menjadi berwarna. Ia jadi penasaran, seperti apa gadis yang disukai sepupunya ini sampai bisa menaklukkan hati Deri yang tidak pernah terbuka untuk seorang wanita mana pun.

💞💞💞

Shila berjalan keluar dari ruangan Deri dengan binar bahagia. Pahatan senyum terbingkai manis di wajahnya. Sambil menyusuri koridor, Shila berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang baru mendapat hadiah.

Setelah ini, ia bisa bernapas lega. Akhirnya, setelah berkali-kali melakukan revisi, kali ini dosen yang terkenal galak itu bisa meng-acc tugas menjemukannya.

Ketika tengah asyik berjoget-joget kecil, suara Deri terdengar memanggil namanya. "Shila, tunggu!"

Shila langsung menghentikan tingkah konyolnya. Refleks, badannya berbalik, mencari keberadaan Deri yang belum ia temukan. Begitu sosoknya tertangkap mata, Shila membelalak kaget karena melihat Deri mendekat ke arahnya.

"Mau langsung pulang?"

Shila tak merespons pertanyaan Deri.

Ya Allah, tadi Pak Deri melihat aku joget-joget gak ya? Sejak kapan juga dia ada di belakang aku? Aduuhh malunya aku kalau sampai dia lihat kelakuan aku tadi. Eh, Shila kok jadi jaim gitu sih.

"Kenapa diam?"

"Eh, engh ... i-iya Pak, sa-saya mau langsung pul--lang," jawab Shila gugup.

"Oh, ya sudah, silakan."

Shila melongo. Serius, Deri hanya ingin bertanya itu? Huh, bikin kaget saja.

"Kenapa?" tanya Deri karena melihat Shila yang masih bergeming.

"Bapak cuma mau nanya itu?" Deri mengangguk, sementara Shila malah mengerucutkan bibirnya. "Ya sudah, saya pulang, Pak," imbuh Shila seraya melengos pergi.

Baru beberapa langkah, Shila kembali membalikkan badan. "Gak ada yang mau ditanyakan lagi?" Deri menggeleng. "Yakin?" Sekarang Deri mengangguk. "Bapak gak mau tanya saya pulang sama siapa gitu?" Kali ini dahi Deri berkerut. "Oh gak papa kalau gak mau nanya, itu artinya saya yang harus nanya."

"Tanya apa?"

"Mmmm, Bapak tahu dari mana alamat rumah saya?"

Deri terlihat bingung. Antara harus mengatakan yang sebenarnya, atau lebih baik berbohong. Namun bohong itu bukan perkara baik, itu artinya dia harus jujur.

"Memang harus sekali ya, saya kasih tahu kamu?" Shila mengangguk berkali-kali. "Mmm, kalau itu ... kamu tidak perlu tahu, biarlah itu jadi rahasia saya sama Allah."

Wajah yang semula memancarkan binar bahagia langsung redup seketika. Kelihatannya Shila kecewa dengan jawaban yang diberikan Deri.

"Ya sudah, kalau Bapak gak mau kasih tahu saya juga gak papa. Permisi Pak, assalamu'alaikum."

Deri mengangguk ramah. "Wa'alaikumsalam warahmatullah." Setelah Shila berjalan cukup jauh, baru Deri mengatakan hal yang sebenarnya. "Saya selalu mengikuti kamu kalau kamu mau pulang, Shila!"

Shila kembali menghentikan langkah, kemudian membalikkan tubuhnya seraya berkata, "secret admirer?"

"Tidak juga," jawab Deri santai.

Sudah cukup. Shila malu pada dirinya sendiri. Tingkat kepercayaan dirinya terlalu berlebihan. Sampai-sampai ia main menyimpulkan suatu hal begitu saja tanpa dipikirkan terlebih dahulu.

Tanpa memandang ke arah Deri, Shila bergegas pergi, sambil menahan malu tentunya. Kalau sudah begini, ingin rasanya Shila meminjam pintu kemana saja milik si robot kucing itu. Ah, memalukan!

Setelah Shila menghilang dari pandangannya, Deri langsung menghamburkan tawa. Sungguh, setengah mati ia menahan tawa yang sudah ingin membuncah sedari tadi. Melihat kekonyolan Shila, kepolosannya, menjadi hiburan tersendiri bagi Deri. Sebisa mungkin Deri menghentikan tawa, tapi ketika mengingat kejadian tadi, tawanya kembali berderai.

"Haaaahhh?? Pak Deri ketawa?"

Mendengar ada seseorang yang berucap di belakangnya, spontan tawa Deri terhenti. Ia langsung menengok ke belakang, dan mendapati salah satu mahasiswinya sudah berdiri di sana.

"Ya ampuuunn keajaiban dunia ini mah karena bisa dengar Pak Deri ketawa. Uhhh ya Allah, meni merdu pisan suaranya Pak Deri. Pantesan selama ini Bapak gak pernah ketawa, rupanya Bapak takut semua mahasiswi di sini jatuh cinta ya. Pak, saya senang bisa melihat Bapak ketawa, tapi kalau harus ketawa sendiri, terus ketawanya di koridor, kan saya jadi takut."

Deri mengusap tengkuknya. Iya, dia baru menyadari itu. Ini semua karena ulah Shila yang berhasil membuatnya terlihat seperti orang gila.

Ah, dasar Shila, yang awalnya Deri berniat untuk mengantarnya pulang pun, harus urung karena jantungnya yang tidak bisa diajak kompromi. Deri sendiri tidak mengerti, sampai separah itukah efek yang ditimbulkan jika dekat dengan orang yang dicintai?

Mungkin sebelum Deri mengkhitbah Shila, hal seperti ini juga selalu ia rasakan. Tetapi kali ini berbeda, jantungnya selalu berdetak tak karuan jika dekat dengan gadis itu. Itulah sebabnya kenapa tadi dia tidak banyak bicara saat Shila mendesaknya untuk bersuara.

💞💞💞

23 Ramadhan 1441H

Terus dukung cerita ini dengan komen dan vote ya, karena itu sangat berharga buat author.

Mau di share ke temannya yang lain juga boleh.

Lanjut, kalau vote tembus serarus😉✌️

Al-Quran sebaik-baiknya bacaan.

Oke, aku padamu...

#AzZahra

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro