1. Menyapa Bayangmu.
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala alii sayyidinaa Muhammad.
Jarak dan waktu. Dua hal yang membuat seseorang harus rela memendam rindu.
***
Hamparan sawah yang membentang luas, menjadi panorama indah yang Shila lihat dari atas gedung aula sekolah. Sejauh mata memandang, hanya hijaunya pesawahan serta pepohoan rindang sebagai pagarnya. Sesekali, wajahnya menengadah. Menyaksikan langit cerah, yang dihiasi awan putih sebagai pemanis.
Hari ini, alam sudah berbaik hati menunjukkan keindahannya. Namun Shila masih enggan menampakkan garis manis di bibirnya. Setelah kembali menginjakkan kaki di tempat yang menyimpan satu kenangan pahit dalam hidup, senyum yang senantiasa menghiasi wajah itu, raib ditelan kesedihan yang sangat kentara.
Setiap sudut di tempat ini, menjadi saksi bisu bahwa perdebatan yang terjadi saat itu sudah berhasil memporak porandakan kedamaian dalam hidup Shila. Anehnya, meski masa lalu itu terkesan menakutkan, Shila malah mendatanginya. Seolah menantang, dan ingin membuktikan pada dunia, kalau ia bukan pengecut, yang harus mundur sebelum tempur.
Satu embusan napas berat berhasil ia loloskan. Rasa bersalah itu ... masih betah mengerumuni sebagian hatinya. Kata maaf yang sampai sekarang masih belum terucap, menjadi momok paling mengerikkan, yang selalu menghantui tidurnya.
Apakah dulu aku terlalu jahat, mencaci seseorang dengan perkataan kasar dan kotor? Ah, kurasa tidak. Apa yang kulakukan sudah benar, semata-mata karena hanya ingin menjaga hati ini agar tidak melulu jadi korban keberingasan lelaki seperti dia.
Tapi kamu tetap salah, Shila! Kamu tahu dia selalu bertingkah seperti itu pada setiap gadis, lalu kenapa kamu masih membukakan hati untuknya, dan mempersilakannya masuk, hingga kamu meyakini bahwa dia akan menetap di sana. Selamanya? Padahal kamu juga tahu, dia hanya akan mampir sebentar saja. Setelah misinya dalam merayu wanita selesai, dia akan kembali berkelana. Mencari tempat baru yang lebih nyaman untuk ia singgahi.
Dua sisi dalam diri Shila tak berhenti saling menyalahkan. Tentu hal itu semakin menghimpit keadaan yang jauh dari kata menyenangkan. Memejamkan mata serapat mungkin, dan menarik napas sekuat yang ia bisa. Setelah ketenangan Shila dapatkan, barulah napas itu berembus pelan.
Sudah selama itu, tapi bayangan tentang kita di masa lalu masih melekat dalam bilik ingatan. Kuharap kamu tidak membenciku. Tolong, jangan benci aku karena kekeliruanku waktu itu. Aku menyesal, sungguh, sangat menyesal.
"Shil."
Terperanjat, ketika seseorang menepuk bahunya. "Kenapa?" Pertanyaan klise yang Shila lontarkan setelah dirinya menoleh ke samping.
"Gak papa," katanya sambil nyengir. "Dari tadi aku nyariin kamu, kirain ke mana. Eh, ternyata lagi ngahuleng (melamun) di sini."
"Siapa yang melamun?"
"Kamulah, kurang jelas tadi aku ngomong apa?"
Shila hanya memamerkan senyumnya sekilas ke arah sang sahabat. Kembali, ia fokuskan netranya pada alam. Menjadikannya sebagai alternatif untuk mengusir segala pikiran buruk yang melintas dalam benak.
"Yuk ke bawah, anak-anak pada nungguin tuh. Katanya mereka pengen foto bareng sama kamu."
"Bentar lagi ya, aku masih mau di sini."
Najma memberengut. "Ngapain sih diam di sini lama-lama, panas tau. Kamu senang membiarkan orang-orang di bawah kelimpungan nyariin kamu gara-gara menghilang di tengah-tengah acara?"
Kembali, Shila mengembuskan napas. "Acaranya udah selesai, Najma."
"Iya, tapi kan para siswa belum pada bubar. Mereka masih ingin sharing sama kamu."
Lelah mendengar ocehan Najma, Shila sampai harus memijat kepalanya yang mendadak pening.
"Oke, aku akan turun ke bawah. Tapi nanti, setelah aku benar-benar bisa melepas rasa lelah." Dua pasang mata itu bertemu dalam satu garis lurus. "Aku perlu istirahat, Ma, setidaknya dengan aku diam di sini, penat yang aku rasakan bisa cepat hilang," lanjut Shila ketika Najma masih menatapnya dengan tatapan tak biasa.
"Terus aku bagaimana?" Tanya Najma, mengiba.
"Ya terserah, mau ke bawah silakan, mau di sini nemenin aku juga gak papa."
"Ya udah deh, aku tunggu di bawah aja kalau begitu." Menanggapi ucapan Najma, Shila hanya menunjukkan kedua ibu jarinya. "Tapi kamu jangan lama-lama ya," imbuh Najma sebelum ia menuruni tangga.
"Eh, Ma, tunggu tunggu tunggu." Shila meraih tangan Najma agar temannya itu diam sebentar. "Kamu perlu tau sesuatu," katanya begitu membaca raut bingung di wajah Najma.
"Sesuatu? Apaan?"
"Ayo sini, ikut aku."
Meski kesal, Najma tetap mengikuti ke mana Shila berjalan. Begitu keduanya sampai pada tralis yang menjadi pembatas di atas gedung tersebut, kekesalan yang awalnya masih bermuara, lenyap karena keindahan yang tak bisa dinafikan.
"Waaahh, keren banget...."
"Masya Allah, Ma." Shila meralat ucapan Najma yang keliru.
"Eh, iya, maaf. Masya Allah, kok aku baru sadar sih kalau di sini ada tempat seindah ini?"
Shila tersenyum bangga. "Bagus, kan?"
Najma mengangguk beberapa kali. "Sumpah Shil, belum pernah aku berkunjung ke sekolah yang lokasinya ada di sekitaran sawah seperti ini. Tadi pas aku naik, aku kira sawahnya itu cuma sepetak dua petak, tapi ternyata ... ya Allah, beneran, aku gak bisa ngomong apa-apa. Ini indah banget, Shil. Nuansa desanya benar-benar terasa, bikin betah. Kenapa kamu gak nunjukin ini dari tadi sih, kalau gini mah aku gak jadi turun ke bawah."
Shil masih mempertahankan senyum di bibirnya. Membiarkan Najma berceloteh, mengungkapkan segala kekaguman akan tempat yang mungkin baru pertama kali ia lihat.
"Coba aja kalau datang ke sininya itu bareng sama pacar, pasti romantis ya."
Shila yang mulanya membenarkan setiap ucapan Najma, tiba-tiba mendelik tajam. "Gak boleh pacaran, Najma! Apalagi kalau udah tau hukumnya, dosa yang kamu dapat bisa berlipat-lipat. Berapa kali sih aku harus bilang, gak ada istilah pa--"
"Iya-iya, Shila. Kalem dong, aku kan cuma bercanda," kilah Najma setelah melihat ekspresi tidak menyenangkan dari Shila. "Maksud aku tuh, coba kalau datangnya bareng sama suami, pasti romantis, gitu."
Mendelik untuk yang kedua kalinya, dan memilih bungkam demi menghindari perdebatan kecil yang mungkin akan terjadi bila Shila tak mengalah.
"Eh iya, tolong kamu fotoin aku dong Shil, buat kenang-kenangan," titah Najma dengan entengnya.
Malas, mata Shila berputar. Meski tak suka karena disuruh-suruh, Shila tetap melakukannya. Setelah berhasil mengambil beberapa jepretan, Shila kembali memberikan ponsel yang dipegangnya pada Najma.
"Makasih cantikku." Dengan erat Najma merangkul tubuh Shila setelah dia melihat hasil dari fotonya barusan. "Kamu memang ahli banget dalam segala hal."
Bibir Shila tersungging manis. "Sama-sama cintaku, asal jangan sekali-kali lagi," tuturnya sambil mengubah mimik wajah menjadi kesal.
Refleks, Najma memberengut seraya berkata, "kok ngomongnya gitu sih?"
Tawa Shila berderai. "Becanda kali, serius amat sih kamu."
Najma tak menyahut, ia memilih diam dengan pandangan lurus menatap luasnya sawah yang membentang bak permadani hijau. Shila mendesah, tapi sudut bibirnya masih ia pertahankan untuk tetap tertarik ke samping. Sepertinya ia memang perlu berbaur dengan banyak orang. Agar masa lalu yang selalu menghantuinya bisa sedikit ia lupakan.
"Enak ya kalau sekolah di tempat seperti ini, banyak pemandangan yang bisa kita nikmati setelah lelah belajar seharian."
"Iya, emang enak. Tapi jujur, selama tiga tahun sekolah, aku cuma datang sekali ke sini. Itu pun diajak sama...."
Ucapan Shila yang menggantung, memancing rasa penasaran bagi Najma. "Diajak sama siapa?" Tanyanya antusias.
"Sama ... teman."
"Teman atau pacar?"
"Teman, Ma."
"Jangan bohong."
"Dih, ngapain harus bohong, aku emang diajak sama teman ke sini." Tatapan Najma menajam. "Beneran Najma, aku datang ke sini sama teman, karena aku gak berani pacaran," jelas Shila saat masih diperhatikan intens oleh kawannya.
"Temannya cewek, atau cowok?"
Shila menghela napas. Ia tidak bisa berkelit lagi jika Najma mulai memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. Sekali saja bertanya, pasti akan diikuti dengan pertanyaan lain.
Memiliki sahabat cerewet dan teramat peduli macam Najma memang senang-senang sebal. Senangnya, Najma bisa menjadi hiburan tersendiri bagi Shila jika dirinya dirundung kesedihan seperti sekarang. Sebalnya ya seperti ini, cerewet, dan banyak tanya.
"Shil, temannya cewek, atau cowok?"
"Mmmm, cew-wek."
"Masa?"
"Iya."
Mata Najma menyipit. "Kok aku gak percaya ya?"
Shila tak menyahut lagi. Ia memilih menjauh dari Najma, dan duduk di bangku yang terdapat di sana.
"Kenapa kamu menyia-nyiakan tempat sebagus ini, Shil?"
Pertanyaan baru yang diberikan Najma berhasil membuat dahi Shila berkerut. "Maksudnya?"
"Iya, kamu tuh gak pandai bersyukur."
"Kok kamu bisa beranggapan seperti itu?"
"Bersyukur itu kan dengan cara kita menerima apa pun bentuk rezeki yang Allah beri, nah, kamu udah dikasih rezeki berupa tempat indah seperti ini, malah disia-siakan."
Sebelum menanggapi pernyataan Najma, Shila sempat melengos. "Aku sama sekali gak pernah menyia-nyiakan tempat ini, Najma. Seandainya tempat ini ada di tengah-tengah gedung sekolah, aku pasti akan sering ke sini. Setidaknya tempat ini bisa dijadikan sebagai sarana untuk refleksi otak. Tapi karena ini tempat berada tepat di sekitaran asrama putra, mana ada cewek yang berani datang ke sini. Yang ada nanti malah dikerumuni sama santri-santri putra yang kerjaannya bolos ngaji."
Najma sudah duduk di samping Shila, dengan pandangan melihat Shila dan sawah secara bergantian. "Tapi tadi kamu bilang pernah ke sini sama teman cewek kamu."
"Waktu itu lagi ada acara, makanya tempat ini jadi sepi. Jadi aku bisa leluasa datang ke sini."
"Terus...."
"Eh, udah mau azan tuh, turun yu," sela Shila ketika terdengar lantunan salawat dari pengeras suara masjid.
Mau tidak mau, Najma harus kembali menelan pertanyaan yang belum sempurna ia ucapkan. Lantas, Shila berjalan lebih dulu, meninggalkan Najma yang masih diam dengan wajah suntuknya.
💞💞💞
Silir semilir angin di sore hari tak membuat rasa panas yang tengah dirasakan Fadhil sirna. Keadaan kota Jakarta dari dulu sampai sekarang memang tidak berubah. Bahkan suasana terasa semakin panas. Macet dan polusi sudah jadi santapan sehari-hari warga ibu kota.
Berkali-kali Fadhil harus menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Sesekali, tangannya pun ia gunakan untuk mengipasi wajah yang sudah terasa panas. Lantas, ia menengadah, melihat rimbunnya daun yang menjadi tempat bernaung Fadhil saat ini.
"Gak ikut gabung sama yang lain, Pak?"
Irma, salah satu siswa yang menjadi murid di sekolahnya mengajar, menghampiri Fadhil. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Irma langsung duduk di samping Fadhil, sampai memaksanya untuk beringsut agak menjauh.
"Enggak, saya di sini saja."
"Kenapa?"
"Saya sudah nyaman berada di sini, ya ... hitung-hitung menyalurkan rasa rindu yang sudah penuh menyesakkan dada," tutur Fadhil seraya terkekeh pelan.
"Bapak bisa aja. Memang apa hubungannya rindu yang Bapak rasakan dengan diam di bawah pohon besar ini?"
Fadhil mengembuskan napas berat.
"Ada satu kenangan di bawah pohon besar ini yang saya sendiri baru menyadarinya sekarang."
"Kenangan?"
"Ya, kenangan yang membuat saya sadar akan semuanya." Diam sejenak, hanya untuk menelisik setiap sudut tempat yang dipenuhi oleh para siswa. "Tujuh tahun yang lalu, saya pernah datang ke tempat ini bersama teman-teman. Ceritanya mengikuti Rihlah Ilmiyah dari sekolah, seperti saat ini. Dan di bawah pohon inilah, untuk yang pertama kalinya, saya makan bersampingan dengan seseorang yang sudah berhasil mengubah seluruh hidup saya."
"Siapa, kekasih Bapak, ya?" Tanya Irma mencoba mengenyahkan rasa takut dalam dirinya.
"Bukan, dia teman saya."
"Perempuan?" Fadhil hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Irma. "Apa Bapak menyukainya?"
Sekilas, mata Fadhil melirik Irma. "Entahlah, saya juga bingung sama perasaan saya sendiri."
"Kok bisa?"
"Selama saya masih bersamanya, saya gak pernah kepikiran untuk menyukai dia. Karena saat itu kami murni hanya ingin berteman saja. Tapi ketika dia menjauh dari saya, barulah saya menyadari akan perasaan itu. Hari-hari yang saya jalani setelah berpisah dengannya begitu hampa. Saya mencoba melampiaskan kehampaan saya pada perempuan lain, nyatanya, bayang-banyang itu semakin gencar menghantui saya. Semuanya seolah tampak nyata, dan bayangan itu memaksa saya untuk mengakhiri segala hal yang memang selalu dia anggap salah."
Irma bergeming sesaat, lantas bertanya, "Dia teman SMA Bapak?" Fadhil kembali mengangguk. "Kenapa Bapak gak temui dia saja?"
Kali ini, tatapan Fadhil berubah nanar. "Saya takut. Akan banyak kemungkinan-kemungkinan yang muncul jika saya menemuinya. Terakhir saya bertemu dengannya saja, malah mendatangkan konflik yang semakin rumit. Gak tau bagaimana jadinya jika sekarang saya nekat menemui dia lagi."
"Sudah berapa tahun Bapak gak ketemu teman Bapak itu?"
"Kurang lebih ... enam tahun saya gak bertemu dia."
"Sudah lama, Pak. Pasti banyak yang berubah. Teman Bapak juga pasti sudah mengerti dengan konflik itu."
"Sahabat saya bilang, dia menyukai saya, makanya dia tidak ingin berdekatan dengan saya lagi. Sebab dia takut rasanya semakin besar, sementara saya tidak bisa membalas perasaannya."
"Jadi itu yang membuat Bapak enggan menemui dia?"
"Bukan. Rasa bersalah saya terhadap dia yang membuat saya segan menemuinya. Karena saya, dia berubah menjadi orang yang tidak saya kenal. Karena sikap saya, dia harus memendam sebuah rasa sendirian dalam keadaan dia yang tidak pernah menginginkan rasa itu hadir. Saya tau apa yang manusia alami adalah atas kehendak Illahi, tapi jika tidak ada penyebabnya, pasti hal itu tidak akan terjadi. Atau semuanya masih bisa dicegah, jika saya menyadari hal itu sejak awal."
Kini, Irma mengalihkan pandangan pada langit yang sedang menampakkan keindahannya. Warna jingga kemerahan menjadi pemandangan yang sangat menakjubkan di kala sore hari.
"Ah, sudahlah. Maaf Irma, saya malah menceritakan hal yang tidak seharusnya saya ceritakan."
"Gak papa Pak, saya malah senang bisa dengar kisah Bapak."
"Terima kasih, karena kamu sudah bersedia mendengar keluhan saya."
"Iya Pak, sama-sama. Oh iya, say---"
"Daaarr!"
"Astagfirullahal'adzim," pekik Fadhil sambil terlonjak kaget.
Karena ulah temannya Irma yang datang tiba-tiba, membuat Irma tak bisa melanjutkan ucapannya. "Sesil, apa-apaan sih, ganggu aja."
"Hayo kalian lagi pada ngapain duduk berduaan di bawah pohon besar kayak gini."
"Lu gak sopan banget sih, masa di depan guru ngomongnya kayak gitu," ucap Irma berbisik di telinga Sesil sambil mencubit lengannya.
"Ih lu jadi teman jahat banget sih, pake nyubit segala lagi. Sakit tau."
"Salah lu sendiri, main ngagetin orang aja." Setelah mengucapkan itu, Irma segera meminta maaf pada Fadhil. "Maaf ya Pak, tadi Sesil sudah mengagetkan Bapak."
"Iya gak papa," sahut Fadhil sambil menyunggingkan senyum.
"Ya sudah kalau gitu kami permisi dulu. Assalamu'alaikum." Irma menyeret lengan Sesil yang tengah menggerutu tidak jelas.
"Iya, Wa'alaikumsalam."
Setelah kepergian dua muridnya, Fadhil kembali termenung.
Sedang apa kamu sekarang? Masih ingatkah kamu padaku? Orang yang dulu selalu membuatmu jengkel setiap hari. Ah, jahat kalau kamu sudah melupakan aku. Semoga rinduku di bawah langit Jakarta yang indah ini tersampaikan. Dan semoga kamu selalu bahagia.
💞💞💞
9 Ramadhan 1441 H
#AzZahra
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro