Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍂 7 🍂

"Makan dulu ya, Na! Aku suapin."

Dina menggeleng. Ia sama sekali tidak nafsu untuk makan.

Sekar meletakkan piring yang ia pegang di meja. Lalu, ia menggenggam tangan Dina lembut. "Kalau kamu nggak makan nanti sakit."

Dina tetap diam. Tapi, Sekar tidak putus asa. Ia terus merayu agar sahabatnya itu mau makan.

"Aku tau apa yang kamu rasain saat ini karena aku juga pernah merasakannya. Walau sedikit berbeda, sih." Sekar menghela napas, hatinya selalu sesak ketika mengingat masa kelam dalam hidupnya. "Aku terpuruk, tapi aku mencoba bertahan walau jalan yang kulalui begitu sulit."

Dina memandang Sekar. Ia tau sepahit apa hidup sahabatnya itu. Tapi, ia berusaha menjadi kuat.

"Sampai aku ketemu kamu, Na. Sejak saat itu, kamu menjadi orang yang sangat berarti untukku. Aku menyayangimu, dan aku sedih liat kamu kayak gini." Sekar berusaha menahan cairan bening yang hendak keluar dari matanya.

Dina memeluk Sekar. "Aku merasa hidupku sudah tidak berarti lagi. Aku begitu putus asa dan larut dalam duka. Sampai aku lupa ada kamu yang sayang sama aku. Maafin aku ya, udah buat kamu khawatir."

"Kamu nggak salah, aku bisa ngerti sehancur apa perasaan kamu. Hanya saja, jangan menyiksa dirimu seperti ini." Sekar mengelus punggung Dina. "Makan ya." Dina pun mengangguk.
Sekar mengurai pelukannya lalu mengambil piring yang ia letakkan tadi dan menyuapi Dina.

Sekar menyelimuti tubuh Dina yang kini telah terlelap. Ia memandang wajah sahabatnya yang terlihat pucat. Binar ceria yang selalu menghiasi wajah cantik itu, kini sirna berganti dengan kemuraman.

"Hidup ini memang tak terduga ya, Na? Kenapa orang sebaik kamu mengalami cobaan berat seperti ini. Aku takut kalau---"

Sekar menggeleng, menepis pikiran buruk yang berkelebat di otaknya. "Aku hanya bisa berdo'a semoga semua akan baik-baik saja."

Sekar membawa piring dan gelas bekas Dina tadi dan keluar dari kamar.

"Non Dina mau makan?"

"Iya, walau sedikit. Tapi lumayan daripada kemarin nggak mau makan sedikit pun."

"Alhamdulillah. Terimakasih, Non Sekar udah mau bantu ngerawat non Dina," ucap bi Narti tulus.

"Bibi bicara apa, sih. Dina sudah seperti kakak buatku, Bi. Jadi udah semestinya gitu. Dulu juga waktu aku lahiran, Dina sama Bibi yang menolong dan mendampingiku kan?"

"Iya, Non." Bi Narti terharu mendengar perkataan Sekar.

"Aku ke kamar dulu ya, Bi. Kayaknya Lily nangis tuh."

"Iya, Non." Bi Narti memandang tubuh Sekar yang berjalan ke arah kamar tamu. Ia bersyukur nonanya memiliki sahabat sebaik dan setulus Sekar. Walau mereka tak memiliki hubungan darah, tapi saling menyayangi layaknya saudara kandung. Bahkan Sekar rela menginap di sini sejak Dina Sakit. Sampai-sampai ia membawa putra purinya serta.

Dina memang hanya tinggal bersama bi Narti dan pak Hadi saja. Ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu. Sedangkan ayahnya, menikah lagi ketika Dina masih remaja dan tak pernah kembali sampai saat ini. Sejak saat itu, Dina menjadi pemurung. Ia terlalu kecewa pada ayahnya sehingga enggan menikah walau kini telah berusia tiga puluh dua tahun. Ia takut dikhianati, seperti yang dialami oleh ibunya.

Hanya do'a yang bi Narti panjatkan. Semoga nonanya baik-baik saja.

🍂

Abhi keluar dari hotel saat pagi buta. Teman-temannya sampai heran karena Abhi pergi sepagi itu. Bahkan sampai sore pun tak kembali lagi ke hotel, melewatkan acara ulang tahun Widi, yang memang dirayakan di hotel tersebut.

Hampir seharian Abhi mencari, tapi tak menemukan keberadaan wanita itu. Padahal ia lansung mencarinya tak lama setelah wanita itu keluar kamar. Karena lelah, Abhi memutuskan untuk pulang dan akan melanjutkan pencariannya besok.

Abhi begitu kesal ketika mendapati Disha ada di rumahnya, sedang mengobrol dengan ibunya di ruang keluarga.

""Assalamualaikum," ucap Abhi lalu mencium tangan ibunya.

"Waalaikumsalam. Kok baru pulang jam segini? Kamu nggak papa kan? Tadi ibu hubungi nomor kamu nggak aktif." Salma terlihat khawatir ketika Abhi pulang dalam keadaan kusut, berbeda dengan biasanya.

"Enggak kok, Bu. Cuma capek aja."

"Baru pulang, Bhi?" Disha memberanikan bertanya pada Abhi yang seperti enggan menyapanya duluan.

"Emm." Abhi membalas dengan deheman. Ia terlalu malas untuk berinteraksi dengan Disha.

"Aku mandi dulu ya, Bu. Badanku gerah, nggak enak banget."

"Iya udah sana mandi. Habis itu kita makan bareng. Tadi, Disha bantuin Ibu masak kesukaan kamu."

Abhi mengangguk dan berlalu dari sana. Berada satu ruangan dengan Disha membuat ia muak. Ia berniat tidur saja setelah mandi nanti. Biarkan saja ibunya makan ditemani Disha. Lagipula ia tidak napsu makan, karena pikirannya sedang tidak karuan saat ini.

"Bhi, ayo makan!" Salma mengetuk pintu kamar Abhi untuk mengajaknya makan bersama. Sudah hampir dua jam putranya itu berada di kamar sejak pamit tadi.

"Iya, Bu." Abhi membuka pintu kamarnya, tidak mungkin ia membiarkan ibunya menunggu terlalu lama di depan pintu. Ia tak mau menjadi anak durhaka.

"Kok lama?"

"Maaf, Bu. Abhi ketiduran tadi." Abhi tidak bohong, tadi ia sempat ketiduran saat berendam.

Salma tersenyum. "Ada-ada aja kamu ini, Nak. Ayo makan dulu, Ibu nggak mau kamu kelaparan."

"Iya, Bu." Abhi merangkul ibunya dan berjalan bersama menuju ruang makan. Dapat ia lihat Disha tersenyum saat melihatnya.

Jarum jam menunjukkan angka tujuh. Setelah makan tadi, Salma mengajak Abhi mengobrol bersama Disha.

"Bhi, antar Disha pulang ya. Kasihan kalau dibiarkan pulang sendiri," pinta Salma.

"Iya, Bu." Sebenarnya Abhi enggan, tapi ia tidak tega menolak permintaan wanita tersayangnya itu. Setelah berpamitan, Abhi melenggang pergi dan segera masuk ke mobil, enggan berjalan bersama Disha.

"Aku pulang ya, Bu." Disha permamitan pada Salma, lalu menyusul Abhi.

"Hati-hati, Bhi nyetirnya. Jangan ngebut!"

"Iya, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Dalam perjalanan hanya kesunyian yang terjadi. Abhi diam seribu bahasa, tak memperdulikan Disha yang ada di sampingnya. Ia hanya fokus menyetir agar cepat sampai di rumah wanita itu dan ingin segera pulang. Ia lelah dan butuh istirahat setelah seharian mencari wanita itu.

Melihat keterdiaman Abhi, Disha pun tak berani mengeluarkan suara. Ia menolehkan kepala ke samping kiri, melihat keadaan di luar melalui kaca mobil. Ia tahu, Abhi tak menyukai kehadirannya.

Angan Disha berkelana ke masa lalu, ketika mereka pacaran. Abhi begitu sayang dan tulus padanya. Tapi, dengan tega ia mengkhianati cinta Abhi. Andai waktu bisa diputar kembali, ia akan setia pada pria itu. Ia menyesal, ternyata Panji yang ia pilih tidaklah sebaik Abhi.

Tak terasa bulir bening jatuh membasahi pipinya. Namun, Disha segera mengusapnya. Ia tak mau kalau Abhi sampai melihatnya dan bertambah muak padanya.

Beberapa saat kemudian, mobil Abhi memasuki halaman rumah Disha. Ia mematikan mesin mobil dan segera keluar lalu menyandarkan tubuhnya ke pintu mobilnya. Ia sadar, sudah sangat keterlaluan pada Disha. Saat ini pikirannya sedang tidak karuan, dan ia tidak mau kalau sampai berkata kasar yang bisa menyakiti hati mantan kekasihnya itu. Jadi, ia lebih memilih diam.

"Makasih ya, Bhi."

"Iya. Aku pulang."

"Enggak mampir dulu?"

"Sudah malam, sampaikan saja salamku buat bapak sama ibu."

"Baiklah. Hati-hati di jalan." Disha nampak kecewa namun, ia tak bisa memaksa Abhi.

Ketika akan membuka pintu mobil, Abhi ingat kalau ia ingin mengatakan sesuatu pada Disha. Ia pun berbalik dan memandang wanita yang kini tengah tersenyum padanya itu.

"Aku tahu, ibu menginginkan kamu menjadi menantunya. Tapi, aku tidak bisa. Bagiku, kamu adalah masa lalu dan tak akan pernah menjadi masa depan. Jadi, jangan terlalu berharap. Lupakan aku dan carilah pria lain yang mencintaimu!"

Senyum yang tadi terukir di bibir Disha seketika hilang. Raut kecewa nampak nyata di wajah cantiknya. Matanya pun berkaca-kaca. Kini, ia sadar Abhi sudah terlalu jauh dan ia tak akan mampu menggapainya. "Tak adakah kesempatan kedua untukku, Bhi?"

"Maaf." Abhi membalikkan badannya. Ia tidak tega melihat kesedihan Disha. Bagaimana pun wanita itu pernah menjadi seseorang yang paling berharga baginya. "Aku pulang. Selamat tinggal!"

Tubuh Disha meluruh ke tanah ketika mobil Abhi tak lagi terlihat. Rasa nyeri merambati hatinya.

"Dari mana saja jam segini baru pulang?"

Disha segera menghapus airmatanya dan segera berdiri. "Dari rumah teman, Bu."

"Masuklah! Lain kali jangan pulang terlalu malam."

"Iya."

Sedangkan Abhi, memperhatikan Disha dari jauh. Sebenarnya ia tidak tega, tapi mau bagaimana lagi. Ia tidak mau memberi harapan kosong pada wanita itu. Lagi pula, ia harus bertanggungjawab pada wanita yang sudah ia nodai.

Abhi menepuk jidatnya. Bagaimana ia bisa melupakan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk mencari wanita itu. Ia segera menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan mobilnya cukup kencang, tak sabar ingin segera sampai ke hotel tempat ia menginap kemarin.

🍂

Salam sayang dariku 💖

5 November 2020



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro