Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍂 3 🍂

Denting jam lonceng membuyarkan lamunan Abhi tentang masa lalunya. Ia sudah berusaha melupakan, akan tetapi tetap saja sakitnya masih terasa, padahal sudah lewat sebelas tahun sejak peristiwa itu.

"Dua belas." Abhi memandang jam lonceng yang menempel di dinding ruang kerjanya. Alih-alih merasa berisik, Ia justru senang dengan denting khas jam tersebut. Jam kuno tersebut ia dapatkan ketika melakukan study banding ke sebuah peternakan sapi perah yang bisa dibilang cukup besar di kota Semarang dua tahun yang lalu. Ia membeli jam tersebut di toko kecil yang khusus menjual barang-barang antik namun dengan harga yang terbilang murah.

"Waktunya makan siang." Abhi bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruangan. Ia berniat makan siang di kantin yang tersedia di kantor miliknya.

Abhi memiliki usaha home industry yang memproduksi dan menjual susu segar. Di mana susu tersebut diperoleh dari ternak sapi miliknya. Ia memilih usaha tersebut karena ingin menekan angka pengangguran di daerahnya.

"Siang, Pak," sapa Andi---sekretaris Abhi.

"Siang. Kamu udah makan belum, Ndi?" tanya Abhi.

"Belum Pak, ini saya mau ke kantin."

"Kita barengan."

Andi mengangguk, mengiyakan ajakan bosnya itu dan berjalan bersama menuju kantin. Hubungan mereka memang dekat, bahkan mereka juga berteman. Abhi mengenal Andi sejak tujuh tahun yang lalu ketika ia merintis usaha dari nol, hingga kini usahanya sudah terbilang maju. Di saat usaha Abhi jatuh bangun, Andi setia mendampinginya membuat pria beumur dua puluh tujuh tahun itu menjadi orang kepercayaan Abhi sampai saat ini. Lagipula Abhi merasa lebih nyaman jika sekertarisnya laki-laki.

🍂

Mobil Abhi memasuki halaman rumah yang cukup luas. Buru-buru ia turun dari mobil dan berlari kecil masuk ke dalam rumah. Tadi saat ia sedang meninjau peternakan sapi miliknya, bi Ijah yang bekerja di rumahnya memberi kabar jika ibunya jatuh saat berada di kamar mandi.

"Ibu nggak pa-pa?" Abhi menggenggam telapak tangan ibunya yang nampak lemah.

"Ibu nggak pa-pa kok, tadi cuma terpeleset.

Abhi mendesah, "Lain kali hati-hati ya, Bu. Abhi nggak mau terjadi apa-apa sama Ibu."

"Iya, Nak, lagian tadi kata dokter Ibu nggak pa-pa kok, udah jangan khawatir gitu."

Hati Abhi merasa lega, jantungnya yang tadi berdetak kencang kini telah kembali normal. Ia benar-benar takut terjadi hal buruk pada ibunya itu, satu-satunya orangtua yang dimilikinya karena ayahnya telah meninggal sejak ia masih remaja. Sedangkan ia sendiri adalah anak tungal.

Bu Salma mengusap bahu lebar Abhi. "Kapan kamu nikah, Nak? Ibu udah semakin tua, pingin gendong cucu."

Abhi memandang ibunya, "Nanti ya, Bu, kalau udah nemu yang cocok."

"Iya, tapi kapan Bhi? Ibu mau sebelum meninggal, kamu udah punya pendamping hidup."

Abhi memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya itu erat. "Ibu nggak boleh bicara kayak gitu. Abhi nggak suka."

Bu Salma mengurai pelukannya dengan Abhi. "Bukankah nggak ada yang tau kapan maut menjemput, Nak?"

🍂

Abhi sedang duduk di pinggir kolam yang terletak di belakang rumah. Ia melemparkan pakan ikan ke kolam, membuat ikan-ikan hias dalam kolam miliknya itu berebut untuk memakannya. Gerakan ikan-ikan yang lincah menimbulkan kecipak air yang kadang mengenai tubuh dan wajah Abhi.

Abhi mendesah. Ia teringat permintaan ibunya kemarin. "Menikah," gumam Abhi.

Abhi terkekeh, "Haruskah aku menikah?"

Abhi mengusap wajahnya kasar. Sejak dua tahun terakhir, ibunya memang kerap menyuruhnya untuk membina rumah tangga. Ia tahu dan sadar sebagai anak tunggal, hanya dari dialah nanti ibunya mendapatkan cucu. Ia memang kerap berganti teman kencan, tapi untuk menikah, rasanya hatinya ragu.

Bagi Abhi menikah bukan perkara mudah. Sakitnya dikhianati membuat ia enggan membuka hati apalagi melangkah ke jenjang yang lebih serius. Baginya, wanita tak bisa dipercaya. Ya ... Walau nggak semua wanita seperti itu sih.

Salah satunya adalah ibu Abhi yang setia pada ayahnya. Bahkan setelah ayahnya meninggal pun, ibunya tak menikah lagi. Wanita nomor satu dalam hidupnya itu rela membesarkan Abhi sendiri tanpa pendamping hidup. Meski sewaktu ayahnya meninggal, ibunya masih terbilang cantik di usianya yang ke tiga puluh tujuh.

Mengingat hal itu, membuat Abhi dilema. Jika ia mempertahankan prinsipnya yang tidak mau menikah seumur hidup, maka pasti ibunya akan sangat sedih. Tegakah ia, mengingat perjuangan ibunya selama ini?

Abhi meremas rambutnya kasar. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Mungkin mandi bisa sedikit mengurai pikirannya yang semrawut saat ini.

🍂

Jam di pergelangan tangan Abhi menunjukkan angka sembilan malam, waktu untuk istirahat bagi sebagian orang. Namun tidak bagi para pecinta dunia malam. Mereka justru keluar untuk mencari hiburan. Ada yang makan-makan, sekedar kumpul bareng teman, ada pula yang kencan dengan pasangan masing-masing. Tak terkecuali Abhi.

"Udah lama?" tanya wanita cantik yang kini duduk di depan Abhi.

"Enggak kok, baru lima belas menitan."

"Maaf ya, kamu jadi nunggu."

Abhi menggeleng, "Enggak pa-pa santai aja. Gimana kabar kamu, Cha?"

"Baik."

"Mau pesen apa, Cha?"

"Minum aja Bhi, takut gemuk kalau makan malem-malem gini."

Abhi mengangguk dan memberitahukan pesanan mereka pada pelayan.

"Ngomong-ngomong, ada perlu apa kamu nyuruh aku ke sini?" tanya Echa heran.

Sejak lulus SMA, Echa tidak pernah bertemu lagi dengan Abhi karena ia kuliah di luar kota dan tinggal bersama neneknya. Sedangkan Abhi pindah rumah saat kuliah. Baru sekitar satu tahun yang lalu mereka bertemu kembali ketika sama-sama menghadiri pesta pernikahan salah satu teman mereka. Di mana pengantin wanitanya adalah teman Echa dan pengantin prianya teman Abhi.

"Aku mau nanya tentang ... Disha." Abhi memberi jeda ketika pelayan datang mengantarkan pesanan mereka.

"Ini pesanannya. Selamat menikmati."

"Terimakasih," ucap Abhi. Sedangkan Echa hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Di minum, Cha. Ini cemilannya dimakan juga, kurasa makan dikit nggak bakal bikin gendut deh. Lagian...."

"Kenapa?" tanya Echa heran.

"Biar badan kamu tumbuh gede nggak kecil gitu."

"Ishh apaan sih kamu, Bhi. Emang badanku kan segini dari dulu. Gimana sih!" sungut Echa. Baginya Abhi benar-benar menyebalkan.

Abhi terkekeh, "Elahh, gitu aja ngambek."

"Udah puas ngetawain aku, nih?"

Abhi mengangguk, "Maaf ya, cuma bercanda kok tadi. Biar nggak kaku."

Echa menyesap cokelat hangat pesanannya. "Mau tanya apa soal Disha?"

Suasana pun berubah serius.

"Apa yang terjadi dengannya?"

Echa bercerita kalau Disha dan Panji berpisah di tahun kedua pernikahan mereka. Bahkan Disha mengalami keguguran saat kandungannya berusia lima bulan. Lau ia kembali tinggal bersama orangtuanya. Dan sampai saat ini belum menikah lagi.

"Oh begitu ya?" Abhi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia heran kenapa Disha dan Panji bisa sampai berpisah. Mengingat perselingkuhan mereka dulu, rasanya tak mungkin mereka berpisah di usia pernikahan yang bisa dibilang masih seumur jagung.

"Iya. Kamu sendiri belum nikah sampai sekarang, nungguin Disha ya, Bhi?"

"Enggak lah! Ngapain juga nungguin pengkhianat. Aku males aja, masih pengen sendiri." Abhi menyesap cappucino miliknya. "Kamu sendiri?"

Echa mendesah, "Adikku banyak, Bhi. Siapa yang bakal mengurusi mereka jika aku nikah nanti."

Ayah Echa meninggal sewaktu Echa masih berseragam putih biru. Sedangkan ibunya menyusul tiga tahun kemudian. Oleh karena itu, setelah lulus SMA, ia dan ketiga adiknya tinggal bersama neneknya.

"Udah kelas berapa mereka sekarang?"

"Amri udah kerja, Rizal udah kuliah semester enam, aku bersyukur dia pintar dan dapat beasiswa. Sedangkan si bungsu---Rasti---kelas XII."

"Kamu wanita hebat, Cha. Semoga nanti kamu dapat jodoh yang baik ya." Abhi salut dengan sahabat mantan kekasihnya itu.

"Amiin ... Makasih ya, Bhi."

"Makasih juga, kamu udah mau luangin waktu buat ketemu aku." Abhi melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. "Udah hampir jam sepuluh, aku anterin kamu pulang."

🍂

Salam sayang dariku 💖

27 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro