
🍂 17 🍂
Assalamualaikum ... Selamat malam semua. Apa kabar? Semoga semua sehat, ya.
Maaf, ya, lama nggak up. Sebulan lebih nggak nulis kok jadi kaku banget. Satu part aja berhari-hari baru kelar 🤦♀️. Semoga kalian nggak lupa sama aku, ya 🤗🤭. Ealahh malah curhat, udah ahh makin ngaco nanti aku.
Selamat membaca aja deh.
🍂
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Semua keputusan ada di tanganmu. Kamu berhak atas hidupmu. Tapi yang perlu kamu ingat, Kiran juga berhak tahu siapa ayah kandungnya."
"Terima kasih, kamu mau mendengar keluh kesahku."
"Iya. Aku pulang dulu."
Dina mengangguk. "Hati-hati di jalan."
🍂
"Alhamdulillah, akhirnya kamu bangun juga, Bhi." Salma mengusap buliran bening yang membasahi pipinya.
"Apa yang terjadi? Kenapa Ibu nangis?" tanya Abhi sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.
"Tadi, Andi menemukan kamu pingsan di kantor, Bhi," tutur Salma. Ia merasa lega karena akhirnya, Abhi sadar dari pingsannya.
Salma sungguh khawatir ketika mendapat kabar dari Andi, kalau Abhi pingsan dan dibawa ke klinik tak jauh dari kantor Abhi. Ia takut terjadi hal buruk pada putranya itu. Mengingat kecelakaan yang pernah Abhi alami satu tahunan yang lalu dan menyebabkan hilangnya sebagian ingatan putranya itu.
"Tidur aja, Bhi!" ucap Salma ketika melihat Abhi ingin bangun dari tidurnya.
Abhi mengangguk dan menuruti perintah Salma. Lagipula, denyutan di kepalanya semakin bertambah kuat ketika ia mencoba bangun tadi.
Tak lama, dokter yang menangani Abhi masuk diikuti seorang perawat dan juga Andi yang baru saja dari mushola.
"Apa yang Pak Abhi rasakan?" tanya dokter di sela-sela kegiatannya memeriksa Abhi.
"Kepala saya pusing, Dok."
"Selain itu?"
"Enggak ada, sih. Hanya pusing saja."
Dokter bernama Tono itu pun mengangguk. "Lebih baik Pak Abhi dirawat di sini. Jika besok sakit kepalanya sembuh, baru pulang."
"Baiklah, Dok," jawab Salma cepat ketika melihat Abhi ingin membantah. Sedangkan Abhi hanya bisa mengangguk pasrah.
Setelah selesai memeriksa dan menjelaskan tentang keadaan Abhi, dokter Tono pun pamit keluar.
"Makan, ya, Bhi."
"Iya, Bu." Abhi menolak ketika Salma ingin menyuapinya. "Abhi bisa sendiri."
"Baiklah."
"Sebaiknya Budhe juga makan. Tadi aku beli nasi sama lauk di warung dekat klinik," kata Andi yang kini telah duduk di kursi dekat ranjang yang ditempati Abhi.
"Nanti saja, Budhe mau sholat dulu," ucap Salma setelah melihat jam dinding yang menunjukkan angka satu lebih. Terlalu panik membuat ia lupa belum melaksanakan kewajibannya.
Andi melirik jam dinding lalu mengangguk. "Baiklah. Biar aku yang jaga Abhi sementara Budhe sholat."
Salma pun mengangguk lalu keluar dari ruang rawat Abhi.
"Sudah?" tanya Andi ketika melihat Abhi berhenti makan.
"Iya."
"Kok nggak dihabisin?"
"Kenyang."
Andi pun mengambil piring makan Abhi yang isinya masih tersisa separuh lalu meletakkannya di atas meja. Kemudian ia membantu Abhi minum obat.
"Masih pusing?"
"Sedikit."
Andi mengangguk lalu memilih membaca koran ketika melihat Abhi kembali merebahkan tubuhnya. Ia mengerti, sahabatnya itu butuh istirahat yang cukup.
Dua puluh menit kemudian, Salma telah kembali ke kamar rawat Abhi. "Abhi tidur?" tanya Salma ketika melihat Abhi memejamkan mata.
"Kayaknya iya, Budhe." Andi mengamati Abhi yang nampak terlelap. "Mungkin Abhi terlalu lelah dan juga efek obat," lanjutnya.
"Bisa jadi."
"Aku pamit kembali ke kantor, ya, Budhe. Masih ada kerjaan yang harus diselesaikan hari ini," pamit Andi sambil mencium takzim telapak tangan Salma.
"Hati-hati di jalan, ya!" pesan Salma.
Andi mengangguk. "Budhe juga jangan lupa makan."
"Iya."
🍂
Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas malam. Namun, Dina belum juga bisa tidur. Ia memandang Kiran yang tidur dengan pulasnya. Putri kecilnya itu terlihat lucu dengan bibir mengerucut seakan ia sedang menyusu.
"Bagaimana Mama menjelaskan semuanya ke kamu nanti, Nak?"
Tak terasa bulir bening jatuh dari kedua mata Dina. Bisa ia bayangkan, sekecewa apa putrinya nanti, jika tahu tentang kejadian yang menyebabkan kelahirannya.
"Maafin, Mama." Dina mengusap air matanya, lalu mencium kening Kiran penuh kelembutan.
"Mama salah karena nggak bisa jaga diri dengan baik dulu, hingga menyebabkan kehadiranmu di luar ikatan suci pernikahan."
Dina merasa benci dan marah ketika mengingat kejadian 'itu', yang membuat hidupnya hancur, bahkan ia sempat depresi dulu. Namun, berkat keluarga kecil Sekar, ia bisa sembuh dan mau menerima kehadiran Kiran yang awalnya ia tolak. Walau sampai saat ini, kejadian itu memang masih menyisakan sedikit trauma baginya.
Dina mengelus pipi gembil Kiran. Kini, ia tidak menyesal memiliki Kiran. Terlepas dari cara putrinya itu tercipta, Kiran adalah anugerah terbesar dalam hidupnya. Dan Dina pun akan berusaha menebus kesalahannya di masa lalu dengan mendidik dan memberikan yang terbaik untuk putrinya itu, termasuk memberikan keluarga yang lengkap.
Setelah membenahi selimut Kiran, Dina berdiri dan melangkah ke arah meja kecil yang terletak di pojok kamarnya. Ia mengambil sebuah bingkai foto yang berada di atas meja tersebut. Dielusnya permukaan bingkai foto yang menyimpan gambar keluarga kecil Sekar yang tampak sempurna dan juga dirinya bersama Kiran. Foto iku diambil saat Kiran berusia tiga bulan.
"Terima kasih untuk semua kasih sayang dan pengorbananmu untukku.
Aku benar-benar beruntung memiliki sahabat sepertimu."
Dina tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Sekar untuknya. Sahabatnya itu memberikan semua yang ia butuhkan, baik itu cinta, kasih sayang, tanggung jawab dan juga waktu. Bisa ia bayangkan, betapa repotnya Sekar disaat harus membagi waktu untuk suami, ketiga buah hatinya dan juga dirinya.
"Kurasa ... sudah cukup semua yang kamu lakukan untukku. Kini, aku akan berusaha untuk melawan ketakutanku."
Dina memejamkan mata. Bayangan Bu Salma yang terlihat begitu menyayangi Kiran dan juga tangis wanita sepuh itu kembali terlintas.
Kelopak mata Dina perlahan terbuka. Seulas senyum tersungging di bibir kemerahan miliknya. Lalu, ia membawa bingkai foto berwarna hitam itu ke dalam pelukannya.
Sudah aku putuskan, aku akan mencoba berdamai dengan masa lalu. Semoga saja, apa yang akan aku lakukan ini tepat adanya. Tuhan, tolong bantu hamba.
🍂
Salam sayang dariku 💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro