Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🍂 15 🍂

Satu tahun berlalu, kaki Abhi pun telah sembuh meski kadang masih terasa nyeri saat terlalu lama berjalan atau berdiri. Ingatannya pun sudah kembali walau belum seutuhnya. Ada beberapa hal yang ia lupa terutama tentang Dina. Saat ditanya tentang wanita itu dan ia mencoba mengingatnya, justru kepalanya akan terasa sakit. Itulah sebabnya tidak ada lagi yang bertanya tentang Dina kepada Abhi.

Saat ini, Abhi sedang dalam perjalanan menuju kantor miliknya diantar pak Rudi karena Salma tidak mengizinkan Abhi pergi ke mana pun sendirian.

Sejak satu bulan yang lalu, Abhi mulai bekerja kembali walau hanya masuk dua hari sekali. Ia sangat bersyukur memiliki teman seperti Andi yang bisa diandalkan selama ia sakit. Semua pekerjaan beres, baik di kantor maupun di peternakan.

"Mau Bapak antar masuk, Mas?" tanya pak Rudi sebelum Abhi keluar dari mobil.

"Enggak usah, Pak. Aku udah bisa jalan, kok. Lagian kalau terus-terusan dibantu, nanti kakiku jadi manja. Kalau capek nanti aku bisa istirahat dulu."

"Baiklah, Mas."

Abhi berjalan perlahan menuju pintu utama kantor miliknya. Entah kenapa kakinya sedikit nyeri. Saat hampir sampai di teras tiba-tiba saja tubuhnya limbung dan jatuh terduduk.

"Om kenapa? Kok duduk di bawah?"

Abhi mendongak ketika mendengar suara seseorang menyapanya. Terlihat olehnya seorang anak laki-laki berparas tampan dengan rambut hitam tebalnya yang sedikit berantakan karena terkena angin.

"Ini, kaki Om sedikit nyeri buat jalan tadi."

"Ayo, aku bantu Om berdiri!"

"Iya."

"Loh, Bapak kenapa?" tanya satpam yang berjaga ketika melihat Abhi berjalan sedikit pincang dan dipapah seorang anak laki-laki.

"Kaki saya sedikit nyeri ini, Pak."

Satpam bernama Joni itu pun membantu memapah Abhi sampai ke ruang kerjanya di lantai tiga.

"Makasih."

"Iya, Pak. Ada hal lain yang bisa saya lakukan buat Bapak?"

"Tolong panggilkan Andi supaya ke ruangan saya."

"Baik." Joni pun keluar dari ruang kerja Abhi.

"Makasi udah bantuin Om."

"Iya, Om. Kata bunda, kita harus saling bantu."

Abhi mengangguk-anggukan kepala. Ia kagum pada anak laki-laki yang kini tengah duduk di sampingnya itu yang ia taksir berumur belasan tahun.

"Oh iya, nama kamu siapa? Nama Om, Abhi." Abhi mengulurkan tangan tanda perkenalan yang segera disambut oleh anak yang sudah mencuri hatinya itu.

"Namaku Saka, Om."

"Wah, nama yang bagus."

"Terima kasih. Bunda yang ngasih nama, Om," tutur Saka sambil tersenyum.

Abhi makin terpesona ketika melihat senyum Saka yang menawan. Andai ia sudah menikah dan memiliki anak perempuan, ia pasti akan menjodohkan mereka.

"Om kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Saka heran melihat kelakuan Abhi.

"Ohh, nggak pa-pa. Om hanya senang saja dipertemukan dengan anak sebaik kamu."

"Om bisa saja."

"Kamu ke sini sama siapa?"

Saka menepuk jidatnya. "Oh iya, Saka ke sini sama rombongan satu kelas, Om. Kelas Saka kan lagi ngadain studtour ke sini biar bisa lihat berbagai proses pengolahan susu murni. Kemarin kan udah ke peternakannya, terus hari ini ke sini. Tadi Saka dari toilet, pas selesai teman-teman Saka udah nggak ada."

Abhi gemas ketika melihat wajah murung Saka. Bukannya terlihat jelek, tapi justru terlihat imut. "Jangan sedih, nanti biar Om antar ke tempat pengolahan.

"Beneran, Om."

"Tentu."

Terdengar pintu dibuka dari luar dan memperlihatkan tubuh tinggi Andi. Ia berjalan ke arah sofa di mana Abhi dan dan Saka duduk. "Kata pak Joni kaki Bapak sakit?"

"Iya, tadi waktu jalan sedikit nyeri, tapi sekarang udah mendingan. Oh iya, Ndi, kenalin ini Saka yang tadi nolong aku."

"Hai, nama Om, Andi."

"Hai juga, Om. Aku Saka."

Abhi menjelaskan pada Andi tentang keberadaan Saka di kantornya.

"Biar saya saja yang nganter Saka. Bapak istirahat saja di sini," kata Andi ketika Abhi berniat mengantar Saka menyusul teman-temannya.

Abhi memandang Saka. "Kamu nggak pa-pa dianter om Andi?" tanyanya.

"Nggak pa-pa, Om."

Setelah berpamitan, Saka dan Andi pun keluar dari ruang kerja Abhi.

🍂

"Saka, boleh Bunda tanya?" Sekar duduk di samping putra sulungnya yang kini tengah memberi makan ikan koki di kolam yang terletak di belakang rumah.

"Tentu, tanya apa, Bun?"

"Bunda lihat ada nomor baru di ponsel kamu. Siapa dia, Nak?" tanya Sekar lembut. Tadi, ia menemukan nomor asing ketika memeriksa ponsel Saka. Sekar memang rutin memeriksa ponsel putranya itu untuk memantau apa saja yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh anak seusianya. Ia tidak mau kalau putra putrinya sampai salah jalan seperti dirinya dulu.

"Oh iya, Saka lupa belum cerita. Dia om Abhi, Bun, yang punya peternakan sapi perah sama pabrik susu murni." Saka menjelaskan panjang lebar tentang kegiatannya di tempat Abhi.

"Maaf ya, Bun. Saka lupa mau kasih tahu Bunda," ucap Saka sambil memeluk Sekar manja.

"Iya. Lain kali jangan diulangi." Sekar mengusap kepala Saka lembut. Bukan apa-apa, ia hanya khawatir kalau sampai hal buruk terjadi pada putra sulungnya itu. Maraknya berita penculikan dan kejahatan lainnya terhadap anak-anak membuat Sekar selalu was-was.

🍂

Dina memandang rumah yang hampir satu setengah tahun ia tinggalkan. Rumah yang penuh kenangannya bersama ibu tercinta, di mana mereka melewati tawa dan tangis bersama. Betapa ia merindukan rumah ini.

Satu bulir bening jatuh dari sudut mata Dina ketika ia akhirnya bisa menginjakkan kaki lagi di rumah ini, setelah dengan susah payah melawan ketakutannya. Tadinya, ia memang berniat menetap di Jakarta, tapi rasa rindu pada ibunya akhirnya membuat ia mau mencoba kembali ke kota ini.

"Kita masuk, Non," ajak bi Narti yang berdiri di sampingnya.

"Iya, Bi." Dina mengusap air matanya, lalu ia berjalan menuju pintu utama rumahnya yang telah dibuka oleh pak Hadi.

Saat memasuki ruang demi ruang, kenangan masa lalu ketika ibunya masih hidup kembali berputar berulang kali. Ia benar-benar merindukan wanita yang telah melahirkannya itu. Tak terasa bulir bening telah membasahi pipinya.

"Oekk."

Dina terkejut ketika mendengar suara tangisan bayi yang kini berada dalam gendongannya. Ia pun segera mengusap pipinya yang basah.

"Cup, Sayang. Maaf ya, udah bikin kamu bangun." Dina mengusap pipi gembil putrinya yang terlihat basah. Rupanya, putrinya itu terbangun karena terkena tetesan air matanya.

Dina pun membawa putrinya ke dalam kamarnya dulu di lantai atas. Setelah mencuci muka dan tangannya, ia menyusui putrinya sambil tiduran.

Dina bangkit dari tidurnya, lalu duduk bersandar pada kepala ranjang. Ia memandang wajah lelap putrinya. Bayi mungil berusia enam bulan itu pernah ia tolak kehadirannya dulu. Tapi kini, bayi bernama Zanna Kirania itu menjadi alasannya bertahan hidup, seperti perkataan Sekar dulu.

"Banyak wanita di luar sana yang menginginkan seorang anak tapi mereka tidak juga mendapatkannya. Lalu, bagaimana bisa kamu mau membunuhnya. Dia anugrah dari Tuhan yang harus kamu jaga, terlepas bagaimana cara ia ada yang memang menyakitkan. Aku tahu ini berat karena aku pernah mengalami berada di posisimu saat ini, tapi percayalah, ia akan menjadi kekuatan untukmu menjalani hidup. Jika kamu tidak mau merawatnya, cukup lahirkan dia dan berikan padaku. Biarkan aku yang merawatnya."

Untuk kesekian kalinya, Dina bersyukur karena memiliki sahabat seperti Sekar. Sahabat yang telah rela mengorbankan banyak hal demi dirinya.

🍂

Cek tipo teman-teman 🤗

Salam sayang dariku 💖











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro