
🍂 12 🍂
"Aakhh...."
Sekar yang sedang menyuapi Lily makan, dikagetkan dengan suara teriakan dari kamar Dina. Setelah menitipkan Lily pada mbak Ami, ia segera masuk ke kamar untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan sahabatnya itu.
"Tenang, Na. Ini aku." Sekar memeluk Dina yang kini tengah meringkuk di pojok ranjang sambil berteriak-teriak.
"Lepasin! Kamu jahat, aku benci kamu." Dina mendorong Sekar sampai tersungkur ke lantai.
"Aww." Sekar meringis sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing karena terbentur pinggiran meja. Ia cukup kaget dengan reaksi Dina. Tidak biasanya sahabatnya itu berlaku kasar seperti ini.
"Sayang, kamu enggak pa-pa?" tanya suami Sekar yang baru datang bersama dokter Rani dan suster Lena untuk memeriksa Dina.
Sekar hanya mampu menggeleng tanpa bicara satu patah kata pun karena rasa pening di kepalanya kian menjadi.
"Ini kenapa kepala kamu berdarah gini? Kaki kamu juga." Terdengar nada khawatir yang kentara dari perkataan pria berumur tiga puluh dua tahun tersebut. Ia mengedarkan pandangan. Terlihat pecahan gelas berserakan di lantai. Mungkin istrinya tadi tidak sengaja menginjak nya.
"Aku obatin luka kamu."
"Dok, saya obatin luka istri saya dulu. Tolong tangani Dina."
"Baik, Pak."
Setelah Sekar dibawa keluar dari kamar Dina oleh suaminya, dokter Rina kembali memeriksa Dina. Sahabat Sekar tersebut terlihat ketakutan saat didekati dan melawan ketika dipegang. Oleh karena itu, dokter Rani terpaksa menyuntikkan obat penenang padanya.
Perlahan, kelopak mata Dina mulai menutup dan tubuhnya pun mulai melemas. Setelah itu, dokter Rani dan suster Lena merebahkan tubuh Dina di atas ranjang supaya nyaman.
Dokter Rani pun pamit pulang setelah selesai memeriksa Dina dan memberikan resep obat untuknya. Sedangkan suster Lena tetap tinggal di rumah Sekar untuk menjaga Dina.
🍂
Dua minggu berlalu, keadaan Dina sudah lebih baik. Ia tidak lagi berteriak-teriak atau pun ketakutan jika didekati. Hanya saja tubuhnya kian kurus. Selain karena ia susah tidur, makannya pun hanya sedikit.
Seperti saat ini, bi Narti tak lelah membujuk Dina untuk menghabiskan sarapannya.
"Ayo, makan lagi, biar enggak lemes badannya, Non."
"Aku udah kenyang, Bi. Rasanya pahit, enggak enak."
Bi Narti menghela napas dalam. Ia prihatin keadaan Dina. Selain terlihat lebih kurus, majikannya itu jadi pemurung. Tak ada lagi raut ceria yang dulu selalu menghiasi wajahnya.
"Ya udah, kalau gitu minum obatnya saja." Bi Narti meletakkan piring makan Dina di atas meja. Setelah itu, ia mengambil obat dan juga air putih untuk Dina.
"Terima kasih, Bi."
"Iya, Non. Bibi bawa ini ke dapur dulu ya," ucap bi Narti sambil mengangkat nampan berisi piring dan gelas kotor bekas makan Dina tadi.
Dina mengangguk. "Oh iya, Bi. Sekar ke mana ya? Kok dari kemarin aku nggak lihat dia."
"Non Sekar menginap di rumah nyonya Ratih. Mungkin nanti siang sudah pulang."
"Ooohh." Dina mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.
Setelah bi Narti keluar dari kamarnya, Dina berjalan ke arah sofa yang terletak di dekat jendela. Ia duduk di sofa berwarna abu-abu tersebut sambil memeluk lututnya.
Dina memejamkan mata, ketika embusan angin yang masuk melalui jendela yang terbuka membelai lembut wajah pucatnya. Wangi bunga mawar yang memasuki indra penciumannya mampu menenangkan pikirannya yang sedang kacau.
Kamar yang ditempati Dina memang terletak di lantai satu dengan jendela yang cukup besar menghadap ke taman di samping kanan rumah Sekar. Taman tersebut khusus ditanami bunga mawar dengan berbagai warna.
Dina membuka matanya perlahan. Pikirannya menerawang, mengingat kejadian yang menimpanya beberapa waktu yang lalu. Ia merasa sedih dan terguncang dan hampir saja ia kehilangan akal dan sempat terbersit niat untuk mengakhiri hidupnya. Untung saja Sekar datang di saat yang tepat.
Mengingat Sekar, membuat Dina tersenyum. Sahabatnya itu wanita yang kuat. Ia mampu menjalani kehidupannya yang penuh luka. Bahkan, saat mengandung Saka, ia sendirian, tak ada seorang pun yang menemaninya. Tapi, ia mampu melahirkan keponakan lucunya itu dengan selamat.
"Aku harus sekuat kamu, Se. Maafin aku yang udah buat kamu susah akhir-akhir ini."
Senyum Dina menghilang ketika ia mengingat kejadian dua minggu yang lalu. Entah kenapa ia bisa mendorong Sekar sampai sahabatnya itu jatuh dan terluka. Waktu itu, ia seperti tidak sadar akan tindakannya. Saking putus asanya membuat ia hampir kehilangan kewarasan dan mencelakai sahabat yang dengan tulus menyayanginya.
Keesokan harinya, ketika melihat kening Sekar diperban, ia benar-benar merasa bersalah karena perbuatannya sudah melukai sahabatnya itu, yang masih saja mau merawatnya walau sudah dilarang oleh suaminya, karena takut Dina akan melukai Sekar lagi.
Sejak saat itu, Dina berusaha melawan mimpi buruk dan bayang-bayang kejadian mengerikan yang menimpanya. Ia juga mematuhi semua nasehat dokter Rani, salah satunya sadalah minum obat yang sudah diresepkan untuknya, bukan malah membuangnya seperti kemarin-kemarin.
Dina turun dari sofa dan beranjak ke kamar mandi. Setelah itu, ia mengambil mukena yang dibelikan Sekar di dalam almari. Ia ingin melaksanakan sunah dhuha. Memohon ampun pada Yang Kuasa karena sudah melalaikan kewajibannya sejak kejadian itu. Tak lupa, ia juga memohon agar diberi rezeki berupa kesehatan baik jiwa mau pun raganya.
Dina mengusap bulir bening yang berjatuhan dari kedua matanya ketika mengingat perkataan Sekar, bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan umatnya. Ya, sahabatnya itu benar. Mungkin, memang seperti inilah takdirnya. Meski sulit, ia akan berusaha menjalaninya dengan ikhlas.
Dina berjanji, mulai saat ini, ia akan berusaha menjadi lebih kuat. Seperti Sekar yang tetap berdiri tegak meski cobaan silih berganti mendera hidupnya.
🍂
"Maafin Abhi, Bu," ucap Abhi penuh sesal. Ia menunduk, tak mampu memandang Salma karena takut melihat raut kecewa wanita yang telah melahirkannya itu setelah mendengar pengakuannya.
Sebenarnya, Abhi belum siap berkata jujur pada Salma. Tapi, karena wanita yang telah melahirkannya itu mendesaknya supaya mau menikahi Disha karena wanita itu dipaksa menikah oleh ibunya dengan pria berumur yang lebih pantas menjadi ayahnya, akhirnya Abhi pun menceritakan semuanya.
Sedangkan Salma hanya mampu diam. Lidahnya kelu, tak mampu mengeluarkan satu patah kata pun. Tak lama, bulir bening mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak menyangka, putra yang ia percaya dan banggakan selama ini, mampu berbuat kejam seperti itu pada gadis yang bahkan baru pertama ditemuinya.
Akhir-akhir ini Abhi memang terlihat berbeda, seperti banyak beban. Tadinya, Salma berpikir mungkin hanya masalah pekerjaan. Tapi, ia tak menyangka ternyata putranya itu telah melakukan kesalahan sefatal itu.
Tak mendapat jawaban dari Salma, Abhi pun mendongak. Ia menghambur memeluk kaki ibunya yang kini tengah duduk termenung. Hatinya seakan dicubit ketika melihat air mata yang mengalir deras dari kedua mata wanita yang telah melahirkannya itu.
"Ampuni Abhi, Bu. Abhi salah dan pantas dihukum. Apa pun hukuman yang Ibu berikan akan Abhi terima. Asalkan jangan diemin Abhi kayak gini."
"Kenapa, Bhi? Apa Ibu salah dalam mendidikmu selama ini?"
"Tidak, Bu. Selama ini Ibu sudah mendidik Abhi dengan benar. Abhi lah yang salah karena mengabaikan nasehat Ibu."
"Tak ingatkah kamu, Bhi? Tentang cerita di jaman dahulu ketika ada seorang pria yang terbujuk rayuan iblis yang akhirnya meneguk menimuan arak. Lalu ia pun mabuk, sehingga memperkosa perempuan penjual arak tersebut. Tak hanya memperkosa, pria itu juga membunuhnya. Akhirnya tiga dosa besar dilakukan oleh pria tersebut. Dan kamu...." Salma tak sanggup melanjutkan perkataannya. Ia merasa telah gagal mendidik Abhi. Lebih dari itu, ia merasa berdosa pada gadis itu.
Hening. Baik Abhi mau pun Salma sama-sama diam. Mereka berdua larut dengan pikiran masing-masing. Beberapa menit berlalu, Salma kembali bertanya pada Abhi.
"Bagaimana keadaan gadis itu?"
Abhi mendongak. "Abhi enggak tahu, Bu."
"Maksud kamu?" tanya Salma sambil memandang tajam Abhi. "Jangan bilang kamu...."
Abhi menggeleng. "Abhi udah berusaha cari dia, Bu. Tapi rumahnya kosong. Pegawai di tokonya juga bilang kalau dia ikut sahabatnya ke Jakarta. Abhi lagi cari alamatnya, Bu."
Salma menghela napas. "Jujur, Ibu kecewa sama kamu. Tapi, semua sudah terjadi. Mau Ibu marah seperti apa pun padamu, semuanya juga percuma. Tak akan mengembalikan semua seperti semula. Pesan Ibu, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu itu. Cari dia sampai ketemu, nikahi dia, Nak."
Abhi mengangguk. "Iya, Bu. Abhi akan cari dan nikahin dia. Doain Abhi, semoga bisa segera menemukannya."
Salma mengangguk. "Bilang sama Disha, kalau kamu enggak bisa nikahin dia."
"Iya, Bu."
Terdengar bunyi panggilan dari ponsel Abhi yang berada di atas meja. Terlihat nama Ardi di sana. Abhi segera menggeser tombol berwarna hijau ke atas. Belum sempat Abhi membuka mulut, Ardi lebih dulu bicara.
"Gue udah nemu alamat Sekar dulu, Bhi."
"Benarkah? Di mana?" Senyum tersungging di bibir Abhi. Ia merasa lega, karena merasa langkahnya mencari Dina semakin dekat.
"Ada di sebuah komplek tak jauh dari Dina's Bakery. Mungkin sekitar empat kilometer dari sana."
"Oke, anterin gue ke sana." Abhi mematikan ponselnya setelah mendapat jawaban dari seberang sana.
"Siapa, Bhi?" tanya Salma setelah Abhi menutup teleponnya.
Abhi duduk di samping Salma dan menggenggam telapak tangan ibunya. "Ardi, Bu. Dia bilang nemuin alamat sahabat Dina dulu. Abhi mau ke sana. Ibu doain Abhi ya, Bu."
"Iya, Bhi. Doa Ibu menyertaimu."
"Abhi berangkat, Bu. Assalamualaikum," pamit Abhi.
"Waalaikumsalam."
Salma memandang tubuh Abhi sampai menghilang di balik pintu. Tak lama, terdengar deru mobil meninggalkan halaman rumah. Bulir bening kembali jatuh dari kedua mata tuanya. Dalam hati ia berdoa, semoga Tuhan mengampuni dosa putranya. Dan juga semoga keadaan gadis itu baik-baik saja.
🍂
Cek tipo ya, teman-teman.
Salam sayang dariku 💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro