°47°
Ceklek
Arta melirik sekilas ke arah pintu ruang kerjanya yang dibuka dari luar. Senyum Arta langsung mengembang saat melihat ratu hatinya lah yang membuka pintu.
Hanya sekilas, setelahnya Arta kembali berkutat di depan komputer. Kacamata anti radiasi yang bertengger di hidung bangirnya, membuat Arta nampak lebih berkarisma. Ah, pria itu semakin tampan saja kalau sedang serius seperti sekarang, membuat Aiza semakin tergila-gila. Tergila-gila dalam hal jatuh cinta, tentunya.
"Dingin-dingin begini, enaknya minum yang hot-hot. So … Aiz bikinin hot chocholate for you, my husband yang selalu sibuk dengan berbagai pekerjaannya," kata Aiza dengan nada lembut sembari meletakkan secangkir coklat panas ke atas meja kerja Arta.
Mendengar penuturan sang istri yang sarat akan sindiran, Artaa terkekeh pelan.
Berdiri di belakang kursi yang Arta duduki, Aiza sedikit mencondongkan tubuhnya, memeluk leher sang suami dengan dagu yang ia letakkan di atas bahu Arta.
"Thanks, love," ucap Arta sambil mencium kilat pipi Aiza.
"Kembali kasih Pak Dokter," sahut Aiza dengan senyum lebar.
"Nayla udah tidur?" tanya Arta sembari menyeruput coklat panas yang asapnya masih mengepul tersebut, buatan istri tercinta.
"Tadi habis nangis dia langsung tidur," jawab Aiza dengan nada sedikit ketus.
Arta yang peka, menyudahi pekerjaannya. Ia menggiring tubuh mungil sang istri yang kian hari kian membulat untuk duduk di sofa yang sengaja dia sediakan di ruang kerjanya. Tangannya mengusap punggung tangan Aiza yang diletakkan di atas pahanya. "Marah?"
'Pertanyaan bodoh!' gerutu Aiza membatin.
"B aja tuh," sahut Aiza sembari mendongakkan wajahnya. Memasang tampang biasa saja. Padahal di dalam hati, wanita itu mencak-mencak menahan kesal.
Suaminya ini sungguh menyebalkan. Setelah membuat anaknya mengamuk, bukannya ditenangkan malah ditinggal kerja. Alhasil, Aiza yang harus turun tangan menenangkan Nayla. Masalahnya, Aiza sedang lelah. Ditambah harus membujuk sang anak untuk diam dan tidur, jelas saja ia harus perang batin.
Melihat tanggapan Aiza, Arta jadi gemas sendiri. "Abang salah, tapi beneran … kerjaan Abang nggak bisa ditunda pengerjaannya," jelas Arta yang akhirnya mengakui kesalahannya.
"Kerjaan Abang emang selalu lebih penting, 'kan, dibanding keluarga?" Perkataan Aiza tepat sekali menohok hati Arta. Pria itu meringis.
Mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk 'V', Arta menampilkan cengiran tak berdosa. "Nggak dong, Yang. Lagian, hitung-hitung buat kamu belajar jadi bunda siaga--"
"Bunda siaga endasmu! Yang ada tuh, Abang yang harus belajar jadi ayah yang perhatian, lebih peka! Ini Nayla umurnya udah hampir masuk enam tahun, masih bisa Aiz kasik alasan ini itu pasal ayahnya yang super-duper sibuk! Lha entar kalo baby yang Aiz kandung lahir, gimana? Dia mana bisa kalau nangis ditenanginnya cuma dengan bilang 'Ayah lagi sibuk, Nak. Nanti yaa … kalau kerjaan Ayah udah kelar pasti Ayah dongengin,' Yakali! Nggak ngerti dia! Heran. Makin ke sini kog, Abang tuh lebih memprioritaskan pekerjaan Abang ketimbang keluarga! Aiz pokoknya nggak mau tau yaa … besok kalau Nayla masih ngambek, Abang yang bujuk dia! Salah sendiri lebih mentingin kerjaan daripada anak!" Sepanjang rel kereta api Aiza mengomel dengan semangat yang menggebu, bak semangat 45.
Arta mengulum senyum. Menatap wajah Aiza yang semakin menggemaskan di matanya, bahkan ketika wanita itu meluapkan emosinya melalui lisan. "Udah?"
Sontak saja mata Aiza melotot. Jari lentiknya mendarat di pinggang Arta, memberi cubitan manja di sana. "Dasar suami nggak peka! Istrinya lagi marah malah dibercandain! Orang lagi serius juga!" Aiza jadi geram sendiri melihat respon suaminya. Pria ini benar-benar menyebalkan. Sialnya, dia malah sangat mencintai pria menyebalkan itu. Ck!
"Yang serius kan, orang. Kalau Abang mah, udah seriusin kamu. Tiga rius malah." Alis Arta naik turun, menatap Aiza jenaka.
Mata Aiza sekarang nyaris loncat keluar, membuat Arta mati-matian menahan tawa. Berusaha memasang tampang sesantai mungkin. Karena Arta selow. Sungguh selow. Sangat selow. Santai … santai … bini nggak bakal ke mana … eh?
"Abang!" pekik Aiza begitu melengking. Telinga Arta sampai berdengung setelahnya.
Tangan bumil tersebut memukuli tubuh suaminya, meluapkan kekesalan di hati. Matanya memerah, mulai berembun. Selama kehamilan, Aiza memang sangat sensitif. Sedikit saja ada hal yang membuatnya kesal, pasti langsung menangis. Kabar buruk untuk Arta, Aiza akan merajuk. Tidak mau berbicara dengannya.
"Udah malam, Aiz. Sekalipun ini ruangan kedap suara, tetap aja." Arta melayangkan protes, meski masih dengan nada bercanda.
"Sabodo! Pokoknya Aiz kesel sama Abang!" Setelah mengatakan itu, Aiza langsung melenggang dari ruangan Arta. Meninggalkan suaminya yang mendadak cemas.
Beranjak, kakinya melangkah cepat menyusul sang istri yang sudah masuk ke dalam kamar, dan … menguncikannya pintu. Ini alasan kenapa Arta cemas. Jika wanita itu marah, alamat dia tidur di luar.
"Yang! Buka, dong! Masa aku disuruh tidur di luar lagi, sih?!" teriak Arta sambil terus menggedor pintu kamar mereka.
Akhirnya, dengan berat hati Arta melangkah ke sofa yang tidak jauh dari kamar mereka. Menerima kenyataan, jika istrinya memang sekejam itu. 'Untung cinta,' ucapnya membatin.
Kenapa tidak tidur bersama di kamar Ira? Karena Arta tidak mau melakukannya di luar jadwal tidurnya dengan istri keduanya tersebut.
Bicara soal Ira, Arta jadi teringat perbincangannya dengan Aiza tempo lalu.
Arta masih sangat jelas mengingat pertanyaan yang istri pertamanya utarakan malam itu, saat mereka hendak mendayung menuju pulau kapuk.
"Kapan abang akan menceraikan Ira?" Dengan posisi yang nampak nyaman, bersandar di dada bidang sang suami seraya menonton siaran di televisi, Aiza tiba-tiba melontarkan pertanyaan.
Jawabannya sangat mudah sebenarnya. Tapi, entah kenapa Arta malah terdiam cukup lama. Merasa … gamang?
"Kenapa tiba-tiba nanya begitu, hm?" tanya Arta berusaha bersikap biasa saja.
"Tinggal jawab aja, 'kan?"
Aiza menarik kepalanya dari dada Arta, ketika pria itu tidak kunjung memberi jawaban. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Ada curiga yang menyelinap di benaknya, mendapati sang suami yang nampak ragu untuk menjawab. Ditatapnya lekat mata Arta yang juga menatapnya. Hati Aiza langsung terasa seperti dicubit, saat menangkap sorot keraguan di dalam manik mata Arta. Apakah suaminya ....
"Sesuai apa yang pernah Abang katakan dulu. Ira tetap berada di rumah ini dengan statusnya sebagai istri kedua Abang, nggak lebih karena amanah dari almarhumah ibunya." Aiza menjeda. Menghela napas pelan. "Dan sekarang, Ira udah melahirkan. Dia juga udah ketemu sama keluarganya."
Arta menelan salivanya susah payah, saat mendapat sorot tajam dari sang istri. "Abang nggak berniat mempertahankan pernikahan kalian karena ada alasan lain, 'kan?" selidik Aiza dengan mata memicing.
"Alasan lain?" beo Arta tidak mengerti.
Kepala Aiza mengangguk. "Ya, seperti … karena Abang udah mulai mencintai Ira, maybe?" Tebakan Aiza barusan, sontak membuat bibir Arta terkatup rapat.
Senyuman miris terukir di bibir Aiza. Digapainya jemari Arta. Menggenggam dan meremasnya pelan. Keduanya saling beradu tatap. Dari mata, bibir tak mungkin sanggup berdusta. "Aiz cinta, sayang sama Abang. Tapi, untuk bertahan lebih lama dari ini, rasanya Aiz nggak kuat. Pilihan ada di tangan Abang. Aiza dan anak kita, atau Ira dan anaknya," ujar Aiza sambil menahan sesak. Jangan sampai … dia kalah oleh wanita 'itu'. "Sebulan. Aiz kasih Abang waktu sebulan untuk memikirkan ini semua. Waktu yang lumayan cukup 'kan, untuk Abang memberikan keputusan?"
Tubuh Arta menegang. Tidak. Dia tidak mau kehilangan Aiza maupun anak mereka. "Sayang … kamu mau ninggalin Abang?" Balas menggenggam jemari Aiza, Arta memberikan tatapan memelas.
Aiza menggeleng kaku. "Aiz nggak bakal ninggalin Abang, selama Abang juga nggak mau Aiz pergi," sahut wanita itu, sebelum berbaring dengan memunggungi Arta. Hatinya sudah sangat lelah untuk berjaga lebih lama.
Malam itu Arta tahu dengan jelas, jika istrinya kembali meneteskan air mata, karena … dirinya sendiri.
°°°°°
Haihaihaiii😄
Udah mau mendekati akhir, yaaa😥
Kira-kira, Arta bakal pilih Ira atau Aiza yaaa?😞
Yang jelas, jika ingin tahuuuuu … nantikan part selanjutnyaaaa😉
See you soon😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro