°46°
Langit agaknya sedang marah. Di langit yang hitam pekat, kilatan petir terlihat sangat jelas. Menyambar dengan begitu cepat. Gemuruh guntur yang saling bersahutan, berikan getaran meski tidak terlalu kuat. Hujan deras mengguyur daratan. Menumpahkan sesak yang tak lagi tertahan.
Langit seperti memahami perasaan seseorang yang tengah terisak di ruang makan. Kepalanya bertumpu pada meja, dengan tangan yang dilipat sebagai alas. Tangisannya teredam oleh suara hujan di luar. Sesekali, ia memukul dadanya yang entah sampai kapan bisa memberikan rongga bebas, tidak lagi menyesak, memudahkannya menghirup oksigen.
Entah pukul berapa sekarang, dia tidak tahu. Yang jelas, tadi dia sempat berbaring sejenak di kamar tamu sebelum memutuskan keluar, enggan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Matanya berat, bukan karena ngantuk, tapi karena terlalu lama menangis. Segelas air dingin sudah tandas, ia habiskan. Berharap bisa sedikit melegakan perasaannya. Namun, nyatanya nihil. Tidak ada yang berubah, selain rasa sesak yang kian mencekam.
Lampu rumah sudah dimatikan semua, tersisa lampu di luar. Penghuni rumah pun pasti sudah berlayar dalam tidurnya.
Tanpa ia sadari, seseorang tengah berdiri tidak jauh darinya. Hampir sepuluh menit orang tersebut hanya berdiri kaku, memperhatikan.
Orang itu, Arta. Dia mengepalkan tangan. Untuk ke sekian kalinya, ia lagi-lagi menjadi alasan air mata itu tumpah.
Menghembuskan napas panjang secara perlahan, kakinya melangkah mendekati sang istri. Aiza sama sekali belum menyadari, sampai akhirnya wanita itu tersentak, saat Arta yang tengah berjongkok menumpukan kepalanya di atas paha Aiza. Pria itu turut meneteskan air mata.
"Ampun … ampuni Abang, sayang ...." Arta meraih tangan Aiza, mencium punggung tangan ratu hatinya berkali-kali.
Tubuh Aiza menegang. Terkejut dengan kedatangan Arta yang tiba-tiba. Apalagi saat samar-samar, telinganya mendengar isakan yang keluar dari bibir Arta.
Air mata Aiza semakin deras mengalir. Tubuhnya membatu beberapa saat, sebelum menyentak keras tangan Arta yang terasa lemah di pria itu. Genggaman Arta semakin erat. Kata 'maaf' tak henti ia suarakan. Calon ayah satu itu benar-benar menyesali perbuatannya. "Kamu boleh pukul aku, kamu boleh tampar aku, silakan. Tapi, aku mohon … maafkan aku. Beri aku kesempatan sekali lagi," ujar Arta memohon.
Sedangkan Aiza malah memalingkan wajah dengan derai air mata. Ia sudah mulai berdiri, terus mencoba melepaskan genggaman tangan Arta. Tepat saat kakinya mulai melangkah, tubuhnya limbung. Beruntung Arta dengan sigap menangkap. "Kamu nggak pa-pa?" tanya pria itu cemas.
'Pertanyaan bodoh!' umpat Aiza dalam hati. Setelahnya, tangan wanita itu refleks mencengkram kaus yang Arta kenakan, saat tubuhnya melayang. Arta membopongnya. Ingin menolak, tapi kondisi tubuhnya benar-benar lemah, membuat Aiza pasrah dibawa ke dalam kamar.
Dengan pelan penuh kehati-hatian, Arta membaringkan tubuh sang istri ke atas ranjang. Lampu kamar yang menyala terang membuat Arta akhirnya bisa melihat wajah Aiza yang benar-benar kacau. Seketika hatinya nyeri mendapati pemandangan tersebut. Arta benar-benar telah melakukan kesalahan besar. Benaknya meragu, jika sang istri sudi memberi maaf, lagi.
Berbalik, Aiza tidur memunggungi Arta. Hembusan napas berat keluar dari bibir suaminya. Biar saja. Untuk malam ini, biarkan Aiza meredakan sesak di dada. Semoga, hari esok mendukungnya untuk meraih bahagia.
°°°
Huek … Huek ….
Pagi-pagi sekali, suara Aiza yang tengah muntah menjadi penyambut pagi Arta. Usai mendirikan shalat subuh yang didirikan di rumah, Arta kembali tertidur. Pikiran yang sedang kacau, membuat tubuhnya ikut letih.
Tidak ada jadwal kerja, karena memang baik Arta maupun Aiza sudah mengurus cuti. Untuk berlibur sebenarnya. Tapi sayang, Arta membuat rencana yang sudah disusun sedemikian rapi menjadi berantakan.
Menyibak selimut, kakinya melangkah panjang-panjang menuju kamar mandi yang di dalam, ia temukan Aiza dengan wajah pias.
Persetan dengan istrinya yang mungkin saja masih dalam mode marah, Arta mengusap pelan tengkuk Aiza sambil tangan sebelahnya menahan beban tubuh sang istri.
Aiza tidak menjawab, dia meraih baju Arta. Menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami kemudian. Kalau saja Arta tidak menahan tubuhnya, bisa Aiza pastikan, kalau dia akan terduduk di lantai kamar mandi yang dingin ini.
Ingin rasanya Aiza mengumpati dirinya yang selalu mudah luluh oleh Arta. Tapi, Aiza akui, kalau dia memang sangat membutuhkan suaminya.
Nyaris saja Arta terjengkang ke belakang, tidak siap dengan Aiza yang tiba-tiba menumpukan tubuh pada dirinya. "Masih mual?" tanya Arta pelan. Pria itu tidak bisa menyembunyikan raut kuatirnya. Ingin rasanya dia saja yang merasakan mual-mual, bukan Aiza. Sungguh, Arta tidak tega melihat istrinya yang seperti ini. Rasanya pasti sangat tidak enak.
Belum sempat Aiza menjawab, rasa mual itu kembali datang.
Huek!
Ups! Muntahan Aiza berpindah tempat ke baju kaus Arta. Mata Aiza langsung terbelalak. Ia menatap Arta menyesal. Suaminya itu tidak menunjukkan raut marah atau kesal, malah tersenyum. "It's okay, masih mual?" tanyanya lagi yang sekarang dibalas gelengan kepala lemah oleh Aiza.
Sedetik kemudian, tubuh Aiza sudah melayang. Arta menggendonganya keluar kamar mandi, membaringkannya ke atas ranjang kemudian.
"Mak Tam!" seru Arta.
Mak Tam yang kebetulan sedang beres-beres di lantai dua datang tidak lama kemudian.
Arta meminta pembantu rumah tangganya itu untuk menemani Aiza, takut-takut kalau Aiza membutuhkan sesuatu.
Arta kembali masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan bekas muntahan Aiza sekaligus mandi. Sebelumnya, pria itu mengambil baju ganti di lemari.
Sepuluh menit kemudian, pria itu kembali keluar dengan keadaan yang lebih fresh. Rambutnya bahkan masih sedikit basah.
Mak Tam tengah memijat kaki Aiza ketika Arta keluar dengan keadaan yang lebih fresh.
"Udah sarapan?" tanya Arta sembari duduk di bibir ranjang. Tangannya mengusap pelan kepala sang istri yang tengah memejamkan matanya. Wanita itu tidak tidur, hanya kelelahan. Tenaganya sudah terkuras banyak di pagi buta seperti ini.
"Belum," jawab Aiza. Suaranya benar-benar terdengar lemah.
Arta lantas meminta Mak Tam untuk membawakan sarapan untuk Aiza beserta susu ibu hamil.
"Maaf ya, Aiz beneran nggak sengaja tadi," ucap Aiza sambil membuka kelopak mata.
Arta menggeleng. "Nggak pa-pa." Tubuhnya sedikit membungkuk, mengecup perut Aiza setelah sebelumnya menyibak piyama Aiza sedikit. "Baby marah, ya, sama Ayah?"
Mengerjap beberapa kali, niat ingin menghalau air mata. Sayang, air mata itu tetap menetes dari sudut matanya. Aiza bingung, apa yang harus dia lakukan untuk menghadapi kondisi rumah tangganya saat ini, yang tidak henti diterpa badai.
"Hei ...." Jempol Arta mengusap air mata sang istri. Mengecup kedua mata Aiza setelahnya. Tatapannya terkunci tepat di pipi Aiza. Mengusapnya pelan, kepala Arta tertunduk. "Maafin Abang atas kejadian semalam, ya? Abang benar-benar mohon ampun," ungkap pria itu. Suaranya serak, jelas sekali tengah menahan tangis.
Tangan Aiza meraih tangan Arta yang berada di pipinya. Menuntunnya menuju dada kanannya. "Tamparan Abang nggak lebih sakit dari apa yang Aiz rasain di sini," lirih wanita itu menyahuti.
Saat itulah, air mata Arta menetes. Bercampur dengan air mata sang istri. Mendekatkan wajah, sampai kening mereka menyatu. Pandangan Arta tidak lepas dari wajah sang istri yang sekarang turut menatapnya, begitu dalam.
"Aku benar-benar menyesal … mohon ampuni aku, sayang ...." Bibir Arta mulai mengeluarkan isak kecil.
"Aiz yang seharuanya bilang begitu. Semalam … Aiz juga udah keterlaluan bicaranya," sesal Aiza. Seandainya saja, dia lebih bisa mengendalikan rasa cemburu dan amarahnya, mungkin kejadian semalam tidak akan pernah terjadi. Dan itu semua hanya menjadi andai-andai semata.
"Nggak. Aku yang keterlaluan. Maafin aku," sanggah Arta. Pria itu lantas menjatuhkan kepalanya di bahu sang istri. Terisak di sana kemudian.
"Kita sama-sama salah," koreksi Aiza akhirnya. "Jangan ulangi lagi, tapi. Aiz … Aiz beneran takut semalam. Abang nyeremin." Volume suara Aiza mengecil.
"I promise," bisik Arta sambil mencium singkat leher sang istri.
"Geli, ih!" Arta ini benar-benar. Istrinya sedang lemah saja masih diusili.
"I love you," ucap Arta.
"Love you too," balas Aiza sambil tangannya mengusap kepala Arta.
"Bang ...." Setelah cukup lama terhanyut dalam rasa sesal masing-masing, yang kemudian mulai melegakan dada setelah saling memaafkan, Aiza membuka suara.
"Hm?"
"Pengen mangga ...."
"Ha?" Arta menarik kepalanya, menatap istrinya yang tengah memasang puppy eyes.
"Pagi-pagi gini?"
Anggukan Aiza menjadi jawaban. "Mau bikin puding," kata wanita itu memberitahu.
Arta menghembuskan napas lega mendengarnya. "Nanti aku beliin," sahutnya sambil mengusap kepala Aiza. Sejak awal menikah, Arta sangat suka mengusap kepala wanita itu.
"Nggak mau mangga yang di pasar," beritahu Aiza.
Mengernyit, Arta bertanya, "terus, mau mangga yang di mana?"
"Yang di rumah Pak Dadang."
Seketika, wajah Arta berubah pias.
°°°°°
Haihaihaiii😄
Apa kabar kaleannnn?😁
Yang sempat nangis sebelum senyum-senyum sendiri baca part ini angkat kaki, kuy!😆
See you next part😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro