Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

°42°

Malam yang sunyi. Kelam tanpa hiasan bintang. Secercah cahaya bulan pun tidak terlihat. Dari kaca jendela kamar yang gordennya sengaja dibuka, Ira melempar pandang ke luar. Pikirannya melayang, seperti biasa.

Jangan kira dia yang nampak tenang itu tidak memiliki beban pikiran tersendiri. Tidak jarang hati kecilnya bertanya-tanya. Siapa ayah dari bayi yang ia kandung? Di mana pria tersebut? Tidakkah ada niat di hatinya, untuk mencari Ira?

Memikirkan semua itu, membuat air mata terpaksa harus kembali menetes. Membasahi kedua pipinya.

Layar ponsel yang menyala, menarik perhatiannya. Pesan singkat dari sang suami. Sekadar memberitahu, kalau hari ini tidak jadi pulang.

Senyum miris tersungging di bibirnya. Sudah biasa. Toh, selama kurang lebuh tiga bulan belakangan ini Arta tidak pulang, pria itu menginap di rumah ... yang Ira ketahui rumah Aiza.

Periksa kandungan pun, Ira ditemani Mak Tam. Harus terbiasa juga, kan?

Kadang, rasa iri menyembul. Iri terhadap Aiza yang seolah bisa mendapatkan semuanya. Fisik yang sempurna, otak yang cemerlang, orangtua yang lengkap, saudara yang menyayanginya, sahabat yang selalu perhatian, karier yang bagus, aktif, memiliki suami yang amat mencintainya. Kapan ... dia bisa memiliki itu? Setidaknya satu di antara semuanya.

°°°

Pukul satu dini hari, saat perut Ira tiba-tiba saja mulas. Ketika akan ke kamar mandi, lututnya melemas. Terduduk, tangan Ira mencengkram tepian meja dengan mulut yang mengerang.

"Mak!" pekiknya sekuat tenaga. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh. Sepertinya, waktu melahirkannya telah tiba.

Mak Tam yang memang diminta Arta menginap, menemani Ira terbangun ketika mendengar majikannya berteriak. Dengan tergopoh, wanita paruh baya itu menghampiri istri muda majikannya yang sudah terduduk lemas di lantai.

°°°

Dering telepon mengusik ketenangan tidur dua insan yang setia bergelung dalam hangatnya selimut.

Dengan mata setengah terbuka, tangan Arta meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Tanpa melihat nama di layar, ia menggeser ikon hijau. Dalam hati berharap, panggilan tengah malam itu bukan dari rumah sakit.

Sedetik setelah mendengar nada panik dari seberang, mata Arta langsung terbuka lebar. Ia menyibak selimut setelah mematikan sambungan. Menyambar jaket, dompet, serta kunci mobil.

"Mau ke mana?" Suara serak khas bangun tidur itu menghentikan sejenak gerakan Arta yang tengah memakai jaket.

"Rumah sakit, Ira mau lahiran," jawab Arta. Memasukkan ponsel ke dalam dompetnya kemudian.

Aiza menguap sembari bangkit duduk. Melirik jam, lewat tengah malam.

"Kamu tidur lagi aja, aku pergi dulu." Satu kecupan di kening Arta berikan. "Kalau ada apa-apa langsung telepon, ya?" Berjongkok, Arta menyibak piyama Aiza, mengusap pelan perut rata sang istri sebelum memberikan kecupan di sana.

"Hati-hati," ucap Aiza yang dibalas anggukan.

"Assalamu'alaikum," salamnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Aiza pelan. Dalam hati berdoa, semoga persalinan Ira lancar.

Berhubung sudah terbangun di waktu dini hari, Aiza beranjak keluar. Menuju kamar mandi untuk berwudhu. Ia akan mendirikan sholat sunnah tahjud dan witir sebagai penutup.

°°°

Langkah Aiza membawanya ke depan sebuah pintu yang di dalamnya tengah berkumpul keluarga dengan suasana hati gembira, menyambut anggota keluarga baru.

Aiza menghembuskan pelan napasnya, sebelum memutar kenop pintu sembari mengucap salam.

Ini hari kedua pasca Ira melahirkan, jalur operasi. Dan selama itu ... Arta setia menemani istri keduanya, tidak sekalipun pulang, bertemu dengan Aiza.

Ingin marah, tapi Aiza tidak bisa. Dia tidak mungkin bersikap egois di saat seperti ini, 'kan?

Di dalam, ada Ira yang terbaring di atas brankar dengan seorang bayi tertidur pulas di sampingnya. Di samping brankar, duduk seorang wanita sebaya dengan ibu mertuanya. Dia Rere Febrianti, ibu tiri Ira, istri ketiga ayahnya. Di seberang, duduk Wafa, sahabat Aiza sekaligus kakak ipar Ira. Sementara di sofa, duduk Auladi, Khalid, dan Arta.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka sembari melihat Aiza yang masuk, penampilan wanita itu masih lengkap dengan snelli dan stetoskop yang dimasukkan wanita itu ke dalam saku snelli.

Terlebih dulu, Aiza meletakkan parsel buah yang tadi ia minta Fisya membelikan, karena tidak ada waktu keluar ke atas nakas. "Repot-repot, Mbak," kata Ira menanggapi.

"Nggak, kog, Ra," sahut Aiza sambil menyalami Arta, lalu menangkupkan tangan pada Auladi dan Khalid.

Selanjutnya, ia mendekati brankar Ira. Menyalami Rere dan Wafa yang dibarengi cipika-cipiki. Baru kemudian menghampiri Ira. "Gimana keadaan lo? Udah mendingan?" tanya Aiza sambil jarinya menoel pipi gembul si baby.

"Alhamdulillah, Mbak. Besok katanya udah boleh pulang," sahut Ira.

Aiza mangut-mangut. "Siapa namanya, Ra?" tanya Aiza.

"Afif Khairan Nabil, Mbak."

Senyum Aiza mengembang. "Nama yang bagus," pujinya. "Ya, sayang, ya?" Aiza seolah mengajak baby boy berbicara.

"Mas Nabil yang ngasih nama itu," beritahu Ira.

Senyum Aiza nyaris pudar, namun segera wanita itu tahan sebisa mungkin.

"Dokter di sini? Atau masih koas?" Rere buka suara, bertanya.

Aiza menoleh, melempar senyum sopan. "Iya, Tan. Saya dokter di sini," jawabnya.

"Waah, hebat. Masih muda udah jadi dokter. Spesialis apa? Atau dokter umum?" Rere ternyata tipikal yang ramah, sedikit cerewet. Binar matanya menunjukkan kekaguman pada sosok Aiza. Meski sedikit bingung, kenapa Aiza hanya mau bersalaman dengan Arta.

Fyi, Rere tidak mengetahui perihal anak tirinya yang menjadi istri kedua. Ketika duduk permasalahan dijelaskan, dia sedang berada di luar kota, menjenguk kerabat yang sakit.

"Spesialis obgyn, Tan," jawab Aiza, tidak merasa keberatan sama sekali dengan pertanyaan-pertanyaan mertua suaminya tersebut.

"Yang bagian kandungan itu, bukan?" tanya Rere lagi.

Aiza mengangguk, membenarkan.

"Aiza ini sahabat aku, Ma," celetuk Khalid.

"Oh ya? Kog, Mama nggak tau?" Semakin ke sini, bisa diketahui, kalau Rere bukan tipikal ibu tiri yang kejam. Dia menyayangi Khalid seperti anak kandungnya sendiri, pun dengan Ira. Jika ditanya, apakah dia memiliki anak atau tidak, maka jawabannya adalah tidak. Rere mandul. Alasan itulah yang membuatnya diceraikan oleh mantan suaminya. Sampai akhirnya kembali menikah dengan Auladi yang Alhamdulillah mau menerima kekurangannya.

"Sibuk, Ma. Biasa, ngejar target." Wafa yang menjawab.

"Hm, pasti beruntung banget laki-laki yang dapetin Nak Aiza ini," kata Rere dengan senyuman lebar.

Suasana tegang seketika. Aiza simpulkan, wanita di depannya sama sekali tidak tahu siapa dia sebenarnya.

"Oh ya, kenal Ira darimana?" tanya Rere, lagi.

'Dia istri kedua suamiku.' Ingin sekali Aiza menjawab demikian. Tapi, lidahnya malah kelu. Tidak sanggup menjawab.

"Ma ...." Ira merasa perlu menjelaskan sesuatu.

"Iya?"

"Mbak Aqila ini--"

"Dia istri saya, Ma." Arta langsung menyela. Pria itu beranjak dari duduknya, mendekati para perempuan.

Rere melongo, tidak mengerti.

"Aiza istri pertama saya," lanjut Arta sambil merangkul Aiza tanpa sungkan.

"Lho?"

"Ceritanya panjang. Mama coba duduk sini, biar Ayah jelasin." Auladi turut buka suara. Memanggil sang istri. Kebingungan Rere harus diberikan jawaban, agar tidak terjadi kesalahpahaman nantinya.

°°°°°

Haihaihaiii😄

Kalau kalian berada di posisi Aiza, gimana?

Voment selau ditunggu😉

Babay guysss😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro