°30°
Hari-hari berikutnya berjalan lancar. Meski masih sering terjadi cek-cok ringan, ataupun Aiza yang belum sepenuhnya bisa mengontrol rasa cemburu. Wajar, dia wanita biasa, sekali lagi.
Hari sudah hampir tengah malam ketika Ira terlelap dalam mimpi, setelah tadi mengidam terang bulan. Beruntung mas-mas yang biasa nangkring tidak jauh dari komplek tempat tinggal Arta belum pulang, jadi dia tidak harus pusing mencari terang bulan di mana.
Kembali Arta melirik jam di dinding. Lima menit lagi tepat pukul dua belas malam, dan Aiza belum juga pulang. Itu yang membuat mata Arta tidak ikut tertutup. Dia mengkhawatirkan sang istri.
Telepon wanita itu tidak aktif, menambah kecemasan Arta. Apalagi, Aiza menyetir sendiri. Semoga semuanya baik-baik saja. Hal seperti ini yang membuat Arta jarang memberi izin pada sang istri untuk menyetir sendiri.
Dengan gerakan sepelan mungkin, Arta menuruni ranjang Ira. Keluar kamar, kakinya melangkah ke dapur. Membuka kulkas, ia mengambil sebotol minuman dingin yang tidak pernah lupa Aiza beli.
Pantatnya baru saja jejak di kursi bar ketika suara klakson mobil terdengar. Istrinya baru pulang.
Setelah meletakkan gelas di atas meja bar, Arta bergegas ke depan, memastikan. Hembusan napas lega keluar dari mulutnya saat melihat sosok yang sejak tadi membuat hatinya cemas berjalan mendekat.
Pintu utama terbuka, Aiza menggunakan kunci cadangan yang memang Arta berikan satu padanya, sekadar untuk berjaga-jaga.
Wanita dengan setelan kantor itu masuk, wajahnya terlihat kusut. Mungkin karena kelelahan atau juga banyak masalah di kantor.
Netra Aiza kemudian menangkap sosok sang suami yang berdiri di depan jendela, menatapnya.
Mengulas senyum, Aiza menghampiri Arta. Menyalami pria itu sebelum menubrukkan tubuhnya ke tubuh Arta. "Kangen," katanya manja. Tangnnya lantas dikalungkan ke leher Arta. Mendongak dengan wajah lucu, karena bibirnya yang sudah maju seperti minta dicium.
Arta tidak bisa menahan untuk tidak tersenyum melihat polah menggemaskan istrinya. Tubuh Aiza yang memang lebih kecil dibanding tubuhnya membuat Arta tidak sulit menggendong wanita itu. Kaki Arta melangkah menuju ruang tengah, dengan Aiza yang ia gendong di depan, ala kangguru.
Aiza yang digendong tidak berkomentar apa-apa. Wanita itu malah tersenyum lebar sambil menyerukkan kepalanya di leher Arta. Bersandar kemudian.
"Kenapa sampai selarut ini baru pulang?" tanyanya pada Aiza yang sepertinya tidak berniat lepas dari pelukannya. Padahal, saat ini mereka sudah duduk. Lebih tepatnya, Arta duduk di sofa, dan Aiza duduk di pangkuannya.
"Ada beberapa pekerjaan yang harus Aiz kerjain, biar weekend ini bisa jalan with my husband," sahut Aiza yang kemudian menutup mulutnya karena menguap.
Arta turut meletakkan dagunya di atas bahu Aiza. Sesekali menggigitnya dengan usil, membuat sang istri berdecak kesal. "Jangan terlalu maksain, aku nggak mau kamu capek," ujarnya yang dibalas gumaman oleh Aiza. "Sekarang mending tidur," titahnya kemudian.
Mendengar itu, Aiza malah mengerang pelan. "Masih kangen," rengeknya manja.
Diam-diam Arta mengernyit. Belakangan ini, entah hanya perasaannya saja atau memang, kalau Aiza bersikap lebih manja dari sebelumnya. Selain manja, Aiza juga bisa lebih sensitif. Gampang marah dan menangis.
"Besok pagi kamu harus ke RS, sayang." Arta mengingatkan.
"Ya udah, tapi nanti tidurnya Abang peluk yaaa," pinta wanita itu.
Terkadang, Arta masih belum habis pikir, bagimana bisa orang sejenius Aiza bersikap sangat manja seperti ini. Atau tidak, ia kadang berpikir, bagaimana bisa putri manja seperti wanita di dalam pelukannya saat ini mampu menyelesaikan pendidikan dalam kurun waktu singkat, bahkan mampu kuliah di dua jurusan sekaligus. Hanya tidak habis pikir saja. Tapi yaa namanya Kuasa Tuhan. Kecerdasan yang istrinya miliki tentu saja dari Allah. Di samping semua itu, Arta sangat beruntung telah dijodohkan dengan wanita seperti Aiza. Yang walaupun manja, tapi memiliki hati baik yang jarang wanita itu tunjukkan, tertutupi oleh sifat manja yang terkadang sedikit egois.
"Besok aja, yaa." Tangan Arta mengusap belakang kepala Aiza.
"Lho? Kena--ah! Hm, iya." Aiza sudah akan melayangkan protes sebelum teringat kalau malam ini … suaminya tidur bersama Ira.
Sebenarnya, pekerjaan di kantornya tadi tidak begitu penting dan mendesak. Hanya … Aiza ingin berlama-lama, dan pulang larut. Dan biasanya, jam segini suaminya maupun Ira sudah terlelap. Ia jadi tidak perlu memikirkan hal-hal yang aneh yang mungkin saja terjadi antara sepasang suami istri itu.
Dengan berat hati, Aiza turun dari pangkuan Arta. "Aiz ke kamar dulu kalau begitu. Good night." Satu kecupan di kening Arta dapatkan.
"Good night too, honey," sahutnya.
Arta tidak beranjak sama sekali, sampai tubuh istrinya hilang di ujung anak tangga teratas. Menghembuskan napas pelan, Arta memejamkan matanya sejenak. Jangan kira dia tidak tahu, kalau istrinya itu marah. Dibanding marah, mungkin lebih ke cemburu. Tentu saja. Mana ada istri yang bahagia saat suaminya tidur bersama wanita lain. Sekalipun wanita itu juga termasuk istri suaminya.
Menguap, Arta berjalan pelan menuju kamar utama di lantai satu yang ditempati oleh Ira.
Lampu kamar sudah menyala ketika ia membuka pintu. "Lho, Ra? Kog, bangun lagi? Ada apa?" tanya Arta sembari duduk di samping Ira.
Ira menatap Arta ragu. "Hm ...." Ia menggigit bibir bawahnya. Haruskah ia mengutarakan inginnya?
"Ada apa? Mau sesuatu? Bilang, nanti aku cariin kalau perku dicari dulu barangnya," ujar Arta yang sangat perhatian, membuat Ira menjadi semakin cinta.
"Ira pengen makan puding mangga," katanya yang tanpa sadar membuat Arta menghembuskan napasnya lega. Pria itu ingat kalau di kulkas masih ada sisa mangga yang tadi pagi ia petik, permintaan Aiza. Namun setelah Ira kembali melanjutkan ucapannya, mendadak wajah Arta berubah pias.
°
Aiza meletakkan piring yang di atasnya terdapat puding yang sudah diiris kecil ke depan Ira, di atas meja bar.
"Maacih undaaa," ucap Ira yang menirukan suara anak kecil.
"Sama-samaa," balas Aiza, tersenyum.
"Maaf, ya Mbak. Jadi ngerepotin," kata Ira nerasa tidak enak hati. Aiza baru saja pulang kerja, tapi dia malah meminta wanita itu kembuatkannya puding.
"Santai aja kali, Ra," sahut Aiza sembari kembali ke dapur. Membereskan bekas dia membuat puding tadi.
"Sayang … itu besok biar Mak Tam aja yang beresin, kamu istirahat aja!" seru Arta.
"Dikit doang, kog, Bang."
Aiza memang merasa tidak enak badan. Tapi, tidak nyaman kalau pekerjaan kecil seperti ini sampai harus merepotkan Mak Tam.
Kepalanya kembali berdenyut, bersamaan dengan perutnya yang entah kenapa sejak di perjalanan pulang tadi terasa nyeri. Mungkin karena Aiza belum makan sejak siang tadi.
Baiklah, kalau hal itu sampai Arta ketahui, maka ia pastikan, malam ini dia tidak akan tidur tenang. Tapi mau bagaimana lagi, nafsu makannya tiba-tiba hilang. Mungkin karena terlalu banyak pekerjaan membuatnya kenyang tanpa harus makan.
"Jangan bandel Aiz!" tukas Arta yang hanya Aiza tanggapi dengan senyuman lebar.
Pria itu mendengus sambil memperhatikan Aiza yang terus mondar-mandir membawa perkakas masak yang kotor ke wastfel untuk dicuci.
"Astaghfirullah!"
"Ada apa Aiz?" tanya Arta langsung. Ira ikut menatap Aiza yang sedang menampilkan cengiran.
"Ini … airnya kesenggol, tumpah, deh."
Arta langsung menghela napas lega. Entah kenapa, perasaannya masih belum baik-baik saja. Sejak tadi terus merasa cemas, entah untuk hal apa.
Setiap gerak-gerik Aiza tidak lepas dari pandangan Arta. Sampai akhirnya mata Arta melebar saat tubuh Aiza terpeleset ketika melewati ubin yang tadi tertumpah oleh air.
"Aaaaa!" Aiza memekik kesakitan ketika sudah jatuh terduduk. Keningnya mengernyit. Seharusnya yang terasa sakit pantat atau kakinya, tapi kenapa malah perutnya?
°°°°°
Hayhayhayyy😄
Welcome back to my story, guysss!😉
Curahkan perasaan kalian setelah membaca part ini di kolom komentarrr😃
Tekan bintang sebagai apresiasinyaaa😊
Babay en si yuuuu😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro