Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

°28°

     Pukul satu dini hari, sebuah mobil berhenti di depan rumah yang Arta tinggali bersama kedua istrinya. Seorang wanita keluar dari kursi penumpang. Setelahnya, mobil itu kembali melesat, meninggalkan si wanita yang melangkahkan kakinya menuju pintu utama.

Tubuhnya benar-benar lelah. Usai meeting, ia harus dihadapkan dengan laporan-laporan yang menurut Fisya sedikit janggal. Benar saja. Setelah diteliti, memang ada karyawan yang mencoba bermain kotor, ingin membuat perusahaan yang sudah opa-nya rintis dari nol gulung tikar. Dan sebelum semua itu terwujud, sebagai seorang cucu yang diberikan wewenang atas perusahaan, Aiza mengambil tindakan tegas. Lihat saja besok, pasti ada yang mendatanginya dan memaki kasar. Aiza tidak peduli, mereka yang menanam, mereka juga yang harus menuai.

Sebelum tangannya berhasil mengambil kunci di dalam tas, pintu sudah terbuka lebih dulu. Wajah bantal sang suami menyambut pertama kali.

"Belum tidur?" tanya Aiza kembali menutup pintu.

"Nungguin kamu, eh ketiduran di sofa. Langsung kebangun pas dengar suara mobil berhenti di halaman," jelas Arta yang duduk di sofa ruang tamu, di sebelahnya Aiza turut duduk. Mwnyandarkan kepalanya ke bahu Arta dengan manja.

"Besok kerja, lho. Aiz aja ngantuk banget."

Menguap, sedetik setelahnya mata Aiza tertutup. Bukan sekadar melepas penat sebelum naik ke lantai atas, tapi tertidur.

Arta tersenyum samar. Istrinya ini pastilah sangat lelah. Tidak tega membangunkan Aiza, Arta memilih menggendongnya ala bridal style menuju kamar mereka.

Berbaring di samping Aiza, mata Arta ikut tertutup. Baru saja ia akan sampai di alam mimpi, goyangan di lengannya membuat Arta kembali terjaga. Ia menatap Aiza bertanya.

"Aiz laper ..." Jelas saja setelah mendengar hal itu, Arta tertawa.

"Mau makan apa?" tanyanya kemudian.

"Seblak," jawab Aiza dengan mata berbinar.

"Ha?"

"Abang nggak tau seblak?" tanya Aiza.

Kepala Arta menggeleng. Bukan tidak tahu, tapi … dapat darimana mereka makanan itu di waktu hampir tengah malam begini?

"Jangan bercanda," kata Arta. "Tadi Ira ada masak sup sama omelet, ada juga ayam goreng. Mau aku ambil dan bawa ke sini?" tawar Arta.

Kepala Aiza langsung menggeleng tegas. "Maunya seblak! Kayaknya Abang nikmatin banget yaaa masakannya Ira?!" Wanita malah jadi kesal sendiri.

Arta meneguk ludahnya kasar. Merutuki kebodohannya barusan. Jelas Aiza marah. Alasan wanita itu pergi dari ruma kan, karena melihatnya bersama Ira malam itu. Arta bodoh.Tenggelamkan saja dia ke laut.

"Eh? Ta-tapi, mau cari di mana seblak malam-malam gini, sayang?"

"Ya mana Aiz tau!" tukas Aiza sebal.

"Kalau bikin aja gimana?" tanya Arta.

"Emang ada bahannya?" tanya wanita itu.

"Ada. Mau?"

Kepala Aiza mengangguk. "Mau! Eh, emang Abang bisa bikinnya?" tanya Aiza kemudian.

"Yaa nggak." Arta mengaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Tapi mungkin Ira bisa?"

Dan Arta sangat menyesali ucapan terakhirnya.

Aiza berbalik, memunggunginya. Tidak lama, rungunya mendengar isak tangis. Arta panik, tentu saja.

"Sayang, kenapa? Maaf, Abang nggak maksud tadi," ucap Arta seraya membalikkan badan Aiza. Tangannya mengusap air mata sang istri.

Aiza sendiri bingung. Ia juga tidak tahu, kenapa bisa secengeng ini. Ia juga merasa lebih sensitif belakangan ini. Padahal dia sedang tidak kedatangan tamu bulanan.

Bicara tentang datang bulan, Aiza terpaku. Bulan ini … dia belum datang bulan. Seharusnya sudah sejak seminggu yang lalu. Apa jangan-jangan dia--tapi tidak mungkin. Toh dari dulu dia memang sering telat datang bulan.

"Mau nasi goreng aja. Abang yang bikin," rengeknya manja.

Arta hanya tersenyum. Lega, karena Aiza yang tidak jadi marah. "Mau nunggu di sini atau ikut ke dapur?" tanya Arta.

Aiza memilih opsi kedua. Dia akan bosan kalau menunggu di kamar, kan?

Dan pada waktu lewat tengah malam itu, Arta berkutat di dapur. Membuatkan nasi goreng seperti yang sang istri inginkan. Apapun akan dilakukannya, asal bisa membuat Aiza bahagia. Apapun.

°°°

   Waktu terus berputar. Hari berganti minggu. Minggu bergulir menjadi bulan. Hubungan antara Aiza, Ira, maupun Arta perlahan kian membaik.

Aiza yang berusaha berdamai dengan keadaan. Mencoba mengontrol emosi yang ingin meledak karena rasa cemburu. Bersikap dewasa dan tidak asal menyimpulkan sesuatu tanpa mencari tahu terlebih dahulu.

Ira yang juga terus berusaha menyadarkan diri akan posisinya. Bersikap sewajarnya, demi tidak memancing pertikaian. Meski tetap kekeuh ingin mengerjakan pekerjaan rumah, terutama memasak.

Mak Tam hanya membantu di dapur jika diperlukan. Selebihnya, wanita paruh baya itu lebih banyak membersihkan rumah. Dari dalam sampai luar, hingga ke celah-celah yang sulit dijangkau.

Arta sendiri tidak pernah lupa memanjatkan doa. Berharap agar bisa menjadi imam yang baik, yang adil. Aiza maupun Ira, keduanya sama-sama merupakan amanah yang harus dijaganya.

Mang Darto selaku pekerja di rumah tersebut turut senang atas keharmonisan keluarga majikannya. Meski sesekali tetap terdengar perdebatan kecil, tapi itu bisa dianggap sebagai bumbu dalam rumah tangga. Agar rasanya tidak terlalu hambar bak sayur tanpa garam.

Seperti pagi ini, Ira dan Aiza menyiapkan sarapan bersama. "Gimana perkembangan keluarga kamu? Udah ada titik terang?" tanya Aiza memulai obrolan, lagi.

"Belum, Mbak." Wanita itu lantas menghembuskan napasnya pelan. Keluarganya … ah, kapan dia bisa bertemu dengan mereka? Rasanya rindu di hati sudah tidak tertahankan.

"Yang sabar. Jakarta kan kota besar, wajar kalau sedikit butuh perjuangan buat nemuin mereka," ujar Aiza memberikan semangat.

Ira tersenyum. "Iya, Mbak. Semoga aja cepat ketemu," harapnya. 'Supaya kalian juga bisa bebas dari aku,' sambungnya dalam hati.

"Aamiin. Eh, ngomong-ngomong, kamu nggak ada rencana buat bikin acara tujuh bulanan, gitu?"

Usia kandungan Ira sudah memasuki trimester kedua. Sejauh ini, kondisi kandungannya baik. Alhamdulillah.

"Emang … boleh?" Wajah polos Ira mengundang tawa Aiza.

"Boleh, dong. Boleh banget, malah."

"Ira maunya sih, ngundang anak panti sama tetangga dekat aja, Mbak," ucapnya memberitahu.

"Ya udah, tinggal kamu bicarain lagi sama Bang Ar," ujar Aiza.

"Bicarain apa?" Arta muncul dan langsung menimbrung.

"Acara empat bulanannya Ira," sahut Aiza.

"Terus?" Pria itu menarik kursi dan duduk.

"Ya kamunya setuju nggak?"

"Setuju-setuju aja, sih. Tentuin tanggalnya kapan, biar nanti aku bisa atur jadwal. Minta Mak Tam bantu, Mang Dar juga boleh."

Bohong besar jika Aiza mengatakan tiada secercah pun rasa cemburu di hatinya. Karena pada dasarnya, dia sudah sejak awal mensugesti diri sendiri, kalau semua ini hanya sementara. Kebahagiaannya akan segera datang, hadir di tengah-tengah mereka.

°°°°°

Hollaaaaa😄

Ai kombekkk😉

See you nest part, yaaa😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro