°17°
"Hari ini jadi, fitting baju pengantin?" tanya Aiza setelah menelan roti yang sudah dikunyahnya.
"Nggak mungkin ambil cuti, kan, kalau nggak jadi?"
Mendengar jawaban yang terdengar menjengkelkan itu, Aiza mendelik. Terkadang Arta bisa bersikap begitu manis dan pengertian, tapi terkadang bisa sangat menyebalkan. Seperti sekarang. Mengesampingkan rasa kecewa, Aiza mengutarakan keinginannya. "Pulangnya mampir ke rumah Abah, ya? Kangen Ummah," pinta Aiza.
Sewaktu sakit kemarin, meski hanya sakit biasa, Aiza langsung merasa sangat rindu pada ibunya. Sebelum ini, sang ibu selalu mendampinginya saat sakit. Memasak khusus untuknya, menyuapinya, sampai menemaninya tidur. Aiza memang semanja itu aslinya. Apalagi kalau sakit, Arta pasti geli sendiri melihatnya.
"Boleh," sahut Arta setuju. Sudah lama juga mereka tidak main ke rumah mertuanya itu. Sejak … mereka pindah?
°°°
Bekerja sebagai dokter merangkap dosen ternyata tidak mudah. Terutama dalam hal membagi waktu. Rasanya Arta tidak memiliki waktu istirahat yang cukup. Tapi, mau bagaimana lagi? Toh, sebentar lagi Profesor Mahmud pulang, kembali bekerja seperti biasanya. Setelah itu, Arta juga akan kembali ke jadwalnya semula.
Deheman seseorang membuat matanya terbuka. Ia sedikit mengantuk. Semalam, ia terbangun karena teringat belum memeriksa tugas-tugas yang mahasiswanya kirim. Alhasil, Arta begadang semalaman. Baru terpejam beberapa menit, adzan subuh sudah berkumandang.
Namun, melihat siapa yang berdiri di depannya saat ini membuat kantuk yang tadi hinggap enyah entah ke mana. Mengerjap beberapa kali, Arta berdiri otomatis. Berjalan mendekati seorang wanita yang tubuhnya dibalut sebuah gaun indah. Gaun itu nampak pas di tubuhnya, selaras dengan warna kulitnya juga. "Beautiful," pujinya tanpa sadar.
Semburat merah tomat menghiasi kedua pipi Aiza. Baru sadar, kalau Arta bisa segombal itu.
°°°
Seperti rencana awal, setelah selesai fitting baju pengantin, Arta melajukan mobilnya ke arah rumah sang mertua. Mampir sebentar ke salah satu toko roti, membelikan cake kesukaan Ummah dan beberapa cup cake sebagai pelengkap.
Satpam yang mengenali mereka bergegas membukakan gerbang, mempersilakan majikan mudanya masuk.
Tidak banyak yang berubah selain beberapa pohon yang semakin tinggi juga berdaun lebat, dan bunga yang semakin banyak ragamnya.
Menekan bel, pintu langsung dibuka dari dalam. Wajah sang kakak langsung terlihat. "Assalamu'alaikum," salam Aiza dan Arta hampir bersamaan.
Ana tersenyum lebar menyambut kedatangan adik perempuannya. "Wa'alaikumussalam, apa kabar?" Menjawab salam, keduanya lantas berpelukan. Menyalurkan kerinduan.
"Alhamdulillah, baik," jawab Aiza sembari melepas pelukan.
"Siapa, Na?" tanya seorang wanita paruh baya. Suaranya begitu Aiza rindukan.
"Princess, Mah," sahut Ana.
Dengan sedikit berlari, Aiza menghampiri sang ibu yang sedang menonton tv. Melebarkan tangan, ibu mertua Arta menyambut Aiza ke dalam pelukan hangatnya. Pelukan yang selalu membuat Aiza merasa tenang.
"Rindu," ungkap Aiza dengan suara bergetar.
Arta duduk di sofa seberang, setelah sebelumnya menyalami sang mertua, menyaksikan sang istri yang tengah bermanja. Sedangkan Ana ke belakang, memanggil pembantu rumah tangga untuk menyiapkan minuman juga cemilan, sekaligus menyiapkan hidangan makan siang.
"Kamu udah sehat? Kemarin Arta nelepon Ummah, ngabarin kalau kamu sakit."
Aiza menatap Arta tajam. Kapan suaminya itu menelepon ibunya? "Udah, kog, Mah. Lagian cuman sakit biasa, nggak perlu cemas," sahut Aiza sembari menampilkan senyum lebar.
"Kamu ini! Namanya sakit, ya tetap aja sakit! Nggak boleh disepelekan! Gimana, sih. Dokter, kog nggak bisa jaga kesehatan sendiri?" Aiza meringis mendengar omelan ibunya.
"Dokter juga manusia, kali Mah." Aiza menyahuti malas.
Sang ibu mendengus, lantas beralih menatap Arta. "Udah fitting baju pengantin?" tanyanya kemudian.
Menganggukkan kepala, Arta menjawab, "sudah, Mah."
Senyuman sang mertua merekah indah. Arta langsung sadar, kalau senyuman istrinya yang begitu manis turunan dari sang mertua.
"Oh, iya. Ini, tadi kita beliin buat Ummah." Aiza memberikan paper bag yang berisi sekotak cake kepada sang ibu.
"Hmm, masih ingat ternyata," celetuk sang ibu.
"Ingat, dong!"
"Kalian makan siang di sini, ya?" Suara Ana menginterupsi.
"Okay!" setuju Aiza.
"Eh, buat gue nggak ada?" Ana duduk di sisi kiri ibunya, menatap sekotak kue yang isinya ialah cake kesukaan sang ibu.
"Tuh!" tunjuk Aiza ke atas meja, di mana masih ada dua paper bag lagi.
"Adik baik," puji Ana sok manis.
"Eh, lo beneran mau pindah?" tanya Aiza saat teringat percakapan singkatnya dengan Aldo beberapa waktu lalu saat Aiza ke kantor, menghadiri meeting.
"Pindah?" beo ibu mereka.
Ana langsung memelototkan matanya ke arah Aiza yang sontak menutup mulut, ia sepertinya sudah salah bicara. Ana bingung, darimana adiknya itu tahu tentang rencananya yang akan pindah.
"Ana, kamu mau pindah? Ke mana? Kenapa pindah? Udah nggak sayang sama Ummah?" Pertanyaan yang sama persis saat dulu dia pernah mengatakan akan pindah.
"Hm, Mah ...."
"Bakery kamu gimana? Masa ditinggal begitu saja?"
"Baru rencana, kog Mah. Belum bikin keputusan final," ucap Ana.
"Ummah mau ke mana?" tanya Aiza saat melihat ibunya beranjak dari duduk.
"Mau istirahat. Kalian ngobrol saja dulu. Arta, Ummah ke kamar dulu, ya."
Kepala Arta mengangguk kaku. Setelahnya, ruangan itu menjadi tegang.
"Kak, gue--"
"It's okay." Ana menghembuskan napasnya pelan. "Lo tau darimana?" tanyanya kemudian.
"Bang Al," cicit Aiza. Dia benar-benar merasa bersalah. "Tapi, lo serius mau pindah?" tanyanya lagi, ingin memastikan.
"Hm, rencananya, sih begitu."
Aiza diam. Ini seharusnya sudah biasa. Seperti dia yang tinggal bersama Arta setelah menikah, begitupun Ana yang pasti akan mengikuti suaminya. Ana pasti merasa serba salah saat ini. "Lo sebaiknya temuin Ummah, deh. Bilang baik-baik alasan lo pindah," usul Aiza yang diangguki Ana. Setelahnya, calon ibu itu beranjak menuju kamar ibunya.
°°°
"Kakak?!"
Pukul dua, setelah makan siang, anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga. Termasuk Aldo dan ayahnya yang ditelepon Ummah agar segera pulang.
Aiza melebarkan senyum, menyambut si bungsu yang baru pulang sekolah.
"Kakak kapan datang? Kog, Aura nggak tau?" rajuk si bungsu.
"Tadi siang, kan biar surprise," sahut Aiza, ia menarik Aura untuk duduk di sampingnya.
"Capekkk," keluh sang adik sambil bersandar di bahu Aiza.
"Kakak dulu juga gitu," sahut Aiza.
"Nggak ada sekolah yang nggak capek," timpal Aldo menyeletuk.
"Yang nggak peduli diem aja, deh!" sungut Aura.
Dibanding Ana atau Aiza, Aura yang paling dekat dengan Aldo. Tapu bukan berarti pria itu tidak menyayangi Ana ataupun Aiza. Hanya saja, interaksinya dengan Aura lebih sering dibanding bersama kakak dan adiknya itu. Tapi, begitu akurnya, begitu juga musuhannya. Aldo yang memang usil, senang sekali membuat adik bungsunya kesal.
"Cih!" Aldo hanya berdecih mendengarnya. "Ya udah, tinggal sono sama yang peduli!" sungutnya balik.
"Benar juga. Aura mau tinggal sama Kakak? Lagian, sekolahnya Aura kan, lebih dekat dari rumah Kakak daripada rumah Abah."
"Ha? Eh?" Aura mengerjapkan matanya.
"Boleh, kan Bang?"
"Boleh, dong. Aura, kan adik Abang juga sekarang," sahut Arta menyetujui.
"Nggak!" Mereka semua langsung menoleh sang ibu yang berkata tegas. "Apaan itu? Pertama Aiza yang pindah, lalu Ana, Aldo juga nggak lama lagi balik ke Inggris, terus Aura juga mau pindah? Kalian beneran nggak sayang sama Ummah?"
Mendengar 'curahan hati' sang ibu, mereka terdiam. Ana menunduk, merasa tidak enak hati.
"Aldo balik juga buat ngurus pemindahan perusahaan pusat ke sini, kan? Nggak lama, kog Mah," kata Aldo mencoba 'kembali' menjelaskan.
"Aiza juga bakal sering-sering ke sini, kog." Aiza menambahi.
"Ra nggak bilang mau, kan tadi?" Aura ikut angkat suara. Ragu-ragu, ia mendekati sang ibu. "Kan, Ra sayang Ummah, nggak mungkin ninggalin Ummah, dong!" gadis remaja itu memeluk lengan sang ibu yang wajahnya masam.
"Sekarang aja bilangnya begitu!" ketus sang ibu.
"Mah!" tegur kepala rumah tangga.
"Iya-iya!" Ummah luluh. Memeluk Aura dari samping, ia berkata, "awas aja kamu ninggalin Ummah kayak kakak-kakakmu itu!" ancamnya berbisik yang tidak bisa dikatakan berbisik, karena ketiga anaknya jelas bisa mendengar suara sang ibu.
Begitulah ibu empat anak tersebut, inginnya agar anak-anaknya selalu bersama di rumahnya, namun apa mau dikata, mereka yang sudah dewasa berhak menentukan tujuan hidup mereka. Dia sebagai seorang ibu pun, tidak bisa mencegahnya. Karena tidak ingin egois, Ummah terpaksa membiarkan anak-anaknya memilih kehidupan mereka sendiri. Sekalipun itu berpisah dengan dirinya.
Terdengar dramatis memang. Tapi, ia harus mengakui, kalau tidak jarang dirinya merasa kesepian. Suaminya yang masih sering ke perusahaan untuk sekadar mengawasi, juga keluar untuk bermain golf bersama teman-temannya. Ana yang belakangan sibuk di toko rotinya, apalagi tidak lama lagi wanita itu akan pindah ke rumah mertuanya. Aldo, anak laki-laki satu-satunya itu termasuk gila kerja. Hampir semua waktunya dihabiskan di kantor. Tidak jarang lembur dan berakhir bermalam di kantor. Si princess manja-nya sudah ikut suami. Bekerja sambil melanjutkan study S2 membuatnya sangat sibuk dan jarang pulang ke rumah ini. Si bungsu begitu aktif di sekolah. Tidak sedikit organisasi yang anaknya itu ikuti, sehingga turut jarang berada di rumah. Malam hari pun kadang terpaksa minta antar ke rumah temannya untuk belajar kelompok.
Siapa coba yang tidak akan merasa kesepian jika keadaannya seperti itu?
°°°°°
Hullaaaa😄
How are you guyssss??? Oops! Sok inggris banget gua?😂
Gimana-gimana? Ada 'curahan hati' juga nggak, nih, buat part ini? Kalau ada, cuss curahin di kolom komentar😉
Voment jan lupaaaa!! Nggak bayar, kog😊
See you bye-bye😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro