Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 25

Taufan berjalan pulang dengan wajah berseri-seri. Di pelukannya kini ada bungkusan lauk pauk. Hasil dari barter dengan seorang paman bernama Tarung di hutan.

Taufan di ajak kerumahnya saat itu, sambil membawa rusa tersebut. Di sana, Tarung tinggal sendirian di rumah kecil. Lalu dengan cekatan memasak daging rusa tadi dan beberapa bahan lain.

Tarung bilang, ia akan memasakkan lauk pauk dan bertukar dengan buruan yang dimiliki Taufan nantinya. Tentu saja Taufan setuju.

Bajunya jadi lusuh. Tarung terkejut saat menemukan Taufan membawa banyak buruan dari yang ia kira. Sejumlah buruan itu bahkan bisa dipakai untuk makanan selama sebulan.

Sudahlah, Tarung tidak bisa berkata-kata lagi.

Taufan sampai di tempat mereka tinggal. Ia bisa menemukan cahaya temaram dari lilin di dalam sana. Taufan mengetuk pintu, lalu memanggil nama yang selalu ia sebut.

"Gempa~"

Derap langkah kaki terburu-buru itu mendekat ke arah pintu. Gempa membuka pintu dengan ngos-ngosan. "Taufan! Darimana saja?"

Taufan tidak menjawab. Melainkan menyerahkan bungkusan lauk pauk di pelukannya itu pada Gempa. Gempa menerima itu dengan wajah bingung. "Apa ini?" tanyanya.

"Lauk."

Gempa agak terkejut. Ia langsung membuka bungkusan itu dan menemukan berbagai macam lauk. Jangan lupakan nasi yang masih hangat ada di antara lauk.

"Taufan, dapat ini darimana?"

Taufan menggerakkan tangannya ke atas. Seolah memperagakan seseorang yang berotot. "Paman."

Blaze yang baru datang dan mendengar itu pun sweatdrop. "Taufan kamu  ... gak jual diri kan?"

Tangan Ice melayang ke kepala Blaze. Blaze mengaduh kesakitan sembari memegangi kepalanya yang terasa benjol. Ia menggerutu.

"Jangan mikir macam-macam," tegur Ice. Blaze hanya mengangguk, lalu mengintip lauk dengan liur yang hendak menetes.

Menghela nafas, Gempa membawa lauk itu ke ruang tengah.

Taufan tersentak kaget saat menemukan sosok lain di antara mereka. Ada Fang, dan pemuda itu duduk dengan jubah menutupi tubuhnya.

Ia kaku. Tentu ia ingat bagaimana dirinya melukai Fang saat itu. Yang ia lakukan bagaimanapun tetap salah. Meski telah mengobati luka Fang sekalipun.

Ia lantas menunduk, merasa bersalah. Terlihat seperti seekor kucing yang sedih. Ia lantas duduk bersimpuh di hadapan Fang.

"Kau mau meminta maaf soal waktu itu ya? Tidak masalah, kudengar dari Kak Kaizo kalau kau menyembuhkan aku." Fang tersenyum tulus. Membuat Taufan makin ciut.

Fang menepuk-nepuk kepala Taufan. Mencoba memberitahunya bahwa hal itu sudah tidak menjadi masalah lagi.

"Nah, ayo makan."

Gempa sudah menyajikan semua lauk itu di tengah-tengah mereka. Mereka yang memang sudah beberapa hari belum memakan masakan seperti ini pun makan dengan lahap. Taufan hanya memperhatikan, ia sudah makan sebelumnya.

Taufan turut senang bisa membuat mereka bahagia. Makanan memang sesuatu yang bikin semangat dikala sedih.

Taufan memalingkan wajahnya ke arah Fang yang diam. Sejenak Taufan berpikir. Ada alasan apa hingga Fang datang kemari?

Selain itu, sepertinya mengenai kerajaan dan segel.

Taufan tersenyum kecut mengingat sebentar lagi ia akan jadi segel. Lalu perjanjiannya dengan Reverse.

Saat itu, Gempa akan melupakannya.

Taufan jelas sebenarnya tidak mau Gempa melupakannya. Tapi ia tidak memiliki pilihan lain selain melakukan itu. Jika tidak, Gempa bisa saja menghalanginya dan membuat hati Taufan semakin tidak rela.

Meskipun iblis, Taufan tetap punya perasaan. Sekarang perasaannya ada di ambang antara ingin Gempa atau kedamaian dunia. Ia jelas tidak tahu bagaimana nasibnya saat menjadi segel. Apakah mati atau hidup dalam gelap selama beribu tahun pun masih misteri.

Seandainya ia juga manusia. Pasti memikirkan kehidupan tidak akan serepot ini.

.

.

.

"Kerajaan telah hancur, para pasukan masih berperang dengan pasukan yang tersisa." Fang merasa sakit saat menjelaskannya. Mengingat bagaimana kerajaan menjadi porak-poranda benar-benar adalah ingatan yang mengerikan.

"Gila, sebenarnya iblis itu mau apa sih?" Blaze murka. Tidak mengerti maksud dari pertempuran dan perebutan yang terjadi. Ice sudah paham, kadar kepintaran Blaze memang agak sedikit rendah. Jadi ia hanya bisa menggeleng sambil berdecak.

"Mengambil alih dunia atas dan menjadikan manusia makanan," ucap Solar. Ia menghela nafas. Buku-bukunya yang berada di perpustakaan pasti telah berceceran. "Mengerikan sekali membayangkan dunia yang seperti itu, lebih baik aku mati," sambungnya.

Mendengar itu, Thorn langsung memeluk Solar dengan mata berkaca-kaca. "Solar gak boleh mati," rengeknya.

"Yah, hanya ada satu cara untuk menghentikan tragedi mengerikan itu."

Sontak tatapan mereka semua jatuh pada Taufan yang hanya duduk diam dan menyimak. Taufan hanya memiringkan kepala, berusaha pura-pura tidak tahu dengan apa yang mereka maksud mengenai satu cara tersebut.

Meski ia tahu bahwa satu cara tersebut ialah mengorbankan Taufan menjadi segel.

"Mengerikan, sampai menumbalkan orang lain," ujar Blaze. Ice langsung meralat perkataan Blaze, "Maksudmu iblis."

"Sudahlah, lagipula manusia dulu juga telah melakukannya." Halilintar yang sedari tadi diam pun ikutan bicara. Merasa sedikit kesal juga karena Taufan bersikap pura-pura tidak mengerti dari tadi. Meski raut wajah Taufan terlihat agak merasa sedih.

"Tapi manusia tidak tahu kalau itu iblis, yang mereka tahu, itu manusia." Gempa ikut berpendapat. Kali ini dengan opini yang cukup membuat ia sendiri gemas. Entah kenapa ia merasa para manusia agak keterlaluan.

"Ujung-ujungnya tetap tumbal tuh." Blaze bersiul singkat. "Mau manusia atau iblis, sepertinya akan tetap di tumbalkan," sambungnya.

"Sekarang kita tahu seberapa mengerikannya manusia." Ice memeluk dirinya sendiri. Biasanya ia memeluk boneka buatan ibunya. Tapi tidak bisa, ia tidak membawanya. "Aku kadang berharap jadi batu kerikil saja."

"Batu berlian lebih cantik," sahut Thorn. Ia malah terkekeh sendiri.

"Tapi Taufan, kau benar-benar berniat jadi segel?" Fang menoleh ke arah Taufan yang sibuk pura-pura tidak dengar. Mendengar namanya dipanggil, ia menoleh ke pemuda landak itu. Lalu mengangguk.

"Aku satu-satunya yang tersisa."

Fang tersenyum mendengar itu. Meski merasa cukup iba juga. "Kau beneran bisa bicara, ya."

Taufan mengangguk. "Hanya sebentar, nanti takkan bisa bicara lagi."

"Eh kenapa?" Saat Gempa bertanya, Taufan malah hanya angkat bahu. Lalu menempel ke Gempa lagi untuk memeluknya.

"Lagipula ini aneh, kenapa Taufan yang bisu tiba-tiba bisa berbicara?" Blaze lagi-lagi mengeluarkan kebingungannya. Meski begitu, mereka juga tidak ada yang tahu. Solar yang sudah membaca banyak buku mengenai iblis juga tidak tahu hal itu.

Mereka berpikir, mungkin saja awalnya Taufan tidak benar-benar bisu.

Gempa balas memeluk iblis itu saat pelukannya makin dieratkan. Gempa menarik pinggang Taufan untuk semakin dekat dengannya. Lalu mengelus surai coklat itu dengan lembut.

Tak lama, Gempa menyadari sesuatu.

"Eh Taufan, ini hanya perasaanku atau tubuhmu makin mengecil?"

Mereka semua terdiam. Penasaran, Halilintar langsung mengecek Taufan dari atas sampai bawah. Melihat pakaian yang Taufan kenakan kini sedikit melonggar. Mereka yakin Taufan benar-benar mengecil.

"Ada apa? Kenapa bisa? Apa dia akan menyusut ke ukuran sebelumnya?" Blaze memperagakan anak kecil dengan tangannya. Mereka sendiri tidak yakin, malah hanya saling bertatapan.

"Sepertinya itu karena dia menyembunyikan energinya?" Solar juga tidak yakin saat mengatakan itu. Belum pernah ia membaca soal ini di buku-buku miliknya.

"Kalau begitu kita harus cepat." Suara Fang mengambil alih keributan.

"Kita harus segera membawa Taufan kembali ke kerajaan."

.

.

.

"Gah! Taufan!!"

Suara marah yang menggelegar itu membuat seisi rumah terkejut. Taufan berlari keluar dari dapur dengan tawa yang menghiasi penjuru rumah.

Di belakangnya, ada Halilintar yang muncul dengan wajah marah. Tepat sekali, sepertinya Taufan telah cari ribut dengan Halilintar.

"Eh, ada apa ini Kak Hali?" Gempa bingung saat Taufan bersembunyi di belakangnya sambil cekikikan. Melihat wajah Halilintar yang di penuhi tepung, ia tahu apa yang telah terjadi.

Hari ini Taufan menjahili Halilintar lagi.

"Sudah cukup! Kemari kau!" Halilintar menarik paksa Taufan dari belakang Gempa. Lalu menyeretnya pergi. Di belakang, Gempa menahan tangan Taufan.

"Mau dibawa kemana kak?"

"Dihukum!"

Setelah terjadi adegan tarik-menarik yang ditonton para sepupu. Halilintar berhasil menarik Taufan lepas dari Gempa. Lalu menyeretnya keluar dari rumah.

Taufan menolak pergi. Ia menahan tubuhnya agar tidak terseret makin jauh. Serta memberontak untuk melepas tangannya dari cengkraman Halilintar.

Melihat itu. Halilintar jengah. Karena tubuh Taufan yang menyusut dan jadi lebih pendek dari Gempa. Halilintar menariknya, lalu menggendongnya layak mengangkut karung beras.

"Huwaaa! Gempaaaa!"

Halilintar langsung berlari sebelum adiknya menghentikannya lagi.

Ia masuk dalam hutan. Meski begitu, ia tak pergi terlalu jauh. Ia lantas menurunkan Taufan tapi tetap mencengkram pergelangan tangannya agar tidak bisa pergi.

"Seharusnya aku membawa tali agar bisa mengikatmu dan meninggalkanmu di sini."

Wajah Taufan langsung horor.

"Oh, hei! Kau anak muda yang kemarin."

Kemunculan seseorang membuat mereka berdua terkejut. Itu Tarung, seorang paman yang barter buruan dengan Taufan kemarin.

Melihat peluang. Taufan menginjak kaki Halilintar dengan keras. Lalu kabur saat Halilintar tak sengaja melepas tangannya. Ia langsung berlindung di belakang Tarung dengan lidah memelet.

"Taufan, kau--"

"Wow, itu saudaramu yang kau bilang?" Tarung menunjuk Halilintar. Halilintar terdiam sejenak.

'Saudara?' batinnya.

Taufan mengangguk. Lalu Tarung tertawa cukup lebar. "Wajahnya datar seperti yang kau bilang. Omong-omong sedang apa di sini?"

Taufan memutuskan untuk menjawab, "Tidak ... ada."

"Kalian kelihatan lusuh sekali. Bagaimana kalau ku undang makan siang di rumahku? Ajaklah saudara-saudaramu itu." Tarung terlihat senang. Tidak salah, ia memang mengajak dengan antusiasme tinggi.

Akibat tinggal sendirian. Tarung jadi ingin mengajak seseorang makan bersama.

Menurutnya, makan bersama Taufan kemarin cukup menyenangkan. Seandainya saja ia punya saudara atau anak, ia pasti tidak akan kesepian ini.

Taufan mengangguk dengan sumringah. "Mau!"

"Nah kalau begitu ayo."

Tarung merangkul Taufan dan Halilintar. "Kita jemput saudara-saudaramu, baru ke rumahku dan makan siang."

"Yey!"

.

.

.

***tbc***

A/n:

Masih bingung, alurnya jadi kacau huhu

Semoga masih layak :( ga ngerti juga

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro