Chapter 12
Gempa berjalan dalam diam, mengikuti sepupu-sepupunya ke taman belakang milik Thorn. Walaupun ini pagi buta dan langit pun masih agak gelap. Para pelayan sudah bangun dan membereskan rumah.
Thorn berjalan sambil bersenandung ria. Ia senang, akan bertemu dengan sosok anonim di pohon miliknya. Kini ia akan memperkenalkan sepupu-sepupunya pada orang itu. Atau bisa jadi jika itu Taufan, Thorn akan lebih senang lagi.
Thorn berhenti tiba-tiba. Membuat yang lain menabraknya dari belakang. "Ada apa Thorn? Kenapa berhenti tiba-tiba?"
Thorn menunjuk-nunjuk ke arah pohon. Bukan diatas ranting, namun sesuatu dibalik pohon. Mereka tidak tahu apakah itu Taufan atau tidak.
"Ya sudah, coba kita hampiri." Gempa yang dari tadi berada di paling belakang kini maju. Ia berjalan perlahan ke arah sosok itu dan berusaha mengintip.
Gempa terdiam. Membuat yang lain gemas dan memilih untuk ikutan melihat.
Disana, terlihat Taufan tengah tertidur sembari menyender ke batang pohon tersebut. Namun yang mengejutkan bukanlah itu, Taufan dihadapan mereka kini telah dewasa.
"I-itu beneran Taufan? Kemarin dia masih kecil kan?" Blaze terbata sambil menunjuk-nunjuk Taufan yang tengah tertidur. Solar angkat bahu, "Sepertinya dia tumbuh terlalu cepat."
Gempa memberanikan diri untuk lebih mendekat. Memperhatikan dengan seksama apakah benar itu Taufan atau tidak. Mata Gempa menatap dari atas hingga bawah. Dari wajahnya, ini benar-benar Taufan. Apalagi kalung dengan simbol angin di lehernya.
Gempa ingin melihat matanya.
Gempa berjongkok. Menepuk pelan bahu iblis itu, berusaha membuatnya bangun.
Taufan bergerak. Ia menggeser kepalanya yang tadi miring dan mengerjapkan matanya berulang-ulang. Manik safir dibalik kelopak itu terbuka. Gempa membelalak, itu benar-benar Taufan yang ia cari.
"T-taufan?"
Taufan masih diam. Belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Matanya sayu, kelihatan sangat lelah. Kedua tangannya bergerak maju ke arah Gempa lalu menarik Gempa dalam pelukannya.
Gempa hanya diam. Yang lain pun hanya memperhatikan. Namun lagi-lagi hanya desahan nafas yang terdengar. Taufan kembali tidur setelah memeluk Gempa.
"Umm... Sepertinya dia lelah ya?" Blaze bersuara. Menggaruk pipinya yang tidak gatal karena bingung. Gempa sendiri, dalam pose yang seperti ini, bingung mau bergerak atau tidak.
"Lebih baik pindahkan saja tidurnya. Badannya bisa sakit jika tidur seperti itu." Solar membantu melepaskan Gempa dari Taufan. Thorn dan Ice pergi untuk mengambil tikar. Sedangkan Blaze dan Solar mencoba membawa Taufan.
"Gimana cara bawanya nih?" Keluh Blaze. Ia menggaruk kepalanya. Solar tampak berpikir. "Blaze, kau kuat gendong dia gak? Kelihatannya dia ringan."
"Serius?" Blaze tampak ragu. "Baiklah kucoba ya." Blaze berjongkok. Lalu Solar dan Gempa membantu menaruh Taufan di punggung Blaze. Blaze berdiri dengan entengnya.
"Buset! Beneran ringan!" Sorak Blaze.
Gempa terkekeh sedangan Solar menahan tawanya. Thorn dan Ice memanggil, mengatakan jika mereka telah selesai membentangkan tikar. Mereka bertiga pun segera ke sana.
Sesampainya di tikar yang telah dibentang. Blaze kembali berjongkok dan Solar membantu menurunkan Taufan.
"Eh nanti kepala Taufan sakit, mau Thorn ambilkan bantal?" sahut Thorn. Solar melirik ke arah Gempa. Diikuti Blaze yang ikutan melirik. Ice pun hanya menggelengkan kepalanya.
"Eh? Apa?" Gempa yang sadar telah ditatapi pun jadi bingung. Solar menghela nafas, "Taufan ini mau taruh dimana? Mau diambilkan bantal?"
"Kenapa ribet-ribet? Di paha Gempa kan bisa?" Blaze memberi usul dengan bangga. "Aku juga biasanya kalo ketiduran pasti di pahanya Ice." Ice yang mendengar itu pun menendang lutut Blaze. "Kau yang seenaknya tidur di pahaku." Dan Blaze hanya membalas dengan cengengesan.
"Oh ya udah, Thorn gak jadi ambil bantalnya." Thorn kembali duduk. Gempa malah gagap. "Gapapa, paling sebentar lagi bangun." Dan tanpa basa-basi, Solar membaringkan Taufan di tikar dengan paha Gempa sebagai bantalnya.
"Tapi bagaimana jika ada pelayan yang melihat?" ujar Gempa agak panik. Solar menggeleng saja. Lalu Thorn yang menjawab, "Jika ada yang berani membocorkan rahasia dirumah ini berarti dia siap mati." Thorn menampilkan wajah seram. Blaze, Ice dan Gempa sampai tersentak kaget. Kemudian Thorn kembali ke wajah lucunya. "Tenang saja, pelayan disini hanya memprioritaskan bekerja karena mereka adalah budak yang dibeli oleh ayah Thorn dan dibiarkan hidup bebas disini. Hidup terjamin, aman, tidak ada pemaksaan, gaji sesuai dan makanan yang layak. Thorn pastikan tidak ada yang berkhianat nantinya."
"B-begitu..."
Para budak yang dibebaskan lalu dipekerjakan disini selayaknya manusia bukan budak. Tentu saja, Thorn adalah orang kaya dan mereka semua baik. Takkan ada yang berkhianat nantinya.
"Kita bisa menyimpan Taufan didalam saja." Solar menambahkan. "Ayah dan ibu pasti tidak apa-apa, karena mereka tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti ini."
Omong-omong, kedua orang tua Thorn dan Solar memang sering bepergian dan jarang dirumah. Berbeda dengan kedua orang tua Blaze dan Ice yang pergi subuh dan pulang tengah malah. Atau kadang pergi selama beberapa hari ini membeli dagangan nantinya.
"Berarti, kita bisa terus bersama Taufan kan?" Thorn mulai antusias. Namun Solar sendiri terlihat ragu, "Aku tidak begitu yakin apakah Taufan mau tinggal bersama kita atau tidak. Sepertinya, dia sendiri pun punya tugas yang tidak bisa ditinggalkan."
Mereka semua melihat ke arah Taufan yang tertidur dengan lelapnya. Wajahnya terlihat damai dan tentram ketika tertidur. Di wajahnya, tercetak jelas jika ia sedang lelah. Apalagi rambut, badan hingga bajunya pun kotor dan dipenuhi bekas-bekas darah kering.
"Sepertinya dia belum pernah mandi," ujar Ice sekenanya. Blaze mengangguk setuju. "Walaupun nggak terlalu bau, tapi tetap aja bau darah di bajunya itu busuk." Sedangkan Thorn hanya ikut-ikutan setuju saja walau tidak terlalu mengerti.
Tak lama kemudian, manik safir itu pun terbuka karena suara bising di sekitarnya. Mendapati dirinya tengah dikelilingi, Taufan tersentak dan langsung loncat menjauhi mereka berlima. Gempa tentu saja yang paling terkejut atas gerakan Taufan yang tiba-tiba seperti itu.
Baru kemudian Taufan sadar bahwa di hadapannya saat ini bukanlah ancaman. Ada Gempa dan yang lainnya disini. Taufan pun mengendurkan rasa was-was.
Ia ingin berteriak memanggil nama Gempa karena merindukannya. Tapi ia tidak bisa.
Gempa yang tahu bahwa Taufan memaksa untuk berbicara pun menyuruh Taufan duduk di sebelahnya. Taufan langsung menurut dan duduk disebelah Gempa, sembari menunduk lesu.
"Kau tau Taufan? Aku merindukanmu." Gempa berujar dengan nada yang lembut. Membuat iblis itu menoleh dan mengangguk. Seolah mengatakan 'aku juga' pada Gempa.
Kemudian senyum Gempa tiba-tiba berubah.
"Nah, sekarang waktunya mandi, Taufan."
.
.
.
"Kau yakin akan mengirimnya Ocho?"
Kaizo berujar dengan nada sedikit tak terima. Sedangkan pemuda yang umurnya jauh dibawahnya ini mengangguk. "Aku yakin, biarkan saja dia disana. Toh, lagipula mereka seumuran kan?"
Kaizo memalingkan wajahnya. "Tapi aku sedikit tidak yakin."
Ocho berdiri. Menepuk pundak sang kapten. "Begini Kapten, jika mereka benar-benar tidak menyembunyikan apa-apa. Maka tidak perlu ada yang dikhawatirkan." Setelah itu Ocho berlalu begitu saja. Meninggalkan sang kapten di dalam tenda.
Setelah termenung begitu lama. Kaizo memutuskan untuk keluar dan menghampiri Halilintar yang tengah menyantap sarapan paginya.
"Oh, kapten."
Kaizo duduk disebelah Halilintar dan meneguk segelas minuman yang tersaji di atas meja. Halilintar tak terlalu peduli, ia masih memakan makanannya.
"Bagaimana keadaan adikmu?" Kaizo memulai percakapan.
Halilintar menelan makanannya. "Terakhir aku menemuinya, dia baik-baik saja."
"Kau belum menemuinya lagi?"
"Belum."
"Kenapa?" Kaizo terus saja bertanya. Membuat Halilintar terus-terusan tidak jadi menyuap makanan selanjutnya. "Aku tidak ingin menganggu acara keakrabannya dengan sepupu-sepupunya."
Kaizo malah terkekeh saat mendengar jawaban itu. "Kau kan juga sepupu mereka, kenapa tidak sekali-kali bersenang-senang dengan mereka?"
Halilintar meneguk minumannya. Mereka berbincang tanpa sedikit pun Halilintar menoleh. "Aku berbeda."
"Berbeda apanya? Umurmu dengan Gempa tidak jauh berbeda, kan?"
Hanya dengusan yang Kaizo dapatkan.
"Sebenarnya, Ocho akan mengirimkan seorang mata-mata untuk memata-matai adik dan sepupu-sepupumu." Kaizo akhirnya sampai ke inti pembicaraan. Halilintar baru menoleh kali ini dengan dahu berkerut. "Kenapa?"
"Dia masih mencurigai mereka." Kaizo terkekeh masam. "Kita juga takkan bisa menghentikan Ocho jika dia memutuskan begitu."
Halilintar menggigit bibirnya.
"Bagaimana jika adikmu benar-benar menyembunyikan seorang iblis?" tanya Kaizo lagi.
"Tidak mungkin, lagipula apa untungnya dia menyembunyikan iblis?" Mendengar itu, Kaizo lagi-lagi tertawa. "Kau kan tahu sendiri jawabannya."
Halilintar tersentak. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Entah."
Kaizo terdiam lagi. Kali ini tatapannya jadi sendu. "Aku juga, jika adikku dekat dengan iblis. Aku akan memisahkannya apapun caranya." Ia menunduk. "Karena aku tak ingin dia diambil oleh pihak kerajaan."
Halilintar hanya menoleh lewat ekor matanya. Ia berdecih pelan. "Apapun itu, iblis harus mati."
Kaizo terkekeh lagi. "Kasar sekali, beda sekali dengan adikmu yang sangat simpati itu. Kurasa jika adikmu menemukan iblis yang terluka, dia akan menyembuhkannya."
"Kalau aku yang menemukan, akan kubunuh." Suara serak itu terlihat sangar. Namun Kaizo sama sekali tidak peduli.
Halilintar berdiri dari duduknya dan beranjak pergi tanpa pamit sekalipun. Kaizo hanya mendengkus tak peduli. Halilintar memang begitu orangnya.
Selalu saja, Halilintar selalu berjalan ke hutan sendirian. Berharap bertemu dengan iblis itu dan memaksanya memberitahu tentang apakah dia dekat dengan Gempa atau tidak.
Halilintar tidak ingin adiknya terlibat.
Ia tidak mau mengambil resiko dengan membiarkan adiknya berteman dengan iblis. Bisa saja iblis itu malah menerkamnya dari belakang. Dan membuat ia kehilangan lagi-lagi sosok penting dalam hidupnya.
Halilintar berjalan semakin jauh ke dalam hutan. Dan berdiri diam ketika menemukan batu besar. Tempat dimana dia menemukan Taufan waktu itu. Dan juga mendapatkan semanggi berdaun empat yang asalnya entah darimana.
Sekarang Halilintar membawa itu kemana-mana. Menjadikannya seolah keberuntungan. Mana tau dia bisa menemukan iblis itu lagi.
Iblis dengan mata safir itu.
Namun entah kenapa, Halilintar selalu merasa ragu ketika sudah berjumpa dengannya.
Sebenarnya perasaan apa itu?
.
.
.
***tbc***
A/n:
Duh beneran ideku buntu deh
Kira kira kalian bisa tebak, siapa yg bakalan dikirim buat mata-matain Gempa dan yang lainnya?
Dan lagi Taufan disuruh mandi. Betapa dekilnya dia.
Mana tau abis mandi jadi tambah uhukgantenguhuk
Okey, see you next time~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro