Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Khayalan Masa Depan

Bismillahirahmanirahim


💔💔💔

"Aku pengen cinta kita seperti Ali dan Fatimah." Aku berujar saat sepi menyelimuti kami.

Aku dan Erlan sedang makan malam, di warung sate bang Udin, langganan kami ketika pulang kuliah.

"In Syaa Allah," balasan yang aku senyumi.

Iya, aku berharap sekali cinta kami bisa seperti Ali dan Fatimah, walaupun aku tahu kami manusia biasa yang masih harus belajar soal pernikahan. Sementara kami masih berusaha menyelaraskan dua pikiran dalam satu visi ke depan.

Kenal bertahun-tahun tidak menjamin kami sudah dalami karakter masing-masing. Banyak sekali hal yang belum aku ketahui dari Erlan, pun sebaliknya. Jadi kami sangat maklum kalau setiap hari akan ada kejutan baru. Seperti Erlan yang menunjukan dirinya kalau cuek soal kabar, walaupun aku harus mengerti itu salah satu kebiasaan buruknya. Erlan juga harus bisa mengontrol keburukan-keburukannya, jangan sampai memicu pertengkaran di antara kami. Aku pun begitu.

"Apa yang penting dalam pernikahan menurut Mas?"

Aku lihat kerutan di dahi Erlan. Ia mungkin kaget dengar pertanyaan yang sama dariku. "Bukannya itu udah pernah kita bahas?"

"Aku pengen Mas jawab sekali lagi."

"Tanggung jawab, kejujuran, dan kesetiaan."

Aku senyum. "Mas nggak mau tambahin?"

"Tambah apa Sayang?"

"Prioritas," ujarku.

Kulihat Erlan menghela napas. Sendotan yang semula ia pegang dilepas. Tangannya turun ke paha, amati suasana jalan raya. "Kamu prioritasku." Dengan tegas dia katakan itu.

"Prioritas nggak bisa diucapkan lewat kata-kata Mas. Harus a---"

"Jangan rusak makan malam kita. Aku tahu kamu butuh dikabari, tapi kamu juga harus paham kerja adalah bagian dari tanggung jawabku sama kamu. Itu artinya masuk dalam prioritas. Aku harap sampai sini kamu bisa paham, dan nggak dibahas terus, apalagi diulang-ulang."

Aku diam. Dan mulai teringat perkataan temanku dulu, bahwa yang paling sulit dari sebuah hubungan bukan kesetiaan, tetapi menerima seseorang apa adanya. Itu sulit. Iya, sekarang aku percaya kalau itu sulit.

Dan dengan siapapun aku, pasti kami mempunyai sifat bertolak belakang. Hanya kesamaan-kesamaan lainnya yang bisa menyatukan kami. Tanpa itu, tangga yang sudah dibangun pasti runtuh.

"Maaf ya Mas." Bukan maaf yang sebenarnya. Maaf di sini karena menghargai dia sebagai suamiku.

"Nggak papa. Kita masih punya ratusan hari untuk dilewati. Ini baru awal." Dia pegang tanganku. "Apapun yang terjadi kita harus tetap sama-sama ya."

"In Syaa Allah." Aku tidak ingin berjanji banyak. Sebab aku belum tahu ada apa di depan.

💔💔💔

Hari pertama masuk kerja setelah ganti status menjadi menikah, aku ditatap satu per satu oleh temanku satu ruangan. Mata mereka seolah menghamba "Tolong ceritakan bagaimana rasanya jadi penggantin baru".

"Kalian kenapa? Bedakku ketebalan ya? Atau lipstikku kemerahan?" Yang kudapati cuma cekikikan.

"Nggak Sa, cuma penasaran, itu..."

"Itu apa?"

Oh, sungguh. Aku ingin pura-pura bodoh hari ini. Toh, rumah tanggaku bukan konsumsi publik. Jadi mereka tidak boleh jadikan status baruku sebagai camilan yang mereka obrolkan saat bosan melanda. Sebab, kantor terasa begitu tegang tanpa candaan. Apalagi jokes-jokes dewasa berbau pernikahan, sudah jadi makanan sehari-hari.

"Masa nggak paham si Sa. Masih aja lugu."

Dalam hati, aku tertawa. "Udahhhh, kerja-kerja. Jangan gosip terus, dosa."

Melihat aku tidak kooperatif, mereka memilih kembali kekubikel masing-masing. Masih banyak laporan yang harus dikerjakan, mereka malah sibuk mengurusiku.

"Enak Sa punya suami?" Terry menyambung obrolan.

"Ada enaknya, ada nggaknya." Aku sahut sembari ambil beberapa file laporan.

"Enaknya apa, nggaknya apa?"

Setahuku Terry paling pendiam di antara kami. Entah kenapa dia jadi cerewet sekarang. "Enaknya ada teman bobo. Nggaknya, ruang gerak kita terbatas sudah nggak kayak dulu lagi. Jadi..."

"Jadi?" Terry ulang kata terakhirku.

"Jangan ajak aku pergi jalan dadakan. Soalnya aku butuh ijin sekarang."

"Siap,"katanya dengan tegas. Aku hanya geleng-geleng kepala.

Pernikahan bukan menutup segala akses kita dengan orang lain, dan hanya memfasilitasi pasangan sebagai satu-satunya sumber yang wajib kita temui 24 jam. Tidak, bukan begitu. Kehidupan terus berjalan, kita punya keluarga, teman, rekan kerja yang masih harus terhubung dengan kita. Menikah bukan berarti dipenjara, hanya saja kita harus tahu bahwa ada orang lain yang harus kita hargai dan hormati. Ijinnya sama dengan ridho Allah pada kita. Jadi jangan merasa terkekang dengan pernikahan. Sebab sedikit sudut pandang bergeser, rusak semua susunan yang ada.

Jadi ibarat pemimpin, Erlanlah yang memutuskan aku boleh pergi atau tidak. Selama itu tidak melanggar syariat islam, aku wajib mengikuti perintah suamiku. Mungkin ini akan terdengar ribet di telinga teman-temanku yang belum menikah, tetapi seandainya mereka kelak masuk dunia pernikahan, mereka akan tahu wahana apa saja yang bisa mereka kunjungi tanpa harus merusak susunan yang ada.

💔💔💔

"Aku mau nanti kalau sudah tua makan pop mie berdua di teras rumah, sambil nikmati burung-burung berkicau, dan orang lalu lalang yang sibuk melambai terus bilang. 'Sudah kakek nenek masih aja romantis.'" Aku cekikikan, tanganku menggandeng pergelangan Erlan. Sore itu kami pulang jalan kaki, bukan karena romantis, tapi karena motor Erlan mogok dan masuk bengkel. Aku sengaja meminta jalan kaki daripada harus menelepon ojek online. Sebab aku suka suasana ini.

Erlan mengusap telapakku. "Kalau aku pengen kamu tetap di samping aku. Nemenin aku baikin mobil tua kita, atap rumah kita yang mungkin bocor. Terus kamu buatin aku secangkir kopi sambil bilang 'Yah, minum dulu kopinya keburu dingin.' Kami tertawa bersama. Lucu sekali membayangkan masa-masa itu. Erlan punya daya khayalnya sendiri, aku pun begitu.

"Terus kamunya asik aja ngebengkel sampai aku bosan dan merenggut."

"Terus akunya gombali kamu, eh kamunya luluh." Erlan terbahak sambil menyentil pipiku.

"Enak aja, nggak gitu ya Mas konsepnya."

Erlan masih cekikikan. "Masa depan nggak pakai konsep Sayang. Itu cuma ada dalam dunia khayal kita."

"Biarin sih nyenengin istri." Aku pura-pura merenggut.

"Bakso mau?" Erlan merangkul bahuku.

Aku masih diam seolah berpikir.

"Iya kalau nggak mau sih nggak papa."

"Mauuuu," kataku dengan nada manja. Refleks Erlan cubit kedua pipiku, gemas. Bayangkan saja 26 tahun dan bersuara seperti itu pasti terdengar sedikit menjijikan kalau aku ini bukan istrinya.

Bakso makanan favoritku. Cukup mudah bagi Erlan untuk menghapalnya. Sebab setiap kali kami makan nyaris menu itu yang selalu aku pesan. Berbeda dengannya yang suka sekali kepiting. Ia bisa berjam-jam di depan televisi hanya untuk menghabiskan semangkuk kepiting. Kalau aku sangat tidak akrab dengan jenis seafood satu itu. Paling hanya icip-icip, kalau untuk memakannya aku berpikir ratusan kali. Harus membuka cangkangnya hanya untuk isi yang sedikit, terima kasih, lebih baik aku makan kuaci.

"Gimana kerjaan hari ini?" Sambil menunggu bakso, aku dan Erlan duduk santai di pojokan.

"Ya, seperti biasanya," kataku sambil perhatikan pengunjung lain.

Ada dua orang sepertinya sepasang kekasih. Kubaca dari raut wajahnya mereka sedang bertengkar. Si cewek hanya mengaduk-ngaduk minumnya tanpa niat meminum, si cowok sibuk main handphone.

"Jangan liati orang kayak gitu." Erlan menegurku.

"Mereka berantem ya Mas?" Dengan suara pelan aku bertanya.

"Kepo ih."

Aku terbahak. Benar saja, kenapa aku jadi mengurusi hidup orang lain. Padahal itu bukan kapasitasku. Mau mereka adu tinju juga aku tidak berhak tahu mereka ada masalah apa. Sayangnya banyak orang yang ingin tahu kehidupan orang lain. Entah apa yang mereka dapat, yang pasti menurutku hanya buang-buang waktu.

"Hai Erlan, apa kabar?"

Mendadak seorang wanita mendekati meja kami. Menyapa suamiku begitu ramah. Kulihat Erlan bersikap salah tingkah. Sebentar-sebentar melirikku lalu tundukan kepala. Yang lebih anehnya, kenapa ia harus menarik napas seolah gugup.

"Masih ingat aku kan? Aku Ayesha."

Dengan senyum hambar suamiku berusaha ramah. "Iya, aku ingat kok."

"Ini siapa?" Perempuan itu bertanya soal aku.

"Istriku."

"Ohhhh." Ada nada tidak enak yang kudengar dari sahutannya.

"Kalau gitu aku permisi ya."

Erlan hanya mengangguk.

"Ayesha itu siapa Mas?"

Baru mau menjawab, pelayan datang membawakan dua mangkuk bakso kami.
Sedikit distraksi itu tidak menyulutkan semangatku untuk bertanya.

"Siapa Ayesha?"

"Kita makan dulu ya, aku udah laper." Erlan langsung menarik mangkuknya, mengambil kecap lalu menuangnya ke mangkuk, lalu sambal satu sendok makan dan dua potong jeruk nipis.

Kuperhatikan saja tingkahnya. Bakso yang ada di depanku sudah tidak lagi menarik. Sampai disuapan pertama, Erlan melirikku. Ia baru sadar aku memperhatikannya.

"Kamu nggak makan?"

"Sebelum Mas jawab siapa Ayesha aku nggak akan makan."

"Makan dulu, nanti aku jawab," ujarnya berusaha santai.

Aku tetap dengan prinsipku. Kutunggu Erlan sampai selesai makan.

"Sudah?" Setelah Erlan mengusap bibirnya dengan tissu dan isi mangkuknya sudah habis, aku tidak sabar menyerangnya dengan pertanyaan.

"Siapa Ayesha?"

"Mantanku."

Mendengar itu aku langsung sadarkan punggung ke sandaran kursi. "Oh... Mas punya mantan. Aku kira selama ini Mas nggak pernah pacaran."

Erlan masih diam, sampai akhirnya ia bersuara "Maaf Sayang," katanya.

💔💔💔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro