Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dikhitbah

Bismillahirahmanirahim


💔💔💔

"Sa, lusa mas mau ke rumah kamu?"

Mendengar info yang disampaikan Erlan, aku berbalik. Di ruangan sisa kami berdua. Erlan bukan licik ambil kesempatan, tetapi aku tahu cuma momen itu yang bisa membuat dia sampaikan sesuatu.

"Ngapain Mas?"

"Kalau diizinkan, Mas mau mengkhitbah Ghaitsa."

Aku diam beberapa detik untuk benar-benar mencerna kalimatnya. Jangan sampai aku salah dengar, apalagi salah persepsi.

"Mengkhitbah? Maksud Mas ngelamar aku?" Aku konfirmasi ulang. Erlan justru mengangguk, malu-malu.

Ma Syaa Allah, aku spontan menutup mulut agak hiperbolis terkejut. Wanita mana yang tidak syok ingin dilamar oleh seorang pria. Plusnya pria itu tampan, berakhlak baik, tidak pernah macam-macam. Kalau bisa dinilai Erlan pasti dapat 95 dari 100. Hanya 5 persen kekurangannya, itu pun bagiku tidak masalah, hanya seujung kuku, bisa kuterima dengan baik.

"Kuizinkan kalau Mas benar-benar serius. Mas boleh datangi kedua orang tuaku." Kulihat dia tersenyum kecil, manis sekali.

"Oke. Mas akan datang lusa ya. Jangan lupa camilannya." Ia pergi sambil mengedipkan mata, berjalan mundur perlahan lalu menghilang dibalik pintu. Aku terkekeh melihat polahnya.

Kami menikah tanpa ta'aruf dan tanpa pacaran, aneh bukan. Setelah Erlan datang ke rumah untuk melamar, kami jalani hubungan seperti biasa. Hanya dua bulan sampai akhirnya kami resmi menikah.

Aku dan Erlan sudah kenal sejak kami kuliah. Aku tidak pernah tahu dia menaruh perasaan ke aku. Yang kutahu kami dekat selayaknya teman biasa. Ternyata lawan jenis sukar untuk berteman. Mungkin ada yang tidak melibatkan perasaan, tapi itu bukan kami.

Kuakui getaran cinta itu ada, berisik di dalam hati, tapi kuabaikan, sebab aku tidak melihat Erlan menunjukan rasa sukanya. Perhatian yang dia berikan kutangkap hanya sebagai sinyal peduli karena aku temannya. Aku tidak berani berharap banyak waktu itu. Perasaan yang aku rasakan kusimpan diam-diam. Sampai tiba Erlan katakan ingin melamarku.

Aku dan Erlan terpaut usia lima tahun, tapi kami kuliah di fakultas yang sama. Erlan terlambat kuliah karena keterbatasan biaya. Mungkin itu hanya sebab, faktor lainnya adalah aku. Allah membuat Erlan terlambat kuliah agar aku dan dia bisa bertemu.

💔💔💔

"Gimana? Mas serius kan?" Ya Allah rasanya aku mau pingsan dengan jarak sedekat ini.

Dulu, mungkin aku tidak akan gugup. Berbeda dengan sekarang. Erlan serius tunaikan niatnya melamarku. Orang tua kami bahkan sepakat dua bulan lagi walimah kami diadakan. Ma Syaa Allah, jodoh ternyata bisa datang secepat ini. Bahkan orangnya sering aku temui sehari-hari.

"Mas yakin pilih aku?" Aku bertanya sambil memainkan ujung lengan sweaterku.

"Yakin. Ghaitsa sendiri gimana? Mau kan mas imami?"

Aku terkekeh. "Mas ih." Aku memukul bahunya, dia ikut menyengir.

"Mau kan bangun tidur liat muka leceknya mas?" Tawaku semakin menjadi.

Dan kubalas. "Mau kan liat aku pagi-pagi pakai daster lagi masak di dapur dengan aroma bawang." Gantian dia yang terkekeh lebar.

"Sangat mau," ujarnya berbisik tepat di dekat telingaku, sampai bulu-bulu halus di tanganku merinding.

"Udah siap melayani mas setiap hari?"

Ya Allah, dia mulai nakal. "Mas ih apaan sih." Dengar jawabanku dia terbahak.

"Nanti ngaji sama-sama ya Mas."

"Jangankan ngaji, tidur pun kita sama-sama, Sayang."

Ma Syaa Allah. Rasanya aku butuh oksigen. Napasku mendadak sesak. Aku baper, serius.

"Semoga cinta kita seindah Ali dan Fatimah ya Mas."

"Aamiinnn." Dia ucapkan begitu sungguh-sungguh.

Aku begitu suka saat ayahku cerita soal kisah cinta Ali Bin Abi Thalib Dan Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah. Katanya Ali bertahun-tahun memantaskan diri menjadi suami putri Rasulullah. Ia sudah pasrah jika Fatimah menikah dengan orang lain dan bukan menjadi jodohnya. Namun takdir Allah berkata lain. Yang menjadi suami Fatimah justru Ali Bin Abi Thalib.

Begitu juga Erlan, dua hari setelah dia resmi melamarku, ia sempat cerita kalau untuk maju ke tahap ini, Erlan butuh empat tahun memendam perasaan. Juga siap jika harus kehilanganku kalau ada orang yang lebih dulu berani untuk melamarku. Dia pasrah, katanya. Namun, sampai hari ini tidak pernah ada yang melamarku kecuali dia. Mungkin ini jawaban dari doa-doanya.

"Kenapa Mas pilih aku?" Aku kira dia akan kesusahan menjawab. Nyatanya dia menolehku dengan senyum tipis ciri khasnya.

"Karena kamu baik, pemaaf, keibuan, dan tulus."

Aku tidak heran ia bisa mengeja dengan baik sifat-sifatku. Empat tahun kenal, saling tukar obrolan, tentu membuat Erlan tahu bagaimana aku bersikap.

Pemaaf bilangnya. Jujur aku kadang bingung, harus mensyukuri sifat itu atau aku harus membencinya. Sebab menjadi pemaaf membuat aku menjadi lemah. Amarahku tertahan, uneg-unegku sebatas merumpi di dalam otak. Tidak pernah keluar. Aku begitu mudah memaafkan. Entahlah, Allah sudah menyetting hatiku dalam mode yang sangat baik. Sayangnya, kekuranganku adalah lambat melupakan. Hasilnya memaafkan tanpa melupakan jadi definisi yang timpang. Benci dan cinta bisa jalan beriringan.

"Kadang aku benci jadi pemaaf Mas." Aku sampaikan sepelan mungkin. Mewakili lirih dan teriakan suara hatiku.

"Kenapa?" Ia bertanya setengah kaget.

"Aku nggak bisa benci orang yang udah nyakitin aku itu rasanya nggak adil." Mataku mulai berkaca. Astaghfirullah, aku jadi ingat bagaimana aku begitu maha baik memaafkan pacarku yang sebulan tidak pernah ada kabarnya. Katakan jenuh denganku, hubungan yang monoton. Dan pada akhirnya solusi putus pun diambil.

Aku tidak sebaik wanita lain yang bisa istiqomah untuk jomlo. Baru dua tahun belakangan ini aku sadar lalu memutuskan jomlo sampai halal. Sebelumnya aku nakal. Gonta ganti pacar dan hanya bertahan paling lama dengan pacarku yang terakhir, lalu setelahnya aku taubat. Menolak siapapun yang menawari aku pacaran. Mereka bilang aku munafik. Mereka sangat kesal ketika kutolak dengan alasan kalau aku tidak mau lagi berbuat zina. Aku bilang kalau serius aku maunya ta'aruf, ada yang tertawa, ada yang langsung memblokir nomorku, ada juga yang mendoakan semoga apa yang kupilih bisa dijalankan secara istiqomah.

"Jangan gitu." Erlan mengubah posisinya menghadap ke arahku. "Ada orang yang ingin sekali jadi pemaaf Sa, tapi nggak bisa. Contohnya aku, aku susah maafin orang. Dan senang sama orang seperti kamu yang mudah memaafkan. Percaya Sa, memaafkan itu buat hati kamu tenang, sebaliknya kalau kamu susah memaafkan itu bikin hati kamu tersiksa sendiri."

Kupikir-pikir, benar juga katanya. Punya hati yang ringan lebih baik daripada hati yang keras, bukan. Ma Sya Allah, aku jadi tidak sabar ingin menjadi istrinya.

"Makanya nanti." Dia sempat menjeda, kepergok meneguk saliva. Sepertinya Erlan kesusahan mengolah kalimat supaya aku mungkin tidak tersinggung dengan maksudnya.

Sebelum lanjut bicara, Erlan sempat terkekeh. "Kamu cantik banget Sa. Apalagi dalam jarak sedekat ini Ma Sya Allah."

Di luar topik, dan anehnya aku senyum-senyum meleleh. "Udah ah. Tadi makanya apa?"

"Makanya nanti kalau aku salah dan aku lambat maafin, kamu jangan kesal ya. Ingatkan aku terus kalau memaafkan itu lebih indah daripada dendam."

Aku sempat menghela napas, agak takut dengan sifatnya yang satu itu. "Iya. Semoga kita bisa saling melengkapi ya Mas."

"Aamiinnn."

Kami bertukar senyum sebelum akhirnya Erlan pamit pulang. Menitipkan sejumput doa, semoga malam ini aku mimpi yang baik-baik katanya. KuAamiinkan dengan senyum lebar sambil melambai penuh cinta.

💔💔💔

Cerita baru ya, semoga suka. Jangan lupa shalat dan ngaji dulu sebelum baca ini... Syukron😘❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro