Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

senyumanmu~

Now playing: Halu - Feby Putri

•••

"Sok¹ kamu yang beli aku tunggu sini," ujar si Nangka ketika kami sampai di salah satu toko ATK.

"Lo nitip semeter doang, kan?"

"Ih, aku mah udah ada."

"Lah, katanya lo belum beli pita! Gimana, sih?!" sinisku. Lagi pula kan tadi dia sendiri yang bilang akan minta punyaku ketika kami masih di tukang fotokopi. Hadeeehhh.

"Oh itu. Ya udah, aku semeter." Dia terkekeh. Ketahuan banget kalau tadi dia cuma modus! Halah dasar cowok!

Aku melangkah ke dalam toko, sebelum membeli aku bertanya dulu apakah disini menjual pita permeter, dan ya! Toko ini menjualnya. Tanpa berpikir lagi aku langsung membeli dua pita merah, masing-masing ukurannya satu meter. Nantinya pita merah semeter ini akan digunakan di kepala sebagai bandana.

Selesai membeli pita aku menghampiri si Nangka, dia baru selesai memutar balik motornya ternyata. "Nih, punya lo," ujarku seraya menyodorkan pita merah miliknya.

"Oke, berapa ini?"

"Satu."

Dia terkekeh pelan, "Harganya berapa maksud aku."

"Udah kantongin aja, yok balik," ajakku, aku sudah naik di jok belakang motornya dan menggunakan helm juga.

"Makasih, ya, kamu. Siapa téh namanya? Sapina?"

"Zafrina," ucapku datar. "Cepet jalan ih, itu udah diliatin tukang parkir."

Lagi-lagi ia menancap gasnya hingga motornya melaju kencang, tidak lupa ia berteriak, "PEGANGAAANN!!"

Aku tepuk saja helmnya dengan kencang sampai tanganku perih, "Nangka, bisa gak sih lo bawa motornya santai?!"

"Atuh kalo aku bawa motor mah berat, Neng."

"Maksud gue kendarain motornya santai ajaa!!"

"Oh, ngomong atuh. Ya udah ini pelan-pelan sok, tapi pegangan." Dia terkekeh.

"Pegangan, pegangan! Dasar tukang modus!!"

Kemudian dia tertawa, dia ngakak sendiri sampai aku malu karena banyak yang melihat ke arah kami.

•••

"Nangka, lo bawa gue kemana, sih?" tanyaku. Pasalnya dia membawaku lewat rute yang berbeda dengan yang seharusnya kami lewati.

"Ke kosan kamu atuh, nganter pulang."

"KOSAN GUE DI JALAN NANGKA, ASTAGA!"

Dia tertawa lagi, kurang ajar. "Kamu nggak bilang atuh."

"Lo nggak nanya, maen ngayap aja! Puter balik ayo!"

Dia terkekeh, "Nggak perlu, kita lewat jalan Bunder aja."

Aku menurut saja, semoga si Nangka ini tidak membawaku kabur, atau menculikku untuk dijual organ dalamnya. Astaga, pikiranku mulai ngawur.

Jalanan yang kami lewati lengang, padahal masih jam setengah delapan malam. Mungkin karena hari ini hari Senin, alias masih hari kerja sehingga tidak banyak orang yang keluyuran malam-malam.

"Kamu téh asalnya dari mana?" tanyanya.

"Dari tanah dan akan kembali ke tanah."

Dia tertawa. "Lucu ih, kamu."

Kemudian hening lagi, aku sibuk melihat-lihat sekeliling supaya bisa menghapal jalan. Entah dengan dia, sepertinya dia juga fokus pada jalanan.

Rupanya jalan Bunder ini jalan yang menghubungkan jalan Nangka dan Merjau selain melewati jalan Palem. Aku kira kalau dari Nangka ke Merjau harus melewati jalan Palem saja, ternyata masih ada jalan lain.

"Kalau kosan kamu di jalan Nangka, berarti kita tetanggaan dong!"

"Hm." Aku bergumam, sebab aku sibuk membuka ponsel. Tadi ada notifikasi masuk, siapa tahu penting.

Benar saja, si Winda mengirimkan pesan kalau dia ingin dibelikan dulu martabak kacang. Mumpung masih belum sampai depan komplek indekos.

"Nangka, anter gue beli martabak dulu yuk. Please hehe," pintaku pada cowok itu, semoga saja dia mau.

"Siapa yang kamu panggil Nangka?" ujarnya dengan logat Sunda yang kental, benar-benar mirip Kabayan!

"Elo, lah."

"Ai² kamu … aku téh punya nama, dan nama aku téh bukan Nangka."

"Ya sorry, gue gak tahu nama lo sih."

"Tanya atuh, Neng. Tuh di depan ada tukang martabak manis, dijamin enak!" Kemudian ia menepikan motornya di sebuah kedai kaki lima yang menjual aneka martabak. Hanya martabak telur dengan martabak manis, sih, namun ada varian rasanya.

"Mang Koko! Bikinin martabak yang wuenak buat si Neng geulis³! Pokoknya kudu⁴ enak." Cowok itu berteriak setelah membuka kaca helmnya kepada si penjual martabak, rupanya dia kenal.

Aku lantas turun dan memesan martabak titipan Winda. Si cowok jalan Nangka itu juga ikut turun ternyata, ia duduk di bangku plastik sebelah denganku.

"Aduh, ayeuna mah boga kabogoh geuning,¹" ujar si pedagang martabak, sungguh aku tidak mengerti arti ucapannya meskipun aku tau maksud si pedagang martabak tersebut adalah meledek si Nangka.

"Alah, Mang, ulah kitu ah isin abi,²" jawab si Nangka sembari tersipu, aku jadi ingin menepuk pipinya yang tiba-tiba kemerahan itu.

Pasti si penjual martabak ini bicara yang tidak-tidak. Ya Tuhan, seandainya saja aku bisa berbahasa Sunda.

Peduli amat lah, mendingan aku scroll media sosial. Dari pada gabut juga nunggu martabaknya selesai dibuat.

"Kosan kamu di sebelah mana?" tanyanya tiba-tiba, padahal tadi si Nangka ini sedang asyik mengobrol dengan penjual martabak.

"Sebelah kios Uda Faisal."

"Oh, alah! Itu mah deket atuh sama rumah aku," dia berseru girang. "Kita cuma beda RT doang berarti."

"Hm, ya udah."

"Ya udah doang sih?"

"Ya terus?! Gue harus salto sambil bilang hore?"

Dia tertawa lagi, heran kenapa cowok ini receh sekali. "Gitu atuh nge-gas, kan rame!" Cowok itu masih ngakak. "Betul gak Mang Koko?"

"Betul atuh, Yan! Nih Neng, martabak kacang spesial buat kabogoh anyar Kang Bayan!³" si penjual martabak itu berseru juga, namun aku tak mengerti di akhir kalimatnya. Masa bodoh, kuambil saja martabak yang sudah dibungkus itu dan memberikan selembar uang lima puluh ribu.

"Hatur nuhun, Neng, sing awet, sing⁴ langgeng sampe kakek nenek, ya,"  ucap si penjual martabak itu lagi.

Tunggu, apa katanya? Langgeng sampe kakek nenek? Maksudnya?

WAH PASTI SI NANGKA NGAKU-NGAKU MENJADI PACARKU!

SIALAAAANN.

Cowok itu kini sudah naik di atas motornya yang menyala, kemudian mempersilakan aku untuk naik dibelakangnya. Tak lupa ia pamit pada si tukang martabak yang sudah akrab dengannya itu. Lihat saja nanti akan kuberi perhitungan dia karena mengaku-ngaku dia ini pacarku.

"Heh, Nangka! Lo bilang kita pacaran ya ke si Abang martabak tadi?!" Tanyaku langsung ke intinya, dengan nada yang amat ketus tentunya.

"Nggak, Mang Koko aja salah paham. Ih kamu, nama aku téh bukan Nangka! Please atuuuhh."

"Gak usah mengalihkan topik, sembarangan aja lo ya ngaku-ngaku! Ih, bete banget gue sama lo!"

"Eh siapa yang mengalihkan topik? Da aku mah cuma bilang, nama aku téh bukan Nangka."

"Au amat dah, mau nama lo Nangka kek, Nanas kek, gue taunya lo cowok jalan Nangka aja! Awas lo ngaku-ngaku lagi jadi pacar gue lagi, gue kutuk lo jadi nangka beneran!"

Kali ini si Nangka betul-betul ngakak, komplek perumahan letak kosanku sudah sepi, jadi tawanya menggelegar. Astaga aku malu, bagaimana nanti kalau ada yang menyiram kami dari balkon? Haduh, Nangka, Nangka!

Akhirnya aku menepuk pundaknya, "Berisik lo, Nangka! Kalo dimarahin orang gimana? Gak sadar apa ketawanya udah kayak setan," tegurku pada si Nangka.

"Ya udah, turun."

"Oh lo gitu ya, nurunin cewek sembarangan. Lo marah cuma gara-gara gue tegur? Atau lo marah gara-gara gue panggil Nangka?"

"Bukan gitu, Neng, ini kita udah sampe kios Uda Faisal."

Aku menengok ke kiri, betul rupanya kami sudah tiba di kios Uda Faisal. Aku jadi malu sendiri sudah memarahi si Nangka.

"Ya sorry. Gue, kan, nggak liat jalan," ucapku. Aku turun dari motor matiknya, kemudian mencoba melepas helm miliknya.

Sepuluh detik aku tekan tombol supaya tali helmnya terlepas, namun tidak ada hasil. Tombolnya macet! Jariku sudah berat karena membawa plastik berisi martabak, dan harus mengotak-atik helm laknat ini.

"Bisa, ngga?" tanya si Nangka yang tak kuindahkan, aku hanya menyuruhnya untuk memegang dulu plastik martabak.

Aku terus mencoba melepas helm yang tersangkut di kepalaku, sialnya helm tersebut pas ukurannya di kepalaku sehingga tali dibawahnya harus dilepas dulu. Tidak seperti helm tukang ojek yang kebesaran jadi bisa kulepas tanpa melepas talinya.

"Aduh kasian gitu, sini, sini!" Ia menarik pundakku agar mendekat, kemudian ia memberikan kembali plastik martabak itu kepadaku. Dengan hati-hati si Nangka membuka helm yang tersangkut di kepalaku, "Aih, tombolnya rada macet geuning. Bentar, bentar," katanya lagi.

Ditariknya kepalaku agar lebih dekat dengannya, perlahan ia berusaha untuk melepas helm ini.

Gila, tanpa sadar jarak antara wajahku dengan si Nangka tinggal beberapa senti saja. Kalau ada orang yang melihat, pasti mengira kami akan berciuman!

Satu detik, dua detik, dan akhirnya helm laknat itu bisa terlepas dari kepalaku. Sempat-sempatnya si Nangka itu merapikan rambutku yang berantakan akibat pakai helm.

Wait, kenapa jantungku berdebar tidak seperti biasanya?

Tidak, tidak, aku tidak mungkin mendadak naksir si Nangka.

"Ekhem," aku berdehem supaya menetralkan perasaanku. "Thanks a lot, ya, udah nganter gue."

"He-em, santai aja. Makasih juga pita merahnya, bakal aku simpen. Hehe."

Aku memutar bola mataku jengah, sedangkan si Nangka hanya tersenyum.

Tunggu, tunggu, kenapa melihat senyumnya aku jadi semakin tidak karuan begini?

AH JANGAN SAMPAI AKU NAKSIR DIA!!

🌵🌵🌵

*Transliterasi perkata

¹sok = silakan (non formal)

²ai = kalau, tapi jika digunakan dengan nomina, belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Jadi seperti kalimat keluhan.

³geulis = cantik

⁴kudu = harus

Da dan téh aku belum menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Karna biasanya mereka itu digunakan dalam percakapan aja. Yang tau padanannya, boleh drop disini, ya😉

*Transliterasi perkalimat

¹Cie, sekarang sudah punya pacar, ya.

²Duh, Mang (paman, namun setara dengan "abang/mas") jangan gitu ah, malu saya.

³Pacar baru kang (sebutan untuk pemuda, kakak laki-laki) Bayan.

⁴Terimakasih, semoga hubungannya awet, semoga langgeng

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro