pita merah
A/n: kosa kata bahasa Sunda sudah ditulis summary pada bagian akhir, ya. Kalau masih tidak paham, boleh tanya di kolom komentar😚
🌻🌻🌻
"Zafiii! Akhirnya lo balik, kangen berat gue sama lo. Hehehe." Winda menyambutku ketika aku tiba di depan kamarku. Kamar kami berhadapan, dan saat aku kembali, Winda tengah berada di ambang pintu kamarnya. Cewek itu punya hobi bersih-bersih, sebersih apa pun kamarnya akan ia rapikan ulang ketika bosan. Gila emang, tapi keuntungannya adalah aku bisa meminta bantuan Winda untuk membereskan kamarku kalau aku sedang malas. Hahaha.
"Jijik! Lo beres-beres mulu kagak nyari makan?" tanyaku.
"Nggak. Kan, nungguin lo."
Astaga, aku lupa. Si Winda ini enggak akan kemana-mana kalau tidak ada yang menemaninya, aku juga lupa membelikan makan sore untuknya. Pasti dari pagi dia belum makan.
"Lo udah makan tadi?" tanyaku lagi.
Winda hanya menggeleng, kemudian berkata "Gue laper, Za."
Tuh, kan!
"Ya makan lah, goblik! Lo pesen makan pake ojek aja deh, gue udah beli makan tadi di warung Padang. Sorry, ya, gue capek." Kemudian aku masuk ke dalam kamarku. Bukan apa-apa, Winda ini anaknya agak manja. Pasti dia akan menolak saranku dan memaksaku untuk mengantarnya keluar indekos untuk mencari makan. Tidak, ah, aku lelah. Seharian ini mendengarkan materi membuat kepalaku pening, setelah liburan panjang aku harus kembali berhadapan dengan full day learning, dan rasanya otakku mau meledak.
Aku segera membersihkan diri, kemudian menyantap nasi padang yang telah kubeli tadi. Astaga, ini nikmat bukan main! Apalagi dengan minum teh tawar hangat yang tadi kubuat, haduh nikmatnya. Ditambah tadi siang aku tidak makan nasi, jadilah seporsi nasi padang yang buatku setara dengan dua porsi makanku ini ludes.
Winda masuk ke kamarku sambil membawa piring berisi nasi dan ayam geprek, "Za, makan bareng yok!"
"Yah telat lo, Win. Nasinya udah proses jadi tai."
"Jorok, lo! Bodo lah gue makan disini aja, gue pengen nonton tivi," katanya sambil menyalakan televisi, ditekan-tekan tombol remote olehnya untuk mencari channel yang menurutnya seru. Dan berakhirlah di tayangan sinetron sore, temanya adalah religi. Biasanya bercerita tentang istri yang tersakiti, lalu sang suami yang berperan jahat akan mati tersambar petir.
Halah, basi.
Tapi aku bingung dengan Winda, bisa-bisanya cewek itu menangis menonton sinema azab. Ya sudahlah, mungkin aku dan dirinya beda frekuensi.
Ponselku bergetar menampilkan sebuah pop-up dari aplikasi WhatsApp, nama Rahma terpampang diatas layar.
Astaga! Aku lupa belum membeli pita merah!!
"Win, lo udah beli pita merah?"
Winda mengelap air matanya, lalu menoleh padaku. "Pita merah buat apa?"
"Buat besok lah, ospek kampus pake pita merah di kepala, kan?"
"Tiap sektor beda, bego. Gue warna ijo, udah beli tadi temen gue nganterin ke kosan," katanya. Makanannya sudah habis, namun ia belum beranjak dari tempatnya karena masih fokus dengan sinetron yang tayang di hadapannya.
"Belom apa-apa udah memperbudak manusia lain, lo! Ya udah deh, gue mau ke luar dulu beli pita. Lo ikut, gak?" ujarku sembari bersiap-siap untuk keluar. Padahal aku sudah memakai baju tidur, haduh.
Kalau bukan karena pesan dari Rahma, mungkin aku akan terus lupa dan akan dihukum besok. Kan tidak lucu jika aku harus dihukum di hari pertama.
"Gue nggak ikut, Za. Nanggung banget ini bentar lagi beres," ucap Winda sambil terisak.
"Nanggung, nanggung! Emang doyan aja lo nonton begituan, udahlah. Kalo mau nitip sesuatu chat gue aja, ya." Akhirnya aku meninggalkan Winda yang berlarut-larut dalam menonton sinetron.
Aku hanya menggunakan sweater dan sendal jepit, celanaku masih menggunakan celana panjang untuk tidur. Masa bodoh lah, yang penting aku memakai baju.
Biasanya pita seperti itu ada di tukang fotokopi yang menyediakan ATK, setahuku tempat fotokopi tersebut bersebelahan dengan minimarket di ujung jalan. Baiklah, aku hanya perlu berjalan 200 meter untuk sampai kesana. Tidak jauh.
Sesampainya disana, aku langsung membeli pita tanpa berbasa-basi.
"Bang, pita merah semeter aja. Bisa gak?" tanyaku.
"Nggak, Mbak, harus segulung"
"Yah kebanyakan, Bang. Boleh, ya, semeter, ya?" Aku menawar, untuk apa aku membeli pita segulung? Hei, aku ini bukan orang kreatif yang bisa mengkreasikan pita jadi benda yang lebih bermanfaat!
"Nggak bisa, Mbak. Nggak ada meterannya."
"Yahh," aku mendesah kecewa. "Kalo boleh tau yang jual permeter dimana ya, Bang?"
"Di Merjau kali, Mbak."
Hah? Di Merjau? Jalan Merak Hijau maksudnya? Ya Tuhan, untuk ke daerah itu aku harus memotong jalan dengan berjalan kaki lewat kampus dan keluar lewat gerbang Barat. Dan itu memakan waktu setengah jam! Mana tidak ada angkot, mau naik ojek juga mahal karna harus berputar dua kilometer dulu.
Mau tidak mau aku membeli pita segulung! Haduh.
"Hey, yo!"
Seseorang menepuk pundakku, aku sampai terlonjak kaget dibuatnya. Sial.
"Elo?!" pekikku tak tertahan.
"Hayo, ngapain malem-malem keluyuran?" tanyanya, dengan wajah usil.
"Siapa juga yang keluyuran," sinisku. Aku kembali menoleh pada si Abang fotokopi, "Ya udah deh, Bang, pita merahnya segulung."
"Banyak pisan beli pita, mau Agustusan?" ujar orang yang tadi menepuk pundakku, alias si cowok jalan Nangka.
"Buat besok, gue lupa belum beli. Nggak ada yang meteran."
"Eh iya buat besok, ya? Aduh, aku juga belum beli. Ntar aku bagi, ya?"
Sudah kuduga. Tapi dari pada mubazir, ya sudahlah.
"Hm," gumamku, sebagai jawaban.
"Mbak, pita merahnya tinggal yang ukuran satu senti, nggak apa-apa?" ujar si Abang fotokopi sambil menunjukkannya kepadaku.
"Yah, Bang. Disuruhnya yang dua senti." Lagi-lagi aku mendesah kecewa, mau tidak mau aku harus pergi ke jalan Merjau.
"Abis, Mbak." Si Abang fotokopi juga sama mendesah kecewa.
Aku menghela nafas, ya sudahlah jalan ke daerah Merjau itung-itung olahraga malam. "Ya udah deh, Bang, makasih."
Kemudian aku berlalu dari tempat fotokopi tadi, berjalan beberapa langkah untuk menyeberang jalan. Mungkin nanti setelah mendapatkan pita merahnya, aku akan naik ojek dari Merjau ke jalan Nangka.
"Mau kemana? Nyari pita?" Si cowok jalan Nangka sudah ada di sebelahku lagi.
Aku meliriknya, lalu memutar bola mataku dengan malas.
"Nggak ada tukang pita di daerah sini mah, kudu ke Merjau," ujarnya.
"Ya makanya ini mau ke Merjau."
"Sendiri?"
"Sama setan kayaknya."
"Iiih!" Cowok itu terkekeh. "Jalan kaki?"
"Jalan tangan."
Dia tertawa, "Ih, kamu bodor¹ ternyata," ujarnya sambil tertawa. "Hayu² sama aku dianter, tunggu sini aku ambil motor dulu."
Cowok itu berlalu, aku hanya menoleh ke arahnya. Ternyata ia mengambil motornya yang terparkir didepan minimarket.
Sudah kubilang, 'kan? Aku akan ke Merjau bersama setan.
Terlihat cowok itu ber-tos ria bersama kawan-kawannya yang sedang nongkrong didepan minimarket, aku baru sadar rupanya orang-orang itu teman-temannya si cowok jalan Nangka yang juga sekampus denganku. Tuh, ada si cowok berponi yang tadi siang duduk di sebelah si jalan Nangka. Argh! Aku tidak tau namanya, yang kutahu dia adalah cowok yang tinggal di jalan Nangka. Itu saja.
Saat cowok itu melajukan motornya ke arahku, aku pura-pura tidak habis memerhatikannya. Nanti dia ke-geer-an lagi jika tahu aku sedang memerhatikannya.
Motor matiknya berhenti tepat di hadapanku, kemudian ia menyodorkan sebuah helm berwarna coklat kepadaku. "Nih pake, wangi da helm aku mah," katanya.
"Gak usah pake helm dah, deket ini."
"Yee, jauh dekat keselamatan itu perlu! Ini cepet pake, atau mau pake helm si Bulet yang ini? Bau apek," ujarnya sembari menunjuk helm yang dia gunakan.
Dari pada lama, kuraih saja helm coklatnya itu. Lalu aku naik ke jok belakang motornya, tanpa menggunakan helm tentunya.
"Nggak mau jalan."
Aku kebingungan, "Lah, ngapa lo?"
"Beneran aku mah gak mau jalan." Ia merajuk, tangannya dilipat di depan dada, aku bisa melihatnya dari belakang. Kedua kakinya menapak pada jalan, menahan supaya motornya tetap seimbang.
"Ya terus kenapa lo nawarin mau anter gue?! Udahlah, lama!"
Ketika aku hendak turun dari motornya, ia berkata lagi, "Aku nggak mau jalan kalo kamunya nggak pake helm, aku juga nggak akan biarin kamu jalan malem-malem sendirian."
"YAELAH!" pekikku, sambil menepuk pundaknya. "Soal helm doang, astaga! Ribet banget idup lo! Nih, liat, nih, gue udah pake helm!!" Aku berseru sambil mencondongkan tubuhku pada dirinya, supaya dia lihat aku sudah memakai helm yang ia berikan tadi.
Dia terkekeh, kemudian menancap gas dan melajukan motornya agak kencang.
"PEGANGAAAAANN!!" teriaknya, dari jok depan.
"GILAA LO NANGKAAAA!!!"
🌵🌵🌵
¹bodor = konyol
²hayu = ayo
Atuh; mah, merupakan kosa kata yang belum ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, juga selalu digunakan dalam percakapan di Sunda. Setahu aku, atuh mirip seperti deh.
Cmiiw'-'
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro