Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

kecewa~

Now playing: Kecewa - Bunga Citra Lestari

•••

Lima belas menit yang lalu Bayan mengirimkan pesan kalau dia sudah berada di depan indekos-menepati janjinya untuk menonton Netflix. Aku baru membaca pesannya karena baru selesai mandi, jadilah aku baru membalasnya dan meminta Bayan untuk menungguku pakai baju sebentar.

Setelah selesai, bergegas aku menemuinya ke bawah. Baru sampai di ruang tamu, Bayan tengah duduk bersama Misel. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu yang penting, sampai tidak menyadari kehadiranku.

"Liat deh, Kak, masa dia bilang tau kosan aku. Kan, ngeri," kata Misel sambil menyodorkan ponselnya pada Bayan.

Cowok itu mengambil ponsel milik Misel. "He-em watir euy¹, ntar coba ya saya kasih tahu si Bulet dulu," jawab Bayan.

Lama mereka berbincang, lama juga aku menunggu. Padahal aku sempat ke kios Uda Faisal dulu untuk membeli beberapa camilan, buat dimakan sambil nonton nanti. Namun Bayan masih juga bicara dengan Misel, bahkan tidak menyadari pergerakanku yang bolak-balik.

"Ekhem." Aku berdehem supaya Bayan setidaknya menyadari kehadiranku. Kemudian aku pura-pura berjalan menuju ke dapur, namun akhirnya Bayan memanggil dan menghampiriku.

"Ai kamu kenapa lama pisan? Terus juga malah ke sana, ngapain?" tanyanya.

"Orang abis dari warung. Lo aja gak liat."

"Kak Bayaan! Ini dia nelepon aku!" pekik Misel panik, membuat Bayan terlihat risi dan kembali menghampirinya. "Tunggu sebentar, ya," katanya sebelum pamit.

Setengah jam aku menunggu di meja makan yang letaknya terhalang oleh kabinet besar tempat menyimpan perabot milik Uda Faisal dan Uni Siti, akhirnya aku memilih untuk menunggu Bayan di kamarku. Serta kukirimkan pesan WhatsApp padanya kalau sudah selesai urusannya dengan Misel, panggil saja aku.

Sambil menunggu Bayan, aku menonton televisi. Setengah jam, aku mulai menguap. Satu jam, mataku mulai lengket. Dua jam, aku tidak bisa menahannya lagi, aku ngantuk bukan main. Berjalan ke ruang tamu, dan yang kulihat hanyalah sofa serta meja kopi dengan sampah tisu diatasnya. Lanjut berjalan ke teras, tidak ada siapapun. Bahkan kios milik Uda Faisal pun sudah tutup. Serta tidak ada motor yang terparkir di depan pagar, tidak ada juga sandal laki-laki.

Artinya, Bayan pergi.

Rasa kesalku seperti bara kecil yang disiram bensin. Benar-benar memuncak, dan ingin meledak. Apalagi ketika sambungan telepon Bayan tidak terhubung sama sekali. Bagus. Ketika mood-ku sedang hancur, Bayan malah semakin menghancurkannya.

Pintu kamar yang terpajang angka 04 dari ornamen kayu itu tertutup rapat, dengan ragu kuketuk pintu yang merupakan kamar kos Misel tersebut.

Tiga kali, tidak ada jawaban. Jeda sedetik, pemilik kamar nomor 05 menyembulkan kepalanya, kemudian netra kami bertemu.

"Miselia lagi keluar, Kak, mau titip pesen?" ujarnya.

"Oh, nggak. Sorry nih kepo, dia pergi sama cowok yang katanya kakak kelasnya bukan, sih?"

"Hmm ... maksudnya cowok yang tadi di ruang tamu?"

Aku mengangguk.

"Iya, Kak, sebentar lagi juga pulang," jawab orang itu.

Baiklah aku paham. Misel dan Bayan pergi bersama, sampai nyaris larut begini keduanya belum kembali.

"Oh ... oke, deh. Makasih ya, sorry juga ganggu malem-malem gini."

"Sama-sama, Kak." Cewek tersebut kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya, juga menutup pintu rapat-rapat.

Berlari ke kamar, aku menutup pintu sedikit dibanting. Mematikan televisi dengan menekan tombolnya secara kasar, lalu membanting diri keatas ranjang.

Tertidur dengan posisi telungkup. Aku tidak benar-benar tidur, hanya memejamkan mata. Merasakan cairan bening mengalir, lalu menetes, dan membentuk pola abstrak di atas bantal.

•••

Aku terbangun karena mendengar nada panggilan masuk, dari Rahma rupanya. Dia mengingatkanku akan camping, kami harus berkumpul jam delapan di kampus. Sekarang sudah jam tujuh, masih ada waktu satu jam untuk aku bersiap.

Dalam cermin kulihat mataku membengkak, dan sedikit memerah. Pasti efek menangis semalam. Tidak mau peduli, aku tetap berdandan seperti biasa. Tidak mencoba untuk menutupinya dengan concealer. Toh aku mau berkemah, percuma juga pakai make-up.

Pukul 7.40 aku berangkat ke kampus, sendirian. Ada Rahma dan Musa yang menungguku di depan gerbang, lalu kami berjalan bersama menuju taman belakang fakultas sebagai titik kumpul sebelum berangkat camping.

Kami berbaris sesuai kelompok untuk menaiki mobil truk tentara, dan aku harus bertemu dengan Bayan. Padahal aku masih kesal pada cowok itu.

Sengaja aku tidak menyapanya, bahkan pura-pura tidak melihatnya.

Saat naik ke dalam truk, Bayan mengambil posisi duduk di sebelahku. Aku tak acuh, aku masih tetap pura-pura tidak melihatnya.

Saat mobil mulai melaju, kebanyakan maba—peserta camping tertidur. Walaupun ada beberapa juga yang asyik bernyanyi diiringi dengan gitar, tidak ada yang memainkan ponsel karena benda pipih tersebut dilarang untuk dibawa.

"Kok tadi bareng si Musa?" tanya Bayan tiba-tiba. Aku tak menjawab, hanya mengedikkan bahu.

"Aku téh tadi nggak jemput soalnya bareng sama anak-anak yang lain," ujarnya lagi.

Aku mengembuskan napas panjang sebagai jawaban.

Lama Bayan tak bersuara, namun berkali-kali ekor mataku menangkap dirinya sedang memperhatikanku. Masa bodoh lah, aku kesal bukan main kepadanya.

Awalnya perjalanan menuju perkemahan lancar-lancar saja, tetapi semakin dekat dengan lokasi justru jalan yang ditempuh semakin terjal. Beberapa kali kami harus melewati jalanan berbatu dan berlubang, membuat mobil menjadi oleng dan penumpang di dalamnyaya limbung—nyaris terjatuh. Bahkan ada beberapa yang kepalanya terbentur sandaran kursi.

Ketika jalanan menanjak, otomatis badan kami tertarik ke belakang. Di samping kiriku—yang jadi bagian belakang adalah Bayan, mau tak mau tubuhku bersandar padanya. Seperti ingin mengaduk-aduk penumpang truk tentara ini, jalan berikutnya berlubang, padahal kami masih berada di tanjakan. Semua terombang-ambing, termasuk aku yang nyaris tersungkur ke bawah.

Bayan menahanku, cowok itu sedikit memelukku untuk menjaga tubuhku agar tidak limbung.

Setelah mobil berhasil melewati jalan rusak tersebut, Bayan masih merangkulkan tangannya di pundakku. Tanpa bersuara aku melepaskan tangannya, melepaskan tubuhku dari rengkuhannya.

"Neng, kenapa kamu tumben diem aja? Gak sakit, kan?" tanya Bayan agak berbisik.

Aku hanya mendelik, lalu membuang napas kasar.

"Kenapa kamu? Biasanya juga kalo kesel marahin aku," ujarnya lagi.

Aku berdecak. "Tau ah."

Respon Bayan hanya menggaruk tengkuknya dengan frustasi, setelah itu aku tidak memperhatikan lagi. Kami sudah sampai di lokasi perkemahan.

Mobil truk tentara ini cukup tinggi, para senior berbaju hitam yang bertindak sebagai tim disiplin melarang kami turun dengan tangga. Mau tidak mau, kami melompat dengan tas carrier bermuatan banyak. Mereka tidak peduli kami jatuh tersungkur, mereka menuntut kami bekerjasama agar semuanya dapat turun dengan selamat.

Untuk itu, para lelaki melompat turun terlebih dahulu. Lalu membantu para perempuan untuk turun.

Karena tadi aku duduk dekat seat supir, jadilah aku turun belakangan. Saat aku hendak turun, Bayan menjulurkan tangannya untuk membantuku dari bawah. Baru saja aku mau menyambutnya, aku teringat akan kejadian semalam. Rasa kecewa dan marah itu membuatku tidak suka melihat Bayan, dan aku lebih memilih memanggil Musa yang sudah berjalan beberapa langkah bersama Rahma.

"Tas lo dulu!" titah Musa padaku, lantas aku menurutinya.

Musa meletakkan tasku di tanah, lalu aku mengambil ancang-ancang untuk melompat turun. Baru saja aku melompat, Musa menoleh padaku dan berteriak, "JANGAN DULU LON—!"

Terlambat, aku sudah tersungkur diatas tubuhnya.

🌵🌵🌵

¹watir = ngeri

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro